22. Kepengurusan Baru
Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa menghela dan dan menghempaskan napas dengan selega ini setelah pemahaman baik di kemarin itu akhirnya datang, sang penyembuh yang aku cari.
Mama tidak bohong, penyembuh itu sungguh ada di penjara suci. Sekalipun aku menemukannya saat menginap di rumah Zalfaa, tetapi nyatanya aku menemukan Zalfaa yang menjadi perantara aku menemukan penyembuh itu lewat penjara suci. Bukankah sejatinya, aku tetap menemukan penyembuh di pesantren dengan aku menjadi seorang santri?
Allah, terima kasih telah memberiku kesempatan untuk menemukan gadis sespesial Zalfaa yang telah menjadi perantaraku menemukan penyembuh. Kisah Zalfaa dan Nona Joy benar-benar membuatku melepaskan kaca mata hitam yang selama ini aku pakai, membiarkanku melihat dengan jelas bahwa setiap orang memiliki rasa pedihnya sendiri di dalam kebahagiaan yang mereka punya. Dan juga ... setiap orang pasti memiliki kebaikan yang terpatri dalam hati sekalipun selama ini yang orang luar tahu hanyalah keburukannya.
"Wallahu a'lam bisshawab ...."
Akhirnya setelah hampir satu tengah jam, Ustadz Husen menutup pelajaran fiqih.
Kedua mataku yang dari tadi berkali-kali mengembun dan menahan kantuk, mendengar wallahu a'lam bisshawab yang dilafalkan oleh Ustadz Husen dan segera disahuti hampir semua tholabah kelas 1 Wustho B, lolos membuat kedua mataku melebar. Teringat kalau harus kembali ke pondok sebentar untuk mengambil jemuran baju di pemean.
Ustadz Husen pun uluk salam dan kami para tholabah menjawabnya dengan semangat.
Usai Ustadz Husen keluar dari kelas, aku menutup kitab fathul qorib-ku, lalu aku bertanya pada Zalfaa yang menjadi teman semeja.
"Faa, ke pondok bentar yuk?" ajakku.
Zalfaa yang baru selesai menutup kitabnya menoleh ke arahku.
"Aduh, maaf, Azhima. Aku nggak bisa. Aku belum hafal setoran jurumiyyah," sahutnya dengan nada rikuh.
"Oh, ya udah kalo gitu." Aku melontarkan senyum. Maklum pada Zalfaa yang belum hafal setoran jurumiyyah untuk pelajaran nahwu di jam kedua.
"Soh, mau balek ke pondok nggak?" Aku beralih bertanya pada Khulasoh yang duduk di belakangku tepat bersama Sofiya.
"Memangnya kamu mau ngapain, Jim?" timpal Khulasoh seraya merapikan bros di hijab yang dikenakan.
"Aku mau ambil jemuran baju di pemean," jujurku.
"Owalah. Kuylah. Aku juga mau ambil isi pulpen hi-tec-c." Khulasoh memamerkan pulpen sultannya yang hampir habis.
Aku tersenyum lebar sebab akhirnya mendapat teman pulang ke pondok juga.
Kami berdua pun beringsut keluar kelas saat separuh dari personel kelas 1 Wustho B mulai keluar kelas untuk mendapati angin segar di luaran sana atau membawa kaki mereka ke kantin. Sebagian sisanya memilih tetap di kelas buat tidur atau ngerumpi, melancarkan hafalan jurumiyyah, atau nembel kitab.
"Soh, Jim, titip," seru Sofiya.
Aku dan Khulasoh yang sudah di ambang pintupun menengok.
"Titip apa?" sahutku.
"Titip ambilin jemuran bajuku juga di pemean. Di pemean paling pojok kanan."
"Okee, siap."
"Makasih, Jim." Sofiya nyengir lebar.
"Yoi."
Aku dan Khulasoh melanjutkan langkah.
Dengan langkah cepat, tidak sampai 10 menit, aku sudah berada di pemean. Pertama-tama, aku mengambil jemuran baju Sofiya, kemudian beringsut ke lokasi jemuran bajuku.
"Huh! Nyebelin!" decakku saat mendapati entah baju siapa yang basah nyumpel di antara jemuran bajuku yang kering, alhasil separuh bajuku yang sudah kering basah lagi sebagian.
Dengan kesal, sebelah tanganku terulur untuk mengambil jemuran bajuku yang lain. Satu, dua, tiga, sudah lolos kuambil dan ... di mana jaket denim yang aku jemur di pagi buta tadi?
"Kok tinggal hunger-nya doang sih?" keluhku.
Aku menjatuhkan tatapanku ke bawah, mencari-cari kalau barangkali jaket denim yang kujemur merosot dari hunger, jatuh ke lantai beton pemean, tapi sial, tidak ada. Aku melangkah ke arah lain, menyisir setiap garis plantangan yang ada, pula lantai beton yang luas, tapi tetap saja tidak kutemukan.
"Jim, ayok cepet balek ke madrasah. Bentar lagi masuk pelajaran kedua nih," seru Khulasoh yang lolos mengalihkan fokusku mencari jaket denim. Dia berseru dengan napas ngos-ngosan, sepertinya dia ke pemean yang berada di lantai paling atas pondok dengan berlari.
"Iya, okee," jawabku yang sebenarnya enggan meninggalkan pemean, masih ingin mencari jaket denim.
"Sini aku bawain jemurannya separuh," tawar Khulasoh yang sepertinya kasihan padaku saat melihat menumpuknya jemuran di sebelah tangan. Tanpa menunggu persetujuanku, dia gesit mengambil sebagian seraya berkeluh, "Aku belom hafal bener nih setoran jurumiyyah Ustadz Utsman."
"Fashlun apa kamu setorannya?"
"Al af'al. Marfu'atil asma."
Kami berdua mulai menuruni tangga. Pikiranku masih saja tertuju pada jaket denim. Pasalnya jaket itu bukan milikku, melainkan milik Gus Fawaz.
***
"Kebetulan jaket gue kotor sama Zayyin. Pake aja nih," kata Gus fawaz saat aku kebingungan menutupi noda darah di overall dress-ku, setelah Si Gus sempurna melepas jaket denim yang dikenakan, lantas melemparkannya ke Zalfaa.
"Hm, Gus, nggak usah," tampikku dengan muka rikuh.
"Kalo nggak mau ya udah. Itu jaket kotor. Cuciin tuh jaket!" sahut Gus Fawaz, melangkah pergi ke warung tanpa menunggu tanggapanku.
Itulah muasal jaket denim Gus Fawaz ada padaku sekalipun aku sungguh benar tak memakainya barang sedetikpun untuk menutupi noda darah. Aku jelaslah tidak berani melakukan hal tersebut, suul adab sekali, masa sosok santri mengenakan jaket gusnya buat menutupi noda darah haid.
Di rumah Zalfaa, aku tidak sempat mencuci jaket denim, jadi memutuskan mencucinya tadi pagi buta setelah salat tahajud di pondok.
"Gimana nih, Faa? Jaketnya belum ketemu," bisikku pada Zalfaa saat kami menjadwal kitab untuk takror malam ini.
Zalfaa yang baru saja selesai menjadwal, menyahut lirih, "Kemungkinannya gimana? Diambil orang palingan 'kan?"
Aku mengangguk.
Beberapa anak kamar mulai keluar kamar, berangkat takror.
Lantunan nadzom seperti sabrowi, 'imriti, alfiyyah ibnu malik mulai terdengar bercampur menjadi satu. Ini sudah lumrah, sebelum takror dimulai para santri di setiap tingkatan kelas akan melantunkan hafalan mereka dengan semangat seperti ini.
"Ya udah kalo gitu, kita minta bantuan keamanan pusat aja. Kita selidiki lewat cctv," saran Zalfaa.
Kedua mataku melebar. "Minta bantuan keamanan pusat?"
"Iya. Emang kenapa?" Kening Zalfaa mengerut.
Aku masih bergeming.
Di kamar hanya tersisa kami berdua.
"Takut kena rumor yang nggak-nggak sama Si Gus?"
Aku meneguk ludah. "Sedikit."
Zalfaa tertawa.
"Ngapain takut, wong kamu nggak ngapa-ngapain sama Si Gus. Aku juga bisa jadi saksi kalo kamu dituduh nggak-nggak. Tenang aja," lanjut Zalfaa, menepuk sebelah bahuku.
Aku mengangguk lega.
Zalfaa menjembel pipiku.
"Jangan-jangan kamu udah mulai suka ya sama Gus Fawaz?"
Aku melotot. Itu tidaklah benar. Zalfaa kumat ngelanturnya.
Zalfaa tertawa lagi.
Kami berdua pun beringsut berangkat takror.
"Tapi kepengurusannya kan baru diganti kemarin, Faa? Apa nggak apa-apa kita minta bantuan keamanan pusat yang baru saat mereka belum dilantik secara resmi?" keluhku di tengah perjalanan ke tempat takror.
Faktanya, kemarin saat aku dolan ke rumah Zalfaa karena urusan Zalfaa kontrol penyakit asma dan pulangnya kita dibawa Ummi Istiqomah berwisata ke Pantai Menganti, kepengurusan pesantren Manbaul Hikmah mendadak diganti oleh Ummi Izaati.
Ummi Izzati mendapat laporan dari salah satu Mbak Ndalem tentang ulah santriyem yang meresahkan, menyampaikan juga beberapa bukti kelakuan mereka, menjadikan Ummi Izzati kecewa besar, lantas mengganti kepengurusan secepatnya.
Kepengurusannya baru ditetapkan bagian kepengurusan pusat, bawahan-bawahannya belum ditentukan siapa pengganti mereka. Namun, dengar-dengar, pengurus pusat baru sedang mencari santriwati yang layak menjadi partner kerja mereka dan akan dilantik resmi malam ahad besok.
"Ya nggak papa. Toh, pergantian pengurusnya kan udah sepersetujuan Ummi. Wong sekarang yang jalankan tugas-tugas kepungurusan ya mereka kok," sanggah Zalfaa. Terus melangkah menuju area takror.
"Iya sih," jawabku, "Tapi kamu tahu nggak siapa keamanan pusat sekarang?"
"Belum tahu pastinya sih. Tapi denger-denger, itu Mbak Mus."
Aku mengangguk, tepat ketika kami hendak melewati kantor pengurus pusat.
"Tuh Mbak Mus," tunjuk Zalfaa mendapati Mbak Mus sedang berdiri di depan kantor pengurus pusat.
Semakin dekatnya langkah kami, Mbak Mus melirik ke arah kami berdua, lalu tersenyum.
"Azhima, kebetulan banget, aku ada kepentingan sama kamu," seru Mbak Mus.
Aku dan Zalfaa berhenti di depan Mbak Mus.
"Kepentingan apa, Mbak?" tanyaku dengan deg-degan karena tiba-tiba keamanan pusat baru memiliki kepentingan denganku.
Mbak Mus mengulangi ulasan senyumnya.
"Faa, Azhima izin telat ya takror-nya? Aku pinjem Azhima dulu, ada kepentingan sebentar." Mbak Mus malah beralih bicara ke Zalfaa.
Aduh, aku jadi curiga pada Mbak Mus.
Zalfaa mengangguk. "Siap, Mbak Mus."
Sesaat ke depan, Zalfaa melanjutkan langkah.
Aku dibawa Mbak Mus buat masuk ke kantor pengurus pusat. Dan betapa terkejutnya mendapati beberapa santriwati sedang berkumpul di dalamnya. Juga saat kuamati di sekumpulan itu, ada Mbak-mbak kepengurusan baru secara lengkap.
Aduh, sebenernya ini ada apa? batinku berkeluh. Mulai was-was.
"Duduk, Azhima," perintah Mbak Mus dengan lembut sembari menepuk karpet di sebelah duduknya yang kosong.
Dengan tampang masih kebingungan dan was-was, aku mengangguk dan tersenyum tipis, duduk di samping Mbak Mus.
"Kayaknya dah lengkap ya?" tanya Mbak Natasha yang menjadi lurah kepengurusan baru. Dia berdiri di sudut sana sembari mengamati satu persatu santriwati di kantor.
"Okee. Kalo gitu kita langsung mulai aja ya rapatnya," lanjut Mbak Natasha.
Kedua mataku seketika melebar mendengar kata rapat. Jantungku berdegup kencang. Pikiranku mulai menerka-nerka tidak jelas.
Di sela separuh santriwati yang ada di kantor menjawab serempak, Iya, Mbak Nat, Mbak Mus menoel lenganku, berbisik, "Aku pilih kamu buat jadi partner kerjaku, Azhima."
Seketika, kedua mataku melebar lagi. Mendadak menjadi panas dingin. Yang benar saja aku mau dijadikan partner kerja Mbak Mus, itu artinya aku mau dijadikan .... personel keamanan pusat?
Aku meneguk ludah. Seketika aku langsung teringat Sofiya dan Khulasoh beserta pelanggaran mereka yang kutahu. Sepertinya, aku hendak mengalami hari-hari yang cukup berat di kemudian jika sungguh menjadi keamanan pusat karena pastilah ... aku disuruh membuka kedok mereka berdua. Dan persahabatanku ... apakah hendak diuji setelah ini?
Sekonyong-konyong, aku menjadi lupa soal jaket denim.
__________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro