Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 59

"Apa sekarang ini rumahmu?"

Suara ini ....

Wajah tertunduk gemetaran itu perlahan diangkatnya, sepasang netra sembab dibiarkan seketika mengarah ke asal suara. Mendapati sosok pria yang paling tak ingin disakiti terdiam lurus memandang dirinya yang mematung, netra membulat Yun Bei pun tak lagi bisa atau bahkan tak mampu berkedip ketika buliran air mata luruh begitu saja.

"Ji-Jia Hou ... dengarkan aku, aku bisa menjelaskannya padamu."

"Kenapa? Kenapa kau masih saja melakukan hal ini?"

"Tidak, ini tidak seperti yang kau bayangkan. Aku kemari ... aku kemari ... hanya ...."

"Niang benar, aku sudah terlalu bodoh karena perasaan paling tak berguna di dunia ini. Sejak awal, aku harusnya mengikuti perkataannya. Aku memang bodoh, bodoh telah memberikan kepercayaan hanya pada seorang wanita."

Membawa tungkai menjauhi Yun Bei, ucapan dingin yang terlontarkan barusan sukses pula membekukan gerak langkah gadis ini. Menyaksikan Jia Hou mendekati mobilnya yang terparkir tak jauh pada trotoar jalanan. Pun akhirnya Yun Bei memaksakan tungkai kakunya bergerak, pelan-pelan mulai kembali terbiasa atau memang semata karena Yun Bei tak ingin pria itu pergi lebih jauh lagi. Setidaknya, keinginan kuat untuk menyusul itu mulai membiasakan langkah kaku hingga berlari kecil hanya untuk menghalangi Jia Hou yang jelas terbakar emosi.

"Dengarkan aku, dengarkan penjelasanku dulu, Jia Hou. Setelahnya, setelahnya kau boleh memutuskan apa pun, tapi setidaknya beri aku waktu untuk menjelaskan padamu."

"Sekali, pernah sekali diriku memaafkanmu. Sekarang ... kau melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya. Aku tidak punya hati selapang itu untuk terus memaafkanmu," tekan Jia Hou. "Minggir, tidak perlu repot-repot bagimu mengeluarkan air mata palsu," tambahnya lagi.

Bagaimana bisa Yun Bei bergerak dari posisinya setelah mendengar ucapan pedas seperti itu, bukan? Bahkan pria ini tak sama sekali memandang Yun Bei yang masih memohon tuk mendengarkan penjelasan, atau mungkin bagi Jia Hou saat ini yang sulit mengendalikan kemarahan, permohonan Yun Bei hanyalah suatu alasan belaka untuk meredakan emosi atau membenarkan sikap menusuk dari belakang yang telah dilakukan.

Alhasil, tak lagi ingin menunggu, Jia Hou menyingkirkan asisten wanita yang sekaligus kekasihnya ini secara paksa dari jalan perginya yang terhalangi.

"Jia Hou! Kumohon ...!" Menangis sejadinya, pun Yun Bei berusaha menahan isak tangisnya itu agar setidaknya mulut mampu mengucapkan sesuatu yang berarti. Terus menahan sebelah pergelangan tangan Jia Hou, mengerat bagai mencengkeram.

"Lepaskan, lepaskan atau aku ...."

"Setidaknya dengarkan aku dulu. Setelahnya kau bisa memutuskan akan bersikap seperti apa padaku," potong Yun Bei penuh pengharapan bersamaan suara gemetar tertahan yang tak bisa dikontrol tersebut.

Mendesah, memejamkan netra sesaat. Jia Hou kemudian menarik lepas dengan kasarnya pegangan Yun Bei seolah tak ingin berada sedetik pun di tempat yang sama dengan gadis ini. Pun tak peduli sama sekali setelah menjatuhkan Yun Bei. Lirikan, hanya itu yang Jia Hou lakukan tanpa ada niatan untuk membantu bahkan ketika tahu luka lecet menghiasi kedua telapak tangan Yun Bei.

Namun, tangisan yang terus-menerus Yun Bei keluarkan terdengar begitu memilukan, bagaimana bisa tangisan seperti ini dianggap alasan untuk menahannya saja, bukan? Akan tetapi, saat di mana Jia Hou mulai melunak, setidaknya sedikit saja. Saat itulah, seseorang memanggil-manggil Yun Bei termasuk pula mendekat. Niatan Jia Hou untuk membantu Yun Bei seketika sirna, kembali tergantikan oleh semacam kemarahan yang lebih lagi dari sebelumnya.

"Bangunlah," pinta Ren Cheng segera membantu, membangunkan Yun Bei termasuk pula memastikan tidak ada luka lain yang kemudian menatap Jia Hou tajam. "Kau gila, apa yang baru saja kau lakukan?!"

Enggan menjawab atau malah menolak mendengar, yang jelas Jia Hou melanjutkan langkah perginya kembali menuju mobil. Pandangan dingin, marah, kesal, dibohongi, diremehkan dan sebagainya bercampur aduk. Tak ada air mata, bahkan sedikit saja taklah terlihat.

Namun, Yun Bei jelas tahu hanya dari punggungnya, bahwa di antara mereka yang terlibat masalah ini, Jia Hou adalah sosok yang paling terluka dan tersakiti. Setiap langkah Jia Hou yang menjauh itu, bagaikan palu kuat yang menghantam dada, menyesakkan. Selain isak tangis, tak ada kata lagi yang bisa dikeluarkan Yun Bei.

"Jika kau pergi sekarang! Akan kupastikan kau tidak akan mendapatkannya lagi! Kau yakin akan pergi?!" teriak Ren Cheng, tapi Jia Hou tak sama sekali terusik. "Apa kau lupa perkataanku dulu?! Sekarang, aku benar-benar akan melakukannya!" lanjut Ren Cheng lebih lagi.

"Tentu aku akan berhenti, tapi ...! Setelah aku yakin sepenuhnya dia hidup dalam kebahagiaan dan aman sepenuhnya. Saat itulah aku akan tenang dan merelakan dirinya pergi. Jika tidak ... aku tidak akan menyerah ....

"... Karena itu, Jia Hou. Jika aku melihat dia menangis, terluka ataupun terancam ... maka saat itu pula, aku akan membawanya pergi menjauh darimu. Tidak akan kubiarkan kau ... mendapatkannya lagi," tekan Ren Cheng, pergi begitu saja setelah berhasil mendiamkan Jia Hou dalam keadaan tangan terkepal erat.

Ingatan itu sontak saja melintas, tapi Jia Hou tidak juga menghentikan langkah hingga dirinya masuk dalam mobil, melesat pergi tanpa melihat. Jangankan melihat, melirik sedikit saja dari kaca spion mobil yang perlahan menjauh itu pun tak dilakukannya. Tak juga terlihat ada air mata yang menggenang bahkan kaca-kaca saja tidak ada sama sekali, seolah lautan air matanya telah mengering hingga dirinya kembali bekerja seperti biasanya tanpa ada gangguan.

Namun, benarkah itu yang dirasakan Jia Hou? Benarkah dia setegar itu? Karena begitu malam tiba, tak lagi ada Jia Hou yang tegar. Yang ada hanyalah Jia Hou yang menenggelamkan diri dalam lautan air mata, terisak seorang diri dalam kamar mandi, meringkuk pada sudut ruangan. Bahkan langit sekalipun turut merasakan kesedihan tersebut, ikut menangis meredam suara tangisan Jia Hou dalam rumah pribadi nan dinginnya ini.

***

"Ge, sudah hampir tengah malam. Kurasa kita harus mencari sekarang sebelum Die dan Niang tahu," ujar Zhen Xi, melipat kedua tangan dalam udara lembap nan basah ini. Setidaknya hujan tak lagi turun, langit pun telah memperlihatkan kembali bintang yang sempat bersembunyi sebelumnya.

"Kita tunggu sebentar lagi ... hanya sebentar. Mungkin karena hujan tadi, dia terlambat pulang," balas Dao Yang tak tenang, pandangan terus berfokus pada jalanan berharap akan melihat sosok adik perempuannya.

Berawal dari 3 menit menanti, setelahnya 5 menit, 10 menit hingga 15 menit, Dao Yang akhirnya tak lagi bisa tenang dan berdiam diri. Mengeluarkan kunci mobil dari balik saku celananya dan saat itu pula, cahaya menyilaukan menghentikan langkahnya dan Zhen Xi, berfokus pada sorot cahaya kendaraan yang mendekat sebelum berakhir berhenti tepat di depan gerbang rumah mereka setelahnya.

"Maaf membuatmu khawatir, Dao Yang. Yun Bei ... dia ...."

"Terima kasih sudah merawat dan mengantarnya pulang, Ren Cheng," potong Dao Yang, jelas tahu adik perempuannya tak baik-baik saja.

"Jie! Kau benar-benar membuatku khawatir." Zhen Xi membantu Yun Bei turun dari mobil, pandangan fokus pada luka lecet di kedua telapak tangan kakak perempuannya ini. "Kau baik-baik saja, Jie?"

"Zhen Xi, masuk dan siapkan air panas dulu. Ingat, jangan biarkan Die dan Niang terbangun dan tahu," sela Dao Yang yang diikuti seketika Zhen Xi, buru-buru masuk ke dalam rumah.

"Maaf, sudah membuat semuanya jadi kacau begini."

"Tidak perlu meminta maaf, itu aku yang meminta Yun Bei bersedia menemui Paman Wang dan mendengarkan cerita dari Bibi Song," ungkap Dao Yang melihat prihatin Yun Bei yang termenung, mengalihkan pandangan kembali pada Ren Cheng. "Kau kembalilah, ini sudah malam."

Benar. Malam telah larut, pun Yun Bei butuh waktu istirahat. Lagian Dao Yang kini yang menemani. Namun tetap saja, Ren Cheng masih setia melempar pandangan pada Yun Bei sebelum akhirnya melangkah menjauh, masuk ke mobil dengan netra yang masih saja terus mengawasi. Barulah kemudian Ren Cheng melajukan mobil, meninggalkan Yun Bei bersama Dao Yang yang tampak berusaha menghibur.

"Ge ... Jia Hou, dia ...!" Air mata yang sekian kalinya keluar itu kembali mengalir, Yun Bei seketika menyenderkan kepalanya pada sang kakak. Sementara Dao Yang hanya bisa memberikan pelukan hangat, menepuk-nepuk bahu adiknya itu, dan begitu Zhen Xi muncul kembali setelah memenuhi tugas yang diberikan Dao Yang tadi, barulah ketiga saudara itu masuk ke dalam pekarangan rumah, duduk pada kursi taman.

Mungkin, Yun Bei ingin meringankan beban di dadanya dengan mencurahkan semua kenyataan terkait Feng Mei Lin pada kedua saudaranya yang tentu saja siap mendengarkan. Setidaknya itu lebih baik saat ini daripada menahan semuanya seorang diri dalam suasana dingin setelah hujan melanda sebelumnya, bukan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro