Part 9
Andrew pov
Samar-samar kudengar suara orang memuntahkan sesuatu. Aku mengernyit sambil menggeliat di atas tempat tidur, siapa pagi-pagi seperti ini sudah muntah?
Setelah kesadaranku hampir penuh, baru aku menyadari kalau suara itu milik Vanessa, dia mengerang dari kamar mandi.
"Vanessa, kamu kenapa?" aku bertanya dengan meninggikan suara supaya dia dapat mendengar. Sebenarnya aku sangat ingin menjumpainya di dalam kamar mandi, bagaimana pun aku cemas mendengar erangan kesakitannya, tapi keadaanku saat ini sangat tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Tubuhku tanpa sehelai benang pun saat ini, kebiasaan sehabis bercinta panas, sampai pagi akan tetap telanjang, jadi kalau di pagi harinya aku ingin bercinta lagi, tidak perlu repot melepas pakaian, tinggal tancap gas saja.
"Vanessa?" Seruku saat tidak terdengar jawaban darinya.
Beberapa saat kemudian ia keluar, menggunakan piyama-nya yang bergaun sutera, ia mengetatkan tali piyamanya, sambil sesekali melap mulutnya dengan handuk kecil. Mataku menatapnya cemas, dia kelihatan pucat dan itu membuatku khawatir.
Apa mungkin tadi malam aku terlalu kasar padanya?
"Kamu sakit?" nada cemas terdengar jelas pada suaraku. Tidak bisa kupungkiri, meski menikah tanpa cinta, tapi tiga bulan hidup bersamanya membuatku memiliki rasa sayang untukknya. Dialah wanita yang selalu menjadi menghilang sepiku setiap malam saat aku pulang bekerja, dan melihatnya sakit adalah hal terakhir yang kuinginkan.
"Maaf, aku membangunkanmu, ya?", gumamnya sambil tersenyum kecil, ia berjalan dan merapikan pakaian kami yang berserakan di lantai. Aku meringis membayangkan bagaimana aku dengan tergesa-gesa melepas seluruh pakaian yang kami kenakan tadi malam, melemparnya kesembarang arah karena tidak tahan lagi menunggu lama. Aku malu pada diriku yang tidak pernah bisa mengontrol gairahku bila sudah berada di kamar bersamanya, tidak sekali pun percintaan kami dilakukan dengan perlahan, selalu saja menggebu dan bagusnya selalu berakhir memuaskan. Bercinta dengan Vanessa tidak pernah membuatku puas, aku selalu ingin lagi, lagi dan lagi. Aku yakin, suatu hari nanti, istriku yang cantik itu akan menjadi sumber kehancuranku.
Saat Vanessa selesai merapikan kekacauan kamar, aku menarik lengannya hingga ia terduduk di sampingku. Saat ini memang masih jam empat pagi, tapi aku tidak mempermasalahkan aku yang terbangun karenanya, justru sekarang aku khawatir padanya, Vanessa terlihat kurang sehat.
"Kamu pucat, Nes," tanganku menyentuh keningnya, tidak hangat tapi ia lemas sekali.
"Aku nggak apa-apa, mungkin masuk angin karena semalam kebanyakan minum es, mungkin juga karena kelelahan." suaranya pelan, hampir berbisik.
"Tadi malam aku minta terlalu banyak, ya?" gumamku merasa bersalah. Aku menyisir rambutnya yang panjang dengan jariku, terasa lembut di tanganku yang sedikit kasar.
Dia menggeleng, dan aku melihatnya menutup mata. Ia menyandarkan kepalanya di dadaku yang telanjang kemudian memelukku dengan sebelah tangannya. Aku senang Vanessa bukan tipe wanita yang malu-malu, melihat bagaimana cara kami menikah, sudah seharusnya akan terasa canggung. Tapi bersamanya tidak, dan hal itu membuatku semakin bahagia menjadi suaminya. Ia nyaman bersamaku dan begitu pun sebaliknya. Ia tidak akan segan-segan memperlihatkan apa yang hatinya inginkan dariku, Vanessa membuatku merasa dibutuhkan. Dibutuhkan oleh istriku. Sebelumnya aku tidak percaya bahwa rumah tangga kami akan berjalan sebaik ini. Yah, bukannya dari awal aku sudah memikirkan hal-hal yang buruk untuk pernikahanku, hanya saja semua yang terjadi lebih dari ekspetasiku sebelum menikahinya. Tidak terbayangkan olehku kalau aku akan sangat menyayanginya seperti ini, melihatnya lemah--dan Vanessa tidak pernah lemah sebelumnya, ia selalu ceria dan bersemangat, tapi saat ini Vanessa tidak seperti biasanya.
"Apa yang sakit?" tanyaku pelan, sambil tetap menyisiri rambutnya. Dia kelihatannya menikmati apa yang kulakukan, tangannya yang sebelumnya berada di atas selimut kini memeluk leherku.
Karena Vanessa tidak memberitahukan keluhannya, dan membuatku semakin cemas padanya.
"Perutku rasanya mual banget, Drew," bisiknya parau.
"Kita ke dokter, ya!" usulku padanya. Tapi tampaknya ia tidak setuju, ia menggeleng pelan untuk menegaskan hal itu.
"Kamu ingin makan atau minum sesuatu?" aku mencoba lagi dan dia kembali menggeleng.
"Sebentar," aku mencoba melepas pelukannya karena mau memakai boxerku, kurang nyamannya rasanya telanjang di saat seperti ini, tapi Vanessa enggan melepasku. Sepertinya pagi ini Vanessa dalam mode manja-manja. Akhirnya aku mengalah, membawanya berbaring bersamaku kemudian menyelimuti kami berdua. Awalnya posisi tidurannya memunggungiku, tapi ia berbalik hingga menghadapku. Matanya menatapku seperti ingin mengatakan sesuatu tapi aku tidak tahu apa, cara memandangnya membuatku gugup.
Dengan cepat agar tidak mengganggunya aku mengambil minyak angin dari dalam laci meja di sampingku. Aku menyingkap selimut yang menutupinya, menaikkan piyama merah mudanya sampai di atas perut, kemudian dengan perlahan mengolesi minyak angin itu keseluruh kulit perutnya. Ia tidak menolak, sampai aku selesai ia tidak menunjukkan reaksi apa pun. Kemudian aku mengembalikan minyak angin itu ke tempatnya semula, dan posisi badanku juga kembali menghadapnya.
"Ada yang ingin kamu katakan?" tanyaku lembut, mencoba menyelami isi pikirannya saat ini. Aku terlahir dari keluarga yang tidak terlalu besar, saudara perempuan yang kumiliki hanyalah Amelia, itu pun tidak terlalu dekat. Dari usia tiga belas tahun aku sudah pergi ke Jakarta untuk sekolah, paman Max banyak memberiku pelajaran, bahkan sampai kematiannya dua tahun yang lalu ia tetap masih bisa memberiku petuah. Karena dialah aku menjadi pria yang gila kerja, perusahaan kakek, bisa seperti sekarang ini adalah hasil kerja kerasku selama bertahun-tahun. Kesibukan dan ambisi membuatku kurang mempunyai waktu untuk berhubungan dengan wanita, dan hal itu membuatku kurang memiliki pengalaman tentang mereka. Karena itulah saat ini aku sulit mengerti apa yang sedang Vanessa inginkan, dirinya terus membisu hingga membuat pikiranku menerka-nerka tidak jelas.
"Bagaimana kalau aku hamil?" setelah terdiam beberapa lama, akhirnya Vanessa bersuara.
Usapan tanganku di punggungnya terhenti mendengar pertanyaannya, aku menatapnya dalam. Sebenarnya tidak ada yang salah jika dia hamil, bukankah itu hal yang wajar mengingat kami sudah menikah dan hampir setiap malam kami habiskan dengan bercinta. Sungguh, membayangkan kami akan mempunyai putra atau putri yang mungil membuat dadaku sesak akan kebahagiaan, aku mengingini buah hati darinya. Tapi kenapa sepertinya dia tidak senang dengan kemungkinan itu, sorot matanya terlihat tertekan.
"Memangnya kenapa?" pertanyaannya kujawab dengan pertanyaan, aku tidak tahu mau menjawab apa lagi. Dan aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba Vanessa membicarakan tentang kehamilan.
"Aku nggak mau hamil."
Aku tersentak mendengar hal itu. Aku tahu dan sadar kalau Vanessa masih muda, tapi seharusnya ia sudah berpikir tentang hal itu sebelum menyetujui menikah denganku.
"Aku terlambat datang bulan."
Mungkin karena itulah Vanessa membuka topik tentang kehamilan. Aku mencoba menjadi pendengar yang baik untuknya, berusaha tidak mengeluarkan semua isi kepalaku saat ini.
"Sudah beberapa hari terakhir ini aku mual-mual."
"Kenapa nggak bilang?"
"Kupikir itu karena masuk angin dan kecapean, Drew! tapi...tapi..
Tadi...aku mual lagi,..aku...aku..takut..." gumamnya serak, air mata mengalir dari pipinya.
"Ssshhhttt..." ujarku menenangkan, aku memeluknya yang sedang terisak. "Nggak ada yang salah dengan itu Vanessa, aku bahagia menjadi seorang ayah, dan aku yakin...."
"Tapi aku nggak bahagia, dan aku nggak yakin." Ujarnya ketus menghentikan kalimatku, "kalau aku hamil aku jadi gendut, aku nggak akan bisa kerja lagi."
Sakit rasanya mendengar istri yang kau sayangi tidak mau hamil anakmu hanya karena alasan tidak mau gendut dan terhalang bekerja, padahal gendut pun aku tetap sayang padanya, tidak bekerja pun aku masih mampu menghidupinya.
"Lagi pula," aku terdiam, "belum tentu kamu sedang hamil, Vanessa." Jujur, aku sangat ingin ia hamil anakku, melahirkan bayi yang akan memanggilku ayah nantinya, tapi sepertinya aku harus menenangkan rasa takut Vanessa dulu.
"Aku yakin aku hamil. Aku tahu," ucapnya tajam, "bagaimana kalau aku terbukti hamil?"
"Kita akan membesarkannya sama-sama. Kamu dan aku pasti akan menjadi orang tua yang hebat." Aku melontarkan senyuman padanya, berharap ia mengubah rasa bencinya hamil menjadi menyukainya.
Vanessa mendengus tidak suka kemudian membalik badannya memunggungiku, terdengar dia menggerutu tapi aku tidak tahu apa yang dia katakan. Aku memeluknya dari belakang, meletakkan kepalaku di lehernya yang beraorama lembut kemudian menyaksikannya tertidur lagi, sementara aku, tetap terjaga memikirkan tentang apa yang dikatakan Vanessa tadi.
***
Satu hari ini aku tidak konsentrasi dalam bekerja, semua meeting berantakan dan berakhir membuatku emosi. Tadi pagi aku dan Vanessa sempat bertengkar sedikit, dia pergi tidak pamit padaku. Di saat aku sedang mandi dia pergi dan sampai saat ini, sudah pukul lima soreh, belum sekali pun dia menghubungiku. Sms yang kukirim tidak mendapat balasan, puluhan kali aku meneleponnya tapi tidak diangkat, aku lama-lama stres kalau dia seperti ini.
Jam tujuh pagi tadi Vanessa kembali muntah-muntah lagi, hal itu semakin menegaskan dugaan yang saat ini sedang bersemayam di dalan kepalaku. Aku meminta, bahkan memohon padanya agar kami pergi ke rumah sakit, tapi dia dengan keras menolak, membuatku bertambah frustasi.
Getaran ponselku di atas meja mengalihkan pikiranku.
Pesan dari Vanessa
Setelah satu harian ini wajahku kusam, barulah aku bisa tersenyum. Akhirnya ia membalas pesanku, walau pun sebenarnya aku lebih suka dia menelepon. Satu harian tidak mendengar suaranya membuatku rindu. Meski dia wanita bawel, cerewet juga manja, tapi hanya wajahnya yang selalu berputar-putar di mataku.
Tapi kemudian, senyum di bibirku yang beberapa detik yang lalu terlontar, kini hilang saat aku membaca pesannya.
Aku ke Bandung. Pulang malam.
Hanya itu.
Apakah tiga bulan ini hanyalah semu baginya, tidak ada artinya sedikitpun?
Aku mengetik kemudian membalas pesannya agar dia hati-hati dan cepat pulang.
Aku tersenyum getir, seharusnya aku marah padanya. Dia itu istriku, kalau ingin pergi seharusnya membicarakannya dulu denganku. Bukan seperti ini, memberitahuku saat dia sudah pergi.
Aku menghela napas lelah, inilah resikonya menikahi gadis muda, harus lebih sabar dan sering mengalah. Sudah terlanjur sayang, yah mau diapakan lagi.
***
Hari sudah gelap saat aku pulang ke rumah, sekarang sudah pukul delapan malam. Aku mengeluarkan kunci dari tasku kemudian membuka pintu. Ruangan gelap saat aku masuk ke dalam, hanya lampu di ujung lorong yang hidup, lampu itu memang tidak pernah dimatikan. Setelah Susan dipecat dan belum mendapat penggantinya, tidak ada yang menghidupkan lampu. Biasanya Vanessa yang akan melakukannya kalau pulang lebih awal dariku, tapi sekarang dia tidak ada di sini.
Aku menghela napas berat dan memijit keningku yang terasa pusing, aku tidak habis pikir, hanya karena masalah kehamilan membuat kami seperti ini. Seharunya pasangan suami-istri akan merasa bahagia jika akan menjadi orang tua, tapi sepertinya tidak dengan istriku.
Setelah menghidupkan lampu teras dan lampu ruang tamu, aku menghempaskan diriku ke atas sofa lalu menyandarkan kepalaku, mengistirahatkan tubuhku setelah seharian ini lelah fisik dan pikiran karena ulah Vanessa.
Sudah jam sebelas saat aku terbangun, aku tidak sadar sudah tertidur di sofa ruang tamu. Aku menatap ke sekitar, sepertinya Vanessa belum juga pulang.
Aku mengeluarkan handphone dari saku celana, bermaksud meneleponnya. Aku benar-benar menyedihkan, tidak sedikit pun dia memedulikanku tapi aku malah sangat mencemaskannya saat ini.
Sambungan teleponku masuk tapi dia tidak mengangkatnya, beberapa kali kucoba tapi hasilnya tetap sama. Kucoba sekali lagi tiba-tiba handphone-nya tidak aktif.
Ya Tuhan. Kepalaku bertambah pusing.
Tidak berapa lama terdengar suara mobil di depan rumah. Sontak aku berdiri kemudian berjalan cepat menuju luar. Aku lega sekaligus marah padanya. Lega karena dia pulang dengan selamat dan marah karena dia mengabaikan teleponku.
Baru aku membuka pintu, aku melihatnya, aku melihatnya di antar oleh si bajingan Ethan yang sangat kubenci setengah mati. Kepalaku rasanya ingin meledakkan kemarahan, aku ingin menghantam sesuatu.
Jadi beginilah, aku khawatir hampir gila karenanya dan dia malah pergi bersama pria itu. Aku tidak tahu kenapa, rasanya sakit sekali melihatnya tersenyum seperti itu pada laki-laki lain. Pagi tadi dia memaki-makiku yang menurutnya pria tidak pengertian. Apakah maksudnya aku harus pengertian jika melihat istrinya pulang tengah malam diantar oleh pria yang hampir memerkosanya?
Persetan dengan pengertian sialan itu.
Mobil Ethan berlalu pergi, dan sangat menakjubkan mereka berdua tidak menyadari keberadaanku di depan pintu.
Vanessa berjalan kemudian matanya menatapku, matanya terlihat terkejut.
Kenapa?
Dia malu ketahuan berduaan dengan laki-laki lain?
Damn!
Aku masuk ke dalam rumah dan membanting dengan keras pintu di belakangku. Meninggalkannya mematung di luar.
Baiklah, aku akan mengikuti caranya. Dia ingin bermain kekanak-kanakkan? Aku juga bisa. Dia melampiaskannya dengan pergi dengan si bab* itu, aku akan mabuk malam ini. Langkahku memburu berjalan ke ruang bawah tanah, tempatku menyimpan anggur-anggurku dan tempatku menyendiri, tidak ada seorang pun yang tahu tempat itu selain aku dan paman Max. Biar Vanessa bingung mencariku, itu pun kalau dia memang peduli padaku.
Aku tersenyum kecut dengan nasibku saat ini.
Sial.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro