Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 4

Andrew pov

"Terimakasih atas semua masukan, saran dan kerja keras kalian untuk menyelesaikan proyek ini," aku mengedarkan pandangan ke masing-masing karyawan yang ikut meeting hari ini. "saya menghargai itu".

Setelah semua staf keluar ruang meeting, aku terduduk di kursiku. Melipat kedua tanganku di atas meja kaca berwarna hitam, kemudian menghela napas.

Dua minggu terakhir ini adalah saat-saat paling sibuk untukku, banyak pembangunan yang butuh perhatian khusus karena kelalaian sebagian besar staf-staf setiap divisi, semuanya harus kutangani dengan serius supaya tidak terjadi kerugian. Kepalaku semakin pusing saat mendengar bahwa perkebunan kelapa sawit ayah di Palembang mengalami kebakaran yang cukup parah. Musim kemarau yang berkepanjangan adalah penyebabnya, berpuluh-puluh hektar habis dilalap api. Kondisi ayah yang tidak sekuat dulu membuatnya tidak lagi sanggup mengatasinya sendiri, ayah menghubungiku supaya membantunya. Sebagai putra satu-satunya, hal itu sudah pasti menjadi kewajibanku. Karena situasi di perusahanku juga masih dalam keadaan sulit, aku menugaskan Rio yang menghandle keadaan di Palembang. Aku sangat berharap dia bisa segera mengatasinya, Rio karyawan yang bisa diandalkan. Karena itulah, meski kelakuannya di luar pekerjaan sangat jauh dari kata terpuji, aku masih tetap mau memperkerjakannya di kantorku. Pernikahanku yang hanya tinggal menghitung hari juga ikut menyumbang kesibukan untukku. Walau kedua orang tua Vanessa dan juga orangtuaku turut membantu, tapi aku tidak mungkin tidak mengambil bagian. Apa lagi acara itu adalah pernikahanku sendiri, sudah tugasku ikut membantu.

Di antara semua itu, yang membuatku paling stres adalah Vanessa. Calon istriku itu seperti tidak merasa punya calon suami sama sekali dan kelakuannya tidak menunjukkan kalau sebentar lagi akan menikah, dia masih berkelakuan sesukanya.

Aku tahu profesinya sebagai model mengharuskannya berpenampilan menarik. Tapi menurutku tidak harus berpakaian yang sangat terbuka. Rasanya sudah semua cara kulakukan untuk melarangnya memakai pakaian yang kurang bahan, tapi rasanya semua yang kukatakan seperti masuk dari telinga kiri kemudian keluar dari telinga kanan. Tidak ada gunanya sama sekali. Aku juga tidak mungkin menyuruhnya berhenti menjadi model, bisa-bisa dia ngamuk dan malah membatalkan pernikahan.

Hey, bukannya aku posesif. Tapi di sini aku adalah calon suaminya, aku tidak rela para laki-laki bajingan di luar sana menikmati tubuh gadisku. Rasanya ingin sekali aku mencongkel setiap mata yang menatap pinggul, dada, kaki, bibir atau pun matanya yang indah.

Oke. Aku cemburu dan posesif.

Tapi seharusnya Vanessa tahu hal itu. Berulang kali aku kesal dibuatnya karena seakan tidak peduli dengan rasa cemburuku. Dia bisa tenang, karena aku tidak akan pernah tergoda pada wanita lain, hanya dia satu-satunya wanita yang mampu mencuri perhatianku.

Sedangkan aku?

Setiap detik, menit dan jam yang kulewati tanpa bersama dengan dirinya, membuatku bertanya-tanya. Apakah dia setia padaku? Mungkinkah dia tergoda pada laki-laki yang usianya tidak terlalu tua sepertiku? Apakah dia pernah memikirkanku saat kami berjauhan? Berapa banyak pria yang mendekati dan mencoba mencuri hatinya?

Sial. Semua itu membuatku frustasi.

Tapi tidak ada yang bisa kulakukan. Aku takut, bila semakin dikekang Vanessa akan lari dariku.

Bukan apa-apa, masalahnya dia sudah mengambil hatiku. Kalau dia lari dan menjauh, hatiku mungkin tidak akan kembali lagi.

Aku cengeng?

Terserah.

Sepertinya pasokan kesabaranku akan terkuras habis setelah menikah dengan Vanessa nanti. Dia sungguh gadis yang tidak bisa diprediksi. Seperti sekarang ini, saat semua orang sibuk mempersiapkan pernikahannya, dia malah sibuk berfoto-foto. Foto modeling maksudnya.

Hingga pernikahan sudah menghitung hari, dia masih saja pergi bekerja. Kalau lokasi tempat dia bekerja masih di Jakarta, seperti tempatku bekerja, masih bisa dimaklumi. Tapi sayangnya tidak, saat ini dia sedang berada di Sumbawa. Negri antah beranta yang katanya sangat indah, tapi aku sama sekali tidak tertarik. Tumpukkan-tumpukkan kertas yang ada di atas meja kerjaku saat ini saja sudah membuatku kelelahan setengah mampus, mana ada waktu untuk yang seperti itu.

Semua keluarganya sudah melarangnya pergi ke luar kota. Termasuk aku, calon suaminya, dengan tegas melarangnya bepergian saat di hari-hari terakhir menjelang pernikahan, tapi yang sedang kita bicarakan di sini bukan gadis biasa.

Ya, menurutku calon istriku ini wanita jadi-jadian. Kuakui dia cantik. Kecantikannya lah yang membuatku terpesona padanya saat pandangan pertama. Dia sexy, hampir semua pria mengakui hal yang satu ini. Di usianya yang masih 19, tubuhnya sudah sangat berisi di tempat-tempat yang tepat dan sering membuatku hampir hilang pengendalian diri. Dan dia gadis yang ceria, tampaknya Vanessa tidak menyia-nyiakan masa mudanya. Dia tipe gadis yang mampu menyemarakkan suasana yang sedang lusuh, tidak jarang dia merubah moodku yang awalnya jelek menjadi baik. Itu semua bisa terjadi hanya karena tingkah-tingkahnya yang unik, Vanessa adalah gadis aneh tapi menarik.

Tapi sayang, semua itu harus ternoda karena kekeras kepalaannya yang luar biasa. Tidak akan ada yang menyangka, di balik tubuh tinggi langsing, sexy dan cute-nya itu, tersimpan kepala batu yang keras sekali.

Terkadang, aku berpikir apakah menikah dengannya adalah keputusan yang tepat?

Aku tidak menyalahkan Vanessa yang masih ingin menjalani kehidupan bebas. Demi Tuhan, dia masih 19. Masih sewajarnya gadis seusianya melakukan semua itu. Tapi yang akan kami jalani nanti bukanlah sebuah lelucon, kami akan menikah dan seharusnya dia menyadari itu.

Menjalani sebuah pernikahan bukan hal yang mudah, apa lagi untuk pasangan yang tidak terlalu mengenal satu sama lain seperti kami.

Kembali aku menghela napas dan meremas rambutku yang sudah sedikit panjang. Minggu lalu aku sudah akan memotong rambutku, tapi Vanessa melarang. Katanya enak kalau mau jambak waktu kami bercinta nanti, dan dengan bodohnya aku menuruti permintaannya itu.

Dengan bodohnya aku terkekeh mengingat nada bicaranya waktu itu, nada suaranya ditarik-tarik dengan serak dan mimik wajahnya sangat lucu. Harus kuakui dia gadis muda yang manja, tapi anehnya aku masih tetap menyukainya.

Aku menatap keluar kaca jendela, letak gedung yang berada di Lantai 30, membuatku bisa memandang sampai jauh. Matahari soreh bersinar lembut, ada sedikit awan hitam yang menggantung di langit.

Pikiranku menerawang ke 3 hari yang lalu. Rabu soreh hampir jam pulang kerja, papi Vanessa datang menemuiku di kantor. Tentu hal itu membuatku terkejut, tapi apa yang menjadi tujuan kedatangannya yang menjadi perhatianku.

Dia dengan terus terang memintaku untuk menjaga putrinya, yang tidak lain adalah Vanessa. Dia mengakui bahwa putrinya adalah gadis yang sangat manja, dan keras kepala. Dia bercerita betapa ia sangat menyayangi putrinya itu, dan ia tidak ingin putrinya tidak bahagia, oleh karena itu secara pribadi ia memintaku untuk bisa bersikap sabar dalam menghadapi Vanessa jika kami sudah menikah nanti.

Aku sebagai calon suami Vanessa tentu saja mengiyakan hal itu. Sudah menjadi kewajibanku menjaga dan membahagiakannya, termasuk menerimanya apa adanya. Aku bukan lagi remaja yang tidak bertanggung jawab, usiaku sudah mapan. Apa yang keluar dari mulutku harus bisa kupertanggungjawabkan. Aku sudah setuju menikah dengan Vanessa, itu berarti aku harus melakukannya dengan sungguh-sungguh.

Yang bisa kulakukan saat ini adalah berdoa, semoga setelah menikah Vanessa bisa sedikit merubah sifat keras kepalanya. Karena jika tidak, aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan padanya.

Ponselku berbunyi di atas meja, tanda ada pesan masuk. Aku tersenyum membaca nama kontaknya di ponselku.

'My love'.

Vanesa mengubahnya saat mengetahui nama yang kupakai untuk kontaknya hanya nama lengkapnya tanpa embel-embel sayang. Aku tidak keberatan dengan hal seperti itu asal tidak semakin berlebihan.

From: My love

Beib, sore ini aku balik. Kamu mau oleh-oleh apa?

Me: terserah kamu.

Aku membalas apa adanya. Meski begitu aku tidak bisa menghentikan perasaan senang di hatiku. Sudah satu minggu Vanessa keluar kota, dan selama itu dia tetap terus menghubungiku. Ralat, sesekali dia menghubungiku. Dan saat akan pulang dia masih mengingatku, sudah lumayan. Biasanya juga tidak pedulian dianya.

From my love: susu kuda liar, mau?

Apa-apaan??

Bahkan Vanessa melampirkan seekor kuda yang sedang di perah susu-nya. Apakah seminggu berada di tempat asing membuat otaknya bergeser?

From: my love
Katanya bagus loh, beib. Buat nambah stamina.

Tidak kubalas.

From: my love
Buat malam pengantin.

Juga tidak kubalas.

Aku yakin saat mengetik semua pesannya bibirnya pasti senyum-senyum. Vanessa sangat suka membuatku kesal,,dan dia sering melakukannya.

From: my love
Kok aku jadi mesum ya, beib?? Aku ngebayangin kamu....terus....lalu...kemudian....

Oke. Fix. Vanessa sudah gila.

----

Duduk di atas tempat tidurku, Mataku menatap tidak percaya pada empat botol susu kuda liar yang Vanessa letakkan di atas nakas, kemudian ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Vanessa di dalam sedang mandi, setelah tiba di Jakarta tadi dia tidak langsung pulang, malah datang ke rumahku. Katanya mau memberiku oleh-oleh. Kupikir dia hanya bercanda saat mengatakan akan membelikanku susu kuda liar, tapi nyatanya dia serius. Bahkan sangat serius, empat botol sudah menunjukkan betapa seriusnya dia.

"Buat apa semua ini?" tuntutku padanya saat dia keluar dari kamar mandi. "Aku nggak ada menyuruhmu membelinya."

Hanya dengan memakai kemeja hitamku yang panjangnya hampir tidak menutupi bokong sintalnya, Vanessa berjalan ke arahku.

Mataku menatapnya tajam, tapi tampaknya gadis yang satu ini tidak terpengaruh sedikitpun. Kaki putih, jenjang dan telanjangnya melangkah dengan ringan. "Itu buat kamu, beib." Jawabnya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. "Kamu memang nggak nyuruh aku beli, tapi aku pengen beli aja." Dia nyengir tanpa beban sedikitpun.

Aku sekuat tenaga mengenyahkan pikiran-pikiran kotorku saat melihat gerakannya mengeringkan rambut yang membuat kemeja yang dikenakannya naik hingga membuat celana dalamnya terlihat.

Oh, God.

"Aku nggak mau. Bawa pulang lagi saja, kalau nggak kamu yang minum."

"Kok kamu gitu sih, beib? Aku udah capek-capek bawain, kamu nggak tahu itu susu berat banget loh," gumamnya kesal dan bibirnya mengerucut lucu, membuatku ingin menciumnya.

Sial. Sekarang kan ceritanya aku lagi kesal, kok jadi terpengaruh sama tingkahnya?

"Salah sendiri kenapa beli."

"Aku perhatian sama kamu, Drew."

"Bukan dengan membeli susu kuda liar juga. Kan bisa dengan cara lain. Dengan menuruti perkataanku, misalnya??"

"Iiss," Vanessa menghentak-hentakkan kakinya seperti remaja lagi ngambek. "Kamu tuh ya nggak ada manis-manisnya. Udah di beliin, bilang makasih kek, apa kek," dia ngomel.

"Aku nggak mau minum ini." Kataku berkeras. Memangnya aku bayi?

"Kenapa?" Handuknya dia letakkan di gantungan kemudian bersedekap menyorot padaku. Matanya yang berwarna coklat menatapku intens.

Wah, saat matanya menatapku tajam seperti saat ini, dia kelihatan sangat sexy. Di tambah celana dalam merahnya yang mengintip dari balik ujung kemejanya, membuatku menegang seketika. Tapi aku tidak akan kalah padanya, aku tidak akan membiarkan gadis muda sepertinya memperdaya pria dewasa sepertiku.

"Aku nggak suka susu." aku menjawab pertanyaannya.

Setan. Kenapa suaraku jadi serak?

Bibir mungil merah mudanya tersenyum, senyuman jahil yang sudah kukenal darinya. Saat dia tersenyum seperti itu, pasti akan ada hal enak yang akan terjadi.

"Kamu nggak suka susu?"

"Hm.!"

Sekarang dia berada di depanku. "Apakah...kamu juga nggak suka susu yang," Vanesa memutus kalimatnya, tangannya menarik kedua tanganku dan menempatkannya di atas kedua payudaranya. "Ini??" Senyum merekah di bibirnya.

Kalau biasanya gadis muda akan malu dan memerah bila berada dalam situasi seperti ini, tapi tidak dengan calon istriku yang ada di hadapanku sekarang.

Tampaknya julukan 'wanita jadi-jadian' yang kuberikan padanya dulu benar adanya.

Demi benih-benih Rio yang telah bertaburan dimana-mana, Vanessa masih 19 tahun. Apakah kehidupannya yang terlalu bebas membuatnya seperti ini?

"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku, tanganku masih belum beranjak dari dadanya. Bahkan sekarang mulai meremas pelan. Meski dibalut kemeja, payudaranya terasa sangat lembut di tanganku.

Hey, jangan menghujatku. Aku pria normal, dan saat di berikan kesempatan seperti ini mana mungkin aku menolak. Lagi pula Vanessa adalah calon istriku, dalam hitungan hari kami akan menikah. Jadi tidak masalah bersenang-senang sedikit.

Terdengar kekehannya. "Apa kamu suka susu yang ini??"

"Lebih dari suka?"

Tiba-tiba dia menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang kemudian memelukku dari samping. "Seberapa suka?"

"Sangat...sangat...suka," gumamku dengan suara serak.

"Aku kangen sama kamu," bisiknya.

"Aku juga," nada suaraku sepelan nadanya. Kemudian aku mulai menindih tubuhnya, matanya menatapku dengan pandangan yang tidak kumengerti.

"Kamu serius?" Vanessa kelihatan tidak percaya.

Dadaku hampir menekan dadanya. "Tentu saja, kamu calon istriku."

Bibirnya tersenyum. "Drew?"

"Hm?"

"Aku pengen!"

"Pengen apa?"

Tiba-tiba wajahnya memerah. "Aku pengen...."

"Pengen apa, Vanessa?" Desakku padanya.

"Pengen kamu grepe-grepe aku!" Jawabnya tapi tidak berani menatap ke arahku.

"HAH?"

"Haaaa, udalah nggak jadi," gumamnya kesal saat aku masih bergeming di posisiku.

Dia sudah akan turun dari tempat tidur saat aku menarik dan kembali menindihnya. Okelah, mari kita bermain-main sedikit.

Jari-jariku dengan perlahan membuka kancing kemeja Vanessa dan dia tidak menolak sedikit pun. Saat semua kancingnya terbuka, payudara telanjangnya terlihat sangat lembut. Puting merah mudanya seakan menyuruhku untuk segera menghisap dan mengulumnya.

"Suka dengan apa yang kamu lihat?"

"Sangat"

Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Saat kami bersama, perasaan yang kurasakan padanya sungguh luar biasa. Seakan ada sesuatu, seperti tali yang mengikatku dengannya. Sejak pertama kali bertemu dengannya, semua isi kepalaku adalah tentangnya. Dan semakin aku mengenalnya, semakin aku tidak mau lepas darinya.

Walau dia gadis aneh yang keras kepala, tapi hanya dia yang bisa membuatku menginginkan pernikahan. Rio sampai mengataiku gila dengan semua kelakuan konyolku belakangan ini. Dan sepertinya aku harus mengakui hal itu.

Vanessa membuatku gila.

"Aku nggak suka susu kuda liar..."

"Tapi?"

"Aku suka susu wanita liar."

Kemudian mulutku menghisap putingnya dengan rakus, sementara payudaranya yang lain kuremas-remas. Teksturnya yang lembut dan sangat pas di tanganku membuatku semakin bergairah.

"Ssshh...aahh...uugghh," desahan dan erangan lolos dari mulutnya saat lidaku menjilat-jilat di sekitar putingnya yang mengeras.

Pinggulnya di bawah sana bergerak-gerak tidak bisa diam, menuntut lebih. Tanganku menangkup kewanitaannya yang masih dibalut celana dalam.

"Hentikan itu!"

Vanessa mengerang dan masih tidak mau berhenti, "hhmm," lidahnya menjilati bibirnya.

"Vanessa!"

"Aku pengen, Drew?"

"Nggak."

"Ssshh...Drew!!!"

"Nggak sebelum kita menikah."

Vanessa mendorongku karena kesal, kemudian tidur dengan telungkup, kepalanya tenggelam di bantal.

Aku menghela napas. Kenapa jadi begini?

"Vanessa," aku mencoba membujuknya.

Dia diam hanya menggeleng.

Aku menarik selimut untuk menutupi bokongnya yang hanya terbalut celana dalam, kemeja yang dikenakannya sudah awut-awutan. Aku ikut berbaring di sebelahnya, kemudian memeluk pinggangnya yang ramping.

"Kamu marah?" tanyaku pelan.

Vanessa diam.

"Sayang?" aku mencoba taktik lain. Baru kali ini aku memanggilnya sayang, Rio bilang gadis ABG itu sangat suka yang lebay-lebay. Dan sepertinya Rio benar, karena sekarang Vanessa membalikkan badan menghadap ke arahku.

"APA?" desisnya marah.

"Kamu cantik saat marah," godaku.

"Nggak ngaruh," dia semakin ketus, tapi pipinya merona.

Dasar labil.

Saat mataku melirik payudaranya yang terbuka, dengan cepat dia menarik selimut untuk menutupinya.

"Kok di tutup?" Aku mengangkat alis.

"Suka-sukaku lah, susu-susuku kok." katanya ketus dan bibirnya mengerucut kesal.

Bibirku tersenyum melihat mimik wajahnya yang menggemaskan, aku mengecup bibirnya cepat.
"Tapi aku belum puas menyusunya." Oke, sepertinya kegilaanku bertambah parah. Bagaimana mungkin kalimat seperti itu keluar dari mulutku.

"Nggak peduli aku." setelah mengatakan itu dia berbalik lagi memunggiku.

"Vanessa?"

"Hhmm?"

"Kamu serius mau nikah denganku?"

Dia berbalik. "Sorry, bukankah sedikit terlambat bertanya seperti itu sekarang. Pernikahan kita tinggal menghitung hari, udah terlambat kalau mau dibatalkan."

"Memangnya kamu mau membatalkan?"

"Aku nggak ada bilang mau batalin. Iiss, kamu kok jadi ngeselin gini, sih?"

"Ngeselin gimana?"

"Ah, udalah. Aku ngantuk, mau tidur. Nggak asik punya tunangan nggak bisa diajak senang-senang."

Semakin erat kupeluk dia, untung dia tidak menolak.

"Kalau sudah nikah, kurangin manjanya, ya!"

"Hm"

"Kurangin juga keras kepalanya!"

"Hm"

"Vanessa?"

"Hm."

"Kamu tidur?"

"Hm."

Aku melirik ke arahnya kemudian menghela napas, Vanessa sudah setengah tidur. Entah kenapa, menatap wajahnya yang polos saat tidur membuat perasaanku hangat. Tidak ada tampang mengesalkan yang selalu menguji kesabaranku di wajahnya yang manis, saat tidur dia terlihat seperti gadis polos yang malu-malu. Padahal kenyataan yang sebenarnya sangat jauh berbeda, saat sadar dia seperti gadis titisan dewi keusilan.

Ya, kalau dewi sepertu itu ada.

Mengecup keningnya, kemudian aku turun dari tempat tidur. Saat aku akan melangkahkan kaki, mataku melihat kembali susu kuda liar yang di beli Vanessa.

Aku meringis membayangkan akan meminum susu itu, apa lagi saat mengingat foto kuda liar saat di perah susunya yang dikirim Vanessa tadi sore.

Punya tunangan seperti Vanessa sudah membuatku tidak keruan. Apalagi saat sudah menjadi istriku nanti, entah apa yang akan terjadi pada pernikahan kami.

Satu hal yang pasti, tidak akan membosankan.









Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro