24| Bukti Kesalahan
24| Bukti Kesalahan
Luka bakar pada lengan Dila sebenarnya tidak terlalu lebar. Namun, bagian lain ikut memerah sehingga Rey sangat khawatir saat pertama kali melihatnya. Rey langsung memberikan pertolongan pertama. Sikap diam Dila dan mata merahnya membuat Rey memaksa gadis itu mengatakan kejadian yang sebenarnya. Maka setelah Dila tidur, Rey mendatangi pelakunya. Walaupun Dila berdalih bahwa Ririn tidak sengaja melakukannya.
Ririn sedang membuka pintu rumahnya saat Rey mendorong pagar yang tidak dikunci. Bodoh, benar-benar bodoh. Perempuan itu membiarkan akses masuk ke tempat tinggalnya sebebas ini. Rey melangkah lebar-lebar saat melihat Ririn merunduk untuk mengambil sesuai di lantai depan pintu.
Rey mendorong Ririn dan mengunci pergerakan perempuan itu ke dinding. Mata yang menyiratkan keheranan itu dalam sekejap menatap Rey dengan geram. Sama-sama geram, Rey menggertakkan giginya saat Ririn membalas Rey dengan kata-kata cemoohan, meskipun posisi wanita bodoh itu tidak sekuat tekadnya.
Rambut panjang Ririn terasa halus di telapak tangan Rey. Mengalihkan pikiran tersebut, Rey menarik surai itu lebih kuat. Perempuan itu tidak takut dan terus mengonfrontasi Rey. Namun, lagi-lagi wanita itu membuat Rey mengalah. Rey terdiam beberapa saat melihat bekas tangannya di lengan Ririn. Rey tahu jika dia memberikan tekanan yang lebih kuat, tangan wanita ini akan remuk. Dan seperti kayu mati, wanita itu tidak akan pernah merasa sakit.
"Jangan lakukan hal itu lagi. Bisa?" Rey menurunkan nada suaranya. Dalam hatinya sudah memaafkan, walaupun tidak ada kata maaf yang dia dengar.
Rey pulang ke apartemennya malam itu. Dia mengambil minuman yang dapat menjadi pengalihan untuk isi kepalanya yang karut-marut. Terlebih kejadian hari ini yang seakan menambah tanda tanya dalam kepalanya.
"Why?"
Satu kata itu berputar-putar dalam benak Rey akan tingkah Ririn. Duduk di kursi meja makan pada tengah malam dan sendirian, pikiran Rey melayang-layang kepada satu orang tersebut.
Pandangan Ririn kepadanya dipenuhi kebencian. Itu mengembalikan memori masa remaja Rey. Ketika sepuluh jemari kumal Ririn Dianika melingkari leher Rey. Tatapan itulah yang hari-hari ke belakang diberikan Ririn kepadanya. Dan itu tidak menyenangkan. Rey tak tahu harus bertanya kepada siapa kenapa sikap Ririn yang seperti itu sangat mengganggu pikirannya.
"Kenapa?"
"Orang bodoh. Gila." Rey menggenggam erat gelas kecil di tangan, ingin memecahkannya seakan gelas itu yang bersalah.
Perlakuan Ririn tadi meledakkan kemarahan Rey. Entah ia marah kepada siapa. Namun, Rey mendapati bahwa ia marah kepada dirinya.
"Sadarlah, Rey." Rey meneguk birnya seteguk lagi.
Rey terbangun karena punggungnya yang terasa pegal dan sakit. Matanya terbuka melihat sekeliling. Gelas kosong dalam genggamannya. Sementara itu, punggungnya yang sakit diakibatkan tidur di lantai. Rey merasa mual sehingga berlari ke closet. Ia terserang masuk angin. Sial sekali.
Hal itu tidak membuat Rey ingin diam di rumah. Mual karena gelas-gelas bir atau tidur di lantai malah membuat Reynanda mencibir jijik pada diri sendiri. Begitu perutnya mulai normal, Rey segera membilas seluruh tubuh, terutama kepala supaya lebih segar. Dan ia tetap pergi bekerja. Tentunya bukan ke toko.
"Rey!"
Kaki Rey baru saja melangkah beberapa langkah di lobby kantor ketika Rafka melambaikan tangannya dan tersenyum lebar. Rafka menepuk pundak Rey akrab.
"Kau kelihatan tidak sehat." Seakan perlu ditegaskan, Rafka mengomentari penampilan Rey.
"Aku merasa bugar." Rey mengelak. "Kau akan bekerja di sini? Mungkin mengisi posisi yang akan aku tinggalkan?"
"Ck. Aku tidak suka mendengarnya. Panggil aku 'mas.' Kenapa kau menanyakan itu, khawatir dengan tempat yang akan kau lepaskan? Ya kalau begitu, jangan berpikir untuk keluar dari sini," kata Rafka sekaligus membujuk Rey.
Rey mengempaskan bobotnya ke sofa panjang. Rey bersandar nyaman.
"Berapa kali kubilang. Itu bukan tugasku. Kaulah yang perlu kembali ke jalan yang seharusnya." Rey mengamati interior di atas kepalanya. "Dan 'Mas' datang lebih pagi dariku yang memang bekerja di sini ... sementara."
Rafka mengikuti cara duduk Rey: merebahkan kepala ke punggung sofa. "Mas menunggumu setelah mengantar Ririn. Kita sudah lama tidak mengobrol. Tadi Mas sudah naik ke ruangan kalian dan kau belum datang."
"Kenapa kau melakukannya? Apa itu juga tugas dari kampusmu, mengantarkan mahasiswa ke tempat praktik lapangan?"
Rey mendapatkan tinjuan di lengan atasnya serta tawa renyah dari Rafka Abimanyu.
"Kalau Ririn yang bertanya pasti akan terdengar gemas, tapi kalau Rey yang bertanya, tidak sama sekali. Karena Ririn bertanya sebab dia tidak tahu, sedangkan kau sudah tahu jawabannya."
Rey menatap jijik pada Rafka. "Apakah kau perlu membandingkanku dengan orang itu?"
Rafka menepuk pundak Rey lagi. "Adikku kenapa tidak manis sama sekali. Aku bercanda."
Candaan yang gagal itu membuat Rafka tidak memperpanjangnya.
"Aku ke rumah Ririn di sana aku bertemu pacarmu. Kau diam-diam sudah memiliki kekasih, Rey!"
Rey menegakkan punggungnya. "Siapa yang kau lihat?"
"Dila. Wah, kau pandai mencari pacar. Cantik. Kalian sangat serasi. Dia pun berkerabat dengan Ririn." Rafka menepuk sofa dan bangun dari posisi bersandarnya. "Kau juga harus membawa Dila ke rumah, Rey. Semua orang pasti senang karena sekarang Reynanda sudah memiliki pacar."
"Menungguku cuma untuk membahas sesuatu yang sepele di pagi hari. Itu memang kau sekali." Rey bangkit. "Jadi, kau membawa Ririn ke rumah orang tuamu?"
Karena pertanyaan itu, Reynanda mendapatkan satu pukulan di kepalanya bagian belakang.
"Bocah nakal! Orang tuaku juga orang tuamu! Sering-seringlah pulang!" Rafka kemudian pura-pura merapikan kerah kemeja Rey. "Papa selalu memikirkan anak bungsunya kau tahu."
"Pergilah bekerja!" Rey mendorong Rafka ke arah pintu keluar.
"Mas berharap kau tetap di sini, Rey." Rafka tersenyum lagi, senyum seorang kakak yang menasihati adiknya.
"Mas! Apa hubunganmu dengan Ririn? Dia perempuannya--" temanku.
"Belum ada dan sedang berusaha punya hubungan," jawab Rafka tanpa mendengarkan kata-kata Rey sampai selesai. "Selamat bekerja, Rey. Mas titip Ririn selama kalian di lingkungan yang sama."
Rafka pergi dengan lambaian. Begitulah Rafka yang terlihat banyak bicara, aneh, tetapi bisa memosisikan diri sebagai kakak di waktu lain.
Kaki Rey bergerak ke pintu besi dan menunggu hingga ia terbuka. Saat giliran ingin melangkah ke dalam bilik besi itu, kedua matanya bertemu dengan sepasang mata lain yang juga tak sengaja menatapnya.
"Selamat pagi," gumam Rey dengan senyum separuh. Ia mengadang langkah wanita yang sendirian dalam lift itu. Ririn tidak dapat keluar kecuali mendorong Rey seperti kejadian waktu itu. Rey sengaja berdiri di tengah pintu.
Ririn melipat tangan dan bersandar dalam posisi amat santai ketika melihat Rey menekan lantai lima. Pandangan Ririn tertuju pada sneakers-nya yang berwarna abu-abu. Hari ini Ririn memakai kemeja kotak-kotak warna navy maroon dan celana panjang hitam pudar. Penampilan Ririn berbanding terbalik dengan wanita yang datang ke rumah Rey saat mamanya meninggal. Waktu itu, dia terlihat seperti wanita anggun. Tidak salah orang-orang memanggilnya 'nyonya.'
"Keluar." Pintu terbuka di lantai lima. Lantai tempat rapat dan acara besar diadakan. Jadi, wilayah itu cukup sepi tanpa adanya event.
Ririn yang membatu membuat Rey mulai berang. Maka dari itu ia melakukan hal ekstrem. Dengan tingginya yang 185 cm, Rey memanggul wanita yang tingginya sekitar 177 cm itu. Akibat pergerakan serta pukulan di punggungnya, usaha itu sangat susah. Rey hampir tiba di meeting room. Perlawanan wanita itu makin menjadi ketika Rey berhasil membuka pintu double ruangan meeting.
"Nah, turunlah!" Rey menjatuhkan Ririn ke atas meja. Otomatis sebelah kiri tubuh wanita itu membentur meja kayu yang keras. Lengan ataslah yang lebih dulu terbentur disusul kepala.
Rey menyaksikan wanita itu menekan telapak ke meja untuk duduk. Kemudian sebelah tangannya memegang kepala.
"Sakit?" tanya Rey. "Itu kan maumu, minta diturunkan." Rey berkata acuh tak acuh.
Ririn berganti mengusap-usap lengannya. Rey berharap Ririn kesal, lalu akan terjadi perlawanan lagi. Tidak. Ririn mengusap lengannya sambil mendongak ke wajah Rey, tetapi tak ada ekspresi. Entah itu kekesalan atau kesakitan.
Rey menarik sebuah kursi besi beroda. Ia duduk di sana, menyebabkan posisinya lebih rendah dari tempat duduk Ririn.
"Ada kejadian apa lagi tadi pagi?" tanya Rey.
Ririn melengos, membuang muka.
"Jawab!" Rey menggebrak meja dengan kedua tangan. Membuat Ririn kaget dan mengarahkan lagi pandangan kepada Rey.
Ririn menghunuskan tatapan kepada Rey sembari mengulang kata-kata Dila, "Kak Ririn akan sendirian lagi. Tidak akan ada yang mau dengan Kakak. Kak Ririn tidak boleh hidup senang setelah mengambil papaku."
Rey tertawa. Rey mengenal Dila yang lembut dan baik hati. Justru Rey sangat percaya kalau kalimat barusan datang dari Ririn sendiri.
"Kau minta aku menjawab. Sudah. Tertawalah sepuasnya sampai gigimu rontok semua." Ririn bergeser hendak turun.
Rey tidak menahan Ririn sebab dia memikirkan ulang kalimat Ririn. Ia begitu percaya diri, mungkinkah Dila?
Saat tiba di pintu Ririn mengalihkan lamunan Rey, "Dan satu lagi," ujar Ririn. "Karena katanya, aku yang memanggang tangannya. Padahal belum aku apa-apakan. Sebelah tangannya yang sehat dapat jatah dariku pagi ini." Ririn tersenyum dengan menampakkan gigi-giginya. "Sepertinya jauh lebih sakit dari ini," kata Ririn mengusap lengannya sendiri.
Rey langsung berdiri saat melihat Ririn berlari. Dia mengejar perempuan itu. Ruangan yang kosong menjadi arena permainan bagi dua manusia sebaya itu. Ririn menghindar setiap Rey akan menangkapnya. Ririn sangat lincah membuat Rey kebingungan mengambil arah yang tepat. Rey semakin geram saat Ririn tertawa ketika berhasil lolos. Rey melihat bangku lalu mendorong dengan sangat kuat hingga membuat Ririn menabrak kursi itu. Ririn jatuh karena tersandung. Saat itulah Rey langsung menarik pinggang Ririn. Ririn terkulai dalam pelukan Rey. Mata perempuan itu tertutup dan bibirnya mendesis.
Rey melihat tempat jatuhnya Ririn. Tidak ada darah di sana. Namun, Ririn kelihatannya tengah kesakitan.
"Ririn," panggil Rey sekali. "Rin!" Rey mengguncang tubuh Ririn untuk kedua kali.
"Hm." Ririn bisa menjawabnya.
"Tertawa."
Ririn tersenyum dengan mata tertutup. "Pusing."
"Maaf," ucap Rey tulus. Ah, entahlah ia terdengar tulus atau tidak, tetapi hanya kata itu yang dapat Rey hasilkan dari bibirnya.
"Lepaskan. Jangan pegang aku." Ririn mendorong Rey lemah.
Rey melakukan sebaliknya. "Maaf."
"Ini sudah cukup," balas Ririn. Setelah itu, Ririn tidak menjawab saat Rey panggil. Tak ada gerakan ketika Rey mengguncang tubuhnya.
Rey mengangkat tubuh Ririn. Dia menunggu lift berharap tidak berpapasan dengan orang lain. Rey bersyukur doanya dikabulkan. Lobby juga sepi, hanya resepsionis yang duduk terlihat dari puncak kepalanya. Beruntungnya lagi Rey belum sempat naik ke ruangan, sehingga kunci mobil masih berada dalam saku kemejanya.
Setelah memasukkan Ririn ke bangku tengah, Rey membawa roda empat itu ke rumah sakit terdekat. Tidur perempuan itu terlihat damai. Namun, badai besar justru menyerang Rey. Ia mudah sekali terpancing untuk melakukan hal-hal 'berlebihan,' tapi selalu ada penyesalan setelahnya. Dibandingkan melihat memar di lengan Ririn tadi malam, saat ini Rey merasa sangat bersalah.
"Ririn." Rey mencoba memanggil Ririn.
Rey memutar setir ke kiri, masuk ke halaman luar sebuah rumah sakit swasta. Rey membawa roda empat itu ke depan ruangan IGD. Rey membuka pintu dengan cepat untuk keluar. Ia menggendong sendiri Ririn daripada mencari kursi roda atau brankar. Seorang suster menuntun Rey ke sebuah ranjang. Rey membaringkan Ririn pelan. Saat tubuhnya menyentuh tempat tidur keras, Ririn muntah.
"Kepalanya terbentur ke lantai," jelas Rey, hampir terdengar meracau. "Dia pingsan. Kepalanya pusing sebelum pingsan."
Suster mencatat keterangan dari Rey. Sementara Ririn yang membuka matanya sedikit kelihatan linglung. Rey berdiri di sebelah kepala Ririn. Ia mengusap kepala Ririn.
"Mual?" tanya Rey. "Maaf."
Ririn kembali menutup matanya. Rey ingin berteriak kepada tenaga medis yang lambat.
***
Rey baru saja kembali setelah menyelesaikan administrasi. Sudah ada orang lain bersama Ririn.
"Rey." Orang itu menghampiri dan menyapa Rey.
Rey melirik Ririn yang masih menutup matanya.
"Dia yang memberitahumu?" tanya Rey. Ia ambil posisi berseberangan dengan saudaranya.
"Ya. Nomor baru menghubungi Mas, untung aku biasa menjawab semua panggilan masuk." Rafka kelihatan sangat cemas dari raut wajahnya. "Apa tindakan selanjutnya? Apakah kepalanya perlu rontgen?"
"Aku pulang saja," sahut wanita yang berbaring itu dengan suara yang pelan. "Jangan berlebihan. Itu cuma jatuh."
Reynanda menghela napas. Ia mengangguk kepada Rafka. "Sebaiknya kita lakukan. Dia pusing dan mual."
Rafka menyentuh tangan Ririn. Ririn membuka kelopak mata karenanya.
"Lekas sehat, ya," ujar Rafka lembut dan tersenyum.
Rey meninggalkan mereka berdua. Itu juga terakhir kalinya Rey bertemu Ririn. Rey tidak datang lagi ke rumah sakit dan Ririn tidak ke kantor. Hingga tibalah hari terakhir jadwal praktik lapangan tiga mahasiswa di kantor. Hanya dua orang yang berpamitan dan memberikan kenang-kenangan, serta foto bersama para karyawan. Karena hanya lima hari Ririn tidak masuk dan itu juga karena dia, Rey pun memberikan penilaian yang baik untuk Ririn.
"Kak Rey!"
Rey tiba di depan rumah sewa Dila setelah beberapa hari ini dia sibuk ... berpikir. Ketika menutup pintu mobil, bukan rumah Dila yang dia lihat, melainkan rumah seberang jalan.
"Aku baru saja selesai memasak. Ayo, ke dalam!" Dila menggandeng lengan Rey ke rumahnya.
Malam itu selesai makan, Reynanda mendengarkan cerita Dila yang ceria dengan pikiran bercabang ke tempat lain. Ketika Rey memutuskan untuk ke sini, dia belum yakin apakah dia akan melihat keadaan orang rumah seberang?
"Beberapa hari ini Kak Ririn ke mana, ya?" Dila membawa nama orang itu dalam percakapan mereka.
"Apa dia tidak di rumahnya?" tanya Rey menekan rasa penasaran yang menggebu.
Dila menggeleng. "Kak Attar juga tidak tahu. Apa dia pergi dengan orang baru lagi, seperti yang dia lakukan dengan Kak Attar dulu?" gumam Dila.
Reynanda lantas berdiri. "Jaga diri," pesan Rey mengusap puncak kepala Dila. "Aku pergi dulu."
Rey tahu, dia harus ke mana. Dia sudah tidak ragu lagi.
***
2000 kata
tbc
30 Oktober 2023
Maumu apa sih, Rey? 😔😔
Maaf, ya, kemaren-kemaren jarang update. Kegiatan dunia nyata lagi buanyak. Makasih udah mau menunggu cerita ini dengan sabar. 😚😚😚
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro