Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 2


Vanessa pov

"Terima kasih sudah hadir, Mr. Philiph," gumamku ramah pada pria tampan berkulit putih bersetelan rapi yang sedang menikmati hidangan yang disajikan. Ethan philip, pria berusia 25 tahun yang telah sukses berkecimpung di bisnis properti. Usianya yang masih terbilang muda tapi sangat piawai dalam menjalankan bisnisnya, menjadikannya salah satu pengusaha yang disegani. kami pertama kali berkenalan saat acara amal yang di lakukan keluarganya dua tahun yang lalu, sejak saat itu kami berteman. Aku sengaja memanggilnya dengan embel-embel 'Mr' di depan namanya untuk menggodanya.

Bibirnya yang seksi melontarkan senyuman yang aku yakin mampu membuat celana dalam wanita mana pun basah, sangat menghanyutkan.

"Kamu terlihat sangat cantik, malam ini," suaranya yang serak tak kalah menggodanya bila dibandingkan dengan bibirnya yang mengundang. Sunggu pria yang berbahaya. Semua wanita berlomba-lomba mendapatkannya, tapi siapa yang tidak menginginkan Ethan Philip menjadi miliknya? Muda, tampan, cerdas dan kaya raya. Sempurna.

Aku melangkahkan kakiku dengan gerakan dan goyangan pinggul yang kubuat semenggoda mungkin, bukan bermaksud menarik perhatiannya tapi lebih tepatnya perhatian semua orang. Aku suka menjadi sorotan mata banyak orang, apa lagi di pesta ulang tahunku sendiri, aku akan menjadi bintangnya.

"Aku cantik hanya malam ini saja?" tanyaku dengan nada pelan. Kedekatan kami saat ini memungkinkanku berbicara pelan padanya. Aku mendentingkan gelas berisi anggur milikku dengan gelas yang ada di tangannya hingga menimbulkan suara, dan bibirku menyunggingkan senyuman separuh yang kuyakin memberi efek menyenangkan untuknya.

Ethan terkekeh pelan kemudian semakin merapatkan tubuhnya dengan tubuhku. "Aku nggak percaya kamu masih 19, kamu benar-benar wanita penggoda. Kamu jelas tahu bahwa kamu adalah wanita yang selalu cantik dimana pun dan kapan pun, tapi kamu masih bertanya. Apakah saat ini kamu sedang memancing pujian dariku?" Sekarang tangannya sudah merayap di pinggangku, menarikku semakin merapat ke dadanya.

Satu tanganku memegang gelas berisi anggur dan sebelah lagi kuletakkan di dadanya untuk membuat jarak, bagaimana pun banyak tamu di ruangan ini. Apa lagi acara yang sedang berlangsung adalah ulang tahunku sendiri, aku tidak mau terlihat sedang bermesum-mesum ria dengan salah satu pengusaha muda yang sangat diminati. Dan mengingat statusku yang sudah memiliki tunangan, aku harus bisa menjaga perilaku di depan umum. Yah, meski pun aku sama sekali belum pernah bertemu dengan tunanganku itu.

"Saat diri sendiri merasa cantik itu sangat berbeda bila orang lain yang mengatakan diri kita cantik, rasanya seperti pengesahan hal yang sebelumnya belum tentu benar." Gumamku pelan sambil menaik-turunkan tanganku di atas dadanya. Oh, dadanya terasa keras dan berotot. Andai aku masih sendiri, mungkin Ethan bisa menjadi kekasih yang memuaskan, karena dia sangat jelas tertarik padaku.

"Kamu sangat seksi, Vanessa. Aku menginginkanmu, tapi sayang orang tuamu memilih pria lain untuk menjadi pasanganmu," Ethan mengatakannya tepat di telingaku.

"Kamu sangat terus terang, Ethan. Dan yah, aku sudah bertunangan. Walau aku nggak sepenuhnya suka dengan pertunanganku, tapi aku menghargai pilihan papi-ku. Semua kakakku menikah dengan pilihan orangtuaku, dan sampai saat ini mereka hidup bahagia dengan keluarga kecil mereka masing-masing. Aku percaya mereka akan memberiku pria terbaik yang mereka punya."

Aku adalah anak bungsu dari 4 bersaudara dan akan menjadi yang terakhir menikah di keluargaku sekaligus menjadi anak perempuan terakhir yang akan papi jodohkan. Ketiga kakakku sebelumnya sudah menikah, semua mempelai prianya adalah pilihan papi dan tidak ada satu pun yang mengecewakan. Papi benar-benar tahu pria seperti apa yang bisa mendampingi putrinya, karena itulah aku setuju dengan pilihan papi dan akan tetap menjalaninya.

Seharusnya pria itu---tunanganku, sudah datang malam ini, tapi dari tadi tidak ada yang memberitahuku kalau dia sudah datang. Aku hanya tahu namanya, papi memberitahuku sehari setelah aku tiba di Jakarta dari Palembang enam bulan yang lalu.

Andrew Millard adalah nama laki-laki yang akan menjadi suamiku nanti, yang kudengar dia juga termasuk pria muda yang sukses. Yeah, seperti papi mau saja punya menantu yang jauh di atas rata-rata, semua abang-abang iparku adalah pria-pria mapan yang sangat sukses. Paras cantik dan pendidikan tinggi yang dimiliki ketiga kakakku membuat mereka tidak sulit mendapatkan suami idaman, dan kini giliranku.

Ethan meletakkan gelasnya yang kosong di atas talam saat pelayan lewat di samping kami, dia meletakkan kedua tangannya di bokongku kemudian meremasnya pelan, matanya menatapku dengan tajam.

"Kamu mau bilang aku nggak baik untukmu?"

"Bu..bukan begitu Ethan, maksudku aku...aakhhh," kalimatku terputus saat dia menghisap leherku dengan kuat.
Agar tidak menarik perhatian, sepelan mungkin aku berusaha melepaskan cengkraman Ethan di tubuhku. Ya ampun, Ethan pasti sudah mabuk dan tidak sadar dengan apa yang sedang dilakukannya padaku sekarang. Ethan itu biasanya adalah laki-laki yang baik dan sopan, tapi kenapa sekarang dia menjadi kurang ajar.

"Aku sudah lama mengenalmu dan keluargamu, aku selalu baik pada keluargamu tapi kenapa bukan lamaranku yang diterima, Vanessa? Kenapa?" Katanya serak, masih belum mengangkat kepalanya dari leherku.

"Kamu juga melamarku?" tanyaku tak percaya. Memang aku tahu ada lebih dari sepuluh lamaran yang datang pada papi, tapi aku tidak menyangka kalau pria di depanku ini yang terkenal sangat playboy malah menjatuhkan lamaran padaku. Banyak gadis yang bisa dipilihnya, dia bebas menunjuk wanita mana pun yang diinginkannya untuk dia miliki. Ethan memang sangat perhatian padaku, dua tahun kami berteman ternyata dia menyimpan perasan lain padaku tapi sayang aku menganggapnya hanya sebagai teman. lagi pula papi sudah menjatuhkan pilihannya pada Andrew Millard. Papi pasti punya alasan kenapa menolak lamaran Ethan dan menerima lamaran Andrew, Ethan bukan laki-laki jahat tapi mungkin belum memenuhi kriteria papi untuk menjadi pendampingku.

"Aku menginginkanmu," suaranya semakin berat dan remasan tangannya di bokongku menjadi semakin kasar, untung saat ini kami sedang berada di tempat yang pencahayaannya sedikit gelap, kalau tidak kami pasti akan menjadi tontonan gratis.

"Ethan, banyak orang. Apa yang kamu lakukan?" ucapku mulai risih dengan perbuatannya.

Tiba-tiba Ethan menarikku ke sebuah kamar kemudian menutup pintu di belakangnya dengan keras.

"Ethan..."

"Di sini nggak ada orang. Kita lakukan dengan cepat dan aku akan meninggalkanmu."

Aku menatapnya bingung, kemudian tanganku merapikan gaunku yang sedikit berantakan karena aksi Ethan barusan. Mataku menatap ruangan tempat kami berdiri saat ini, sebuah tempat tidur king size berada di sudut kamar. Dindingnya berwarna broken white yang sangat lembut, tidak banyak perabotan yang berlebihan di kamar ini, semuanya ada karena memang memiliki fungsi.

Pandanganku kembali padanya, Ethan melepas jas-nya lalu melemparnya ke sembarang arah, kemudian tangannya beralih ke kancing kemejanya.

"Apa maksudmu?" suaraku serak karena perasaan takut yang mulai kurasakan. Ada apa sebenarnya dengannya? Kenapa dia jadi menakutkan seperti ini.

Ethan merapatkan tubuhnya dengan tubuhku, mendorongku mundur hingga punggungku menyentuh dinding kamar, aku merasakan sesuatu yang keras menyentuh perutku.

"Ini yang kumaksud," gumamnya kasar sambil menggesek-gesekkan bagian tubuhnya yang keras ke atas perutku yang masih tertutupi gaun.

"Ethan jangan bercanda padaku, ini nggak lucu."

"Aku nggak sedang melucu, Vanessa."

"Kalau begitu biarkan aku keluar, masih banyak tamu yang harus ku sapa."

"Tidak sebelum aku bercinta denganmu."

Mulutku menganga mendengar apa yang dikatakannya, apa benar pria di depanku ini adalah pria yang sama yang selalu bersikap baik padaku selama dua tahun aku mengenalnya. Beberapa gelas anggur membuatnya menjadi pria yang tidak kukenali sedikit pun.

"Kamu mabuk, sebaiknya aku keluar." tanganku mendorong tubuhnya agar menjauh dariku tapi tampaknya kekeras kepalaan Ethan menjadi penghalang, tangannya tidak membiarkan tubuhku menjauh darinya.

''Vanessa, please sekali saja. Sebelum kamu menjadi milik pria lain," bibirnya melantunkan perkataan yang membuatku jijik padanya. Bagaimana mungkin dia bisa meminta seorang wanita yang sudah mempunyai tunangan bercinta seperti itu? Apakah aku terlihat seperti wanita murahan di matanya, hingga dengan tidak berperasaannya dia meminta hal yang jelas-jelas sangat kujaga erat.

"Aku nggak bisa."

"Kenapa?"

"YA KARENA NGGAK BISA, ETHAN."

"Kamu nggak menginginkan ini?" tanyanya sambil memaju mundurkan kejantanannya di perutku dan tangannya mulai menelusup masuk ke dalam gaunku dari atas kemudian mulai meremas dadaku dengan lembut.

"Ethan, jangan!" gumamku lemah karena semua usahaku untuk lepas dari pelukannya sia-sia. Meski tubuhku terbilang tinggi tapi badanku yang langsing menyulitkanku melawannya yang mempunyai tubuh besar, tinggi dan tegap. Dengan mudahnya dia menggagalkan semua usahaku dan tangannya semakin menguasai seluruh tubuhku.

"Kumohon..." kepalaku menggeleng ke kanan dan ke kiri dengan keras saat aku merasakan tangan Ethan yang masuk kedalam gaunku bagian bawah kemudian menyentuh kewanitaanku. Gaun pendek yang jauh di atas lutut dan tanpa lengan yang kukenakan memudahkannnya menyentuh setiap lapisan kulitku.

Apakah hidupku akan berakhir seperti ini? Diperkosa oleh pria yang sudah kuanggap sebagai sahabat? Apakah kesucianku yang telah kujaga seumur hidupku untuk kupersembahkan pada suamiku akan terenggut malam ini?

"Nggak, Ethan!"

"Tenanglah kamu pun nanti akan merasa keenakan." Gumamnya santai sambil mulai mengelus-elus vaginaku dari balik celana dalamku.

"Aku nggak mau!" dengan sekuat tenaga tanganku mendorongnya, tapi apalah dayaku melawan kekuatannya. Aku yang salah mempercayainya menjadi temanku, mungkin karena inilah papi tidak menerima lamarannya, ternyata dia laki-laki brengsek.

Dengan keras Ethan meletakkan kedua tanganku di atas kepalaku dengan sebelah tangannya sedangkan tangannya yang lain menurunkan tali gaunku yang tipis hingga memperlihatkan payudara telanjangku di depan matanya, kemudian dia mulai menurunkan kepalanya.

Oh, Tuhan. kumohon jangan biarkan aku berakhir seperti ini. Aku tidak tahu apakah tunanganku masih mau menerima wanita yang sudah kotor jika Ethan benar-benar memperkosaku.

"Kamu masih 19 tahun tapi payudaramu sudah montok, tunanganmu nanti pasti akan puas menghisap dan menjilati dadamu yang lembut ini," matanya memerah menatap payudaraku dengan intens. "Tapi tentunya aku yang lebih dulu menghisapnya sampai aku puas."

Bibirnya beralih ke leherku, menghisap dan menjilati dengan rakus. Aku sudah sangat putus asa, kalau sampai Ethan memperkosaku aku tidak akan pernah menikah dengan pria mana pun. Aku tidak akan sanggup memberikan tubuhku yang kotor pada laki-laki yang akan menjadi suamiku kelak.

"Please!" aku memohon padanya.

Kepalanya mendongak kemudian menatapku, senyuman menjijikan terukir di wajahnya. Aku menyesal pernah mengaggap senyum dan wajahnya memikat dan mempesona, dia tidak lebih dari binatang kotor yang busuk.

"Kenapa? Kamu sudah nggak tahan merasakan kejantananku keluar masuk di dalam vaginamu yang sempit?"

"Nggak, Ethan. ini nggak benar!" aku sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya agar dia sadar.

"Aku akan menikahimu, Vanessa. Aku akan menjadi suami yang baik untukmu, aku berjanji."

"Nggak akan."

Ethan mendengus kasar. "Kamu nggak mau menikah denganku? Baiklah kita hanya akan bercinta, kita lihat apakah tunanganmu masih menginginkanmu atau nggak setelah dia tahu kalau kamu adalah bekasku." Tangannya dengan kasar mengoyakkan celana dalamku dalam sekali hentakan, tatapan matanya semakin berkabut dan tubuhku bergetar ketakutan.

Ethan sudah akan mengulum putingku saat terdengar suara ketukan keras di pintu kamar disusul suara orang yang membentak dengan kasar.

Thanks, God.

"BUKA PINTUNYA SIALAN. DALAM HITUNGAN KETIGA KALIAN NGGAK MEMBUKA PINTU INI, AKU AKAN MENDOBRAKNYA. SATU..."

"Sial," Ethan mengumpat dan menatapku seakan berkata 'kita belum selesai' kemudian melangkah ke arah pintu. Tubuhnya terlihat kaku, aku yakin dia sangat marah pada pengganggu itu.

"DUA...."

Buru-buru aku merapikan gaunku, celana dalamku yang koyak kusembunyikan di balik meja kecil di sudut kamar. Dengan langkah perlahan aku berjalan mengikuti Ethan di belakangnya, aku sangat berterimakasih pada siapa pun yang berada di balik pintu, yang menjadi penyelamatku.

Di hitungan ketiga Ethan membuka pintu, seseorang yang wajahnya memerah menahan amarah berada di depan pintu kamar dan detik berikutnya pria itu menghantamkan kepalan tangannya ke wajah Ethan, sontak hal itu membuatku menjerit. Kedua tanganku menutupi mulutku dan aku melangkah mundur, menjauh dari mereka berdua.

Siapa pria ini? datang-datang langsung meninju Ethan. Aku tidak mengenalnya. Tapi, wajahnya seperti tidak asing bagiku, seperti kami pernah bertemu sebelumnya. Tapi dimana? Dan kapan? Badannya tinggi dan besar, lebih besar dari Ethan padahal Ethan sudah termasuk laki-laki berbadan besar. kulitnya sedikit lebih coklat dari kulit Ethan. Kakinya panjang dan saat ini sedang menendangi Ethan yang sudah terkapar di lantai, sesekali lengannya yang berotot di balut kemeja hitam mengayun menghajar Ethan dengan membabi-buta.

Dengan tergesa-gesa aku berlari menghentikannya memukuli Ethan, wajahnya sudah penuh luka akibat hantaman tangan pria yang tidak kukenali ini.

"Cukup! Jangan hajar dia lagi, Ethan bisa mati kalau kamu nggak berhenti juga."

Tubuhnya yang besar bukanlah tandingan Ethan, dengan mudah dia membuat tubuh Ethan babak belur.

"Biar dia mati sekalian, brengsek." Kakinya masih terus menendangi tubuh Ethan, dia sudah akan bergerak untuk menonjok Ethan saat aku memeluk tubuhnya dari belakang.

Aku tidak tahu dari mana aku mendapat keberanian untuk memeluknya, padahal pria ini tidak kukenali sama sekali dan saat ini dia sedang dalam keadaan tersulut emosi, tapi aku memeluknya erat seakan kami sudah biasa berpelukan.

"Kumohon hentikan!" bisikku lirih, aku meletakkan pipiku di punggungnya. Badannya terasa lembab, kemejanya sudah basah akibat keringat. Detik berikutnya tubuhnya berhenti menghajar Ethan. Meski terdengar memalukan, tapi bau yang keluar dari tubuh pria ini sungguh menghipnotisku untuk lebih lagi menghirum aroma tubuhnya.

Tubuhnya tegang, aku tidak tahu apakah karena pelukanku atau karena masih marah pada Ethan. Tapi, kenapa dia bisa begitu marah pada Ethan? Ethan memang berniat mempekosaku, tapi dia kan tidak tahu tentang hal itu. Apa dia musuhnya Ethan?

"Keluar," suaranya sangat dingin.
Dan tatapannya yang tajam seakan menusuk ke arah Ethan.

Setelah tubuhnya tidak tegang lagi aku melepaskan pelakukanku, tapi dia malah menahannya dan melarangku melepaskannya.

Ethan mulai bergerak kemudian terduduk di atas lantai. "Kamu siapa? Aku bisa melaporkanmu ke polisi karena sudah menyerangku tanpa alasan," gumam Ethan marah sambil sesekali meringis akibat luka yang dideritanya.

Genggaman tangannya semakin erat di tanganku yang berada di perutnya. "Perkenalkan, aku Andrew Millard. Kalau kamu mau melaporkanku ke polisi, silahkan. Kita bertemu di kantor polisi. Dan aku punya alasan untuk menyerangmu, kamu melecehkan tunanganku dan aku nggak akan memaafkanmu untuk itu," nada suaranya sangat berat dan kasar, dan apa yang dikatakannya barusan membuatku ternganga.

Tunangan?

Tunanganku?

Pria ini?

Andrew Millard?

Tidak mungkin.

Tubuhku mematung.

"Kamu nggak dengar, BAJINGAN? KELUAR...."

Dengan terseok-seok Ethan keluar dari kamar tapi selama itu tatapan marahnya tidak sekali pun meninggalkan wajahnya. Tampaknya kebenciannya pada Andrew sudah begitu merasuki setiap sel-sel tubuhnya dan Andrew bahkan lebih lagi.

Setelah Ethan keluar dari kamar, Andrew menutup pintu dengan kasar kemudian mengeluarkan sebuah kunci dari saku celananya lalu menguncinya, dan dia melemparkan kuncinya kesudut terjauh ruangan. Matanya menatapku dengan intens dan berkabut, napasnya terengah-engah kemudian melangkah mendekatiku.

"Kenapa kamu mengunci pintunya? Dan kenapa kamu bisa memiliki kunci kamar ini?" tanyaku ketakutan, suaraku bergetar.

"Aku pemilik hotel ini," nada suaranya tenang tapi berbeda dengan gestur tubuhnya yang terlihat seolah ingin menelanku hidup-hidup.

Yang membuatku semakin takut adalah saat melihatnya melepaskan kemejanya hingga memperlihatkan bagian atas tubuhnya yang berotot. Aku lepas dari mulut buaya hanya untuk jatuh ke lubang singa, kenyataan kalau dia adalah tunanganku tidak membuat perbedaan.

"A..apa yang...akan kamu lakukan?" Aku melangkah semakin mundur saat dia terus semakin dekat padaku.

"Menurutmu apa? Tentu saja melanjutkan apa yang telah dimulai bajingan tadi." Nada suaranya kasar dan terdengar kemarahan di sana.

Tiba-tiba Andrew mengangkatku dan menghempaskan tubuhku ke atas ranjang kemudian menindihku dengan tubuhnya yang besar, kedua tangannya di letakkan di kedua sisi tubuhku.

Aku menjerit tertahan saat dia menurunkan gaunku dan langsung mengulum putingku dengan kuat, tangannya meremas dadaku yang lain dengan tidak kalah bergairahnya. Aku meronta di bawahnya dan Andrew semakin menekanku ke ranjang, kakinya melebarkan kedua kakiku hingga semakin merenggang, aku merasakan kejantanannya yang sudah keras di perutku.

"Jangan...Aahhh....hhmmm..."

Dari dadaku bibirnya naik ke leherku, dan perlakuan yang sama ia berikan di sekujur kulit leherku kemudian tangannya mulai meraba area selangkanganku.

"Sial. Kamu nggak memakai celana dalam?"

"Andrew...hhmm....uugghhh."

"Kalian sudah melakukannya tadi?" tanyanya marah.

"Be..lum," bibirku hampir tidak sanggup mengeluarkan suara karena saat ini jari-jarinya masih belum meninggalkan kewanitaanku. Aku tidak tahu kenapa saat bersama Andrew aku tidak terlalu keberatan, sangat berbeda bila dibandingkan saat bersama dengan Ethan tadi. Apa karena status kami yang sudah bertunangan.

"Jadi kenapa?"

"Ethan mengoyaknya."

"Kamu membiarkannya mengoyak celana dalammu? Selanjutnya apa? Hah?"

Aku mendorong tubuhnya dengan segala kekuatanku hingga dia terjungkal ke belakang. Aku terduduk di atas tempat tidur dengan napas terengah-engah karena amarah, bisa-bisanya dia menuduhku serendah itu. Meskipun dia tunanganku tidak seharusnya dia berkelakuan seperti ini, sangat berlebihan. Aku tidak memedulikan payudara telanjangku yang terpampang jelas dan rambutku yang sudah awut-awutan, bahkan gaunku sudah naik keatas hampir sampai ke pangkal pahaku. Aku mendongak ke arahnya dan Mataku menatapnya tajam.

"ETHAN AKAN MEMERKOSAKU, KAMU PIKIR AKU PEREMPUAN MURAHAN YANG TIDUR DENGAN SEMUA PRIA YANG KUTEMUI???" aku membentaknya.

"KENYATAANNYA KAMU BERADA DIKAMAR BERDUA BERSAMA DENGANNYA. KAMU PIKIR APA YANG ADA DI KEPALAKU, SIALAN??? dia balik membentakku.

"Kamu berlebihan."

"KAMU TUNANGANKU. MAKSUDMU AKU AKAN DIAM SAJA MELIHAT TUNANGANKU MEMADU KASIH DENGAN LAKI-LAKI LAIN???

"Semua nggak seperti yang kamu bayangkan. Aku nggak sedang memadu kasih, dia yang memaksaku."

"MEMAKSA KATAMU? JANGAN MEMBUAL PADAKU! DI SINI BANYAK ORANG..."

Hufftt, telingaku hampir tuli mendengar semua teriakannya. Aku sudah berbicara dengan sangat pelan tapi dia selalu berbicara seperti menggunakan toa.

"Itulah kenyataannya, terserah padamu mau percaya padaku atau enggak."

"TERSERAH KATAMU? AKU...AAWW,"

Karena dia selalu berteriak tidak jelas aku memukulkan guling ke kepalanya dengan keras.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanyanya tidak percaya sambil memegangi kepalanya yang kupukul.

Tuh kan, setelah aku memukul kepalanya akhirnya dia tidak berteriak-teriak lagi.

"Sekarang aku sudah setengah telanjang, kamu masih mau lanjut atau nggak?" tanyaku menantangnya.

"Kamu...kamu...," sangat jelas terlihat kalau dia sangat terkejut dengan keterus teranganku barusan. Aku juga terkejut dengan keberanianku mengatakam kalimat seperti itu, sangat bukan aku. Tapi aku tidak akan goyah menggodanya, aku ingin tahu pria seperti apa laki-laki pilihan ayahku ini. Kalau dia tetap melakukannya, toh dia akan jadi suamiku, tidak akan menjadi masalah asal aku sudah mengetahui sikapnya.

Tanpa mengubah intonasi suaraku aku kembali bersuara.
"Aku terangsang,..."

Tiba-tiba Andrew melempar selimut ke arahku kemudian dengan nada tajam dia berkata. "Perbaiki penampilanmu, aku nggak akan menyentuhmu sebelum kamu menjadi istriku. Aku keluar lebih dulu, setelah lima belas menit baru kamu keluar." Setelah mengucapkan itu, dia turun dari tempat tidur, memakai kembali kemejanya kemudian berjalan keluar kamar tanpa sekali pun menoleh ke arahku.

Aku memeluk selimut dan menatap pintu yang tertutup. Kesimpulan pertama yang kudapat adalah 'papi tidak salah memilih laki-laki untuk menjadi suamiku'. Bibirku tersenyum membayangkan yang akan terjadi nanti antara aku dengannya. Tapi kemudian aku teringat pada apa yang telah dilakukan Ethan padaku, aku tidak akan melaporkannya pada siapa pun tapi aku ingin meminta penjelasan darinya. Aku percaya yang dilakukannya tadi sebagian besar adalah karena dorongan alkohol dan perasaannya yang tertolak, selama dua tahun aku mengenalnya tidak sekali pun dia menyakitiku. Bila dia meminta maaf dan berjanji tidak akan melakukannya lagi, aku akan memaafkannya.

Aku menjatuhkan tubuhku kembali ke atas ranjang, semakin erat memeluk selimut.

''Andrew Millard. Ternyata laki-laki yang sangat tampan."

Pipiku memerah mengingat bagaimana caranya tadi menghisap dan mengulum putingku, terasa sangat nikmat dan membangkitkan nafsu. Kalau bibir dan lidahnya sudah sangat nikmat, bagaimana jika kejantanannya yang berada di dalamku.

"Eh, kenapa aku jadi kepikiran yang mesum-mesum ya?"





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro