7| Ayo Menikah
Sejak kedatangan Paman Darma beberapa minggu lalu, Aji Bramantya memperketat penjagaan. Ririn harus selalu ada dalam pengawasan salah satu dari mereka. Kalau Dila di sekolah, Aji di rumah. Sepulangnya Dila, Aji pergi bekerja sampai sore pukul lima. Malamnya semua orang ada di rumah. Dila masuk kamar Ririn sampai dia mengantuk dan kembali ke kamarnya sendiri.
Rumah itu teramat luas. Hanya berlantai satu tanpa tingkat, tapi menurut Ririn itu sangat besar. Seluruh perabot kelihatan mahal dan dalam versi jumbo, tidak sama dengan barang-barang Bibi Lilis yang seadanya. Televisinya selebar pintu. Pintunya setinggi tiang bendera di sekolah. Sofa-sofanya sepanjang kamar Ririn di rumah Bibi Lilis. Aji Bramantya adalah orang kaya. Dia juga punya mobil yang mengilat. Dua kali Ririn naik mobilnya. Saat pertama kali datang dan saat pulang dari rumah sakit. Jok mobil Aji sangat empuk, berbeda jauh dari mobil travel. Dalamnya sangat wangi dan tidak bikin perut Ririn mual.
"Jangan khawatir. Aku suka di dekat Kak Ririn. Aku akan menjerit kencang kalau ada yang mencurigakan." Suara Dila dipelankan. Ririn masih bisa mendengarkannya, "Jangan-jangan pamannya itu orang yang bikin Kak Ririn seperti ini. Kita ketemu dengan Kak Ririn, dia tidak mau bicara. Sekarang jadi seperti itu lagi sejak pamannya datang. Padahal Kak Ririn sudah mau ngomong dan senyum waktu itu."
Aji Bramantya berdeham. Ririn tidak mendengar tanggapan pria itu. Ririn yang tidak punya pekerjaan, dalam tunduknya hanya bisa menyimak omongan mereka. Dila dan Aji Bramatya sangat peduli. Orang-orang ini begitu baik kepada Ririn. Ririn tak tahu kenapa mereka bisa sebaik ini. Sejak kecil, Ririn hanya punya satu teman, yaitu Melani, yang mau menerima Ririn apa adanya. Semua orang menganggap Ririn aneh dan gila, termasuk paman dan bibinya sendiri.
"Bujuk Ririn supaya mau mandi dan ganti pakaian. Baju Mama banyak yang muat untuknya." Begitu pesan Aji sebelum Ririn mendengar mobilnya menjauh dari rumah dan Dila masuk ke kamar Ririn lagi.
Ririn tidak lagi mandi sejak Paman Darma datang. Dia lebih suka memperhatikan keindahan taman rumah Aji dari jendela. Kadang Ririn membuka kacanya sedikit supaya angin bisa masuk. Rasanya segar saat badan yang gerah karena tak tersentuh air. Kamar mandi Ririn gunakan hanya untuk buang air saja. Kadang-kadang dia mencuci muka. Rambut Ririn terasa kasar, tapi tak apa. Semakin jelek semakin aman.
"Mana Ririn?" Suara Paman Darma.
Ririn mengintip dari jendela ke pintu gerbang rumah Aji yang terbuka. Dia baru saja pergi naik mobil. Pak Edy belum sempat menutup gerbang itu. Kesempatan bagi Paman Darma untuk menerobos ke dalam. Bagaimana kalau dia bisa masuk ke rumah ini juga? Ririn merasakan kakinya gemetaran. Darah terasa panas dan seluruh tubuhnya merinding. Ririn makin merapat ke jendela dan menyembunyikan wajah dalam lipatan antara perut dan lutut.
"Itu pasti paman Kak Ririn." Dila terdengar ketakutan.
"Usir dia dari sini. Tolong aku. Dia ingin berbuat jahat kepadaku."
"Kakak pindah wali saja. Papa bisa mengadopsi Kakak seperti di film. Kak Ririn tidak akan tinggal di rumah orang jahat itu lagi," ujar Dila menenangkan.
"Aku tidak akan pernah membiarkan kau bebas! Sejak kecil, kau milikku! Kau tidak bisa hidup bahagia karena kau hanya wanita bekas! Tidak akan ada yang mau mendekatimu!" Paman Darma berteriak dari halaman sambil menunjuk-nunjuk ke arah rumah.
"Bantu aku. Jangan biarkan dia menemuiku. Bantu aku. Kumohon!" Ririn berdiri.
Sebelum Paman Darma masuk, Ririn akan lari dari pintu belakang. Di sini sudah tidak aman karena Paman Darma bisa datang kapan saja. Dia mencari waktu saat Aji Bramantya tidak berada di rumah seperti saat ini.
"Kak Ririn tenang!" Dila menahan pergelangan tangan Ririn. "Kakak aman di sini. Pak Edy jago bela diri. Lihatlah, paman Kakak sedang dihajar Pak Edy. Dia tidak akan sampai ke sini untuk menyakiti Kak Ririn."
Ririn pun diam. Karena itu, dia bisa mendengar teriakan-teriakan dan suara gedebuk dari luar. Tak berani melihat. Tapi dapat dipastikan yang dikatakan oleh Dila benar. Paman Darma takkan bisa berkutik di bawah tangan Pak Edy.
"Sekarang aman. Dia sudah pergi."
Ririn merasakan napasnya terembus kencang. Lalu cepat-cepat dia pergi ke tempat tidur dan menutup seluruh tubuhnya dengan kain selimut tebal.
Apa yang akan dia lakukan? Ririn tidak suka hidup seperti ini. Untuk apa dia hidup dalam ketakutan? Untuk apa dia tetap hidup? Mati sepertinya lebih menyenangkan. Ririn tak akan merasa cemas lagi. Tidur saat mati pasti lebih nyenyak.
"Jangan mati karena kau masih berutang banyak kepadaku!"
Perkataan Bibi Lilis membuat Ririn lagi-lagi mengurungkan seluruh pikiran untuk mati. Hanya itu tujuan Ririn hidup di dunia. Kalau dia bisa melunasi utang itu, Ririn dapat mati dengan tenang. Takkan ada lagi kengerian didatangi Paman Darma. Tapi dengan apa Ririn membayar jasa Bibi Lilis? Apakah sebelum dia berhasil melunasi semua, hidup Ririn akan seterusnya dalam ketakutan?
Ririn bisa tidur walaupun tak nyenyak. Mimpi buruk selalu mendatangi di tiap pejamnya. Tubuhnya terasa hancur dan tak berguna. Otaknya lelah. Kenapa hanya dia yang punya kehidupan menyeramkan? Kenapa bukan Dila? Apakah Ririn punya salah hingga Tuhan memberikan dia takdir seperti ini? Tak ada orang yang menyayanginya. Yang ada justru seseorang yang ingin mencelakainya. Andai Ririn bisa bertukar peran dengan Dila. Dia juga orang baik. Ririn tak pernah jahat kepada siapa pun. Selama ini Ririn hanya diam tanpa niat mencampuri hidup orang lain. Tapi kenapa Tuhan mengumpankan dirinya kepada orang sejahat Paman Darma?
"Kak Ririn." Suara Dila membuat mata Ririn terbuka. Dia menyingkap selimut Ririn.
Ririn akui, dia memang tidak pernah menolong orang lain, seperti Dila yang menolong Ririn padahal Ririn orang asing. Apakah karena itu, hidupnya dilindungi Tuhan? Memangnya Ririn tidak layak hidup aman dan tenteram seperti Dila, walaupun tidak pernah membantu orang lain? Kenapa Ririn mendapatkan semua ini? Kenapa Tuhan juga jahat?
"Papa! Kak Ririn belum makan sejak siang. Kasihan sekali."
Ririn lebih tua darinya dua tahun. Dila memperlakukan Ririn seperti anak kecil. Ririn minta bantuan, tapi dia benci saat Dila bilang kasihan padanya. Dila itu ... Ririn tidak menyukainya. Ririn benci dia karena Dila hidup enak. Apa bedanya Ririn dengan Dila? Kenapa bukan dirinya yang mempunyai keluarga sebaik Aji Bramantya?
"Ada ayam goreng dan kangkung tumis. Bawakan air juga untuknya." Aji melirik melalui kacamata yang melorot ke hidung, di bawah kusen pintu kamar. Dia memegang kalkulator. Ia sedang bekerja waktu Dila menjerit memanggil namanya.
"Paman itu tadi datang," cerita Dila. "Kak Ririn jadi gemetaran waktu dia mencoba masuk gerbang. Papa bagaimana caranya kita bantu Kak Ririn? Pamannya itu menyeramkan. Aku saja takut melihatnya."
"Pamannya pasti akan datang lagi. Kita tidak tahu apa yang dia mau dari Ririn, tapi itu pasti hal yang buruk sampai Ririn menjadi setakut itu."
Aji betul, pikir Ririn.
"Pa, aku ada ide. Papa bisa adopsi Kak Ririn jadi kakakku? Wali itu seharusnya melindungi, bukannya seperti paman itu yang malahan menjahati Kak Ririn."
Ririn merasakan pipinya dialiri sesuatu yang hangat. Ia sangat ingin mati. Hanya itu caranya supaya Ririn aman dari Paman Darma. Namun, Bibi Lilis sudah banyak berkorban. Ririn memang tidak pernah menolong orang lain. Setidaknya dia jangan sampai berutang budi kepada Bibi Lilis, kepada Dila dan Aji Bramantya. Ririn harus pergi. Kabur sejauhnya.
Ketika malam tiba, Ririn sudah yakin Aji dan Dila berada di kamarnya masing-masing. Ririn tak perlu susah-susah berjalan dengan cara berjingkat. Jalannya sendiri tidak pernah menimbulkan suara. Orang-orang yang kenal Ririn mengatakan kalau kehadirannya diketahui bukan dari suara kaki, tapi dari aroma tubuh.
Pintu kamar tak perlu ditutup jadi sama sekali tak ada suara ketika Ririn ingin mencapai pintu belakang. Kegelapan malam bukanlah sesuatu yang dia takutkan. Ririn bisa meninggalkan rumah dan desa di malam hari. Seharusnya dia melakukan ini sejak dahulu agar jauh dari Paman Darma.
"Kau ingin ke mana?"
Suara Aji Bramantya yang penuh ketenangan mengagetkan Ririn saat berusaha membuka kunci. Lampu yang terang di dapur membuat sosoknya terlihat jelas. Aji Bramantya yang memakai kemeja lengan pendek sedang memegang gagang gelas keramik. Dia sudah berada di sana sejak Ririn tiba tanpa disadari Ririn. Aji meletakkan gelas itu setelah meminum seteguk air. Tangannya disedekapkan ke dada, tanpa ada niat mendekat ke arah Ririn. Aji sangat paham untuk menjaga jarak dengan Ririn.
"Jangan pergi dari sini. Di luar sana berbahaya." Nada Aji terdengar lembut. Dia pria kebapakan yang memperlakukan Ririn seperti dia kepada putrinya Dila.
"Tapi di sini juga berbahaya. Paman bisa datang lagi." Ririn menunduk dan melirik ke kakinya saja.
Aji Bramantya mengubah cara berdirinya. Masih di sana memperhatikan kata-kata Ririn.
"Dia datang waktu Bapak tidak ada. Pak Edy menang melawannya tadi, tapi bisa saja Paman melukai Pak Edy. Paman akan masuk dan mengambilku."
"Saya minta maaf untuk tadi."
Ririn menggeleng.
"Saya akan membayar orang satu lagi untuk menjaga rumah."
"Kenapa? Aku tidak mau berutang budi. Aku harus pergi."
"Saya tidak bisa melepaskanmu ke tempat yang lebih berbahaya."
Ririn mendongak dan merasa matanya berkaca-kaca sewaktu melihat wajah Aji. Aji pun melihat Ririn dan terdiam.
"Dila ada benarnya. Saya akan mengambil perwalianmu. Bagaimana? Apa kau mau?"
"Adopsi?"
Aji Bramantya tersenyum. "Maukah kau bercerita apa yang dilakukan Darma untuk alasan hukum? Dia adalah walimu. Kita butuh persetujuan tertulis darinya untuk mengadopsimu. Jika dia terbukti melakukan hal buruk, kita bisa menjeratnya dengan undang-undang. Dia tidak berhak menyebut dirinya lagi sebagai wali."
Aji bertanya mengapa Ririn malah menggeleng. Ririn takkan menceritakan kepada semua orang. Itu hal yang sangat berat. Dia akan mengingat seluruh kejadian buruk seakan semuanya terjadi lagi.
"Kalau kau tidak bersaksi, kita tidak punya alasan kuat. Ceritalah, kami akan menolongmu."
Sekali lagi kepala Ririn bergerak ke kanan dan kiri. "Aku ingin pergi. Aku ingin sembunyi saja," bisik Ririn dan menatap Aji dengan pandangan memohon.
Apa pun selain bercerita. Apa pun selain itu. Kejadiannya sangat buruk. Sangat mengerikan. Ririn semakin tidak suka dengan tubuhnya. Ririn jijik melihat dirinya sendiri. Bayangan itu kembali memenuhi memorinya. Ririn tidak suka. Lebih baik dia melarikan diri. Aji tak bisa menghalanginya. Aji takkan mendapatkan cerita apa-apa.
"Ririn! Kau tidak perlu bercerita kalau tidak sanggup. Sekali lagi maafkan perkataan saya."
Aji datang mengadang di depan Ririn. Ririn tak bisa membuka kunci pintu. Pria dewasa itu berada sejengkal dari Ririn. Ririn mundur menjauh dan berjongkok di bawah meja jati tempat Aji tadi berdiri. Ririn melihat kaki Aji yang memakai sandal rumahan berada di depannya.
"Apa yang harus saya lakukan denganmu?" Aji terdengar kebingungan. "Apa yang dia lakukan kepada gadis malang ini?"
Perlahan-lahan Ririn mengangkat wajahnya untuk menatap Aji Bramantya. Matanya redup.
Aji kaget dengan wajah Ririn yang kusam dan rambutnya yang menguarkan bau tak sedap. Namun, ada satu hal yang tidak bisa mengalihkan pandangannya, yaitu bola mata Ririn. Iris Ririn jernih berwarna cokelat terang. Aji mengutuk Darma yang menyebabkan gadis secantik Ririn menjadi sosok sehancur ini.
Tersimpan rasa kasihan amat besar dalam tatapannya itu. Dia tidak mengancam keselamatan Ririn. Aji Bramantya adalah orang baik. Dia berbeda dengan Paman Darma. Perlu berulang kali Ririn mengatakan hal-hal itu di dalam benak untuk meyakinkan diri.
"Tidak banyak orang baik dalam hidupku. Bapak salah satunya. Tidak perlu melakukan apa-apa. Biarkan aku pergi saja." Ririn memohon sekali lagi.
Aji Bramantya juga menatap Ririn. Aji memikirkan sebuah ide. Spontan ketika melihat mata yang jernih milik Ririn diselimuti ketakutan. Seolah kecantikan alami itu mencetuskan ide gila yang sebetulnya menarik untuk dilakukan. Namun, itu sulit dikatakan sebuah ide karena yang muncul di kepalanya itu mirip sebuah kegilaan. Pikirannya berkecamuk dengan permintaan Ririn.
"Ini mungkin terdengar lucu bahkan tidak benar. Hanya ini yang terpikir untuk membebaskanmu dari pamanmu. Apa kau ingin dengar?"
Ririn mengangguk. Kira-kira apa yang terpikirkan olehnya? Mungkin dengan begitu Ririn lebih aman selain pergi dari tempat ini.
Ririn masih menatap Aji dengan kedua bola mata yang penuh harap. Hanya orang asing, tapi dia ikut pusing memikirkan bagaimana agar Ririn aman. Kenapa keluarga sendiri malah menjadi orang yang justru mengancam keselamatannya? Kenapa dia dilahirkan seperti ini? Salahnya apa?
"Kita menikah."
Aji menunggu reaksi ketakutan Ririn. Lama ia nantikan, Ririn hanya diam. Tampaknya ia tengah memikirkan kata-kata untuk menolak. Jika itu Aji, diminta menikah oleh seseorang yang tak terduga, ia pasti akan jawab tanpa berpikir. Mungkin Ririn juga akan mengatakan ia gila. Siapa yang mau menikah dengan duda yang anaknya hanya berjarak dua tahun? Ririn lebih cocok menjadi anak, bukan istri. Sayangnya, selama beberapa minggu ini Aji tidak berhenti memikirkan Ririn. Ini terdengar aneh sebab dia tidak merasakan degupan kencang terhadap wanita—perempuan—setelah mama Dila meninggal. Ririn adalah yang pertama. Mungkinkah karena ia terlalu mengkhawatirkan keselamatan Ririn?
Ririn terdiam dan hanya melihat wajah Aji yang terkejut ketika berhasil mengutarakan idenya.
"Berarti Bapak akan melindungiku?"
Aji Bramantya lebih terkejut lagi dengan pertanyaan Ririn. "Saya akan menjamin kau selalu aman dan tidak akan ada yang bisa mengganggumu."
"Menikah itu seperti apa?"
Kening Aji membentuk kerutan-kerutan. Dia tampak tua kalau sedang seperti ini. Aji Bramantya memang sudah tua. Umurnya hampir sama dengan bapak Ririn jika masih hidup. Malahan mungkin Aji lebih tua. Bapak sudah mati waktu Ririn SD, sedangkan Aji masih hidup padahal anaknya saja sudah kelas dua SMP.
"Berapa usiamu?"
"Enam belas."
Wajah Aji memucat. Dia lebih terkejut dibandingkan mendengarkan jawaban Ririn tadi. "Kau masih SMA? Kenapa tidak bilang?"
"Bapak tidak menikah denganku karena aku masih sekolah? Kalau begitu, aku harus pergi jauh. Paman tidak akan melepaskanku lagi mulai sekarang."
Aji tidak akan mengizinkan Ririn pergi. Untuk itulah, Ririn sengaja mengancam. Jangan karena usia, dia tidak jadi menikah. Dengan menikah, Ririn bisa mendapatkan uang dari Aji. Seperti Bibi Lilis yang duduk diam di rumah. Paman Darma bekerja untuk memberinya uang. Uang Aji bisa melunasi utang kepada Bibi Lilis. Ririn juga bisa mendapatkan perlindungan Aji seperti yang dia katakan. Menjadi keluarga Aji seperti Dila. Ririn bisa menjadi Dila yang hidupnya tanpa ancaman bahaya.
"Saya pikir, setidaknya usiamu sudah dua puluh. Kau masih enam belas. Apa kata orang-orang? Tapi untuk adopsi sama-sama berbelit. Dan ...." Aji mengembuskan napasnya ketika berpikir sambil menatap Ririn.
"Dan?"
Aji malas menjelaskan kata-katanya tadi.
"Seharusnya Bapak tidak melarangku untuk pergi. Bapak tadi memberikanku harapan untuk hidup aman. Aku tidak percaya lagi."
"Baiklah," putus Aji.
Dasar, Bodoh!
***
Tbc
25 September 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro