Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23| Mulai Membenci

23| Mulai Membenci

Dua bulan berlalu ....

Ketika Ririn membuka pintu, Rafka tersenyum kepadanya. Ririn tidak terkejut karena malamnya Ririn sendiri yang mengatakan setuju dijemput Rafka. Kaki Rafka telah sembuh. Dia mengambil istirahat penuh di rumah dan melakukan pekerjaan daring. Rafka kerap mengatakan rindu kepada Ririn ketika menelepon. Maka dari itu, hari pertama Rafka berangkat bekerja dia langsung menemui Ririn. Tidak seperti Ririn yang selama tiga tahun ini menolak seluruh tawaran Rafka. Sejak menjadi pembimbing praktiknya, Ririn sudah mulai menerima kebaikan Rafka.

"Saya baru tahu kalau Anda sangat ontime, Pak."

Ririn belum bersiap. Dia masih memakai kaus tidurnya tadi malam.

"Oh, maaf! Saya bisa tunggu di sini dengan sabar. Gunakan waktumu seperti biasa untuk bersiap-siap."

"Tentu saja."

Dia menutup pintu dan tidak lupa menguncinya. Meskipun Rafka dosen, Ririn tetap punya batasan untuk 'laki-laki'. Sampai hari ini, definisi kaum mereka bagi Ririn belum berubah. Ririn juga tidak mempermasalahkan apa pun pandangan Rafka kepadanya. Tidak suka silakan menjauhinya. Ririn tidak akan peduli.

Ririn hanya membutuhkan setengah jam untuk membuka pintu lagi. Pria dengan tinggi yang hanya beberapa senti darinya itu langsung berdiri menyambut Ririn.

"Selesai?"

Ririn bahkan tak berniat menanggapi pertanyaan itu. Ririn memeriksa isi ransel sampai dia memutuskan untuk mengunci rumah. Tepat saat itu, suara sepeda motor memasuki indra pendengar mereka.

Ririn melihat laki-laki berjaket kulit warna cokelat itu dengan pandangan acuh tak acuh. Sementara Attar yang menyadari ada Rafka di samping Ririn memasang wajah tak ramah.

"Baiklah kalau kau tidak memberitahuku sebelumnya." Attar langsung berbalik setelah mengatakan itu. Ia naik ke sepeda besinya dan mengebut.

"Dia setiap hari mengantarmu ke mana-mana?" tanya Rafka ketika mereka berdua sudah berada dalam mobil. "Maaf. Karena saya, teman Ririn mungkin sedikit ... kesal?" Sebelum ada jawaban dari Ririn, Rafka meminta maaf.

"Kenapa Bapak sering meminta maaf?" tanya Ririn.

Ririn mengingat pertemuan terakhir dengan Rafka ketika dosennya itu belum sembuh total.

"Bimbingan di rumah Pak Rafka?"

Suara Arfa membuat seluruh kepala di dalam ruangan menoleh kepadanya. Termasuk Ririn yang biasanya tidak memberikan atensi kepada hal-hal yang dianggap sepele. Ririn sekarang menghadapkan badannya pada Arfa karena dia tidak mengetahui informasi itu sebelumnya. Ririn hendak bertanya, tetapi dia justru bungkam. Wajahnya saja yang mengguratkan pertanyaan.

"Karena kita hampir selesai. Kita harus segera memulai buat laporan," jelas laki-laki itu.

"Kapan?" Linsa bertanya. "Kenapa cuma kau yang diberitahu?" Linsa melihatkan isi chat grup yang tak ada pesan baru dari Rafka Abimanyu.

Arfa yang duduk di sebelah Linsa, juga bersebelahan dengan Ririn, karena laki-laki itu posisinya di tengah membisiki Linsa, "Kau pura-pura tidak tahu saja. Pak Arfa tidak mungkin chat langsung ke targetnya." Arfa melirik Ririn yang juga sudah menatapnya dengan pandangan ingin membunuh. "Eh, kedengaran, ya, Rin?" tanyanya dengan raut pura-pura bersalah.

"Kita langsung ke sana pulang kantor. Kau ikut mobilku saja, Rin." Arfa memang mengendarainya mobil, sedangkan Linsa diantar-jemput oleh ayahnya. Ririn tentu saja bersama Attar. Jadi, Arfa bisa mengangkut kedua temannya itu tanpa alasan 'aku bawa kendaraan'.

Mereka bisa tiba di rumah Rafka setengah jam kemudian setelah jam bubar kantor. Rafka menyambut kedatangan mereka dengan permintaan maaf. Kepulangan mereka pun dilepas dengan kata maaf.

"Bimbingan selanjutnya saya pastikan di kampus," lanjut Rafka selesai meminta maaf karena membuat mahasiswanya repot-repot harus datang ke rumahnya.

"Apa lagi yang harus kita lakukan jika salah? Pertama kali tentunya minta maaf." Dengan senyum manis Rafka menjawab.

"Mudah sekali." Ririn hanya bergumam kepada dirinya sendiri, tetapi Rafka yang mendengarnya malah tersenyum lebih lebar.

Kalau mudah, kenapa sampai hari ini Attar tidak pernah mengatakannya? Akhirnya, Ririn menemukan alasan kenapa sejak hari itu, Ririn ingin menjaga jarak dengan Attar. Selain karena Ririn yang ingin mulai mandiri. Setidaknya, bagi Ririn, sebelum dia menghasilkan uang untuk membayar Attar, Ririn ingin mengurangi ketergantungannya kepada Attar sedikit demi sedikit.

'Dan berpindah kepada orang lain?'

"Maksudnya tidak mudah?"

Kegiatan berpikir Ririn dipotong oleh pertanyaan Rafka. Ririn menunjukkan wajah bingung.

"Kau barusan menggeleng," kata Rafka.

"Hanya diucapkan?" Ririn kembali bergumam. "Tapi Rey ...." Lalu Ririn menggeleng. Ia tidak sengaja mengingat bagaimana cara Rey membuat Ririn mengungkapkan maaf, menjadikannya sebagai utang.

"Rey ... Nanda?"

Ririn melengos ke arah sebaliknya. Satu orang lagi selain Attar yang saat ini selalu Ririn hindari ... Kafka Reynanda. Jangankan berada di dekatnya, bicara dengannya saja Ririn hanya melakukannya jika benar-benar harus. Dan membahas orang yang tak disukai bukan sesuatu yang menyenangkan di pagi hari. Ririn lebih-lebih tidak ingin terlibat apa pun dengan mantan teman satu kelasnya itu. Hal ini sudah berlangsung semenjak Ririn melihat Dila. Waktu itu Rey menjambak rambut Ririn demi membela Dila.

"Tidak terasa tinggal beberapa hari lagi kalian sudah kembali ke kampus."

Ririn kembali memberikan perhatiannya kepada lawan bicara.

"Apakah menjadi dosen itu sulit?"

Rafka terlihat senang dengan pertanyaan Ririn. Terlihat dari senyumannya yang semakin lebar. Ujung bibirnya seperti nyaris ke telinga.

"Apa kau tertarik menjadi dosen, Ririn? Dosen tidak sulit. Justru menyenangkan. Kau akan menemukan mahasiswa random yang membuat rasa sedihmu seketika menguap. Saya tidak melebihkan. Karena itulah, saya memilih kampus dibandingkan kantor milik mama saya."

"Terlalu subjektif." Ririn bergumam. "Tapi harus melanjutkan kuliah lagi. Lama sekali."

Rafka menggeleng dengan senyuman menenangkan. "Dua tahun bukan waktu yang lama. Kau bisa menyelesaikan sambil menghela napas."

"Menghela napas? Aku selalu menghela napas dengan teratur setiap waktu. Apanya yang membuat itu istimewa?"

Rafka tampak berpikir. Fokusnya juga terbagi ke jalan.

"Maksudnya kuliah magister itu semudah kau menghela napas. Ya, seperti itu."

"Artinya tiga tahun baru bisa menjadi dosen?"

Rafka mengangguk. "Nikmati saja prosesnya. Seperti mencari teman, jangan sendiri-sendiri."

"Apakah itu baik?"

"Apanya?" tanya Rafka.

"Teman. Aku tidak butuh teman."

"Semua orang butuh teman, Ririn. Mungkin kita bisa menjadi teman? Kau mau?"

Ririn menggeleng. "Bapak dosen."

Rafka pun terkekeh. "Kalau di luar kampus, saya bisa menjadi teman Ririn. Seperti sekarang, juga seperti teman yang tadi pagi."

Ririn menanggapi Rafka dengan diam. Dia merasa aneh. Sisa perjalanan pagi itu diisi dengan diam.

"Kita sampai." Rafka mengejutkan Ririn yang sedang melamun.

"Ya. Terima kasih." Ririn segera turun.

Namun sebelum itu, Rafka memanggil Ririn. "Pulangnya–"

"Terima kasih." Ririn langsung turun sebelum mendengarkan perkataan Rafka yang sudah bisa ditebak ingin mengajak pulang bersama.

Ririn tidak berbalik lagi untuk melihat mobil Rafka. Ia terus ke bagian fakultasnya. Di sana sudah ada Linsa dan Arfa. Kening Ririn mengernyit melihat kedua teman praktiknya itu tampak menunggu. Memang aneh. Biasanya Ririn tidak pernah berjalan dengan teman. Seperti yang dikatakan Ririn pada Rafka tadi, dia tidak butuh teman. Orang lain pun tidak ada yang menawarkan pertemanan.

"Aw aw. Mobil itu aku sangat kenal. Kau diantar Pak Dosen!" Linsa mengadang langkah Ririn.

Ririn hanya menghela napas melihat keantusiasan Arfa dan Linsa bertanya. Padahal tidak satu pertanyaan pun yang Ririn jawab.

"Apa kau sudah menyiapkan semua berkasnya?" tanya Arfa kepada Ririn.

Ririn mengangguk. Mereka lalu ke kantor jurusan untuk mendaftarkan sidang PKL. Ririn tidak pernah datang ke kampus dengan semangat sebesar ini. Dia memiliki tujuan yang lebih pasti sekarang. Ririn harus segera meraihnya. Entah apa yang akan dilakukan Ririn setelah utangnya dibayar. Yang pasti Ririn akan melunasi semua utang itu secepatnya agar Ririn bisa hidup sendirian saja.

"Semoga kita melakukan ujian ini dengan baik." Arfa mengusap mukanya setelah berkas mereka diterima oleh petugas pendaftaran.

"Rin!" Linsa menarik Ririn sebelum Ririn meninggalkan gedung jurusan. "Aku dan Arfa berencana makan siang sambil membahas acara perpisahan di kantor."

Arfa mengangguk beberapa kali.

"Serta hadiah untuk Pak Rafka. Beliau memilihkan kita tempat magang yang enak," sambung Linsa.

"Apa pun keputusannya, aku tidak menolak." Ririn membiarkan kedua temannya yang bertanggung jawab untuk acara-acara yang dimaksud. Ririn ingin segera pulang.

"Riiin," rengek Linsa dan menarik-narik lengan Ririn. Wajah Linsa yang seputih susu memerah akibat ekspresi yang dibuatnya.

"Hanya sebentar saja, Rin." Arfa berkata tegas.

"Baiklah." Ririn mengangguk. Lengannya langsung dibelit oleh lengan Linsa. Ririn tidak menjauhkan, walaupun dia tidak nyaman.

Restoran all you can eat dalam mall menjadi pilihan Linsa dan disetujui Arfa. Ririn menurut saja seperti anak ayam terhadap induk dan bapaknya. Melihat tempat pilihan mereka, Ririn menyimpulkan bahwa kedua teman praktiknya itu bukan mengajak Ririn 'berdiskusi', melainkan membantu mereka membayar makanan karena mereka ingin makan banyak. Ririn menghela napas. Mengikuti Arfa dan Linsa tanpa ada protes. Ririn duduk saja ketika kedua orang itu asyik ke sana-ke mari mengambil daging.

"Silakan makan, kami yang memanggang," ucap Linsa tersenyum tanpa memperlihatkan giginya.

Begitu juga dengan Arfa yang telah mengambil posisi duduk di seberang Ririn dan Linsa.

"Kau senang?" tanya Arfa.

Ririn kira itu pertanyaan untuknya. Ternyata ditujukan Arfa kepada Linsa. Ririn kembali menunduk untuk membalikkan daging.

"Senang sekali."

"Traktir aku lagi lain waktu." Arfa mengetuk meja di hadapan Ririn hingga menarik perhatian Ririn. "Kau tidak bertanya, apa yang kami bicarakan? Tidak ada rasa ingin tahu?"

Ririn hendak menggeleng, tetapi didahului Arfa, "Sudah lama Linsa ingin menjadi temanmu. Dia ingin pergi bersama, jalan-jalan, dan makan seperti ini dengan kau."

Ririn menoleh ke samping. Linsa sedang tersenyum lebar kepada Ririn dengan gigi-giginya yang tersusun rapi. "Hari ini aku senang."

Ririn memalingkan muka kembali ke daging panggang yang mengeluarkan desis.

"Bunda Ririn!"

Kepala Ririn langsung mendongak mencari suara yang barusan menyapanya.

"Benar ada bundaku. Dari jauh aku melihat orang mirip Bunda Ririn. Aku tidak salah mengenali. Boleh aku bergabung?" tanya Dila kepada Arfa dan Linsa.

Sumpit di tangan Ririn tergantung karena fokusnya tak teralihkan dari kehadiran gadis kecil Aji Bramantya yang bertingkah akrab.

"Boleh, duduk di sini." Arfa menarikkan kursi di sampingnya.

Dila menopang dagunya sembari tersenyum. "Bunda terlihat seperti anak muda. Hm, ternyata Bunda Ririn pandai menyesuaikan diri. Bagus."

"Bunda?" tanya Linsa.

Dila mengangguk dengan bersemangat. "Kak Ririn adalah bundaku."

Ririn meletakkan sumpit di meja. "Apa yang sedang coba kau katakan?" Ririn melipat tangan di dadanya. Kemudian pandangan Ririn berganti untuk menatap Linsa dan Arfa. "Dia dulu tidak suka memanggilku begitu ... Bunda." Ririn tertawa hambar. "Saat aku sudah bercerai dan ayahmu mati? Sekarang aku menjadi bunda?" sindir Ririn.

Ririn tidak masalah jika semua orang tahu tentang statusnya. Jika Dila ingin membeberkan, Ririn akan mendahuluinya, "Kau benar, saat itu aku bundamu karena ayahmu menikahiku. Tapi sekarang, kita tidak ada hubungan apa pun. Aku tidak mungkin kembali menjadi istri ayahmu yang sudah di dalam tanah bukan?"

Ririn tertawa melihat wajah Dila yang sangat merah. Takkan dia biarkan Dila menang. Oh, Ririn paling suka melihat wajah Dila yang seperti ini.

"Bangun dari masa lalu, Dila. Dulu ataupun sekarang, kau takkan pernah bisa menghadapiku." Ririn melanjutkan dengan senyuman angkuh. Kemudian tatapan Ririn berpindah kepada dua teman praktiknya, "Kabari aku kalau kalian sudah memastikan acara perpisahan dan hadiah untuk dosen." Ririn lalu berdiri. Dia berjalan ke sebelah Dila untuk berbisik, "Silakan pikirkan hal yang lebih kreatif untuk membuatku malu."

Ketika Ririn hampir sampai di pintu, dia berpapasan dengan seseorang yang dikenal. Ririn menatap datar kepada lelaki itu lalu melangkah lebih cepat untuk pergi dari sana.

***

Ririn menerima makanan pesanan Attar yang diantar oleh driver ojek. Sejak meninggalkan rumah Ririn tadi pagi, Attar tidak menghubungi Ririn bahkan satu pesan pun. Ririn pulang sendiri naik taksi sebab Attar tidak menanyakan Ririn ingin dijemput atau tidak. Malam ini Ririn akan keluar untuk membeli makanan. Ternyata Attar sudah lebih dulu membelikannya.

Baru saja hendak menutup pintu, daun pintu itu didorong oleh seseorang dari luar. Ririn terpaksa melangkah mundur biar tidak terjepit oleh pintu dan dinding.

"Kenapa kau ...." Pertanyaan Ririn tertahan sewaktu mengingat hal itu.

Reynanda, orang yang kini berdiri dengan aura gelap di hadapan Ririn, tahu alamat rumah ini dari Dila. Jadi, percuma saja Ririn waktu itu kabur darinya sewaktu pulang dari rumah sakit. Reynanda akhirnya tetap mengetahui di mana rumahnya.

Walaupun tinggi Ririn melebihi telinga Rey, tetapi saat berjarak dekat seperti ini, Ririn perlu mendongak untuk melihat wajah laki-laki itu. "Katakan apa yang kau inginkan!"

Rey menekan pundak Ririn ke dinding.

"Lepaskan!" geram Ririn.

Ririn ingin mendorong Rey. Namun, laki-laki itu malah mengambil kedua tangan Ririn dan membalikkan tubuh Ririn menghadap dinding.

"Sejauh mana kau ingin membuat Dila celaka?" bisik Rey.

"Dasar pengadu dan kau ... banci, beraninya cuma melawan perempuan."

Ririn dapat mendengar saat Rey menggertakkan gigi setelah Ririn mengolok-oloknya. "Sini lawan aku! Mana dia? Bukankah dia pindah ke sini untuk mengajakku bermain? Baru segitu sudah memanggil anjing peliharaannya."

Ririn mendesis ketika Rey menarik rambutnya.

"Aku akan memberimu kesempatan untuk minta maaf. Bagaimana?" tanya Rey.

Ririn tertawa kecil. "Untuk apa? Dalam permainan tidak perlu maaf-maafan. Katakan padanya untuk sportif menerima kekalahannya."

"Aku sempat salah menilai seseorang." Rey bergumam.

Ririn merasakan tangannya mulai dilepaskan dan ia segera membalikkan tubuhnya.

"Jadi kau menyesal?" tanya Ririn walau dia tidak memahami kalimat yang diucapkan Rey. Mungkin saja Rey menganggap Ririn bisa menjadi teman yang baik setelah menempuh perjalanan panjang bersama-sama. Namun, ternyata tidak bisa.

Reynanda mengembuskan napas kasar. Ia pun melirik ke lengan Ririn.

"Jangan lakukan hal itu lagi. Bisa?"

Ririn hanya terdiam di ambang pintu tanpa memberikan tanggapan apa pun sampai Rey berjalan semakin menjauh.

Ririn tidak mengerti kenapa Rey datang dengan kemarahan yang luar biasa malam itu sampai paginya wanita yang dibela Rey datang ke rumah Ririn. Dila memakai perban di lengannya. Alih-alih kesakitan, wajahnya terlihat berseri-seri.

"Kau membuat dirimu sendiri celaka agar anjingmu membalaskannya untukmu?" Ririn melipat kedua lengannya. Tebakan Ririn tidak mungkin salah. "Jadi, itu ide kreatif yang kau dapatkan?" Ririn mencibir.

"Kak Ririn akan sendirian lagi. Baik itu Kak Rey, maupun Kak Attar, tidak akan ada yang mau dengan Kakak. Kak Ririn tidak boleh hidup senang setelah mengambil papaku. Aku pastikan Kak Attar juga membenci Kak Ririn, seperti Kak Rey."

"Begitu?" Ririn ingin tertawa mendengarnya. "Lakukan."

***

Tbc

28 Oktober 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro