Part 3
Vanessa pov
07:30 pagi.
Aku sudah rapi, cantik dan tentunya sexy. Kalau yang satu itu pake banget malah.
Berdiri di depan cermin berbingkai ukiran-ukiran burung mungil hadiah dari fans saat ulang tahunku yang ke 18, aku melirik penampilanku yang udah oke abis. Kepedean dikit boleh lah yah, lagian aku memang cantik kok.
Gaun merah bella berbahan sutera yang panjangnya sedikit di atas lutut, membalut manis tubuhku yang tinggi semampai. Roknya mengembang lembut, memperlihatkan Kakiku yang panjang dan putih mulus. Aku memadukannya dengan flat shoes berwarna senada, tali-talinya melingkari dari pergelangan kakiku hingga setengah betis. Aku memakai make up tipis dan seadanya, tidak ingin membuat kesan berlebihan saat bertemu calon suamiku.
Yeah, Andrew Millard, calon suamiku. Aku akan menemuinya.
Sekarang sudah satu minggu sejak pesta ulang tahunku, dan dia belum sekali pun menampakkan wajahnya atau pun menghubungiku atau pun mengirimiku pesan.
Ethan meneleponku dan meminta maaf, dia memberikan penjelasan kenapa dia bisa sampai keluar batas. Dia mengakui kalau dia sudah menyukaiku sejak lama, tapi dia juga mengatakan kalau apa yang terjadi di malam pesta ulang tahunku sepenuhnya karena dia mabuk. Setelah sadar keesokan harinya, dia menyesal dan aku sebagai teman yang baik harus mau memaafkannya.
Sesaat setelah aku berbicara dengan Ethan, aku menghubungi Andrew, tapi tidak diangkat. Aku mengirim pesan tapi tidak dibalas, aku tidak tahu apa sebenarnya maunya laki-laki itu. Padahal aku sudah merendahkan diriku dengan meminta nomor ponselnya pada papi, aku rela menjadi orang pertama yang menelepon, tapi dia seakan cuek dengan itu semua.
Jelaslah aku kesal. Dia terkesan cuek sedangkan aku sudah dihantui wajahnya---yang dengan terpaksa harus kuakui sangatlah tampan dan sialan menggiurkan, siang dan malam. Dan bukan hanya sekali dia hadir dalam mimpiku, mimpi indah sekaligus buruk secara bersamaan.
Aku mendengar dia tetap berkomunikasi dengan papi, membicarakan tentang pernikahan kami di belakangku. Sesekali datang mengunjungi butik-nya mami, dia juga mengobrol panjang lebar di sela-sela waktu senggangnya. Tak lupa juga dengan kakak-kakakku yang lain, dia sudah semakin akrab dengan mereka. Pokoknya hanya aku yang tidak di temuinya.
Bukankah dia pria yang menyebalkan? Di sini aku adalah calon istrinya, tapi malah aku yang dia abaikan.
Oleh karena itu, pagi ini aku memutuskan untuk menemuinya
Dan menanyakan padanya kenapa dia mengabaikanku. Aku mengambil tas selempangku kemudian berjalan ke luar kamar.
***
Pagi, Pi. Pagi Mi, pagi semua," aku mencium pipi papi dan Mami, memberikan senyum secerah mentari yang kumiliki.
Kak Melda, kakak ketiga-ku dan bang Burhan abang iparku tersenyum sebagai balasan salamku.
"Pagi,"
"Pagi, Sayang. Tumben pagi-pagi udah rapi?" Mami melirikku yang sudah duduk di kursi bersama dengan mereka untuk sarapan. "Mau kemana?"
"Iya, tumben banget, Nes. Biasanya kan jam segini kamu masih molor, apa lagi hari ini hari minggu." Kakakku menimpali, matanya menatap curiga padaku.
"Apaan sih? bangun lama di bilang malas. Bangun cepat di curigai, hadeh...serba salah." Aku meletakkan tas selempangku di atas meja. "Aku mau keluar."
"Kemana?" Mami dan kak Melda rempong, hanya para pria yang diam tampak tidak terlalu peduli. Makanan Papi sudah habis, dia sedang membaca koran yang terlihat seperti koran bisnis, sama halnya dengan bang Burhan.
Punya Papi dan abang ipar yang di otaknya hanya bisnis ya seperti ini, walau pun masih berada di meja makan sama sekali tidak peduli. Di meja makan seharusnya ya makan atau minum, bukannya malah berkutat dengan surat kabar yang membuat pusing, kapan lagi ada waktu buat keluarga kalau tidak di saat seperti ini.
Huufftt, Andrew tidak akan kubiarkan menjadi seperti Papi atau pun abang-abang iparku. Kalau saat di meja makan, dia tidak boleh memegang pekerjaan. Ada waktu buat orang-orang yang di sayang, dan ada juga waktunya buat pekerjaan.
Eh, tapi kan Andrew masih belum menjadi suamiku, kenapa aku mikirnya sudah sampai sejauh itu?
Ah, pokoknya dia harus menjadi suamiku. Diantara banyaknya laki-laki yang mendekatiku hanya dia yang berhasil mencuri hatiku. Baru kali ini aku tertarik pada seorang pria sampai rasanya tidak tertahankan. Apa pun akan kulakukan agar tidak ada yang menghalangi rencana pernikahan kami, apa pun yang kuinginkan akan kudapatkan.
Aku nyengir sambil mengambil dua potong roti, kemudian mengolesi selai strobery ke atasnya. "Ke rumah Andrew," gumamku polos, aku mulai memasukkan roti yang telah kuberi selai tadi ke dalam mulutku, mencoba tidak peduli dengan tatapan kedua wanita rempong di depanku.
Hey, apa yang salah? Aku kan hanya mau menemui calon suamiku, bukannya selingkuhanku.
"Untuk apa?" Kali ini Papi yang bersuara, korannya sudah terlipat. Topik Andrew tampaknya lebih menarik dari pada berita bisnis pagi ini.
"Ada yang ingin kubicarakan dengannya, Pi," aku menjawab setelah menelan roti yang ada di dalam mulut, jari-jariku membersihkan remah-remah roti yang belepotan di mulutku.
"Saat bersama dengannya jangan tunjukkan sifat manjamu, dia nggak suka gadis yang manja." Nada suara Papi sangat tegas.
Kenapa Papi tiba-tiba berkata seperti itu?
Apa yang telah Andrew Millard katakan padanya?
Yah, aku mengakui kadang-kadang sifat manjaku sangat berlebihan. Tapi semua itu juga karena mereka juga selalu memanjakanku, hampir semua permintaanku di turuti. Dari kecil aku selalu mendapat perhatian yang berlimpah, Papi, Mami, dan ketiga kakakku, mereka semua sangat menyayangiku.
"Vanessa masih muda, Pi. Usianya baru 19, nggak masalah lah sekali-kali bersifat manja." Mami mencoba membelaku, bibirnya tersenyum ke arahku. "Kita semua memanjakannya, Mami nggak keberatan."
"Setelah dia menikah, nggak ada yang akan memanjakannya." Papi tetap pada pendiriannya.
"Kan ada suami aku," bibirku cemberut. "Andrew yang akan memanjakanku."
"Dia itu laki-laki yang sibuk, nggak ada waktu untuk hal-hal seperti itu."
"Papi..." gumam Mami mengingatkan.
Papi menggeleng. "Vanessa harus bisa menghilangkan sifat manjanya kalau dia ingin menikah, Andrew bukan tipe laki-laki yang mau memanjakan istrinya."
"Aku yang akan merubah sifatnya," ujarku kesal. Kenapa jadi aku yang di salahkan? Sebenarnya siapa di sini yang menjadi anak mereka, aku atau Andrew?
"Bukan Andrew yang harus diubah, Nes. Tapi, kamu," kak Melda ikut-ikutan membela Andrew. "Papi benar, jadi seorang istri itu nggak mudah. Kamu harus dewasa dan mau mengalah, kita semua di sini tahu kamu nggak pernah mau mengalah. Kamu nggak mau kan ada perceraian di pernikahan kalian nantinya?"
"Kak Melda apaan, sih?" ujarku marah sambil melotot padanya.
"Apa lagi kamu itu model, dunia artis itu kan agak sensitif. Ada-ada saja pemberitaan dan kejadian yang nggak menyenangkan." Kali ini bang Burhan yang bersuara. "Kalau kamu nggak pintar-pintar mengatasinya bisa-bisa nasib pernikahanmu akan sama dengan pernikahan-pernikahan artis kebanyakan, yang karena egonya nggak bisa mempertahankan pernikahan mereka."
Oh, Tuhan. Mereka semua menyerangku.
Aku menghela napas panjang, kemudian menatap mereka satu persatu. "Oke. Aku berterimakasih untuk semua saran dan masukan yang kalian berikan, aku akan memikirkannya." Aku berdiri dari kursiku. "Tapi sekarang aku harus pergi! Permisi."
***
Huufftt, aku menghempaskan bokong di jok mobilku, mencoba mengatur napas yang sebelumnya memburu, tadi itu terasa seperti pergulatan sesama keluarga. Mereka berempat sedangkan aku seorang diri, mana mungkin aku bisa menang.
Aku melajukan mobilku dengan laju yang kencang, melampiaskan kekesalanku dengan balapan di jalanan yang sedang sedikit lengang.
Beberapa saat kemudian aku sampai di depan pintu sebuah rumah bercat coklat muda. Aku menekan bel sebanyak tiga kali kemudian menunggu, aku menatap kuku kakiku yang bercat warna biru langit, kak Melda yang memilihkan warna ini saat kami ke saloon kemarin.
Pintu terbuka. "Cari siapa, Non?" Wanita paru baya tampak di balik pintu, milirikku dengan tatapannya yang menilai. Sepertinya dia pembantu di sini.
"Andrew ada, bik?" Wanita itu membuka pintu kemudian mempersilahkanku masuk.
"Ada di kamarnya, Non."
"Baiklah, aku mau menemuinya dulu."
Tok tok tok.
Aku mengetuk pintu.
Aku menunggu beberapa saat tapi tidak ada yang menyahut.
Tok tok tok.
Aku mengetuk lagi.
Masih belum ada yang menyahut.
Mulai tidak sabar, aku mencoba menekan kenop pintu. Ternyata tidak di kunci.
Membuka pintu, aku masuk ke dalam kamar kemudian menutup pintu di belakangku dengan pelan lalu mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kamar.
Aroma kamar ini berbau parfum Andrew, sama dengan yang dipakainya saat pesta ulang tahunku kemarin. Masih kuingat jelas bagaimana harumnya bau tubuhnya saat menindihku, melekat di penciumanku sampai saat ini.
Tidak ada Andrew di sini, kemana dia?
Aku mendengar suara shower di kamar mandi. Aku tersenyum, berarti dia sedang mandi. Tiba-tiba, ide usil terlintas di kepalaku.
Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur dan tidur terlentang di atasnya, menyingkirkan selimut kesamping dan membuat pose menggoda.
Satu menit.
Sepuluh menit.
Lima belas menit kemudian, terdengar suara pintu di buka.
Aku menyiapkan diriku yang sudah mulai deg-degan, tapi dengan cepat aku menepis perasaan gugup itu. Aku harus berhasil, Andrew harus tertarik padaku. Meski aku gadis yang manja dia harus menikahiku dan menjadi suamiku, karena sepertinya aku sudah mulai jatuh cinta padanya.
"Vanessa?"
Aku cengir, ternyata dia masih mengingatku. Syukurlah.
Ya ampun, badannya sangat bagus. Tegap berotot dan mengagumkan, dia benar-benar laki-laki sempurna. Tubuhnya yang seksi hanya berbalut handuk yang melingkar di pinggul sampai lututnya, terlihat bulu-bulu halus di sekitar pusarnya dan menghilang ke dalam handuk. Andrew Millard benar-benar laki-laki yang menggairahkan.
Aku menelan ludahku dengan susah payah, tampaknya rencanaku gagal total. Bukannya dia yang terpesona pada poseku, melainkan aku yang sesak napas mendambakannya.
Rambutnya masih basah, dadanya basah, betisnya basah, dan...sepertinya kewanitaanku juga basah sekarang.
Sial.
"Sedang apa kamu di kamarmu?" Andrew berkacak pinggang.
"Menurutmu?" aku tidak memedulikan pertanyaannya, aku berguling-guling seperti anak kecil di atas kasurnya yang luas dan empuk.
"Keluar sekarang!" Dia sudah berada di samping ranjang, kepalanya menunduk dan matanya menatapku tajam.
Aku menyingkirkan rambutku yang berantakan, gaunku yang sudah naik sampai pangkal pahaku tidak kuhiraukan dan aku balas menatapnya. Tapi bukan sepertinya yang menatapku tajam, aku mengerling nakal padanya kemudian menggeleng-gelengkan kepalaku sebagai bentuk bantahan atas perintahnya.
Untuk beberapa saat dia menatap pahaku yang terpampang jelas di depan matanya, paha putih mulusku yang telah berhasil mendatangkanku banyak uang dengan menjadi model pakaian sexy. Hehehe, dia mulai terkena serangan mautku.
"Aku mau berpakaian."
"Ya sudah, memangnya kenapa? Kamu malu? Tenang saja, nggak ada satu bagian pun dari tubuhmu yang belum pernah kulihat," aku masih terlentang dan menantangnya untuk berpakaian di depanku.
Aku membual dengan sangat mengerikan. Dasar Vanessa tolol, kau akan menyesal karena menantang seorang Andrew Millard.
"Kenapa aku nggak terkejut? Melihat caramu berpakaian dan lingkungan sosialmu, pastilah kamu sudah biasa melihat laki-laki telanjang." Tatapannya semakin tajam.
Sekilas aku seperti mendengar nada amarah di suaranya. Tapi mungkin aku salah dengar, tidak ada alasan buatnya untuk marah.
Aku sengaja menjilati bibirku untuk membuatnya semakin panas. "Satu lagi pria telanjang nggak akan membuat perbedaan," gumamku serak. Suaraku yang serak bukan kebohongan, tubuhku memang seakan bergetar melihatnya setengah telanjang dalam jarak yang begitu dekat denganku.
Bibirnya yang berwarna kecoklatan tersenyum iblis, senyuman yang meskipun sedikit menyeramkan tetapi tetap memikat dan mempesona.
Tanpa aba-aba, tanpa tedeng aling-àling, dia membuka handuknya dan menjatuhkannya ke lantai.
Sontak aku menjerit dan menutup mataku dengan kedua tangan, gila, ini gila.
Dan mungkin aku memang sudah gila, karena meski sudah tahu kalau dia telanjang di depanku, aku masih mencoba mengintip dengan merenggangkan jari-jariku.
Aku memandangnya dengan takut-takut, dan...ya ampun, dia luar biasa. Miliknya menggantung seolah menantang, pipiku merah merona dengan kenyataan sekarang aku sedang menatap kejantanan pria yang sebentar lagi akan menjadi suamiku---pria telanjang pertama yang kulihat seumur hidupku---dan yang membuatku semakin memerah lagi adalah kenyataan bahwa aku menikmati apa yang kupandang.
"Bagaimana?" gumamnya dengan nada yang tiba-tiba menjadi dalam.
Meskipun seluruh tubuhku sudah memerah, tapi aku dengan sekuat tenaga mencoba untuk tidak terpengaruh.
"Bagaimana apanya?"
Andrew berjalan semakin dekat dengan tubuhku. "Kamu memerah, seperti perawan yang ketahuan." Dia kelihatan sangat nyaman dengan ketelanjangannya. Brengsek, dia pasti sudah biasa tidur dengan wanita-wanita yang mendekatinya di luar sana.
"Aku nggak gugup, jika itu yang kamu maksud," pekikku kesal karena dia mulai menatapku dengan pandangan mengejek yang terlihat jelas di wajahnya yang tampan tak bercela.
"Enggak?" Dia terkekeh kemudian dengan perlahan naik ke atas tempat tidur.
Alaram peringatan berdering di kepalaku, tapi seakan terhipnotis, tubuhku tidak mampu bergeser sedikitpun.
"sudah berapa laki-laki yang kamu lihat telanjang?" Tubuhnya mulai menindihku dan aku semakin gugup. Bagaimana pun, semua yang kukatakan tadi tidak ada yang benar, semua itu hanya bualan. Dia telanjang dan saat ini sedang menindihku jelas sangat mempengaruhi tubuhku, dia membuatku tak berdaya.
"Banyak," sekarang suaraku mulai tidak yakin.
"Sungguh? Jika itu benar, kenapa seluruh tubuhmu memerah?" Dia mengucapkannya dengan nada Suara yang sangat perlahan. Saat ini Andrew sepenuhnya sudah menindihku, dadanya yang telanjang hampir menyentuh dadaku dan...dan...sesuatu yang keras di bawah sana sangat meresahkan.
"Kamu merasakannya?" gumamnya serak tepat di telingaku, dia menyentuhkan miliknya yang terasa sudah keras di sekitar area sensitifku.
Hal itu membuatku melenguh tertahan, mataku terpejam.
Kurasakan jarinya mengelus pipiku dengan lembut dan hembusan napasnya yang hangat menerpa wajahku, itu tandanya dia sudah sangat dekat denganku.
"Buka matamu!"
"Nggak mau."
"Jawab jujur! Kamu udah pernah melihat laki-laki telanjang sebelum Ini?"
Aku mengerang karena dia belum menghentikan aksinya di bawah sana. "Kamu sudah tahu jawabannya, jadi nggak usah pura-pura bertanya."
"Hanya memastikan."
"Hentikan itu!"
"Hentikan apa?"
"Milikmu yang bergerak-gerak di atas milikku...hhhmm."
"Kamu nggak suka?" Andrew semakin genjar.
"Aahh...uugghh...aahh...drew."
Sial. Aku jadi tidak mengingat sedikit pun niat awalku datang ke sini.
Kurasakan tangannya menarik tanganku dan membawanya ke bawah, aku merasakan sesuatu yang keras tapi lembut. Setelah aku tahu apa itu, sontak aku terkejut dan langsung menarik tanganku menjauh, tapi Andrew semakin keras menggenggam tanganku---tidak membiarkanku menjauh.
Aku menatap wajahnya, yang saat ini telah di penuhi kabut gairah, matanya menatapku intens.
"A..pa...apa yang kamu inginkan, Drew?" tanyaku tergagap.
Jakunnya terlihat naik-turun. "Rasakan! Rasakan milikku yang sangat menginginkanku, ingin berada di dalammu."
"Drew...?"
Dia mengerang. "Remas, sayang. Aku ingin merasakan tanganmu melingkari milikku."
Mataku yang sudah sayu karena hasrat, menatap matanya yang berkabut karena hal yang sama.
"Please...!" Bisiknya lirih.
Dengan perlahan tanganku melingkari miliknya dan meremasnya pelan.
"Sssttt...aahh....,"
Mulai berani, tanganku bergerak naik turun di kejantanannya.
"Aahh...aahh...aahh...yahh..."
Saat melihat wajahnya yang memerah aku semakin mempercepat gerakanku, aku tahu dia akan sampai pada pelepasannya. Dua menit kemudian dia mengerang kencang dan kurasakan sesuatu yang kental melumuri jari-jariku, akhirnya dia mencapai puncaknya.
Tiba-tiba dia mencium bibirku dengan memburu, memagut bibirku secaranya menyeluruh. Awalnya aku terkejut, tapi kemudian mulai terbawa irama ciumannya yang memabukkan. Aku membalas ciumannya, membuka mulutku dan memberikan akses tak terbatas buatnya menjelajahi mulutku.
Lenguhan dan erangan keluar dari mulut kami berdua, rasa ciumannya benar-benar nikmat. Bibirnya melumat bibir bawah dan atasku secara bergantian, menghisap seolah ingin mencicipi rasa manis yang ada di sana.
Tanganku menelusup ke dalam rambutnya, meremasnya dengan kasar saat bibirnya menggigit bibirku.
Tangannya yang besar meremas dadaku dari luar gaun yang kukenakan, hingga membuat buah dadaku semakin menegang dan putingnya mengeras.
Andrew melepas ciuman kami setelah kami berdua kehabisan napas, mulutku megap-megap mencari udara.
Dia menyentuhkan hidungnya dengan hidungku, matanya menatapku lembut. "Terimakasih."
"Untuk apa?" tanyaku masih terengah-engah.
Andrew mengecup bibirku. "Untuk ciuman yang sangat manis, dan untuk hand job yang sangat nikmat."
Kontan wajahku kembali memerah.
"Nggak usah malu. Anggap saja latihan sebelum kita benar-benar melakukannya."
"Aku bohong padamu. Aku belum pernah melihat pria telanjang sebelumnya," ujarku pelan, merasa malu dengan bualanku tadi.
"Aku tahu," ucapnya pelan sambil meremas buah dadaku. "Aku sangat ingin melihat payudara telanjangmu, tapi aku takut nggak bisa menghentikan diriku."
Aku diam, hanya menikmati apa yang ia lakukan pada tubuhku.
"Ada apa kamu datang ke rumahku?" Andrew kembali bersuara tapi tangannya tidak berhenti meremas payudaraku, seolah itu sebagai mainan baru untuknya.
"Tentu saja untuk bertemu dengan calon suamiku."
"Yang lebih spesifik lagi!"
"Ingin bertanya kenapa kamu mengabaikan aku selama seminggu ini?"
Tiba-tiba dia berhenti meremas payudaraku kemudian beranjak dari atas tubuhku tanpa menatap ke arahku. Andrew turun dari ranjang dan mengambil celana dari lemari kemudian memakainya.
Aku mengernyit bingung dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba.
"Aku masih marah." Nada suaranya terdengar dingin.
"Marah kenapa?" tanyaku ingin tahu, aku merapikan gaunku yang morat-marit. "Apakah soal Ethan?"
Dia tidak menjawab yang semakin menunjukan kalau dugaanku benar. "Dia memang sudah keterlaluan, tapi Ethan juga sudah meminta maaf dan dia menyesal. Dia temanku dan sebagai teman yang baik sudah seharusnya aku memaafkannya.''
Andrew terdengar menghela napas dan menyisir rambutnya dengan jari-jarinya yang panjang. "Mungkin aku berlebihan. Tapi kamu harus tahu," dia kembali menatapku. "Aku pria posesif. Aku nggak suka berbagi."
"Bukankah itu sedikit berlebihan mengingat kita baru berkenalan?"
"Aku sudah lama mengenalmu, tapi mungkin kamu nggak mengingatku."
"Kita pernah bertemu?" tanyaku penasaran.
Dia mengangguk. "Hampir 7 bulan yang lalu. Di Palembang, kamu mandi di sungai dan aku menemuimu saat kamu berteriak ada ular."
Mulutku sukses melongo mendengar pengakuannya, sungguh aku sangat terkejut. Pantasan dia terlihat tidak asing, ternyata dia adalah laki-laki yang telah menghantui isi kepalaku selama 6 bulan setelah aku pulang dari Palembang. Dia jugalah yang sempat membuatku ragu untuk menerima perjodohan yang Papi rencanakan, tapi seiring waktu aku mulai bisa menyingkirkannya dari ingatanku. Dan kini, di depan mataku, dia berdiri dan akan menjadi suamiku.
Ya ampun.
"Pertama kali melihatmu, aku sudah tertarik padamu. Perasaan yang kurasakan padamu belum pernah kurasakan sebelumnya saat bersama wanita lain, memang sedikit nggak masuk akal tapi itulah kenyataannya. karena itulah aku sangat marah melihatmu bersama dengan Ethan. Aku mencarimu keesokan harinya, tapi nggak ada seorang pun yang mengenalmu," tambahnya lagi. "Setelah sekian lama mencari dan tetap nggak menemukanmu, aku menyerah."
Dia melangkah mendekat padaku, menyingkirkan rambut dari pipiku. "Ibuku menjodohkanku, dan itu membuatku kesal. Tapi saat aku mengetahui siapa wanita yang akan menjadi istriku, aku menjadi kembali bergairah. Dia adalah wanita yang kucari-cari selama ini."
"Aku masih 19 tahun."
Andrew meringis. "Apakah aku terlalu tua untukmu?"
"Bukan...bukan itu maksudku," buru-buru aku menjelaskan. "Aku masih sering bermanja-manja."
Dia melirikku geli. "Aku nggak keberatan dengan sedikit bermain ngambek-ngambekkan, asal nggak berlebihan."
"Aku nggak tukang ngambek," bibirku merucut karena kesal.
"Aku nggak percaya, tapi kita harus sama-sama saling mengerti. Dalam hitungan minggu kita sudah akan menikah, aku menjadi suamimu dan kamu menjadi istriku. Sekarang aku akan memberitahumu supaya kamu tahu sedikit tentangku sebelum kita berumah tangga. Terkadang aku bisa menjadi orang yang menyebalkan kalau sedang banyak pikiran, aku nggak suka di atur, aku nggak berbagi dan aku pria pencemburu."
Buset. Apa yang harus kukatakan sekarang.
"Sekarang giliranmu."
"Hhmm...sebenarnya nggak terlalu ada yang ingin kuberitahu. Yah, mungkin hanya sifatku yang sedikit manja. Dan...satu lagi, aku paling nggak suka dibentak."
Andrew menatapku cukup lama setelah kalimatku yang terakhir. "Mungkin nggak membentak agak sulit untuk kulakukan, karena saat sedang kesal aku sangat sering membentak. Tapi aku akan berusaha menguranginya."
Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Mungkin ini sudah menjadi awal yang baik buat kami berdua.
Kemudian tiba-tiba ponselnya berdering, Andrew mengambilnya dari atas nakas. Itu dari ibunya, menyuruh kami untuk pergi ke toko perhiasan untuk memilih cincin pertunangan---yang memang sedikit terlambat, dan cincin pernikahan. Sekaligus fitting baju pengantin.
Karena selama ini aku sama sekali tidak dilibatkan dalam persiapan pernikahan kami, membuat waktu seakan berjalan terasa cepat. Hanya Mami dan ibunya Andrew yang menyiapkan semuanya, sesekali kak Melda juga ikut membantu. Aku senang karena akan mempunya ibu mertua seperti tante Tania, selain cantik dia juga sangat baik.
Aku memang masih 19 tahun, tapi aku tidak merasa perjodohan ini membebaniku. Ketiga kakakku juga menikah di usia yang sama, mereka melanjutkan kuliah setelah menikah. Yang membuatku akan sedikit berbeda dengan ketiga kakakku adalah, aku tidak kuliah seperti mereka. Semua tentang pelajaran membuatku pusing, karena itulah aku memilih jadi model. Tidak perlu otak yang pintar, cukup memiliki paras yang cantik dan lekukan tubuh yang menggoda.
Dua minggu lagi, dua minggu lagi yang akan merubah hidupku.
Papi, Mami, kak Melda dan bang burhan benar, untuk menjadi seorang istri yang baik harus dewasa dan bisa menghilangkan ego. Aku berharap, aku bisa menjadi istri yang Andrew inginkan, menjadi pendamping hidupnya sampai dia menutup mata, bagitu pun sebaliknya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro