18| Menjadi Malaikat Baik
18| Menjadi Malaikat Baik
Rey membawa roda dua menuju rumahnya. Jangan ditanya berapa kepala yang terjulur dari pintu atau jendela melihat kemunculan Rey bersama perempuan yang sampai hari ini masih sering menjadi omongan. Rey juga sebenarnya tahu kalau sejak pertama dia dan Ririn turun dari travel, langsung banyak yang membicarakan.
Bukan Rey yang terkenal di kampung itu, melainkan perempuan di belakang boncengan Rey. Ya ya, Ririn Dianika, mantan Nyonya Bramantya. Rey tidak heran kalau Ririn yang sekarang duduk arah samping di belakang Rey akan menjadi topik yang hangat. Nama Rey jadi terbawa-bawa karena Ririn hilangnya dengan siapa, munculnya dengan siapa. Tapi, ya, sudahlah, setelah hari ini, Rey takkan kembali. Sesekali untuk mengunjungi makam mamanya, mungkin. Sendirian dan takkan menjadi bahan perbincangan para tetangga lagi.
Ririn langsung turun begitu Rey menghentikan motornya di depan rumah. Ada yang bertanya mungkin kenapa Rey membawa Ririn ke rumahnya? Mereka akan menunggu mobil yang Rey pesan di sana karena sepeda motor akan ditinggalkan Rey di rumah. Kalau dahulu ada Attar yang selalu siap sedia mengantar-jemput Rey. Sekarang sudah tidak bisa lagi. Justru Rey harus membawa perempuannya Attar ke sana sini.
"Duduk di sana!" tunjuk Rey ke bangku panjang bekas kedai gado-gado mamanya.
Ririn pun patuh. Tanpa babibu, perempuan itu telah duduk manis dan meletakkan ranselnya di atas meja.
Rey menjauhi perempuan itu ke dalam rumah. Ia akan tidur sembari menunggu, tetapi perutnya tiba-tiba memberikan tanda kelaparan. Kapan terakhir kali Rey makan? Kalau Ririn? Di kampung itu tidak ada pesan antar. Rey menimbang apakah dia akan pergi sendiri membeli makanan atau mengajak Ririn?
"Kau tunggu di sini." Rey mengejutkan Ririn yang sedang duduk diam memandang ke arah kebun.
Ririn lantas berdiri. "Ke mana? Kau meninggalkan aku?" Ririn terlihat cemas, buru-buru ia menggendong ranselnya.
"Hanya membeli makan."
Ririn belum percaya. Rey lalu mengambil ponselnya dari saku celana. "Pegang." Lagipula benda itu terkunci, Ririn takkan bisa membukanya.
"Nanti kau bisa beli lagi."
"Dasar!" Rey bahkan tak punya tenaga untuk membentak. "Kalau niatku ingin pulang sendiri, aku tak perlu ke rumah bibimu tadi."
Ririn pun terdiam tampak paham.
Karena tak ada bantahan, Rey menghidupkan mesin motornya. Rey harus berkendara selama lima belas menit untuk mencapai warung nasi. Warung itu terletak di RT yang sama dengan tempat tinggal Ririn. Lokasi rumah Rey memang agak jauh dari jalan besar dan lumayan sepi.
"Anaknya Bu Willa, 'kan?" tanya seorang perempuan berdaster yang kepalanya ditutupi dengan handuk.
Rey mengangguk. Rey terus ke bagian dalam untuk memesan dua porsi nasi pindang. Sekaligus air mineral dua botol ukuran 1,5 liter.
"Ririn tidak diajak makan di sini, Rey?"
Pertanyaan yang sangat berani dari pemilik warung. Padahal Rey yakin tiga orang ibu-ibu yang duduk di warung itu punya kalimat tanya yang sama. Mungkin saja, nama Rey dan Ririn sudah ratusan kali keluar dari bibir mereka hari ini. Rey sangat hafal bagaimana orang-orang kampungnya ini.
Rey tak menanggapi.
"Masih seperti dulu, ya, si Ririn. Tambah sombong habis menguras harta Aji."
"Bukan itu saja. Ririn 'kan yang membuat Aji mati. Dia meninggalkan Aji penyakit. Sisanya ditinggalkan sama Dila. Dila tidak melanjutkan sekolah untuk mengurus Aji yang ketularan gilanya Ririn."
"Oh, iya! Si Ririn itu 'kan memang gila dari kecil. Aku saksinya setiap kali Lilis mengobati Ririn ke dukun waktu gilanya kambuh." Ibu yang memakai handuk di kepala itu bercerita dengan seru.
"Dia memang tidak normal." Rey melirik ibu yang mengatakan kalimat ini menempelkan telunjuk miring ke kening.
Rey mengetuk-ngetuk jarinya tak sabar untuk pergi dari sana. Rey juga membenci Ririn seperti mereka. Tapi mendengar nama Ririn disebut berkali-kali seperti itu membuat telinga Rey jadi panas. Bukankah seharusnya Rey ikut duduk bersama ibu-ibu itu dan menambahkan kegilaan Ririn yang Rey tahu?
Ibu warung menyerahkan satu kantung putih bening kepada Rey seraya bertanya, "Ririn sebenarnya dengan Attar atau Rey?"
"Terima kasih. Ini uangnya, kalau ada lebih ambil saja, Mbak." Rey menyerahkan uang seratus ribu yang pasti berlebih untuk totalan belanjanya.
Rey membawa sepeda motor dengan kecepatan delapan puluh. Jalanan yang Rey lewati menjadi gelap oleh debu tanah merah. Maka dalam sepuluh menit, Rey sudah sampai di rumahnya lagi.
"Pergi ke mana orang itu?" Rey mencari ke kamar mandi rumahnya. Rey terpaksa memanggil nama perempuan itu, "Ririn!"
Rumah Rey dengan rumah tetangga untungnya berjarak cukup jauh. Rey menambah volume suaranya. "Ririn!"
Tas ransel Ririn masih di meja. Rey memeriksa isinya. Ponsel Ririn yang dalam keadaan mati juga masih ada.
Lalu bibi tua berlari kecil ke arah rumah Rey. "Kau tadi dari warung?" tanya bibi Ririn.
"Iya. Apa–"
"Cari Ririn! Tolong bantu selamatkan keponakanku." Bibi tua itu terlihat sangat panik. Bibi Ririn memegang tangan Rey seperti tadi. "Bantu aku menemukan Ririn. Di mana saja. Aku ingin keponakanku selamat. Bantu aku."
"Ada apa, Bi?" tanya Rey sungguh tidak mengerti. Memangnya apa yang membuat bibinya sepanik ini?
"Pamannya murka waktu dia pulang Ririn tidak ada. Dia ingin memaksa Ririn tinggal bersama kami lagi." Bibi Ririn menarik napas. "Tolong bantu temukan Ririn. Dia akan hancur kalau Darma melakukannya lagi."
"Hancur bagaimana?" tanya Rey seperti orang bodoh. Rey tidak merasakan apa yang dicemaskan bibi Ririn. Rey tidak mengerti apa-apa.
"Pamannya sangat ingin tubuh Ririn."
Rey hampir mengumpat. Laki-laki tua itu kepada keponakannya sendiri?
"Mobil Darma ada di rumah. Pasti dia ke sini berjalan kaki agar tidak ketahuan kalian."
"Lalu harus mencari mereka ke mana? Ini hampir gelap." Rey mulai ikut panik.
Ini aneh.
Namun, Rey tidak terlalu memikirkan otaknya yang sepertinya agak tidak normal. Rey yang normal tentunya tidak akan pernah ikut mencemaskan seorang Ririn.
"Ririn pasti berlari." Bibi Ririn menunjuk ke belakang rumah Rey.
Kebun karet yang rimbun itu?
Yang penting dicoba dulu. Rey membawa ponsel Ririn untuk berjaga kalau dia nanti butuh cahaya tambahan. Tidak ketinggalan Rey juga membawa parang. Bukan untuk menebas kepala, melainkan membersihkan ranting pohon guna membuka jalan.
"Ririn!"
Rey berjalan menyusuri kebun karet dengan semak setinggi pinggang. Memang kebun karet itu masih diambil getahnya, tetapi sang pemilik tidak merawat bagian bawahnya.
"Ririn!" Rey berteriak lebih keras lagi.
Dari Rey meninggalkan Ririn, sekarang berarti sudah sekitar 45 menit. Kira-kira sejauh apa Ririn melarikan diri? Atau ... Rey menyetop pikiran buruknya.
"Ririn! Ririn gila!" Lama-kelamaan Rey menjadi kesal ... dengan dirinya sendiri. "Ririn gagu!" Rey berteriak sebebasnya.
"Ririn teman setan ...." Rey berhenti di sana, takut melanjutkan karena sekitarnya sudah mulai gelap. "Jawab aku, kau di mana, Ririn bodoh!"
Rey merasakan dadanya dilempar sesuatu dari arah depan. Rey menjadi takut untuk melanjutkan pencarian. Untuk kedua kalinya, ada yang jahil melempar badan Rey dengan ranting. Rey harus menyelamatkan dirinya dulu. Mungkin saja dia takkan menemukan Ririn di kebun itu.
Suara orang mengerang seakan memanggil Rey. Rey melebarkan lubang telinga, memastikan itu manusia atau bukan. Sekali lagi Rey merasakan ada ranting dilemparkan mengenai lehernya.
Rey mengarahkan senter ke depan. Tertutupi oleh semak, tubuh seseorang terbaring menelungkup di tanah. Rey segera berlari menghampiri sosok itu. Rey menyenter wajah orang yang ternyata adalah paman Ririn. Tangan paman Ririn mencakar tanah, mungkin minta bantuan kepada Rey. Terlihat rambut yang sepertinya lengket oleh darah. Mungkin saja kepala itu sedikit pecah.
"Mana Ririn?" tanya Rey.
Paman Ririn terus melakukan hal yang sama. Dia jugalah yang rupanya melempar Rey dengan ranting.
"Mana Ririn?" Rey menarik rambut yang tidak seberapa itu hingga kepala paman Ririn terdongak ke atas. Sang pria meringis kesakitan karena kepalanya ternyata benar terluka.
Tangan paman Ririn menunjuk ke arah kanannya. Rey langsung mengempaskan kepala pria itu ke tanah. Rey menyenter ke bagian yang ditunjuk. Akhirnya, Rey menemukan seseorang yang bersandar ke batang karet dalam keadaan memeluk lututnya sendiri. Mata perempuan itu terbuka dengan pandangan hampa.
Rey membuka kemejanya dan menyisakan kaus putih pas badan. Kemeja itu hendak dipasangkan Rey ke tubuh Ririn. Namun, begitu menyadari ada manusia selain dirinya, Ririn pun berteriak dan mendorong Rey.
Rey bertopang pada sebelah lututnya di hadapan Ririn. Rey juga menyenter ke wajahnya sendiri. "Rey."
"Rey." Ririn mengangguk. "Rey mau menolongku, seperti Pak Aji? Rey juga baik?"
Rey mengangguk. Rey menutupi pundak Ririn yang terbuka dengan kemejanya.
"Ayo." Rey berdiri.
Rey telah mengulurkan tangan dengan baik hati untuk membantu perempuan itu bangkit, tetapi Ririn bisa bangun sendiri. Ia tak lagi butuh pertolongan. Rey lalu berjalan di belakang Ririn dan menerangi langkah mereka dengan cahaya.
"Tunggu saja sampai ada yang menjemput kau. Entah itu manusia atau malah malaikat yang datang duluan." Rey menendang kaki pria tua itu.
"Hey, kau mau ke mana?" panggil Rey. Rey tidak mau dijadikan samsak balas dendam dengan memegang tangan Ririn seperti waktu itu.
Perkataan Attar begitu nyaring terdengar dalam kepala Rey, "Kupinta jangan menaruh tanganmu pada tubuh Ririn."
"Ke sana," tunjuk Rey ke jalan yang dia buka untuk ke sini.
Ririn berjalan dalam tempo sedang dan sesekali hampir jatuh karena terkena akar. Rey menjaga jarak dan tetap memberikan penerangan yang cukup. Hingga tibalah keduanya di rumah Rey. Rey menyalakan lampu luar. Melihat kantung makanan tergantung di sepeda motor, Rey pun mengerang. Ia tidak memiliki nafsu untuk makan. Tapi Rey perlu memberikan makan untuk perempuan yang telah duduk di posisinya menunggu Rey tadi.
Rey melihat bibi Ririn di kejauhan berjalan meninggalkan rumah ini. Orang yang tadi terlihat khawatir, tidak ingin melihat keadaan keponakannya? Rey bertanya-tanya dalam hati.
Rey menaruh bungkusan nasi yang dia beli di depan Ririn. Saat berdiri di dekat Ririn, barulah Rey dapat melihat bekas kemerahan yang panjang di leher Ririn.
"Bersihkan tubuhmu." Rey menunjuk ke dalam rumah. "Mandilah sebelum makan," tambah Rey.
Ririn yang memeluk tas ranselnya tidak menghiraukan perkataan Rey.
"Terserah kalau begitu. Makan atau mandi, pilih yang kau suka." Rey hendak masuk dan meninggalkan Ririn, tetapi langkahnya terasa berat. "Ririn. Masuklah di dalam aman."
Ririn menoleh kepada Rey.
"Malam ini kau tidur di kamar Mama. Kunci pintunya. Mobilnya sudah pergi sejak tadi." Rey harus menjelaskan agar si keras kepala Ririn mau mendengarkannya, "Besok pagi dengan travel yang tadi membawa kita."
Ririn beranjak.
"Bawa nasinya. Kau masih mau hidup 'kan?" tanya Rey retoris.
Setelah Ririn ke dalam, Rey memasukkan motornya ke rumah. Kalau tadi dia ingin menjauhi gosip akan dirinya dan Ririn berada di rumah yang sama, sekarang Rey sudah tidak peduli. Dia lelah dan butuh istirahat. Sementara itu, Ririn tidak mungkin dia tinggalkan di luar rumah. Atau kembali ke rumah bibinya? Rey mengabaikan opsi terakhir. Bibinya saja seakan menyuruh Rey memungut keponakannya.
Ririn masih berdiri dan melihat Rey seraya memeluk ransel.
"Makan jika kau ingin pulang hidup-hidup." Rey merebut kantung dari tangan Ririn. Dia akan mengambil bagiannya, meskipun tidak lapar. Namanya balita, harus diberikan contoh bukan?
Rey mengambil tempat untuk cuci tangan, piring, serta gelas, kemudian duduk di atas tikar yang dia gelar di lantai. "Kau makan sambil berdiri?" tanya Rey lagi.
Ririn akhirnya mau duduk. Rey benar-benar mendapatkan seorang balita yang harus diurus makannya. Rey memakan nasi pindangnya dengan cepat, tidak memaksa Ririn lagi. Setelah selesai dan membasuh tangan, Rey menyambungkan ponselnya dengan charger. Rey meninggalkan Ririn sendirian di ruang tengah dan pergi ke kamarnya untuk mengambil handuk. Kamar mandi terletak di bagian dapur. Rey bisa melihat Ririn sedang menyuap nasi ke mulutnya saat menuju kamar mandi.
Rey selesai mandi dan membawa pakaian kotornya ke kamar. Ririn sudah selesai makan. Ingin sekali Rey tidak peduli, tetapi begitu ia berpakaian lengkap, Rey ke ruang tengah.
"Bersihkan dirimu," ujar Rey. Dia duduk lesehan di dekat ponselnya, mengecek pesan-pesan.
Ririn masih berkamuflase sebagai patung. "Mandi. Baju kau kotor perlu ditukar." Bukan hanya kotor, sobek dan tidak layak.
Ririn melihat ke tubuhnya dan merapatkan kemeja Rey untuk menutupi bagian dada yang terbuka. Kemeja yang tadinya melindungi Ririn, kancingnya pasti terlempar di dalam semak.
"Kau tahan dengan ...." Rey menghentikan pertanyaannya.
Jawabannya sudah pasti iya. Ririn sangat tahan dengan bau tubuhnya sendiri. Meskipun itu cuma pertanyaan retoris karena Rey hanya mencium aroma parfum yang lembut dari perempuan itu. Rey lebih khawatir kepada bekas tangan yang mungkin menempel di kulit Ririn. Mungkinkah Ririn akan membiarkan tubuhnya tidak dicuci?
"Gantilah pakaianmu. Aku tidak ingin kesalahan orang lain dilimpahkan padaku," ujar Rey akhirnya mengungkapkan tujuan sebenarnya.
Sudah pasti orang yang melihat keadaan Ririn sekarang akan menuduh Rey yang berbuat.
"Dengan apa? Aku tidak bawa pakaian ganti."
Rey seakan mendengar petir di tengah musim kemarau.
"Kau sudah gi–" Bibir Rey mendadak terhenti menjuluki Ririn seperti itu.
Rey juga ingat, ransel Ririn hanya terisi laptop. Jaket pun tidak ada. Rey pergi ke kamar almarhumah mamanya. Setelah dipikir, Rey yakin kalau pakaian ibunya tidak ada yang cukup untuk Ririn. Lagipula, mama Rey suka memakai kaus pendek dan rok kembang selutut. Kalau Ririn yang memakai, ah, Rey menutup kasar lemari itu. Rey merelakan pakaian yang dia bawa untuk Ririn. Rey memang menyiapkan dua setel pakaian ganti dari Jakarta. Sudah tentu Ririn takkan terlihat memakai pakaian kekecilan jika menggunakan baju Rey. Rey juga yakin sekali, celana panjang Rey akan muat dengan Ririn karena tinggi mereka nyaris sama. Semesta masih membantu si bodoh Ririn.
"Pakai saja bajuku. Jangan menolak. Aku akan meninggalkan kau kalau kau bersikeras memakai baju itu."
Ririn mengulurkan tangannya ketika Rey menyerahkan pakaiannya. "Ambil handuk di atas tempat tidur Mama." Rey menunjuk kamar mamanya.
"Basuh rambutmu, banyak debu!" seru Rey setelah Ririn menutup kamar ibu Rey.
***
2142 kata
tbc
Sumsel, 9 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro