Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 63

"Jadi maksudmu, kau akan menyerah?" tanya Feng Mei Lin santai, tapi jelas santai tersebut hanya di mulut saja. Sedangkan netra atau pandangan, tidaklah demikian adanya. Pun Xu Wei meletakkan sumpit, diikuti pula Feng Mei Lin yang melipat kedua tangan bersender punggung pada kursi. Pandangan, jauh lebih menajam dari sebelumnya.

"Bukan menyerah, tapi merelakan. Aku tidak ingin mengikuti keegoisanku lalu menyakiti orang lain. Hubungan yang dipaksakan tidak akan berakhir bahagia dan aku ... tidak menginginkan hal itu terjadi dalam hidupku ataupun hidup orang yang kukenal, pedulikan," jawab Xu Wei, mantap.

"Kau salah jika berpikir tindakanmu ini keren, kau hanya bersikap bodoh dan pengecut dengan mengatasnamakan kerelaan. Apa kau sadar?"

"Bagiku, memaksa Jia Hou untuk menerimaku ... itulah hal bodoh dan pengecut, Bibi. Bodoh karena tahu dia tidak menyukaiku, tapi masih menerimanya. Pengecut, karena kabur dari kenyataan dan tidak menerima penolakan. Aku tidak ingin hidup seperti itu, Bibi."

"Kutanya sekali lagi ... kau yakin akan keputusanmu ini?"

"Aku sudah memutuskan dan keputusanku sudah sangat matang. Karena itu, Bibi ... tidak perlu repot-repot meyakinkanku lagi atau mencari wanita lain. Jia Hou sudah memberikan hatinya pada seorang wanita, meskipun aku tidak tahu apa alasan mereka bertengkar, tapi aku yakin mereka akan kembali lagi setelah beberapa waktu berlalu."

"Kau akan menyesali keputusanmu ini."

Xu Wei hanya merespon atau menanggapi Feng Mei Lin yang terlihat kesal dengan senyuman, bangun dari duduknya kemudian. "Jangan memaksa Jia Hou, dia punya hidup dan perasaan pribadi. Bibi, ketahuilah batasan ... mana yang boleh dilewati dan mana yang tidak. Dengan begitu, Bibi tidak akan kehilangan Jia Hou ....

"... Yun Bei wanita baik, jika lebih mengenalnya ... Bibi akan tahu hal itu. Dukung dan restuilah mereka. Aku pergi dulu."

Segera meninggalkan restoran, meninggalkan Feng Mei Lin yang terkekeh, kembali melanjutkan makannya yang detik itu pula menghempaskan piring. Napas berderu berat berusaha meredam panasnya kobaran api, rencana berantakan.

Sementara di sisi lain, keluar dari persoalan Feng Mei Lin yang menjadi pusat perhatian di mana pelayan restoran saja enggan mendekat dibuatnya. Tampak Yun Bei dan ibunya, Mo Zheng Yi mengunjungi toko-toko sambil sesekali senyum menghiasi wajah satu sama lain. Menikmati waktu kebersamaan yang berakhir berjalan-jalan di sekitar kota. Kapan lagi bisa seperti ini dengan putrinya, bukan?

"Ehhh!" henti Mo Zheng Yi. "Bukankah ini tempat kerjamu dulu?" tunjuknya yang seketika mengalihkan pandangan Yun Bei. Pun Yun Bei mengangguk, terpaku menatap toko tersebut. "Ayo masuk, Niang ingin membeli beberapa bunga buat hiasan meja."

"Kita pergi ke toko lainnya saja, bagaimana?" tawar cepat Yun Bei, penuh harap ibunya akan menyetujui permintaan sederhana ini.

"Ini toko terbaik, tentu harus di sini. Lagian sudah di sini juga." Mo Zheng Yi melangkah masuk begitu saja tanpa memedulikan putrinya yang terus saja menolak. Berteriak memanggil-manggil agar setidaknya sang ibu mau menoleh padanya. Namun, sia-sia. Mo Zheng Yi telah berada di dalam toko.

Adakah pilihan lain bagi Yun Bei untuk tak masuk? Alangkah baiknya jika ada, bukan?

Tak masuk, otomatis Mo Zheng Yi akan curiga kenapa Yun Bei bersikap demikian jika memang pengunduran dirinya dilakukan secara baik-baik. Akan tetapi, jika masuk ke dalam sana ... Jia Hou ... bagaimana jika bertemu? Apalagi ini waktunya makan siang.

Mendesah. Mau tak mau, Yun Bei pun melangkah masuk. Sejak kapan seorang Yun Bei menjadi pengecut, bukan? Jika bertemu maka bertemu saja, lagian Jia Hou membencinya sekarang. Mengabaikan sudah pasti menjadi sikap mantan atasannya itu, bukan?

"Yun Bei, kau datang," sapa seorang pegawai dengan senyumnya. Senyum karena memang tak tahu alasan berhentinya Yun Bei. Sama seperti ibunya.

"Kalian bicaralah, Niang akan melihat-lihat dulu," sela Mo Zheng Yi, membawa tungkainya menjauh tuk menikmati keindahan bunga-bunga segar.

"Apa itu ibumu? Sungguh cantik sama sepertimu."

"Kau semakin pandai saja bicara, tapi itu tidak mempan padaku."

"Itu kau yang mengajarkanku, tentu aku harus terlihat handal di depan guruku," balas si pegawai dengan senyum lebarnya. "Ngomong-ngomong, kenapa kau tiba-tiba mengundurkan diri? Apa kau bertengkar dengan Direktur Feng?"

"Hanya ingin saja, tidak ada alasan lain, tapi kenapa kau berpikir aku bertengkar dengan Direktur Feng?" tanya balik Yun Bei.

"Sejak kau pergi, dia bersikap sangat dingin dan kejam. Semua pegawai dan karyawan tidak ada yang berani mengeluarkan suara di depannya. Bahkan, Asisten Ming saja tak berani memanggil namanya seperti dulu dan hanya memanggil Direktur Feng."

"Ming Hai sudah cerita padaku, kukira dia hanya melebih-lebihkan saja."

"Karena itu semua orang di sini berharap kalian bisa baikan, berharap kesejahteraan tempat ini kembali seperti dulu saat kau masih bergabung."

Sayangnya hal itu akan sulit. Tampaknya, kalian harus mulai membiasakan diri mau tak mau dari sekarang.

"Itu ... apa Jia Hou sekarang ada di ruangannya?"

"Kau ingin bertemu dan berbaikan?" tanyanya antusias. Namun setelahnya, antusias itu lenyap terganti dengan desahan kecil. "Sayang, waktunya tak tepat sekarang. Direktur Feng dan Asisten Ming dari pagi tadi sibuk di pergudangan. Tidak tahu pasti kapan akan kembali ke sini."

"Ternyata begitu ... baiklah, kau kembalilah bekerja."

"Baik, panggil aku jika butuh sesuatu."

Mengangguk, Yun Bei mengedarkan pandangan ke sekitar, mendapati ibunya yang sibuk melihat-lihat dan memilih bunga ditemani seorang pegawai. Bermaksud ingin mendekat, tapi pandangan Yun Bei malah teralihkan begitu saja saat pintu toko terbuka. Menyaksikan seseorang melangkah masuk dengan cukup agresif.

"Feng Mei Lin," gumam Yun Bei, mematung pun pandangan terpaku pada Feng Mei Lin yang juga balik memandangnya.

"Masih berani kau kemari, apa kau sudah meninggalkan rasa malumu?" ujarnya sinis dengan tetap melangkah mendekat.

"Aku tidak sedang ingin ribut denganmu," balas Yun Bei datar, hendak melangkah menjauh.

PLAK!

Seketika semua pegawai dibuatnya melihat ke arah Yun Bei, tapi tak ada yang berani mendekat ataupun menghentikan selain Mo Zheng Yi. Melihat pipi putrinya yang memerah akibat tamparan yang cukup kuat barusan, bagaimana bisa seorang ibu akan berdiam diri, bukan? Bahkan sebagai ibunya saja, tak pernah Mong Zheng Yi menampar Yun Bei. Lantas, atas dasar hak apa yang dimiliki Feng Mei Lin saat ini? Feng Mei Lin yang mendapat tatapan tajam Mo Zheng Yi.

"Apa yang baru saja kau lakukan terhadap putriku di depan umum?"

"Jadi dia putrimu ... baik, aku beritahu padamu," ucapnya meremehkan. "Ajarkan putrimu untuk tidak lagi mengganggu putraku!"

"Mengganggu putramu? Apa kau yakin itu putriku yang mengganggu putramu bukan sebaliknya?!"

"Niang, hentikan. Mari kita pergi," ajak Yun Bei.

"Pantas saja putrimu tak tahu malu, ternyata menurun dari ibunya."

"Tarik kembali ucapanmu, tidak sepantasnya kau mengatakan itu pada ibuku," sahut Yun Bei yang mulai terpancing emosi. Siapa pun boleh mengejeknya, tapi tidak boleh jika itu menyangkut keluarganya.

"Kenapa? Merasa tersinggung karena itu benar?"

"Benar, aku kesal karena harus mendengar perkataan itu dari orang sepertimu. Tak tahu malu, perebut, penghancur, bahkan sekarang menjadikan putramu sebagai alat untuk memenuhi keinginan kotormu itu."

"Lancang!"

"Apa perlu aku mengatakannya dengan lebih keras?! Biar semua orang tahu seperti apa dirimu itu?!"

"KAU!"

Kembali melayangkan sebelah tangan, sementara Yun Bei diam menatap tajam dengan rahang mengeras. Tak berkedip sama sekali meskipun tahu Feng Mei Lin akan menamparnya. Dekat dan semakin dekat, bahkan Mo Zheng Yi mulai bergerak untuk menarik Yun Bei. Namun, Feng Mei Lin berhenti tepat saat tangan hampir mengenai pipi tertampar Yun Bei sebelumnya.

"Haruskah melakukan ini?!" bentaknya, tak kalah emosinya dengan Yun Bei. Dialah Jia Hou, orang yang menahan tindakan Feng Mei Lin.

"Kau membelanya? Apa masih perlu melakukan hal itu padanya?!" Menarik lepas tangannya dari genggaman menguat Jia Hou. Sadar, putranya ini memanglah marah.

"Dia adalah pelanggan tokoku, tidak seharusnya memperlakukan pelanggan dengan cara kasar," ucap Jia Hou yang terkesan menekan.

"Bilang saja kau masih peduli padanya! Apa kau lupa apa yang sudah dia lakukan padamu?!"

"CUKUP!" bentak Jia Hou lagi. "Ini tempat kerja, bukan rumah pribadi. Jika masih saja mencari ribut maka aku tidak akan segan-segan mengusirmu, Niang."

"Baik, bela saja terus wanita itu. Bela saja terus! Kita lihat sampai kapan kau akan membelanya." Melempar pandangan ke setiap orang yang terlibat, layaknya ingin menerkam. Pun Feng Mei Lin pergi, pintu toko terbanting cukup keras.

"Terima kasih, Jia Hou," ucap Yun Bei.

Enggan merespon bahkan melirik, Jia Hou berlalu begitu saja naik ke lantai dua dengan ekspresi datarnya. Sementara Yun Bei terus memerhatikan dengan netra yang kembali ingin menangis, tapi berusaha ditahannya.

"Maaf, aku mewakili semuanya benar-benar meminta maaf," ucap Ming Hai, merendahkan sebagian tubuhnya dengan tulus terutama pada Mo Zheng Yi.

"Itu bukan salahmu, tidak perlu meminta maaf," balas Yun Bei, membangunkan kembali Ming Hai.

"Ada apa dengan wanita tadi? Apa dia sedang kerasukan?"

"Niang, mari kita pulang. Aku akan menjelaskan semuanya di rumah," ajak Yun Bei.

"Jangan lupa mengompres pipimu dengan es jika tidak mau bengkak," tambah Ming Hai.

Yun Bei mengangguk, melangkah pergi dengan Mo Zheng Yi setelahnya. Namun, aura ketegangan dalam toko taklah hilang, beberapa pegawai bahkan diam-diam melirik Ming Hai. Untung saja tidak ada pelanggan lainnya saat pertengkaran terjadi. Dengan begitu, permasalahan lebih mudah Ming Hai selesaikan.

"Jika kalian berani membicarakan masalah barusan dengan orang lain ... maka bersiaplah angkat kaki tanpa mendapatkan sepeser pun uang, apa kalian mengerti?"

"Kami mengerti, jangan khawatir," balas salah satu pegawai, pun yang lain mengangguk paham.

Merasa semua terkendali, Ming Hai barulah naik ke lantai dua bergabung dengan Jia Hou yang sibuk mendesain rangkaian bunga-bunga di meja kerjanya. Entah memang sibuk atau hanya berupa pengalihan saja.

"Yun Bei sudah kembali, kulihat wajahnya sedikit bengkak dan memerah."

"Aku tidak bertanya."

"Aku hanya mengatakan, barangkali saja kau penasaran atau khawatir. Ternyata ... kau tak peduli sama sekali."

"Untuk apa aku khawatir pada orang sepertinya ...! Sudahlah, kembali bekerja sana."

Ming Hai tidak langsung pergi, melainkan memerhatikan Jia Hou sesaat. Mungkin, berusaha mencari tahu kebenaran akan perkataan Jia Hou barusan hingga Ming Hai tersenyum kecil. Sadar bahwa perkataan Jia Hou tadi tidaklah serius, melainkan bohong belaka. Barulah setelahnya, Ming Hai meninggalkan ruangan dengan Jia Hou yang melirik, membenamkan wajahnya kemudian pada kedua tangan.

Berhentilah memikirkannya, Jia Hou.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro