Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2| Kepergiannya

Nggak nyangka ada yang masih ingat cerita Ririn. Kalau begitu, selamat membaca.

🌻🌻🌻

2| Kepergiannya

Mata Rey memerah. Dia tidak berdaya di bawah tangan Ririn. Sedikit air mata terbit di sudut matanya waktu Ririn menekan lebih kuat kulit leher Rey yang lembut. Dia berusaha melepaskan diri. Ririn tersenyum senang. Ia menang. Tak berapa lama, Rey melarikan diri. Tangan Ririn tiba-tiba kosong.

Bunuh!

Suara itu datang dari belakang jendela kelas. Seperti angin, tapi ada suara orang. Ririn tidak paham. Ia pun mengikuti Rey ke lapangan yang berlari sangat cepat. Kedua tangan Ririn terasa tegang karena sensasi menyenangkan saat berhasil membuat Rey ketakutan. Kakinya begitu semangat menuju Rey.

Bunuh!

Suara perempuan itu masih menggema di kepala Ririn. Ririn berlari cepat berputar haluan mengekori Rey ke kantin. Sepi. Hanya ada pedagang yang bersiap untuk menyambut kedatangan gerombolan murid di waktu istirahat. Anak SMP semuanya berada di kelas karena menuruti perintah guru piket atau mungkin kelas lain gurunya datang, tidak seperti kelas tujuh dua sekarang. Reynanda hilang. Dia bersembunyi entah di mana.

"Ririn!"

"Rin!" panggil Melani. "Kau mau ke mana? Ayo masuk, sebentar lagi guru masuk kelas."

Ririn mengamati seluruh kedai dan tidak ada tanda-tanda Rey.

"Aku mencari Rey."

"Untuk apa? Rey sudah ketakutan tadi," bujuk Melani lagi.

"Aku benci dia. Aku ingin membunuhnya!"

Pandangan Ririn bertemu dengan penjual mie ayam yang tampak terkejut. Dia langsung sibuk meracik mie ke mangkuk, pura-pura Ririn tidak ada. Seperti biasa, Ririn hanya ada tapi keberadaannya tidak disadari.

"Kau serius, Rin? Mana boleh membunuh teman sendiri." Melani tertawa, merasa lucu dengan jawaban Ririn.

Ririn tidak bercanda. Rey sudah membuat sedih Bapak. Ririn seakan dapat melihat Bapak hampir menangis karena diejek Rey bersama teman-temannya. Rey harus mati agar dia bertemu dengan Bapak dan meminta maaf.

Kelas tujuh dua sudah ramai. Ada OSIS juga di kelas itu. Ririn berjalan melewati kerumunan. Seperti melewati rimbunan daun di hutan, mereka menyibak kerumunan sendiri tanpa perlu dipangkas. Mereka menatap cara berjalan Ririn yang menunduk ke lantai keramik putih.

Bunuh Rey.

Suara perempuan itu lagi. Ririn merasakan angin melewati tubuhnya. Ternyata dia ada di balik jendela. Perempuan itu menatap Ririn dengan tersenyum. Tubuh Ririn terasa lemas. Hampir saja ia jatuh kalau saja Ida, senior kelas sembilan yang juga perangkat OSIS, tidak menangkap tubuh kecil itu. Ida berbadan gemuk dan kekar. Dia tidak memakai jilbab. Agamanya berbeda. Namun, dia memiliki toleransi terhadap Ririn yang oleh teman sekelasnya tidak dihargai sama sekali. Ida tidak menutup hidung walau kata Rey, Ririn bau kotak sampah. Rambutnya yang ikal menggelitik di pipi Ririn.

"Airnya mana? Bawakan cepat ke sini!" Dia berteriak kepada temannya. "Lama!"

Ida memegangi tangan Ririn yang terasa tegang. Tangan Ririn terulur ke depan ketika melihat Rey datang. Rey berdiri di depan papan tulis dengan keringat menetes dari rambutnya. Wajah Rey masih tampak berguratkan kesombongan. Bagi Ririn itu sangat menjengkelkan.

Ririn berhasil lolos dari pegangan Ida menuju tempat Rey. Kembali menekan peredaran darah Rey di lehernya yang terasa hangat. Rey kehabisan napas. Denyutan di leher Rey terasa mengencang di bawah tangan Ririn. Suara perempuan itu berganti tertawa. Ririn juga ikut tertawa melihat wajah Rey yang menderita. Ternyata Ririn tidak sendirian. Tadinya Rey bersama seluruh orang mentertawakannya. Sekarang dia ketakutan dan Ririn berhasil tertawa melihat Rey lemas.

"Rey, lari!" teriak Ida.

Teriakan itu membuat tangan Ririn mengendur. Ririn menatap Ida yang sudah merusak rencananya. Saat itu, Rey melarikan diri seperti pengecut. Lalu dunia menjadi malam dalam seketika. Ririn merasa lemas sekali tidak sanggup mengejar Rey lagi.

"Sudah bangun, Anak Setan?" Suara Bibi Lilis terdengar waktu Ririn ingin membuka mata.

Kepala Ririn terasa pusing. Ririn pernah mengatakan pada Bibi Lilis, mungkin dia bisa memberikan Ririn obat. Tapi tidak pernah. Bibi Lilis ingin Ririn mati. Kalau sakit, berarti ajalnya sudah dekat. Bibi Lilis senang. Padahal, waktu Ririn ingin mati dulu, Bibi Lilis malah menyelamatkannya. Jadi, Ririn menahan denyutan di kepalanya, walaupun matanya berkunang-kunang. Ririn duduk dan menyadari ternyata dia sudah di rumah.

"Pusing aku dengan kelakuanmu. Hei, kau ini bisa berpikir atau tidak? Kau tahu kan ini dunia manusia. Bergaullah dengan manusia. Teman setanmu itu jangan kau ikuti. Kapan bisa jadi manusianya kau ini? Bikin repot saja hidupmu. Setelah membunuh orang tuamu, sekarang kau ingin membunuh temanmu?"

"Rey bukan teman. Aku tidak punya teman. Ada—" Ririn langsung mengatupkan bibir waktu hampir menceritakan anak perempuan itu.

"Iya! Kau tidak punya teman dari jenis kita. Kau punya mereka, yang hanya bisa kau lihat sendirian. Sudahlah, aku muak mengurus kegilaanmu. Bangun kau, ganti bajumu. Cuci yang bersih agar sialmu hilang dan tidak merambat kepada orang lain!"

Ririn hanya mengganti baju lalu menggantungnya di belakang pintu. Warna baju itu sudah bukan putih lagi. Padahal baru enam bulan tidak disikat.

"Ririn tadi kemasukan lagi? Apa benar dia mencekik teman sekelasnya?"

Ririn yang ingin duduk di kasur tidak jadi. Kakinya berjalan ke jendela, melihat orang yang baru bicara sambil pura-pura berbisik. Bibi itu badannya gemuk memakai kain sarung yang diikat di pinggang. Kepalanya ditutup pakai kain juga, tapi rambutnya keluar ke kening. Dia tinggal di sebelah rumah ini. Sekitar sepuluh meter. Rumah di kampung ini memang jaraknya jarang-jarang.

"Anak si Willa janda, tukang gado-gado RT tiga."

"Terus bagaimana? Masih kau bolehkan sekolah? Apa tidak kau kurung lagi saja? Kasihan juga teman-temannya."

"Biarlah. Aku tidak peduli kepada mereka. Kalau tidak diganggu, Ririn tidak akan kumat. Salahkan saja orang usil. Untuk apa dia kalau tidak sekolah? Otaknya lumayan kalau disuruh belajar."

"Carikan orang pintar. Aku dengar ada yang bisa menyembuhkan sakit seperti Ririn."

"Halah. Aku tidak mau berakhir seperti orang tuanya. Mati karena dia. Kalau dia bikin ulah, aku tahu caranya. Sudahlah, dia bisa aku kendalikan. Gampang itu. Sekarang ini tugas dia adalah belajar."

Sejak pindah ke desa ini bersama Paman Darma dan Bibi Lilis, Ririn hanya keluar untuk sekolah. Setahun di kelas lima sebelum dikurung. Masuk SMP Ririn juga hanya tahu rumah dan sekolah, tidak pernah jalan ke mana-mana. Ririn tidak paham RT tiga itu ke arah mana. Obrolan Bibi Lilis dengan bibi tetangga masih berlanjut. Mereka tidak tahu Ririn keluar lewat pintu belakang untuk pergi ke RT tiga.

Jalanan tanah merah ditapaki Ririn dengan telanjang kaki. Dia lupa memakai sandal. Oh, bukan itu. Ririn tidak memilikinya. Bibi Lilis hanya membelikan Ririn sepatu sekolah. Sengatan panas tengah hari menimpa langsung rambut Ririn yang tipis. Tanah yang terinjak juga terasa panas. Sesuai perhitungannya, tibalah Ririn di RT tiga. Perkampungan di RT itu ternyata lebih ramai dari tempat tinggal Ririn di RT lima. Banyak pepohonan di sisi jalannya.

Sebuah sepeda motor mendahului Ririn. Pengendaranya adalah Attar, teman sebangku Rey. Ririn berjalan cepat agar tidak kehilangan jejaknya. Motor Attar masuk pekarangan rumah satu lantai yang dindingnya terbuat dari papan. Dilihat dari keadaan rumahnya, Ririn berasumsi bahwa Reynanda adalah anak miskin. Rumahnya lebih kecil dari rumah Bibi Lilis. Ibunya berjualan gado-gado, tapi memiliki wajah yang cantik. Ririn dapat melihat ibu Rey tersenyum manis kepada seorang anak yang duduk di bangku warung, walau Ririn berdiri cukup jauh di seberang jalan, di balik rimbunan ilalang.

Rey keluar menemui Attar di pintu. Mereka masuk dan Ririn tidak bisa melihat mereka lagi. Ririn pun berjalan di balik rumput-rumput ke sebelah rumah Rey. Ibu Rey tidak melihat Ririn karena sibuk menaruh sayur-mayur rebus ke dalam piring. Ada seorang anak yang membeli gado-gado. Dia melihat Ririn. Agar tidak dilaporkan, Ririn melotot kepadanya. Dia yang ingin mengatakan sesuatu kepada ibunya Rey, tidak jadi. Ririn berlari ke sebelah rumah dekat jendela. Ia ingin tahu, apakah Rey masih ketakutan. Ririn tidak jadi membunuhnya, walaupun tadi sempat ingin. Sekarang sudah tidak lagi. Ririn sudah mentertawai Rey karena dia mentertawai Ririn. Mereka impas.

"Pindah ke mana kau?" Suara Attar terdengar.

Ririn makin merapat ke dinding.

"Yang jelas tidak satu sekolah dengan orang gila itu."

Sudah terbiasa dikatakan begitu, jadi Ririn tidak sakit hati. Ririn hanya marah jika Bapak atau Umi yang dikata-katai.

"Tidak perlu pindah. Besok balas dia. Jangan kalah dari cewek. Woi, kau punya rokok? Mamamu tidak marah?"

"Diam, Bodoh. Kalau kau berteriak, dia pasti tahu!"

Attar tertawa. "Minta satu!" katanya.

Lalu terdengar tepukan. Ririn mengintip, ternyata Rey menampar tangan Attar yang ingin mengambil rokok milik Rey.

"Sialan itu benar-benar gila, tapi ternyata dia lebih gila dari sangkaanku selama ini."

Rey mengisap rokok itu seakan dia sudah terbiasa. "Dulu dia pernah bunuh diri di belakang sekolah. Dia terkenal daripada aku karena kejadian itu. Padahal orangnya sudah tidak ada di sekolah. Kata orang, dia dikerangkeng oleh bibinya. Persis seperti orang gila."

"Memang kau dulu satu sekolah dengan dia?"

Tidak ada sahutan dari Rey. Ririn juga ingin tahu apakah Rey ada di kelasnya dulu.

"Dia kakak kelasku. Aku kalah tenar. Sialan sekali si jorok itu. Guru jadi lebih sering membahas dia dibandingkan aku."

Attar tertawa dan Ririn tidak tahu di mana yang lucu dari kata-kata Rey.

"Sangat ingin dikenal, Reynanda. Sainganmu si buruk rupa Ririn. Kenapa tidak ada yang cerita kalau Ririn itu gila sejak kita pertama kali masuk sekolah? Kalau aneh dan kotor, semua juga tahu."

"Murid di SD-ku hanya sebelas dan sepuluh lainnya sekolah di SMP satu. Hanya aku yang sekolah di sini dan ternyata si gila itu juga. Kenapa aku repot-repot bergosip tentang dia? Lebih baik menganggap dia tidak ada."

"Makan dulu, Rey, Attar." Suara ibu Rey dari depan.

"Kau janji menjaga Mama selama aku tidak ada. Besok Subuh ikuti aku ke pasar mengantar Mama. Matikan rokokmu! Cepat keluar. Nanti ketahuan, kugorok lehermu!"

Besoknya Ririn melihat Rey datang bersama ibunya. Mereka langsung ke kantor guru dan Rey tidak meletakkan tasnya dulu di kelas.

"Rin! Mau ke mana? Aku bawa jasuke. Kau mau yang keju atau yang ada cokelat?" Melani tidak menarik tangan Ririn. Dia membatalkan niat Ririn untuk menyusul Rey karena tawaran itu. Ririn mengambil yang ada cokelat dari tangan Melani. Aromanya harum sekali dan Ririn menyukainya.

"Kau suka cokelat?"

Ririn tidak menjawab karena jasuke pemberian Melani sangat nikmat. Manis dan kental terasa di lidah. Jagung yang lembut pecah oleh giginya. Pelan-pelan Ririn menelan agar tidak cepat habis. Melani dan Ririn berdiri di teras sambil makan jajanan yang dia beli. Melani berubah menjadi baik. Walau tak tahu sebabnya, Ririn menyukai Melani yang bersikap baik. Dia membelikan Ririn jajan yang biasanya Ririn ingin, tapi tidak pernah bisa membeli. Jasuke selalu ramai dan Ririn malas mengantre di antara banyak orang. Waktu kerumunan hilang, jasukenya pun habis.

Bel tanda pelajaran akan dimulai berbunyi. Semua kelas tujuh dua masuk kelas. Diam-diam Ririn melihat ke bangku Rey. Bangku itu kosong.

"Kenapa?" tanya Melani saat mereka melewati pintu.

Kelas tujuh dua kelihatan berbeda. Biasanya banyak yang bercanda dan saling mengolok-olok. Apalagi kalau ada Rey. Kelas itu diamnya hanya kalau ada guru yang masuk.

"Rey pindah sekolah," jawab Attar.

"Bukan itu," kata Vina yang duduk dekat pintu, "dia pindah ke rumah papanya."

"Maksudnya ke Jakarta?" tanya Melani.

Tampaknya seluruh kelas tahu ayah Rey tinggal di kota besar itu, termasuk Ririn.

"Dia ketakutan." Teman yang lain menanggapi. Ririn tidak tahu siapa yang mengatakan itu.

Ririn berjalan ke pojok, tidak menghiraukan berita itu. Dia sudah mendengarnya kemarin langsung dari Rey.

"Rey pasti takut dicekik Ririn."

Ririn menatap Asih yang langsung membuang mukanya.

"Rey pindah karena keinginan sendiri. Karena Rey tidak suka satu sekolah denganku. Bukan salahku." Ririn bergumam sendiri, tak berniat untuk menyebarkan yang ia tahu.

🌻🌻🌻

Bersambung...

Sumsel, 20 Mei 2023

Sebenarnya kejadian Ririn ini terjadi di sekolah. Duh, siapa ya namanya, saking lamanya sudah lupa. Oia, Fedly dan Ketut (nama panggilannya lupa wkwk), dua orang. Kalau yang Ririn lupa namanya ... Udah lama banget pengen ngetik cerita Ririn, sampai bongkar pasang alur empat kali. Ya Tuhan ... 🤭🤭

Masih ingat gak sih kejadian malang Ririn? 😢😢 Jadi, Rey disimpan dulu yaa sampai ketemu di masa-masa selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro