Black Coffee
Gadis itu terpekur di hadapannya, masih. Hampir sepuluh menit yang lalu dengan tatapan sendu, dan bibir mengatup rapat, seakan enggan menyesap kopi hitam pekat dalam cangkir keramiknya. Seperti tak tergoda oleh aroma dan kepulan asap putih yang menari tepat di depan wajahnya. Hanya bermain dengan telunjuk di tepian cangkir. Bahkan tak mengacuhkan bunga-bunga yang baru mekar di pekarangan tempatnya berada sekarang. Alisnya yang tipis mengerut sedikit kemudian, tapi tak kunjung berucap.
Tuk, terdengar suara kecil keramik yang beradu. Itulah Aron yang sedang meletakkan cangkirnya ke tatakan gelas. Lelaki bermata biru itu melihat ke arah gadis yang duduk di hadapannya lekat-lekat, tampak khawatir. "Gee."
Gee mendongak, tatapannya hampir kosong, dan masih saja bisu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Aron dengan sedikit kerutan tipis di antara alis hitamnya.
Gee menghela, menatap kopinya lagi sesaat sebelum akhirnya bicara, "Aron," ucapnya lemah, "tidakkah kopi ini sangat biasa? Tidak menarik sama sekali untuk ditenggak, kan?"
Aron terdiam sesaat, berpikir, lalu menatap kopi miliknya yang sisa setengah. "Aku menyukai kopinya. Kau tidak suka kopimu?"
"Bagaimana aku suka? Kopinya sama sekali tidak terlihat menarik," jawab Gee muram.
Aron lagi-lagi melihat kopi miliknya sambil mengerut kening-meski sudah ia lihat ratusan kali setiap hari-seperti mencari sesuatu, namun tak bisa menemukan apa pun.
"Kopiku warnanya hitam."
"Kopiku juga. Kopi kita dari wadah yang sama, kan?" balas Aron makin khawatir.
"Tapi hitam itu jelek. Harusnya ia jadi cappucinno saja," imbuh Gee lalu menghela.
Aron memiringkan kepala sedikit, memerhatikan Gee lebih intens. "Kau baik-baik saja?" Ia bahkan mengulang pertanyaan yang sudah ia tanyakan.
Gee menggeleng. "Kulitku hitam."
Aron tergelak, matanya melebar dan alisnya terangkat, sedangkan bibirnya menahan senyum, tapi tidak bicara.
Sekarang Gee melihat Aron dengan wajah putus asa. "Aron, aku jelek, kan?"
Kali ini Aron tidak bisa menahan kegeliannya. Ia pun melepas tawa. Jadi, karena itu? Hanya karena ia memiliki kulit orang Asia Tenggara yang cenderung gelap, atau lebih benar jika dikatakan cokelat-Gee merasa jelek?
Gee memanyunkan bibir sebentar melihat reaksi Aron lalu membentak, "Aron!"
Aron masih saja tertawa, tapi dia mencoba mengendalikan diri meski merasa sangat geli, perutnya pun sudah sakit, dan lebih dari itu, ia tidak mau melukai hati gadis yang baru jadi isterinya seminggu. "Oh, maafkan aku, Gee. Sungguh, pemikiranmu itu benar-benar lucu," ucap Aron dengan campuran helaan napas, serta sedikit tawa kecil.
"Apanya yang lucu?" Gee masih jengkel.
"Kau mungkin tinggal di Swiss sekarang, tempat orang-orang yang memiliki kulit pucat. Tapi tidakkah kau berpikir mereka berharap memiliki kulit sedikit coeklat, seperti kulitmu? Bagi mereka itu sexy, kau tahu? Bagaimana kau bisa berpikir begitu?"
Kali ini Gee yang tergelak. "Benarkah?"
Aron terkekeh lagi. "Tentu saja, Sayang."
"Tapi mereka terlihat menjauhiku," jawab Gee sendu lagi.
"Aku yakin itu hanya perasaanmu," balas Aron dengan seulas senyum tipis yang manis.
Gee berpikir ulang, mereformasi sistem pikirannya yang buruk. Ya, aku memang pendiam. Mereka tak pernah bicara padaku mungkin karena aku tak mengajak mereka bicara lebih dahulu. Tak ada yang mau duduk denganku saat makan siang mungkin karena mereka belum mengenalku. Mereka tak menyapaku karena mereka-
"Hey!" panggil Aron tiba-tiba, menyelesaikan lamunan Gee yang lebih cepat dari yang seharusnya.
"Apa?"
"Sesap kopimu!"
Gee mengerut kening, tapi tak banyak bicara. Ia menyesap, mengulum bibirnya sedikit, merasakannya di lidah lalu menatap Aron lagi.
"Nikmat, kan?" tanya Aron.
Gee mengangguk dengan pelan. Sebenarnya agak heran.
"Lebih nikmat mana, ketika kau hanya memandanginya atau ketika kau meminumnya?"
Kali ini Gee merasa tersindir. Agak tersinggung memang. Tapi ia sadar atas kebenaran yang dikatakan Aron. "Tentu saja ketika meminumnya."
Aron tersenyum lebih lebar. "Kopi itu berwarna hitam. Jika kau bertanya apa yang salah dengan warna kopinya, maka jawabannya tidak ada yang salah. Beginilah kopi, dan beginilah dirimu."
Gee mengernyit dan menatap Aron lebih serius, tetapi tidak bicara. Menginginkan Aron melanjutkan kalimatnya-yang sepertinya agak panjang-tanpa perlu ia sela.
"Kopi itu meski hitam dia berbau harum, dia juga memiliki rasa yang nikmat, karena itu aku menyesapnya setiap pagi, Gee-karena kopi itu nikmat, bukan karena warnanya. Kopi hitam mungkin tak terlihat seindah Cappuccino yang sudah dicampur dengan susu, atau Mochacino yang dicampur dengan cokelat, atau kopi apapun itu namanya. Tapi, bagiku kopi hitam tetap yang terbaik, juga bagi penikmat kopi kebanyakan, meski tanpa perlu dihias. Kau tahu kenapa? Karena mereka apa adanya, karena merekalah kopi sesungguhnya."
Kali ini Gee seperti tersetrum. Ia ingin tertawa menggantikan Aron, menertawakan dirinya sendiri.
"Gee," panggil Aron. Menatap sang isteri begitu lembut.
"Ya?" kata itu diucapkan di antara kikik geli.
"I Love You."
Dan tawa itu benar-benar terhenti.
Sekian
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro