Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4| Metamorfosis

4| Metamorfosis

Setiba di rumah Melani, Ririn mencari baju yang dipakainya sebelum ke pesta.

”Kau mau pakai kaus jelek itu lagi?”

”Di mana dia?” jawab Ririn tak acuh.

Melani tersenyum lebar dan berkata, ”Maaf, aku membuangnya. Aku kira kau tidak butuh lagi.”

Ririn tentu tidak mau memakai pakaian yang saat itu dia kenakan untuk pulang.

”Baru kali ini ada perempuan yang tidak senang menjadi cantik,” kata Melani.

Ririn malas berlama-lama di rumah Melani karena yang dia inginkan tidak didapat. Tanpa memedulikan komentar Melani, Ririn cepat-cepat pamit kepada Melani dan melewati ibu Melani yang sedang menonton televisi.

Langit berubah menjadi oranye. Bayangan Ririn di tanah tampak memanjang. Dia menemani Ririn berjalan di kampung yang sepi. Rumah penduduk desa telah ditutup. Ada juga warga yang sedang memasukkan kendaraan ke rumah. Ririn mempercepat langkah supaya segera tiba di rumah. Bagi Ririn kampung itu masih baru. Dulu waktu bersama Umi dan Bapak, Ririn tidak tinggal di sana. Paman dan Bibi pindah ke desa itu karena tidak suka mendengar komentar orang tentang kasus yang pernah dilakukan Paman Darma. Setelah Umi dan Bapak meninggal, Ririn tinggal  bersama mereka. Sedikit yang Ririn kenal karena Ririn tidak pernah berkenalan.

”Nah, ada apa kau berpenampilan seperti ini?” tanya Bibi Lilis waktu kaki Ririn hendak memasuki rumah.

Paman Darma baru saja keluar dari kamarnya. Dia menatap dari kepala sampai kaki Ririn. Kelihatan heran dengan penampilan baru remaja itu. Cara Paman Darma melihat Ririn berbeda dengan Bibi Lilis. Bibi Lilis selalu melihat Ririn seperti orang sedang marah, sementara Paman Darma bukan seperti itu. Ririn tidak bisa mengartikannya, yang jelas Ririn tidak suka. Ririn jadinya ingin bersembunyi di balik pintu kamarnya setiap kali ada Paman Darma.

Paman Darma menjilat bibir waktu melihat badan Ririn. Jelas sekali bagi Ririn. Matanya dari tadi tertuju ke bagian depan gaun Ririn dekat leher baju yang sangat lebar. Yang tadi membuat Ririn tidak nyaman di pesta perpisahan sehingga meminjam jaket Melani. Bukan baju itu yang Ririn pilih kemarin. Melani menukarnya dengan yang lebih terbuka.

Kau lebih cocok pakai gaun seperti ini daripada aku,” jelas Melani sebelum Ririn dengan terpaksa mengenakannya. ”Susuku masih datar, tidak seperti punyamu. Besar sekali, jadi sangat seksi.”

Lampu kamar Ririn tidak dinyalakan. Walau begitu, gadis muda itu bisa memilih baju yang paling dia sukai dari lemari. Sebuah kaus tebal yang warnanya jika di tempat terang sudah tidak keruan lagi. Entah merah atau putih atau kuning. Celana panjang dengan tali di pinggang dia pasang dengan cepat. Lalu Ririn membuka baju yang dibelikan Melani sebelum memakai kausnya sendiri.

Ranjang dengan kasur kapuk menyambut tubuh ringkih gadis itu. Rumah itu terbuat dari batako. Ririn punya kamar sendiri. Pintunya bisa dikunci dari dalam. Beberapa kali Ririn menemukan kuncinya rusak lalu benar dengan sendirinya.

Saat berbaring Ririn bisa mencium rambutnya sendiri. Wangi sekali seperti boleh dimakan. Isi kepala Ririn lantas segera menolak isi hatinya. Aroma seperti itu tidak baik karena yang manis biasanya akan dikerubungi semut. Makanya, Ririn kepikiran untuk segera membilasnya. Ririn berjalan ke kamar mandi yang letaknya di dapur, lalu menyiram diri dari kepala sampai kaki. Bukan mandi pakai sabun. Ini seperti yang dilakukan Bibi Lilis. Kata Bibi Lilis hal itu dilakukan untuk membuang kesialan dari badan Ririn.

Baju kaus tebal itu basah dan lengket ke kulit seperti gaun yang tadi Ririn pakai. Ririn dapat melihat buah dada yang kelihatan bulat di balik kain itu. Ririn menutupnya dengan tangan saat berjalan masuk ke kamar. Malu karena lebih besar dari milik Bibi Lilis. Padahal Ririn baru tamat dari SMP. Semua yang ada pada diri Ririn, cepat sekali berubah. Ririn dulu tidak setinggi ini, sehingga bajunya sudah banyak yang tidak bisa dipakai.

Seharusnya Ririn tidak memakai bajunya untuk dibasahkan. Air dari baju Ririn menetes di sepanjang jalan yang dia lewati. Bibi Lilis lalu berteriak marah-marah saat ia tahu.

”Ambil sapu pel! Ulahmu semua jadi basah!”

Ririn mengganti baju dalam gelap. Kalau terang, matalah yang harus ditutupnya. Setelah itu, Ririn menekan sakelar lampu hingga kamar itu sangat terang. Dalam cahaya lampu, kelihatan kulit muka yang bersih dan bibir merah muda. Lembut. Mereka mengoleskan sesuatu di bibir Ririn sehingga tidak kering lagi. Tangan dan kaki Ririn juga kelihatan lebih putih. Ririn segera mengganti celana panjang dan baju berlengan panjang.

”Ini!” Bibi Lilis memberikan ember berisi air wangi dan tangkai pel. ”Kalau sudah selesai, masuk kamarmu dan kunci!”

Ririn menuruti perintah Bibi Lilis, sehingga di pukul dua Ririn terbangun karena lapar. Ririn agak menyesal kenapa tadi tidak makan. Seharusnya, Ririn makan dulu sebelum tidur. Pelan-pelan Ririn membuka pintu untuk mengambil nasi.

Di lemari ada paha ayam. Ririn mengisi nasi menggunung di piring dan mengambil ayam itu serta sambalnya. Sekaligus dia membawa air dingin satu botol dari kulkas. Ririn akan makan di kamar diam-diam.

Piring baru ia letakkan di lantai. Minuman dingin juga sudah habis ia teguk. Pintu kamarnya diketuk. Suara Paman Darma kedengaran. Dia tidak pernah punya perlu ke kamar Ririn hingga Ririn bertanya-tanya apa yang membuat Paman Darma perlu memanggilnya di malam yang telah larut.

”Ririn buka pintunya.” Suara Paman Darma lembut.

”Aku tahu kau belum tidur, Ririn Manis. Ayo temani aku, bibimu sudah capek. Buka pintunya, Ririn Cantik. Aku tidak tahan lagi, cepatlah Ririn.”

Langkah gadis itu takut-takut ke pintu. Berondongan pertanyaan berkelebat dalam kepalanya. Apa nanti Paman Darma akan menatapku dengan aneh lagi? Apa dia memang butuh bantuanku? Kalau tidak terpaksa, pasti Paman Darma tidak perlu memanggilku. Sebelum ini, dia tidak pernah bicara denganku. Apakah Bibi Lilis benar-benar capek?

”Ririn, jangan biarkan aku menunggu lama-lama. Semakin lama, aku semakin ingin menerkammu.”

Mencekik? ulang Ririn dalam hati.

”Ririn yang cantik. Ririn yang penurut anak baik.”

Ririn pernah mendengar Paman Darma mengatakan itu. Dulu. Kapan? Dia tidak mengingat dengan jelas. Tiba-tiba Ririn melihat kenangan samar wajah Paman Darma yang matanya seperti hendak memakan Ririn. Seakan Ririn adalah daging segar bagi karnivora yang kelaparan. Dia menampar Ririn. Lalu menarik baju Ririn hingga Ririn hanya memakai celana dalamnya saja. Dia lalu melepaskan celana itu dan dia sendiri telanjang di depan Ririn. Lalu lalu … Ririn tidak ingin disiram karena mengingat kelebatan tidak menyenangkan itu.

Ririn menutup mulutnya supaya tidak berteriak. Ia menggigit bibirnya sampai berdarah. Ririn tidak boleh menjerit karena Bibi Lilis akan mengguyurnya dengan air dingin. Air matalah yang keluar sewaktu Ririn mengingat darah yang banyak di perut dan juga kakinya yang terluka waktu itu. Ririn dipukul dan Paman Darma mengatakan Ririn tidak boleh menceritakannya kepada Umi, kepada Bapak, dan kepada Bibi Lilis, serta kepada siapa pun juga.

”Apa yang kau lakukan di depan kamar Ririn?”

Itu suara Bibi Lilis!

Ririn masih membekap mulutnya. Ia tidak ingin Bibi Lilis menyeretnya ke kamar mandi pukul setengah tiga pagi.

🐳🐳🐳

Minggu pagi Ririn tidak melihat Paman Darma ketika sarapan.

”Hei, Ririn.” Bibi Lilis mengisikan nasi yang banyak ke piring Ririn.

Bibi Lilis tidak pelit dengan makanan. Bibi hanya jarang membelikan Ririn jajan. Dia memberi Ririn uang kalau akan berangkat sekolah. Dua puluh ribu cukup untuk Ririn membeli mie ayam dan minuman juga jajan. Uang Ririn sering bersisa dan Bibi Lilis meminta lebihnya itu. Besoknya dia akan memberikan lagi dua puluh ribu. Selain itu, Bibi Lilis tidak suka membelikan Ririn baju baru. Dia memberikan bajunya semasa muda kepada Ririn dan dipakai Ririn sampai bentuknya mirip kain lap.

Ririn malah senang karena buruk adalah keselamatan. Cantik adalah penderitaan. Bibi yang mengatakan itu dahulu saat pertama kali tinggal di desa itu. Katanya Ririn terlindungi jika jelek. Ririn kecil menuruti karena Bibi Lilis-lah yang akan mengurus dan melindunginya waktu itu. Bibi jarang memaksa Ririn untuk rajin mandi. Ia hanya mengungkit perkara malas mandi beberapa kali kalau sedang ingin mengomel saja. Ririn pun tidak disuruh mencuci baju setiap minggu. Dan jangan berharap pula Bibi mencucikannya untuk Ririn. Karena waktu Bibi Lilis kesal kepada Ririn, dia akan bilang bahwa Ririn pemalas. Lalu Ririn disuruh masuk asrama untuk hidup bersih.

”Apa yang kau pelajari di kelas IPA?”

Tidak pernah Bibi Lilis bertanya tentang sekolah Ririn. Dia mengatakan kalau otak Ririn cukup bagus waktu belajar. Bibi Lilis tersenyum lebar waktu menerima rapot karena Ririn  juara satu. Tapi dia tak bertanya bagaimana Ririn bisa medapatkan peringkat.

”Apa yang kau pelajari?”

Banyak sekali, pikir Ririn. Ririn memang lebih senang bicara dalam hati jika hal itu tidak penting untuk disuarakan. Ririn bepikir dia lebih baik mengambil buku catatan untuk diperlihatkan kepada Bibi Lilis. Saat akan bangun, Bibi Lilis justru menarik tangannya.

”Bodoh.”

Padahal banyak guru yang mengatakan sebaliknya,”  pikir Ririn.

”Kau belum pernah melihat tubuhmu sampai sekarang?”

Ririn menggeleng. Dia mulai tidak tenang. Ririn tidak suka membahas hal itu.

”Kau tahu ini apa?” tanya Bibi Lilis memegang dada Ririn yang kanan.

”Bodoh. Apa yang kau pelajari hingga bisa juara kelas?!” Bibi Lilis kelihatan kesal. Dia memang biasa marah kepada Ririn tanpa sebab. Tidak lagi membuat Ririn heran.

”Seharusnya kau marah susumu dipegang orang lain! Walaupun itu aku. Kau tidak boleh membiarkan siapa pun memegang tubuhmu!”

”Kenapa Bibi tidak minta maaf?” jawab gadis remaja itu dengan nada datar.

”Diam kau!” bentaknya. ”Saat aku ingin membuka bajumu, kau bahkan mendorongku. Sekarang kau tenang-tenang saja.”

”Bibi tidak membukanya karena Bibi takut aku dorong.” Senyuman Ririn membuat Bibi Lilis menampar kepalanya. Sakit hingga membuat Ririn hampir pening.

”Laki-laki, mereka semua berbahaya. Kau paham?”

Tiba-tiba wajah Rey mucul dalam ingatan Ririn. Dia membuat Ririn marah. Attar. Dia mengejar Ririn. Seluruh anak laki-laki mengejek Ririn lalu melihat Ririn dengan aneh waktu perpisahan. Paman Darma membuat Ririn kesakitan. Senyumannya membuat Ririn ketakutan. Setelah mengingat semua laki-laki itu, Ririn mengangguk.

”Kau perempuan. Kalau seorang laki-laki berada di dekatmu dan di sana tidak ada orang lain, sebaiknya kau lari. Siapa pun itu, termasuk pamanmu sendiri. Paham?”

Ririn berlari saat berdua dengan Attar. Sudah pasti karena Ririn mengerti akan bahaya, tetapi Bibi Lilis masih ingin memberikan Ririn beberapa nasihat. Sebagai wali, dia seharusnya melakukannya dari dulu, bukan hanya marah-marah, pikir Ririn masam.

”Anak bodoh ini. Apa kau mengerti bahaya apa yang aku maksud?”

Bahaya adalah hal yang mengancam keselamatan kita. Ririn hanya mengucapkan kalimat itu dalam hati.

”Baca surat kabar ini.” Bibi Lilis duduk lagi setelah masuk ke kamarnya mengambil koran lama.

Inti berita tersebut adalah seorang pria ditangkap polisi karena mencabuli keponakan sendiri. Di sana ada foto laki-laki dewasa dan anak perempuan yang mata mereka ditutup dengan garis hitam.

”Itu kau. Dan dia pamanmu. Kau melupakan kejadian itu, tetapi kau sendiri takut dengan pamanmu tanpa alasan. Kau tahu bahwa dulu dia dipenjara karena berbuat jahat kepadamu dan kau tidak tahu apa yang dia lakukan.”

Bibir Ririn tanpa ia sadari mengucap, ”Menampar pipiku. Ada banyak darah. Rasanya sakit. Aku ingat kok. Aku sekarang takut.” Bayangan itu muncul perlahan kemudian membuat Ririn ingin menjerit.

Bibi memegang tangannya dengan kuat. ”Kalau kau berteriak, aku akan menyeretmu ke sumur. Aku tenggelamkan kau di dalamnya. Kontrol dirimu!”

Mata Ririn menatap Bibi Lilis nanar.

”Kau semakin dewasa. Tubuhmu tidak bisa berbohong. Seburuk apa pun yang kau kenakan, sebau apa pun badanmu, iblis menyukai tubuhmu itu. Jangan sampai orang lain melihat badanmu lebih dulu. Lindungi milikmu dari siapa pun. Mulai minggu depan kau tinggal di asrama. Belajar yang rajin di sana. Balas semua jasaku yang telah menjamin keamananmu. Kontrol pikiranmu. Kau tidak boleh melamun. Bertemu dengan perempuan dan bicaralah dengan mereka. Abaikan apa yang kau lihat yang tidak orang lain lihat. Jauhi benda tajam. Jangan mati sebelum sukses. Dan jauhi makhluk berjenis laki-laki. Aku tahu kau pintar. Pasti ingat semua yang aku katakan. Jangan biarkan satu pun laki-laki mendekat kepadamu. Mereka semua binatang dan kau manusia. Kau manusia. Paham?”

Ketika Ririn menoleh ke depan, dia melihat Umi tersenyum di belakang Bibi Lilis.

”Kau disayangi bibimu. Hiduplah dengan bahagia, Ririn. Kau tidak pernah melakukan kejahatan. Tak ada yang perlu Ririn sesali. Umi selalu mencintai Ririn.”

”Umi!” Ririn berdiri dari bangku.

Bibi Lilis menarik tangan Ririn untuk duduk kembali. Dia menjambak kuat rambut remaja itu. ”Baru saja kubilang abaikan semua yang kau lihat dan tidak bisa kulihat! Kau ini memang sial.” Bibi Lilis menarik rambut Ririn hingga kakinya pun ikut bergerak menuruti Bibi Lilis ke kamar mandi. Satu gayung berisi air diguyurkan ke kepala gadis malang itu. Berkali-kali hingga seluruh tubuh Ririn basah.

”Sadar! Kau manusia! Berperilakulah seperti manusia! Tak capek apa saat kubilang kau anak setan? Kau memang ingin menjadi manusia tidak berguna? Mati saja!”

”Dingin. Dingin, Bibi!”

”Bagaimana bisa hidup normal kalau kau sendiri suka menjadi gila?”

”Aku tidak gila. Aku Ririn.”

Bibi Lilis selesai membilas tubuh ringkih Ririn yang membuat Ririn kedinginan. Kedua lututnya terlipat. Tubuh Ririn pun menggigil hebat. Dengan paksa Bibi Lilis menarik kaus yang Ririn pakai. Ririn begitu ingin mendorong Bibi Lilis. Namun ternyata Bibi Lilis ternyata telah siap untuk membuat Ririn terduduk kembali. Bibi Lilis lebih dulu mendorong Ririn ke lantai kamar mandi. Kaus basah Ririn  dicampakkan ke lantai lalu dia memaksa Ririn untuk berdiri lagi. Tangannya menjangkau sesuatu dari tali gantungan. Mata Ririn membola ketika melihat benda milik Bibi Lilis itu. Bibi Lilis memasangkannya ke dada Ririn hingga terasa sesak karena talinya yang sangat ketat.

”Aku sudah membeli bra yang banyak untukmu. Cukup untuk kau pakai selama di asrama. Kau harus terbiasa menggunakannya. Benda itu melindungimu dari kaum laki-laki.”

”Sudah ada jilbab. Bibi bilang jilbab melindungiku.”

”Di sana ada kegiatan outdoor. Kau tidak melulu di dalam kamar. Pakaianmu yang baru tidak setebal milikku yang kau pakai selama ini. Susumu akan tercetak dari luar dan orang tidak nyaman melihat itu. Intinya, semua wanita memakai kutang.”

”Kenapa aku tidak boleh memakai baju yang biasa?” tanya Ririn polos.

”Ya Tuhan! Itu asrama perempuan. Kau tinggal dengan orang lain. Tunjukkan kalau kau normal, bukan gadis gila yang hanya pandai cara berhitung dan menghafal teks pelajaran. Masalah personal kau nol besar. Bahkan dengan tubuhmu sendiri kau tidak paham. Cukup aku yang tahu kalau kau itu ... hah! Kau harus memperlihatkan diri sebagai siswa biasa. Tidak berinteraksi dengan setan dalam jenis apa pun, tidak tersenyum sendiri dan bicara sendiri, dan tidak menyendiri. Lingkungan baru akan membantumu menjadi manusia baru. Bukan anak kecil yang bunuh diri dan hampir gila karena mengikuti penunggu tubuhnya. Lawan mereka dari dirimu sendiri. Aku ingin hidupmu berguna. Bukan merepotkan dan menyusahkanku seumur hidup.”

”Aku tidak suka. Aku tidak suka memakai ini.”

Tanpa menghiraukan ucapan Ririn, Bibi Lilis meninggalkan Ririn. Ririn lelah. Banyak sekali yang harus Ririn hafalkan dari bibir Bibi Lilis. Habis ini apa lagi yang harus Ririn pelajari? Pelajaran dari Bibi Lilis itu berat dibandingkan menghafalkan satu buku teks pelajaran. Apalagi dengan kalimat Bibi Lilis yang dia ucapkan dengan penuh amarah. Sejak dulu Ririn dihadapkan pada berbagai emosi Bibi Lilis. Hingga sekarang bagi Ririn, mau Bibi Lilis marah atau tidak itu sama saja.

***

Bersambung...

Sumsel, 12 Agustus 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro