Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15| Kepingan Kedua

15| Kepingan Kedua


Tidak tidak. Bukan karena Rey yang terlalu keras menekan leher Ririn. Telapak tangan Rey hanya menyentuh permukaan kulit Ririn saja. Tapi Ririn merasakan pasokan udara ke hidungnya menipis. Ririn perlu menopang tubuhnya ke dinding. Pandangan Ririn masih seperti tadi, bertumbukan dengan sepasang mata gelap Kafka Reynanda. Namun, Ririn kini melihat wajah Paman Darma tepat di hadapannya, tengah tersenyum senang mendapati Ririn lemah tidak berdaya.

Ririn sudah mengantisipasi pertemuan itu selama tinggal di sini. Kedua siku Ririn menekan dinding kemudian Ririn mendorong Rey. Rey dengan sangat sigap memegang kedua tangan Ririn. Senyuman Rey tersungging mendapati api yang membara dalam mata Ririn.

Ririn pun tersadar bahwa orang itu hanya Rey dan bukannya Paman Darma. Namun, tepat saat itulah pintu lift terbuka di lantai satu. Reynanda yang bersandar ke pintu terdorong ke belakang bersamaan dengan Ririn yang belum juga dilepaskan Rey.

"Ririn!" Seseorang berteriak dari jarak yang agak jauh dari posisi Ririn.

Ririn menendang Rey sekali lagi tepat di tengah menggunakan lututnya. Akibat tendangan Ririn, Rey menunduk merasakan denyutan sakit pada alat vitalnya. Sebelum pergi dari sana, Ririn menendang tubuh samping Rey dengan telapak sepatunya yang runcing. Rey akhirnya terjatuh ke lantai. Para karyawan yang berada di area lobby berkumpul ingin mengetahui apa yang sedang terjadi.

Orang yang memanggil nama Ririn juga sudah tiba di dekat Ririn dan Rey yang kesakitan. "Rey?" jerit Attar kaget mendapati orang yang dianiaya oleh Ririn adalah laki-laki itu. Attar memapah tubuh Reynanda untuk berdiri dengan benar.

Ririn bersedekap di dada melihat mereka berdua.

"Aku minta maaf, Rey, atas perlakuan Ririn."

Reynanda memandang Attar dengan aura permusuhan yang kental.

"Kupinta jangan menaruh tanganmu pada tubuh Ririn." Attar berbisik dan Ririn masih bisa mendengarnya. "Kau akan lebih parah dari ini." Attar menepuk-nepuk punggung Reynanda.

"Obati lukamu," pesan Attar pada Rey. Attar melihat Ririn seraya menggeleng-gelengkan kepala, "Rupanya ini yang membuatmu lama. Ayo! Sudah setengah jam aku menunggumu."

Attar berjalan duluan. Ririn berlari kecil mengejar Attar. Tiba di depan gedung, Ririn memakai helm dan masih bisa melihat tatapan Rey dari jauh. Tatapan yang sarat emosi.

Attar tidak langsung mengantar Ririn ke rumah. Mereka singgah di sebuah warung sate madura untuk makan malam. Ririn menyimpan suaranya sejak di jalan hingga tiba di sebuah warung sate yang tidak begitu ramai oleh pengunjung. Kaki-kaki Ririn mengikuti Attar menuju sebuah meja di tengah warung sate tersebut.

Ririn terus menunduk dan memainkan kesepuluh jarinya yang ada di atas meja sampai Attar memanggil namanya. Ririn akhirnya sedikit mendongak.

"Wajahmu tegang sekali."

"Rey membuatku kesal. Rey selalu membuatku marah," ucap Ririn. "Rey itu ... jahat 'kan?" tanya Ririn pelan.

Attar mengangguk. "Kau harus menjauhinya."

"Aku harus menjauhi Rey," ulang Ririn. "Rey berani. Rey ... dia bahaya."

Ririn menatap Attar di balik matanya yang berkaca-kaca. "Aku takut melihat Rey."

"Kau berani, Ririn. Kau sudah melakukan hal yang benar. Rey tadi tidak bisa melawan, seperti dulu."

Wajah murung Ririn mulai ceria lagi. "Ya. Rey kalah."

Dua piring sate disajikan oleh penjual di atas meja mereka beserta segelas es teh manis.

"Apakah sekarang perasaanmu lebih baik?" tanya Attar.

"Ya. Aku lapar."

Ririn tidak melihat sebelah sudut bibir Attar yang terangkat melihatnya makan. Ririn menikmati satenya untuk menyenangkan cacing-cacing yang meronta ingin dipuaskan. Namun, Ririn masih sadar untuk menepis tangan Attar yang menyentuh sudut bibirnya. Ririn menusuk punggung tangan laki-laki itu dengan ujung lidi sate.

Attar mengaduh sakit atas perbuatan Ririn. "Makanmu berantakan!" ucap Attar seraya mengusap-usap punggung tangannya yang berdarah.

"Jangan lakukan." Ririn kemudian makan lagi dengan lahap dan melupakan perbuatan Attar sebelumnya.

Getaran ponsel Ririn dari dalam ransel membuatnya berhenti makan. Ririn yang mengetahui bahwa itu adalah panggilan telepon dengan cepat mengambil benda pipih tersebut dari saku tasnya.

"Siapa?" tanya Attar ingin tahu.

"Pak Rafka."

Attar menampungkan tangannya. "Dosenmu itu masih sering menelepon?"

Ririn menggeleng dan hendak mengangkat panggilan itu, tapi Attar mengambil gawai dari tangan Ririn.

"Tidak ada mahasiswa ditelepon oleh dosennya semalam ini."

"Masih sore," koreksi Ririn. "Rey," jelas Ririn menebak urusan yang akan dibicarakan oleh Rafka. "Kakaknya Reynanda. Kembalikan," pinta Ririn menengadahkan tangannya.

"Ya?" Ririn menyapa Rafka seketika ponsel itu pulang ke tangannya.

"Di mana, Rin? Sudah pulang?"

"Iya."

"Baik-baik saja, Rin?" tanya Rafka terdengar mencemaskan Ririn.

"Ya."

"Boleh bertemu malam ini?"

Ririn mendengar Attar berdeham hingga mencuri perhatian Ririn. Dan begitu pun dengan Rafka yang tak menyebut Rey sedikit pun dalam kalimat panjangnya. Selain hal itu, Ririn menyimpulkan tak ada lagi yang perlu dia dengar.

"Tidak," jawab Ririn dan tanpa menunggu balasan Rafka, mematikan panggilan itu.

Ririn akan menanggung konsekuensi atas perbuatan kurang ajarnya terhadap pembimbing lapangan magangnya itu.

"Dia sangat gigih," komentar Attar. Attar sudah menghabiskan lima belas tusuk sate ayam miliknya. Piring Attar hanya tersisa kuah kacang saja.

"Iya."

Ririn melarang Attar untuk mampir di tempat lain. Ririn juga menutup pintu rumah sebelum Attar ikut masuk setibanya mereka di rumah Ririn.

Attar mengetuk dan mengatakan dia akan ke restoran. Attar memang bekerja di beberapa restoran dari pagi hingga malam.

Ririn tidak sabaran membuka pakaiannya. Jaket dan kemeja pinjaman itu dilepaskan seketika di ruang tengah dalam kegelapan ruangan. Ia masih Ririn yang sama. Ririn kecil yang tidak mau melihat tubuhnya sendiri. Sampai saat ini, 23 tahun usianya, Ririn lupa apa warna kulit yang berada di balik pakaiannya. Ririn hanya menggunakan cermin untuk merawat wajahnya, bukan untuk melihat bentuk tubuhnya. Kegelapan adalah sahabat Ririn ketika tenggelam bersama busa sabun dalam bak mandinya.

Setelah tiga puluh menit lamanya Ririn berendam, Ririn membasuh tubuh di bawah shower juga dalam keadaan tanpa cahaya. Ririn menutup tubuhnya dengan bathrobe. Jemarinya menekan saklar lampu. Mata Ririn membutuhkan beberapa detik menyesuaikan dengan keadaan yang terang. Lalu berjalan ke depan cermin. Ririn mengusap cermin yang menampilkan dirinya separuh badan.

Ririn sangat jarang menatap matanya sendiri di balik cermin. Yang dilihat Ririn ketika berhias hanya bagian wajah saja, kecuali mata karena sepasang iris cokelat itu dapat melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Alasan yang membuat Bibi Lilis sering melimpahkan kesalahan kepada Ririn sejak Ririn kecil.

Beralih ke bagian wajah yang biasanya hanya Ririn perhatikan sekilas setiap berhias. Wajah Ririn terlihat berbeda dengan yang dulu. Ririn mengamati tulang pipinya, hidungnya, juga bibirnya. Ririn menyentuh bayangan pipinya di cermin. Ririn merasakan kulit di bawah telapak tangannya itu halus. Ririn sudah tak memiliki jerawat seperti ketika Ririn masuk SMP. Lalu pandangan Ririn jatuh ke lehernya yang berwarna merah di beberapa bagian.

"Rey."

Kejadian empat tahun yang lalu, ketika Ririn bertemu dan berbicara lagi dengan Reynanda, muncul dalam ingatan Ririn. Ririn ditarik ke masa itu, masuk ke ruangan kelas yang kosong. Di kelas itu hanya ada Reynanda dan Ririn seperginya Dila. Kafka Reynanda bersedekap menatap Ririn dengan pandangan yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Seakan Ririn adalah makhluk yang menjijikkan dan tidak pantas berada di bumi sebagai manusia.

"Ternyata apa yang kudengar itu benar."

Reynanda berdiri santai bersandar ke dinding. Rey meremehkan Ririn melalui tatapannya. Ririn melihatnya masih sebagai Rey yang lama, yang merendahkan Ririn di lapangan, di antara banyak siswa kelas tujuh. Seakan kejadian Ririn mengejar Rey hingga Rey ketakutan tidak pernah terjadi.

"Kau berubah untuk merayu duda kaya. Itu pasti belum menjadi kemenangan besar dalam hidupmu. Masih kurang sehingga kau mengambil seluruh perhatian seorang ayah terhadap putrinya. Kau hebat sekali!"

Ririn tidak membela diri. Apa yang dikatakan Rey menurut Ririn memang benar. Ririn ingin seperti Dila. Ririn menginginkan seluruh perhatian Aji. Dan membuat Dila kesulitan menjadi sebuah hiburan dalam hidup Ririn yang membosankan. Ketika sepasang mata Dila memperlihatkan kesedihan, kecemburuan, dan kemarahan kepada Ririn.

"Hidup kau sungguh sia-sia. Sejak kau mulai bernapas, pastinya kau tidak kenal apa itu malu. Kau pikir dengan baju yang bagus itu kau bisa menipu mata semua orang? Kau tetap gadis busuk sialan."

Reynanda mendekati Ririn, menantang Ririn dengan tatapannya yang tajam. Tak ada sirat ketakutan seperti terakhir kali mereka bertemu di kelas tujuh dua.

"Kau tidak akan pernah bahagia. Selama hidupmu kau akan hidup dalam kehampaan. Aku sarankan, kau pergi saja ke neraka seperti kedua orang tuamu." Rey menaikkan sebelah sudut bibirnya. "Perempuan kotor."

***

Rey memutar-mutar gelas kecil di atas meja bar. Malam ini Rey pergi ke club untuk menenangkan emosinya yang memuncak akibat ulah seseorang. Sudah setengah jam Rey minum dan efek minuman itu mulai terasa di kepalanya.

Suara musik yang keras serta aneka parfum tidak mengganggu Rey seperti tangan seseorang yang sedang meraba pahanya. Rey memegang tangan itu. Menatap sejenak mata wanita berpakaian tidak senonoh yang menggesekkan tubuh bagian depannya ke lengan atas Rey. Rey menghadiahkan senyuman tipis kemudian membalikkan posisi wanita itu dan mendorong punggungnya untuk menjauh.

Rey sengaja pergi ke club ini lagi, bukan ke tempat biasanya, karena ingin menemui seseorang. Beberapa waktu lalu Rey bertemu orang itu di tempat ini.

Pergantian jarum jam pada pergelangan tangan Rey menandakan waktu semakin merangkak ke pagi. Sudah berjam-jam Rey duduk sendirian. Jika ada yang menemani, itu hanyalah botol-botol minuman yang kosong. Kesadaran Rey sudah hampir sepenuhnya hilang. Attar, yang ditunggu Rey, akhirnya muncul di ambang kesadaran Rey.

"Sama seperti kakakmu. Kalian orang-orang yang gigih," sapa Attar yang duduk pada bangku di samping kanan Reynanda.

Reynanda menggeser gelas kepada Attar serta mengisi botol itu dengan minuman yang masih tersisa.

"Dan mengalahkanmu, membuat kau keluar dari lubang persembunyian."

Attar tertawa. Sekali tegukan sebelum Attar menanyakan maksud Rey mencarinya.

"Kau berbohong. Kenapa?" Rey menunjukkan kekecewaan melalui kedua bola matanya. "Aku sangat mempercayaimu. Kenapa? Mengapa kau tidak pernah mengatakan kalau sebenarnya kau bekerja dengan Aji untuk mengurus perempuan itu?"

"Karena kau membencinya. Benar? Di samping itu, aku selalu melaksanakan tugasku sebagai temanmu. Seandainya Tante masih ada, tanyakan kepadanya, apakah aku pernah tidak datang?"

Rey tersenyum. "Itu yang membuatku tidak dapat membencimu, Brengsek!"

"Aku menyukai Ririn."

Reynanda dengan kesadaran yang berada di angka tujuh puluh persen itu menganga dengan pengakuan blak-blakan temannya. Kepalanya pusing dan perutnya tidak enak, membuat Rey ingin mengeluarkan isi perutnya segera.

"Aku mengajukan diri kepada Aji Bramantya ketika dia mencari orang untuk mengawal Ririn."

"Kenapa Pak Aji sangat memedulikan orang itu? Apakah benar dia terkena guna-guna perempuan itu, sampai melupakan putrinya?"

Attar minum seteguk lagi. "Ririn tidak bersalah. Kecuali kau, siapa yang sanggup melawan pesonanya? Kakakmu mengejar Ririn sejak Ririn menjadi mahasiswa baru. Hanya kau saja yang buta."

"Aku lebih suka buta," tandas Rey.

***

"Jangan-jangan Ririn trauma dengan kemeja putih," kata Arfa saat Ririn masuk ke ruangan pagi berikutnya.

Kemunculan Ririn di ruangan selama dua hari tidak membuat semua yang ada di dalam memberikan perhatian. Kecuali hari ini karena Arfa yang berkomentar tentang penampilan baru Ririn. Sebenarnya tidak ada yang berlebihan dan mencuri perhatian pada perempuan itu. Selain pakaiannya yang lebih berwarna dibandingkan dua hari lainnya. Ririn telah menggantikan kemeja putih dan celana hitam dengan kemeja hitam polos serta jeans biru.

"Bisa datang tepat waktu. Tugas-tugas kau telah menunggu," ujar Rey seraya menunjuk sekotak kertas.

Reynanda yang belum sepenuhnya bebas dari pengaruh alkohol, kepalanya masih terasa pusing, tidak ingin melewatkan kesempatan untuk membuat Ririn bekerja dengan 'giat' hari ini.

Rey menunjuk kotak itu dengan ujung pena. "Bawa ke mejamu," perintahnya sebelum Ririn sepat duduk.

Ririn membawanya ke meja. Tidak ada satu kata pun terlontar dari bibir Ririn seperti kemarin. Ririn melakukan pekerjaan dalam diam. Keluhan yang ditunggu tidak kunjung terdengar.

Merekap gaji karyawan sejak perusahaan itu berdiri bukanlah hal yang mudah. Dahulu belum ada karyawan yang melakukan pengelompokan file dengan rapi. Betul-betul acak-acakan. Rey bahkan tidak yakin isi kotak itu lengkap. Terbukti ketika Sila mengumumkan jam kerja telah habis, Ririn masih berkutat dengan kegiatannya. Tanpa mengeluh.

"Kau ingin kutemani?" tawar Linsa.

Ririn hanya menjawab dengan gelengan. Kepalanya tertunduk ke arah kertas dan keyboard. Tak peduli jika orang-orang sudah pulang lebih dulu.

Reynanda yang terakhir mengambil kunci mobil lalu berjalan menuju lift. Saat Rey menimbulkan suara decitan kursi, langkah kaki, dan menutup pintu ruangan, Ririn tak teralihkan sama sekali. Rey merasa ada berbeda dengan Ririn hari ini. Namun, Rey tidak tahu bagian mananya.

Rey pilih duduk di sofa panjang yang ada di depan meja tinggi resepsionis. Meja kayu bercat hitam itu sudah ditinggalkan oleh pemiliknya. Sampai setengah jam berlalu, baik Ririn ataupun Attar, tidak ada yang muncul di lobby.

"Dia masih gila." Reynanda kembali ke ruangan dan benar. Rey mendapati Ririn masih berada pada posisi seperti dia tinggalkan tadi.

"Sudah. Sebaiknya kau pulang."

Ririn mendongak. Sedetik saja kedua bola mata cokelat terang itu menatap Rey, Ririn langsung mengemasi barang-barangnya. Begitu selesai, Ririn melewati Rey begitu saja. Padahal Rey berdiri di dekat pintu, memegang daun pintu supaya tetap terbuka.

Setiba di lantai satu, Rey dibuat mengernyit karena aksi Ririn. Perempuan itu berjalan sangat cepat seolah menghindari Rey.

"Benar-benar gila. Dia tidak berpikir untuk meminta maaf?" gumam Rey dan pergi ke mobilnya.

Sekitar satu blok dari kawasan gedung, di balik kaca mobilnya, Rey melihat Ririn sedang duduk makan es krim di depan sebuah mini market saat Rey lewat.

***

2000 kata

Tbc

Sumsel, 3 Oktober 2023

Akui aja Rey, kau penasaran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro