8. Berkelana
【Ramalan kuno dari seorang rasul terdahulu mengatakan bahwa dunia akan dihancurkan oleh Raja Iblis. Karena itu, semua ras bersatu untuk melenyapkan bangsa Iblis yang akan membawa kehancuran dunia.】
【Pertempuran besar terjadi. Mayat dari berbagai ras terbaring di tanah yang terbakar dan darah perjuangan membasahi medan perang seperti hujan. Penyatuan seluruh ras berhasil mengalahkan ras Iblis ke sudut daratan.】
【Namun, seseorang yang tidak menginginkan perang muncul secara tiba-tiba. Dengan pedang hitamnya yang mampu menebas langit, ia memecah daratan menjadi dua benua.】
【Benua Putih, daratan terbesar sekaligus tempat di mana semua ras hidup damai;
Dan Benua Hitam, daratan kecil yang dihuni oleh ras Iblis jahat.】
【Karena ras Iblis belum dibantai sepenuhnya, semua ras kembali bersatu untuk menyerang Benua Hitam, tetapi menemukan fakta bahwa kedua penghuni benua tidak bisa melukai satu sama lain.】
【Semuanya putus asa, merasa dunia tidak bisa lagi diselamatkan.】
【Di saat inilah, muncul tiga orang pemberani dari dunia lain. Dengan daya serang yang kuat dari 'Pedang Pembantai Iblis', pemikiran cermat dari 'Topeng Joker', dan pengetahuan luas dari 'Maha Tahu', mereka mampu mengalahkan ras Iblis dan dijuluki sebagai 'Tiga Pahlawan Suci'.】
" … Sejak itulah, patung ini didirikan untuk menghormati ketiga pahlawan suci yang telah mengalahkan ras Iblis." Pemandu tur mengakhiri penjelasannya mengenai sejarah tiga ratus tahun yang lalu.
Ada tiga patung berdiri di belakangnya. Patung paling depan, tampak seorang remaja laki-laki yang dengan gagah beraninya melangkah ke depan dengan sebilah pedang di tangan. Di sisi kiri, patung seorang remaja perempuan yang memandang lingkungan sekitar dengan tongkat di tangannya. Sementara di sisi kanan, ada remaja laki-laki lain memegang sebuah buku tebal di kedua tangannya. Kesamaan dari ketiganya bukan hanya mereka masih remaja, tapi juga wajah mereka tertutupi topeng.
Mungkin merasakan hal yang sama, salah seorang pendengar mengajukan pertanyaan. "Mengapa wajah mereka tertutup topeng? Apakah para pahlawan suci mengenakan topeng sepanjang hidup mereka?"
Pemandu tur tampaknya telah mendengar pertanyaan yang sama berulang kali, sehingga ia sudah terbiasa menjawab pertanyaan sejenis itu. "Bukan seperti itu. Ini karena tidak ada yang bisa mengingat wajah ketiga pahlawan suci, sekalipun makhluk tertua di dunia ini."
Suara-suara takjub dan heran terdengar bersahutan di antara kerumunan. Mereka dipenuhi dengan 'apa', 'bagaimana', dan 'mengapa' atas jawaban yang tak terduga ini.
Dengan tudung hitam yang menutupi kepala, Yoo Joonghyuk menyaksikan bagaimana pemandu tur menjelaskan apa yang telah terjadi di masa lalu. Ini sudah ketiga kalinya ia mendengarkan, dan ia masih merasa geli mendengarkan penjelasan yang seperti narasi cerita.
Merasa tidak akan mendapat informasi lagi di tempat ini, Yoo Joonghyuk keluar dari kerumunan dan menuju ke area pasar. Ia mampir sejenak di warung pinggir jalan untuk membeli sebuah apel sebelum melanjutkan perjalanan ke penginapan tempat ia tinggal selama tujuh hari ini.
Ya, sudah seminggu berlalu semenjak ia pergi dari rumah Dokkaebi. Setelah keluar dari zona wilayah, ada kota kecil di dekatnya sehingga Yoo Joonghyuk memutuskan untuk singgah sejenak di tempat ini, sekalian mencari informasi yang berguna. Beruntung ia telah meminta (baca: memaksa) Dokkaebi Bihyung untuk memberikan semua mata uang dunia ini yang berupa koin emas, atau tidak ia hanya bisa tidur di pinggir jalan, bukannya penginapan seperti sekarang.
Selama waktu ini pula, Yoo Joonghyuk telah mempelajari pengetahuan sehari-hari dunia ini melalui pengamatan dan interaksi dengan penduduk kota ini. Misalnya, inkarnasi adalah sebutan untuk mereka yang menjalani skenario, ibarat pemain yang menyelesaikan misi di dungeon jika disamakan dengan game di bumi.
Hal unik yang menarik perhatian Yoo Joonghyuk adalah nama-nama kerajaan di dunia ini. Seperti Kerajaan Olympus, yang terdengar menyerupai nama istana tempat para dewa tinggal menurut mitologi Yunani; atau Kerajaan Asgard, yang namanya mirip lokasi yang dikisahkan sebagai kediaman para dewa dalam mitologi Nordik. Ia sempat curiga kalau mitologi dari bumi mungkin sebenarnya nyata dan bersumber dari dunia ini, namun belum ada bukti yang bisa membenarkan kecurigaan ini.
Yoo Joonghyuk kembali ke penginapan bukan untuk beristirahat, melainkan check-out karena tidak ada informasi yang bisa ia temukan di kota ini. Menurut peta yang ia beli di pasar, ada kota lain sekitar sembilan puluh kilometer dari kota ini. Jika berjalan kaki, ia harus menghabiskan waktu sekitar dua hingga tiga hari untuk sampai di sana. Karena itu, Yoo Joonghyuk telah menyiapkan semua perbekalan untuk perjalanan beberapa hari ke depan, dan ia siap berangkat hari ini.
Setelah check-out, mengikuti arah peta yang menuju ke barat, Yoo Joonghyuk memulai perjalanan baru.
Tidak seperti bumi yang dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit, dunia ini mayoritas masih dikuasai hutan. Pepohonan lebat tumbuh menjulang tinggi sehingga daun-daunnya yang rimbun menaungi jalan setapak yang berbatu, cahaya matahari bersinar di langit cerah menembus celah-celah daun yang tipis, dan suara serangga yang bersahut-sahutan di semak belukar mengiringi langkah kakinya yang tegas. Sesekali, mulutnya akan menggigit apel yang sebelumnya ia beli di pasar, merasakan cairan manis yang memenuhi lidahnya yang sensitif.
Ketika merasa haus, ia akan mengeluarkan botol air dari dalam kantong penyimpanan Dokkaebi yang digantung di pinggangnya. Ketika merasa lelah, ia akan mengambil waktu untuk istirahat sejenak di bawah pohon yang teduh. Ketika merasa lapar, ia akan memakan buah apel yang telah ia siapkan jauh-jauh hari sebelumnya.
Daripada melakukan perjalanan jauh, ia tampak seperti sedang piknik santai di tengah hutan yang rindang sebagai latar belakangnya.
Sejauh ini tidak ada bahaya yang mengintai, karena itu Yoo Joonghyuk sedikit mengurangi ketegangannya terhadap lingkungan tak dikenal. Tapi biasanya, ketika seseorang berpikir semua baik-baik saja, hal buruk pasti akan terjadi.
Di depan sana, ada tiga kereta kuda yang berhenti di pinggir jalan, dengan orang-orang aneh memegang senjata mengelilingi mereka.
Oh, adegan klasik yang sering terjadi. Bandit yang mencoba untuk merampok barang-barang setiap orang yang melewati wilayahnya, kemudian mereka bertemu protagonis, dikalahkan dalam sekali serangan, dan barang-barang curian dikembalikan ke pemilik aslinya. Terkadang di serial tertentu, protagonis tidak sengaja menyelamatkan seseorang, lalu orang itu akan menjadi pendamping setianya.
Plot yang terlalu klise.
Sayangnya, Yoo Joonghyuk bukanlah tipe protagonis seperti gambaran di atas.
Ia berhenti di tempatnya, menyaksikan bagaimana para bandit itu mengancam orang-orang di kereta dengan belati di tangan untuk menyerahkan barang-barang milik mereka. Sesama penduduk Benua Putih bisa saling menyakiti, karena itu orang-orang di kereta yang tidak ingin terluka hanya bisa pasrah menyerahkan semua barang mereka. Setelah mendapat apa yang diinginkan, para bandit itu pun membiarkan ketiga kereta untuk pergi.
Tepat ketika kereta itu menjauh, pandangan para bandit beralih ke Yoo Joonghyuk yang sedari tadi tidak berpindah tempat.
Salah satu bandit menyeringai dan menunjukkan belati tajamnya. "Hehe, kalau mau lewat, serahkan barang-barangmu."
… Sepertinya, mau tidak mau protagonis harus tetap bertarung dengan para bandit.
Yoo Joonghyuk menarik keluar pedang dari sarungnya. Pedang ini ia dapatkan dari Dokkaebi Bihyung setelah bernegosiasi (baca: merebutnya) bersama dengan mantel hitam yang ia kenakan saat ini.
Ia masih belum mahir dalam teknik menyerang dengan pedang, namun bukan berarti ia tidak bisa menggunakannya.
Para bandit menyerangnya satu persatu yang segera di lawan oleh Yoo Joonghyuk. Ia menahan serangan yang dilancarkan dengan pedangnya, kemudian balas menyerang dengan gerakan yang ia latih selama seminggu ini.
Entah karena para bandit yang terlalu lemah atau latihan Yoo Joonghyuk efektif, pada akhirnya ia berhasil mengalahkan mereka semua. Pedangnya kembali disarungkan, kemudian ia memungut barang-barang yang telah dirampas oleh para bandit.
Ada perhiasan perak dan emas hingga batu permata yang mewah, tapi Yoo Joonghyuk tidak tertarik dengan semua kemewahan itu. Pandangannya tertuju pada sebuah buku bersampul kulit tua yang sudah terkelupas. Tidak ada judul yang tertulis di luar, sehingga tidak ada pilihan selain melihat isinya.
Tapi, betapa banyak tenaga yang ia kerahkan, buku itu tidak bisa dibuka, seolah-olah telah diberi lem perekat yang sangat kuat. Bahkan Yoo Joonghyuk mencoba memotongnya dengan belati, tetapi hasilnya nihil.
Buku tua ini pasti memiliki sesuatu yang tersembunyi, entah itu informasi penting, atau … Mata tajam Yoo Joonghyuk sedikit menyipit ketika memikirkannya. Ia menatap buku tua dengan pandangan rumit sebelum menyimpannya di ruang penyimpanan yang berada di saku mantelnya.
Faktanya, mantel ini memiliki kemampuan penyimpanan yang sama dengan kantong penyimpanan Dokkaebi, bahkan kapasitas yang dapat ditampung lima kali lebih banyak daripada kapasitas kantong penyimpanan Dokkaebi. Sayangnya, Yoo Joonghyuk mengetahui kebenaran ini setelah dua hari pergi dari rumah Dokkaebi, jika tidak ia akan memasukkan seluruh buku perpustakaan ke dalam ruang penyimpanan di saku mantelnya. Akhirnya, Yoo Joonghyuk hanya memindahkan barang-barang penting seperti buku, pakaian, dan dompet koin ke saku mantelnya. Hanya makanan dan minuman yang berada di kantong penyimpanan Dokkaebi.
Yoo Joonghyuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanannya. Sesekali melihat waktu di jam saku yang ia beli di kota karena baterai ponselnya habis. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, yang berarti ia sudah berjalan di hutan ini selama dua jam.
Perjalanannya masih sangat panjang.
***
Matahari jatuh perlahan ke arah barat, menghilang di balik garis cakrawala. Langit senja berubah gelap seiring dengan bangkitnya rembulan purnama dan bintang-bintang memancarkan cahaya kecilnya, berkelap-kelip menghiasi langit malam. Serangga malam berbunyi menemani malam yang sunyi di tengah hutan.
Yoo Joonghyuk mendirikan tenda di tanah lapang dan membuat api unggun. Merogoh isi kantong penyimpanan Dokkaebi, ia mengeluarkan beberapa bahan mentah―daging serta bumbu penyedap―dan peralatan untuk memasak. Baginya, masakan buatan sendiri jauh lebih nikmat daripada masakan buatan orang lain, itu sebabnya ia memilih untuk membeli bahan mentah dan mengolahnya sendiri dibanding dengan membeli masakan yang sudah jadi.
Asap membumbung tinggi ke langit, suara gemercik daging yang terbakar di atas api terdengar, dan aroma bumbu penyedap menyeruak ke indera penciumannya. Dengan telaten, ia membalik daging di atas api unggun, memastikannya matang sempurna. Setelah daging benar-benar matang, Yoo Joonghyuk menghidangkannya di atas piring saji. Warna kecoklatan pada daging tampak berkilau karena ia menambahkan madu di permukaannya. Begitu di potong, minyak melumer dari dalam, dan aroma yang lebih kuat menguar ke udara.
"Baaaat!"
Suara yang tiba-tiba muncul membuat Yoo Joonghyuk tersentak kaget. Ia menengadah mengikuti asal suara, mendapati sosok bola bulu putih yang entah sejak kapan terbang di atas kepalanya. Ada satu tanduk kuning di kepalanya dan mata hitam bulatnya tampak bersinar menatap daging bakar di piring. Mulutnya yang kecil mengeluarkan air liur, seakan tergiur dengan aroma lezat yang berasal dari daging.
"Baaat! Baaat!"
Bola berbulu itu bersuara, tubuhnya merendah dan terbang mendekati daging. Yoo Joonghyuk bisa menebak makhluk aneh di depannya ini ingin memakan menu makan malamnya, jadi sebelum makhluk berbulu itu bisa menggigit, ia dengan cepat menarik piring daging menjauh.
"Baaaaat!" Makhluk itu seolah protes dengan tindakannya dan mulai berseru keras, "Baaat! Baat! Baaaaat! Baaat!"
Tentu saja Yoo Joonghyuk tidak bisa memahaminya. Ia memunggungi makhluk itu dan memakan dagingnya sendiri.
Makhluk itu menjadi lebih kesal. "Baaat! Baat! Baaat!" Bahkan ia mulai menabrakkan dirinya ke kepala Yoo Joonghyuk. Tapi, karena tubuhnya yang berbulu, alih-alih Yoo Joonghyuk merasa sakit, makhluk berbulu itu yang memantul ke udara.
"Baaaat … " Nadanya tampak masam dan mulai terdengar merengek seperti anak kecil. "Baaat … Baat … Baaat … ."
Itu terus berlanjut hingga Yoo Joonghyuk tidak tahan lagi mendengarnya. Ia memotong kecil daging yang tersisa, kemudian melemparnya ke belakang tanpa melihat. "Ambil ini dan diamlah."
Makhluk itu langsung diam dan dengan cepat menangkap daging yang dilempar menggunakan mulutnya. Ia mengunyahnya dengan ekspresi bahagia. "Baat! Baaaat! Baaat!"
Mungkin karena nadanya yang ceria, Yoo Joonghyuk bisa menebak apa yang dikatakan makhluk itu. "Jika kau suka, jangan bersuara. Aku akan memberimu sepotong lagi."
Mendengar kata-kata itu, makhluk berbulu segera menutup mulutnya. Dengan matanya yang berkilau, ia menatap Yoo Joonghyuk seolah berkata, "Aku sudah diam, jadi cepat berikan aku daging!"
Dengan enggan, Yoo Joonghyuk memberinya potongan daging lagi. Makhluk itu memakannya cepat, lalu menatapnya dengan ekspresi yang sama.
… Akhirnya, daging satu porsi itu habis di makan dua mulut.
Yoo Joonghyuk membersihkan peralatan memasaknya dan menyimpannya kembali ke kantong penyimpanan Dokkaebi. Matanya melirik tajam pada bola bulu putih yang masih terbang di sekitarnya.
"Darimana asalmu?"
"Baaat!"
Percuma bertanya jika ia bahkan tidak bisa memahami kata-kata makhluk itu. Ia mengembuskan napas panjang, lalu meraih bola berbulu itu dan menariknya ke samping dengan kedua tangan. Bola berbulu itu memanjang mengikuti tarikannya dan berseru dengan keras seolah kesakitan. "Baaat! Baaat! Baat!"
Perasaan lembut―seperti memegang kapas―bisa Yoo Joonghyuk rasakan di jari-jarinya. Ia belum pernah menyentuh makhluk dunia ini, termasuk para Dokkaebi sebelumnya. Jadi, ini pertama kalinya ia melakukan sentuhan langsung pada penghuni dunia ini.
Berbicara tentang itu … .
"Kau itu sejenis Dokkaebi, 'kan?"
•••
Arbi's Note:
Okey, ini dia chapter terakhir yang aku punya di draft. Setelah ini, aku tidak update chapter baru lagi.
Kalau kalian ingin fanfic ini dilanjutkan, berikan tanggapan kalian~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro