13| Peristiwa Masa Lalu
13| Peristiwa Masa Lalu
Seharian itu Reynanda berusaha melupakan bahwa di tempat yang sama dengannya ada sosok yang tidak perlu dia hiraukan. Rey memerintahkan alat indranya untuk mengabaikan orang tersebut. Matanya jangan sampai kembali bertumbukan dengan mata sang pengganggu. Kebencian Rey telah berubah menjadi ketidakpedulian. Dia sedang usaha untuk mencuci otaknya dari sepasang mata tajam yang menatapnya pagi tadi, yang sialnya Rey juga ikut menatap mata itu. Dan mereka jadi tatap-tatapan.
Kini saat berada terlalu lama di ruangan yang sama dengan si perusak keluarga orang itu membuat napas Rey terasa sesak. Rey membuka satu kancing atas kemejanya. Rey sangat tidak nyaman karena pandangannya betul-betul harus dikondisikan. Jangan sampai peristiwa tadi pagi terulang lagi. Rey tidak sudi.
Bagaikan telah tertulis bahwa Rey dan Ririn untuk tak saling notice, Ririn juga melakukan tugasnya tanpa menghiraukan keberadaan Rey. Dalam ruangan yang sama ada juga karyawan lain. Dengan mereka juga, Ririn tidak membangun komunikasi. Termasuk kepada dua rekan magangnya. Ririn menjaga suaranya sejak tiba di gedung Haleproduction.
Hari pertama diisi dengan perkenalan perusahaan. Mahasiswa dibawa ke seluruh bagian gedung. Mereka dikenalkan kepada para karyawan dan segala properti serta tugas di setiap bagian. Tadinya ada Rafka yang menemani perjalanan ketiga mahasiswa itu. Reynanda menjadi pendengar pasif. Pukul satu siang kakaknya ada jam kuliah sehingga pergi setelah makan siang di kantin bawah. Kepergian Rafka menyebabkan para mahasiswa banyak bertanya kepada Rey. Maksudnya hanya dua mahasiswa. Yang satu lagi menjadi gadis bisu seperti dahulu.
"Waktunya pulang!"
Tepat pukul lima, Sila, HRD di Haleproduction, berdiri dari bangkunya. "Adik Manis, tunggu apa lagi? Angkat pantat kalian dari kursi. Mari kita tinggalkan ruangan ini."
Tiga staf administrasi juga sudah siap meninggalkan ruangan.
Melihat mereka semua, Linsa pun mengangguk. "Iya, Kak. Saya juga telah selesai mencatat kehadiran karyawan." Linsa menyampirkan tasnya ke pundak. "Kau belum mau pulang, Ar?" tanyanya pada satu-satunya mahasiswa berjenis laki-laki.
"Tentu pulang. Apakah kami sudah boleh pulang, Mas Rey?" tanyanya sopan.
"Pulanglah," jawab Rey tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer.
"Besok aku akan menyerahkan jobdesk kalian. Tenang saja, magang di sini santai." Sila menambahkan. Dia dan Reynanda memiliki status yang sama. Sila tidak takut bersikap sebebasnya, meskipun Kafka Reynanda adalah calon direktur utama di masa depan.
"Kau anaknya memang pendiam?" tanya Sila pada Ririn. Tak mendapatkan sahutan, wanita itu hanya mengangkat bahu. "Asalkan kau tetap bertanya jika ada yang belum dipahami supaya divisi ini aman. Lanjutkan hobimu! Ayo, Adik-Adik Manis, bakso telur di bawah sepertinya enak dinikmati sebagai camilan sore."
Sekarang Reynanda tinggal berdua saja dengan Ririn dalam ruangan. Dia melirik dengan ekor mata. Gadis itu mengikat ulang rambut panjangnya. Ririn Dianika hari ini datang ke perusahaan memakai kemeja putih lengan panjang. Padahal magang di sana tidak menetapkan seragam formal. Kakinya yang jenjang dibalut oleh jeans hitam yang longgar. Ririn memasukkan lengannya ke dalam chizu jacket, membuat tubuh Ririn tenggelam akibat ukuran jaket yang oversize.
Getaran dari telepon seluler menjadi pengisi keheningan ruangan HRD. Ririn memegang ponsel ke telinga. Gadis itu bergumam, "Hm segera turun."
Ririn berjalan keluar. Rey mengikuti dalam jarak yang terjaga. Di lobby dia bertemu dengan Rafka tengah duduk melipat kakinya pada kursi di depan meja resepsionis.
"Dosen yang suka keluyuran. Aku tidak percaya kalau kau masih mengatakan ingin menjadi dosen saja daripada pengusaha!" sindir Rey.
"Hai, Rey. Kalian sudah pulang semua." Rafka mencari-cari di sekitar Rey. "Ririn?"
Reynanda juga melihat ke sekeliling mencari gadis yang sepertinya sudah dijemput seseorang. Reynanda sengaja mengikuti Ririn karena ingin melihat siapa yang menunggu gadis itu.
"Sepertinya sudah lewat sini. Aku keasyikan dengan ponsel," keluh Rafka.
"Dia baru saja turun." Tidak mungkin secepat itu dia menghilang, saat aku hanya menyapa Rafka beberapa detik saja, pikir Rey.
"Sialan! Attar!" Reynanda berteriak kepada laki-laki yang turun dari sepeda motor. "Diam di tempatmu, Bajingan!" Reynanda berlari dengan kecepatan super ke arah teman sebangkunya di kelas tujuh dua.
"Sembunyikan kepalamu atau kau akan kehilangannya!" perintah Reynanda menjaga tinjunya agar tetap terkepal di sebelah pahanya.
"Rey!" Attar justru berseru senang bertemu dengan Rey. Laki-laki itu merangkul pundak Rey bersahabat. "Kita bertemu lagi, Rey. Kau bekerja di sini?" tanyanya.
"Selamatkan juga mulutmu, Keparat! Kemarin aku terlalu kaget dengan kabar yang kau katakan. Aku belum sempat memukulimu!"
Attar tertawa tak berdosa. "Kau terlihat tampan dengan kemeja itu. Katakan, apakah kau karyawan di sini? Oh, kapan-kapan kau harus mengajakku minum kopi. Ini sudah malam dan kami harus pulang. Ayo, Rin!" ajak Attar.
Reynanda menoleh ke tempat perempuan itu berdiri. Ririn pun sedang melihat Rey dan pandangan mereka kembali bertemu. Sebelum menutup wajahnya dengan helm, Reynanda menyaksikan sudut-sudut bibir perempuan itu melebar.
"Aku akan menghubungimu segera!" Attar menunjuk ke telinganya sebelum mengegas kendaraan roda duanya.
"Kau tersenyum kepadaku? Apa kau sedang mengejekku?" tanya Rey begitu sepeda motor Attar menjauh. Rey diingatkan kepada senyuman Ririn di balik kaca mata hitam saat Rey belum mengenali gadis itu sebagai Ririn. Senyuman yang sama.
***
Ririn merebahkan punggungnya pelan-pelan dengan mata tertutup. Separuh kakinya terjuntai ke lantai. Ririn melipat kedua tangan di atas perut. Sepasang kelopak mata tetap dibiarkan tertutup. Ririn tetap dalam posisi yang sama ketika ponselnya berdenting menandakan ada satu pesan masuk.
Setiap hari bertemu dengan orang banyak dan asing akan membuat Ririn jengah. Ririn menyukai berada dalam rumah atau bahkan kamarnya saja. Bicara pun hanya yang dirasanya perlu dan orang yang dianggap penting. Setiba di rumah Ririn perlu memulihkan tenaga dan mood-nya kembali.
Jangan sangka Ririn kekurangan vitamin, apalagi mengatakan Ririn kurang gizi. Selama hidup sendiri ini, Ririn makan dengan teratur. Ada seseorang yang selalu memastikan Ririn menghabiskan sepiring nasi tiap waktu makan. Kadang Ririn dibawakan makanan bikinannya sendiri, paling sering makanan rumah makan.
Pesan yang tadi masuk ke nomornya sudah pasti dari satu orang itu. Pukul tujuh malam saat ini. Artinya sebentar lagi pintu rumah akan diketuk, seseorang datang membawa sekantung makanan. Orang itu bisa Attar, bisa jadi hanya kurir. Intinya Ririn tidak boleh lama-lama berbaring.
Ririn melepaskan jaketnya. Ia mandi dengan cepat dalam kamar mandi tanpa cahaya. Ririn mengambil baju tidur serba panjang dan menguncir rambutnya.
Tok tok tok
Ketukan itu begitu tidak sabaran.
"Pergi saja! Tinggalkan titipannya di pintu." Ririn pun ikut emosi.
Wajah semringah Attar dengan tangan menenteng paper bag di kiri dan kanan tersaji di depan Ririn saat daun pintu terkuak.
"Kau mandi, sementara aku mati kedinginan di teras." Attar berjalan ke dalam meluruhkan bobot tubuhnya ke atas kursi.
"Hujannya deras sekali." Attar meniup-niup telapak tangan. "Sudah lama tidak hujan. Begitu hujan, tubuhku kaget."
Ririn membuka bawaan Attar.
"Makanlah. Aku ingin membuat teh panas." Attar ke dapur untuk melayani dirinya sendiri.
Ririn langsung meraup nasi panas dengan tangan. Ia meringis kepanasan dan memilih pakai sendok plastik saja. Ikan gurame bakar terasa lezat di lidahnya. Ririn akan teringat bibi jika Attar membawakannya ikan-ikanan. Ririn pun makan dengan cepat karena takut dia akan memikirkan bibinya sampai pagi. Nasi Ririn telah habis sewaktu Attar kembali membawa dua gelas teh yang masih mengepulkan asap.
"Wow! Sepertinya ada yang kelaparan. Apa jadinya kalau aku datang terlambat?" Attar menaruh satu gelas di hadapan Ririn.
"Bagaimana rasanya menjadi mahasiswi magang?"
Ririn menatap kepulan asap di atas gelas teh. Tak sabar lagi, Ririn ambil dan meniup dengan bibir supaya bisa lekas diminum.
"Hello, Ririn?" Tangan Attar melambai di depan hidung Ririn.
Ririn menjauhkan tangan nakal itu. Lalu menjawab Attar dengan gumaman.
"Ceritakan bagaimana pengalaman menjadi karyawan magang."
Ririn cuma menatap malas pada Attar yang tidak bosan mengoceh di dekatnya.
"Sekalian bawa keluar sampahnya." Ririn memasukkan bekas bungkusan makanan itu ke dalam kantung lalu menyerahkan ke pangkuan Attar.
"Tidak bosan selalu di rumah? Ikut aku?" tawar Attar.
"Keluar. Aku harus menyelesaikan laporan." Ririn menunjuk pintu yang terbuka lebar.
"Jangan tidur larut malam." Attar berpesan. Dia memakai mantel hujan sebelum turun ke halaman di mana kendaraannya terparkir.
Ririn mengangguk, menutup, dan mengunci pintu.
Setiba di kamar, ponselnya ternyata sedang bergetar tanda sebuah panggilan masuk.
Dosen Pembimbing is calling ...
Ririn bedecak. Ia sangat malas menerima telepon, tetapi kalau tidak diangkat, mungkin ada hal penting yang akan diperintahkan oleh dosen pembimbingnya malam ini juga.
"Malam, Rin." Suara nyaring Rafka Abimanyu menyapa gendang telinga Ririn.
"Ada perlu apa?" jawab Ririn.
"Perlu bertanya tentang hari ini di tempat PK."
Ririn bergumam.
"Apakah mereka baik? Adakah yang membuatmu tidak nyaman?"
"Tidak ada yang penting," kata Ririn tegas. "Selamat malam." Dan mematikan panggilan itu tanpa memikirkan etika bertelepon terhadap sang dosen.
"Pengganggu."
Ririn mengambil laptop dari ransel yang dia bawa magang. Malam ini Ririn akan menulis laporan harian.
Ririn mendengar getaran dari telepon seluler. Kepalanya yang rebah di atas meja terangkat karena tak nyaman dengan rasa getar itu. Ia melihat waktu pada layar gawainya. Bibir tanpa pewarna itu pun terbuka.
"Ke mana saja kau? Kutunggu di depan dari tadi, kau tidak membuka pintu."
"Kau masih di luar?" Ririn memastikan. Ia akan berangkat dengan Attar supaya tidak makin terlambat.
Attar kedengaran berdecak, "Aku sudah di resto. Mana bisa menunggumu terlalu lama. Aku malas mencari pekerjaan baru," jawab Attar. "Kau masih di rumah?" tanyanya.
"Ya. Ketiduran. Aku buru-buru." Seperti biasanya, Ririn akan mematikan sepihak panggilan telepon kalau sudah merasa tak ada lagi hal penting baginya.
Saat membuka pintu, sebuah BMW orange metallic terparkir di badan jalan depan rumah Ririn. Bagian itu memang biasa digunakan oleh warga kompleks rumahnya untuk parkir sementara kendaraan pribadi. Namun, untuk jenis mobil yang di depan sana bukanlah milik warga setempat. Ririn sangat hafal pemiliknya. Selama tiga tahun Ririn selalu menolak untuk naik ke mobil dengan warna mencolok itu. Mungkin hari ini pengecualian.
"Berangkat dengan saya?" Dosennya menawarkan. Ia keluar dari mobil ketika melihat keberadaan Ririn.
Ririn menerima ajakan itu, tentu saja karena Ririn pasti terlambat jika mencari tumpangan yang lain. Ririn anti membuat masalah.
Dalam perjalanan, Rafka membuka obrolan, "Saya ingin mengunjungi tempat magang Ririn. Ingin memastikan jika adik saya tidak menyulitkan Ririn."
Ririn menoleh kepada pengemudi cerewet di sebelahnya. Seakan bisa membaca keheranan Ririn, Rafka langsung menjelaskan bahwa Reynanda itu adiknya.
"Dia itu satu-satunya harapan orang tua kami untuk meneruskan usaha keluarga. Perusahaan kecil itu lumayan membantu banyak orang. Sayang sekali jika tak ada yang mengembangkan perusahaan. Karyawan yang bergantung kepada kita akan susah lagi mencari pekerjaan."
Rafka menyetir lambat. Waktu yang sudah lewat pukul setengah delapan tidak membuat ia bergegas.
"Ririn tidak perlu memakai pakaian hitam putih selama magang. Pakailah yang membuatmu nyaman."
"Suara Bapak mengganggu telinga saya. Bisa diam saja?"
Ririn berdecak. "Terima kasih sudah memberikan tumpangan." Badannya dimiringkan ke kiri dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Sudah sarapan, Rin?" tanya Rafka. "Biar saya tebak. Belum. Benar, 'kan?" Rafka mengabaikan permintaan Ririn. Mungkin bagi Rafka, selagi mulut masih bisa bicara, sebelum bibir terkunci, lanjutkan ngomongnya.
"Di samping kantor ada bubur ayam yang enak sekali. Akan saya antarkan ke ruanganmu nanti supaya Ririn bisa absen manual terlebih dulu. Saya juga akan bawakan untuk Rey."
Semenit terdiam, Rafka kembali membuka mulut. "Saya senang sekali! Akhirnya Ririn mau ikut mobil saya. Sudah lama jok itu menunggu Ririn."
"Ya ya ya. Seandainya tadi aku membawa lakban untuk mulut Bapak."
Rafka tertawa mendengar joke Ririn. "Maaf, saya sangat senang hari ini bisa berangkat dengan Ririn."
"Saya juga senang karena telinga saya terserang polusi dari tadi."
Rafka mengatupkan bibirnya. Namun, hanya beberapa menit setelahnya, Rafka tertawa senang.
"Tapi kita sudah sampai. Besok saya jemput lebih pagi."
"Tak usah repot."
"Saya tidak repot sama sekali. Kalau Ririn mau, pulang juga saya tunggu ...." Rafka terdiam seakan mengingat sesuatu. "Laki-laki yang bersama Ririn itu masih bukan siapa-siapanya Ririn?"
Dulu Ririn pernah berkata seperti itu pada Rafka.
Dosen dan mahasiswi itu telah melewati pintu kaca di lobby.
"Iya dan Bapak juga tidak akan menjadi siapa-siapa saya. Saya sampai bosan mengatakan ini."
Rafka tersenyum senang. "Tidak masalah. Saya pasti berhenti kalau Ririn sudah memilih orang lain. Saya sampai di sini saja. Tunggu, saya akan membelikan sarapan Ririn."
Ririn tiba di lantai empat dengan wajah datarnya, tanpa menegur orang yang sudah duduk di tempat masing-masing dalam divisi tersebut.
"Anak magang."
Suara itu membuat teman-teman mahasiswa Ririn mendengak, tapi tidak sama halnya dengan Ririn. Ririn yang sudah duduk manis di sebelah Linsa justru sibuk sendiri dengan isi ranselnya. Ririn sedang mengeluarkan kotak pensilnya. Linsa tahu-tahu menyikut lengan Ririn sampai Ririn harus menoleh kepadanya.
Linsa berbisik, "Kau. Pak Rey memanggilmu."
Seketika tatapan Ririn berpindah kepada Reynanda. Lelaki itu duduk di balik monitor dengan kedua tangannya bersedekap di dada.
"Ke sana, Ririn," bisik Linsa yang wajahnya diliputi cemas.
Ririn berjalan beberapa langkah ke depan meja Rey. Duduk dengan menyilang kaki yang dibalut oleh celana hitam.
"Selesaikan pekerjaanmu!" Reynanda melempar sebuah buku kecil ke depan Ririn.
Ririn membaca tulisan tangan Reynanda kemudian menatap tajam mantan teman sekelasnya itu.
"Namanya belajar kan? Kau harus mendapatkan bekal sebanyak-banyaknya selagi masih magang. Kerjakan sekarang juga."
Dengan geram, Ririn berdiri dari bangku. Note kecil masih di tangannya. Sebelum meninggalkan meja Rey, Ririn mengempaskan buku itu kuat-kuat di meja pemiliknya.
****
Tidak terlalu lama dari kepergian Ririn, seseorang memasuki ruangan dengan membawa dua bungkusan besar warna putih. Reynanda segera melempar orang itu dengan buku kecil yang ada di atas meja. Di sisi lain, orang yang Rey lempar malah tertawa mendapatkan sambutan manis tersebut.
"Aku membawakanmu bubur ayam. Berterimakasihlah kepada masmu ini." Rafka duduk di bangku yang tadi diduduki Ririn.
"Kau seperti pengangguran berat. Apakah kau sudah melayangkan surat resign dari kampus? Aku senang sekali kalau benar seperti itu." Reynanda membalas. Rey mengambil satu bungkusan yang dibawa kakaknya.
"Linsa, bagikan untuk kakak-kakak cantik di ruangan ini," pinta Rafka kepada mahasiswi bimbingannya.
"Saya, Pak?" tanya Arfa.
"Kalau kau cantik, ambil saja," sahut Rafka.
"Pak," keluh Arfa.
Reynanda menggeleng melihat kelakuan dosen dan mahasiswa yang terlalu akrab tersebut. Mahasiswa, laki-laki, merengek kepada dosennya. Reynanda baru melihatnya sekarang
"Saya belum sarapan. Untuk hari ini, saya merasa cantik demi seporsi bubur ayam gratis." Lalu Arfa mengambil jatahnya langsung dari meja Rey.
"Anakku satu lagi ke mana?" tanya Rafka pada adiknya.
"Ada."
"Ya mana?" Rafka melihat ke bawah-bawah kolong meja.
"Ada," jawab Rey ketus.
"Aku tahu dia ada. Aku yang menjemput dari rumahnya. Lalu di mana dia sekarang?"
Mata Rey kontan teralihkan dari bubur ayam.
"Kau gila?" tanya Rey dengan nada suara pelan. Ia masih menjaga nama baik kakaknya di depan mahasiswanya.
"Apa maksudnya gila?"
Reynanda menggeleng. "Lebih baik hentikan dari sekarang apa pun yang kau rencanakan kepadanya."
"Apa?" tanya Rafka bingung.
"Apa gedung ini tidak sanggup menggaji tukang bersih-bersih? Kenapa toiletnya jorok sekali?" Ririn masuk dengan wajah bersungut-sungut. Kemeja putihnya tampak basah di bagian depan dan mengeluarkan aroma tidak sedap.
Reynanda melotot melihat penampakan di depan mereka. "Apa yang kau lakukan?" teriaknya ngeri. "Berhenti! Jangan bergerak selangkah pun!"
"Reynanda?" Rafka menggumamkan nama Rey dengan menggeram. "Apakah ini termasuk dalam ujian masuk kerja?"
"Aku memintamu membersihkan toilet. Tapi kenapa kau malah mandi air closet? Oh!" Reynanda tertawa, "Ini baru Ririn yang aku kenal. Bau kotak sampah!"
Suara tawa Rey bergema di ruangan itu, sementara orang lain hanya menganga takut jika Ririn kalap dan melemparkan kemeja kotor itu ke wajah Reynanda.
***
2440 Kata
Tbc
30 September 2023
Malam Minggu nonton Harry Potter, yuk.
Ada beberapa hal yang membuat bertanyea-tanyea?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro