10| Mendapat Sekutu
Membelikan perhiasan yang sudah tentu mahal hanyalah salah satu bentuk pembayaran Ririn terhadap Bibi Lilis. Ririn ingin memberikan apa saja yang dia miliki kepada Bibi Lilis. Sejak usia Ririn anak-anak hingga beranjak dewasa, Bibi Lilis telah melindungi Ririn dari Paman Darma. Membentuk Ririn menjadi kuat hingga mampu bertahan sampai sekarang. Utang tersebut menjadi alasan Ririn untuk bertahan hidup. Membuat Ririn memikirkan banyak cara demi membayarnya. Dengan demikian Ririn tidak pernah terpikirkan untuk menyerah. Utangnya takkan pernah dibiarkan lunas. Sebab jika utang itu selesai, hidup Ririn tiada berarti lagi.
Kalau bukan karena Aji satu-satunya orang yang dapat membayar utang itu, Ririn pasti tidak akan mau bertahan dengan pria tua itu. Sebagaimana yang selalu Ririn tanamkan dalam ingatannya, setiap laki-laki adalah binatang yang tak mampu mengontrol nafsu birahi. Mereka bahaya yang mengancam diri wanita di mana-mana. Mereka bukan manusia. Aji adalah golongan itu.
Bibi Lilis tadi bertanya apakah selama dua tahun hidup seatap dengan Aji, Ririn merasakan sesuatu terhadap suaminya itu. Tentu saja ada. Seperti saat ini, ketika ingin membuka mata akibat merasakan sentuhan di pipinya, Ririn merasa sekujur tubuhnya merinding. Dalam kegelapan kamarnya Ririn menjerit sekuat-kuatnya. Ririn mencakar pipinya sendiri yang telah disentuh tanpa izinnya.
Malam kelam itu pun kembali menyerang ingatan Ririn. Sentuhan pada kulitnya yang lembut oleh tangan kasar dan keras yang makin membuat Ririn jijik dengan tubuhnya sendiri. Tidak sekali pun Ririn sudi melihat tubuhnya yang ternyata telah terjamah sejak dirinya kecil. Dan perbuatan biadab itu terulang kembali ketika Ririn remaja. Dalam tidak sadarnya kini Ririn meraung ketakutan teringat bagaimana jika kali ini tubuhnya akan semakin kotor oleh tangan-tangan yang tidak kenal belas kasih.
Melihat Ririn yang memekik histeris, Aji semakin mendekat hendak menenangkan. Semakin Aji mendekat, Ririn semakin kuat menjerit dan mencakar.
"Ririn ini saya. Ririn tenang."
Kata-kata Aji yang sebelumnya tenggelam oleh suara jeritan kini merasuk ke telinga Ririn. Ririn perlahan sadar siapa yang berada di dekatnya. Ririn terduduk kemudian meringkuk di sudut dinding.
"Ampun. Jangan sentuh aku." Kedua telapak tangan Ririn bersatu di depan wajahnya. "Mohon jangan sakiti aku."
Seseorang di balik jendela yang mendengar dan menyaksikan siluet sepasang suami istri itu mengepalkan kedua tinjunya lalu beranjak pergi.
***
"Apa kau ingin saya mencari pengganti Anita?" tanya Aji setelah Anita mengemas barang-barangnya untuk berhenti menjadi penjaga Ririn. Wanita itu akan menikah dalam waktu dekat.
Ririn menggeleng. Aji kelihatan sangsi.
"Cukup Attar saja," kata Ririn meyakinkan.
"Kalau itu keputusanmu."
Saat itu datanglah Dila ke ruangan tengah membawa sebuah undangan.
"Pergilah." Ririn meninggalkan ayah dan anak itu. Dia ingin memberikan Dila kemenangan sekali-sekali. Kali ini Ririn tidak ingin mengambil kebahagiaan Dila. Banyak hal yang sudah Ririn pikirkan. Selama kurun waktu itu, Ririn akan memikirkan jalan keluar untuk masalahnya.
Ririn mengambil sandal keluar. Dia paling suka berpikir sambil berjalan. Tentu saja tidak sendirian. Ada penjaganya mengikuti Ririn. Namun, sayangnya kali ini Ririn mendapatkan sebuah kejutan. Di antara pepohonan yang hanya ada dirinya dan Attar, satu orang lagi ingin bergabung dengan mereka.
"Lama tidak bertemu, Keponakan," sapa orang yang wujudnya tidak Ririn harapkan. Suaranya membuat Ririn ketakutan.
Attar segera berdiri di hadapan Ririn.
"Tidak perlu berlebihan. Aku hanya ingin menyapa Nyonya Bramantya." Paman Darma menyeringai.
Ririn menarik kemeja belakang Attar.
"Jangan mendekat. Aku tidak ingin berlaku kasar kepada orang tua," peringat Attar.
"Itu memang tidak perlu. Aku menyadari kau bukan tandinganku." Darma menyeringai. "Tapi kau sama denganku. Lihatlah, bukankah wanita di belakangmu itu sangat menggiurkan?"
"Kurang ajar!" Suara Attar bergetar.
Tangan Ririn semakin erat memegang baju Attar.
"Aku tahu akal busukmu membawa Ririn ke tempat ini!" kecam Paman Darma.
Ririn melepaskan tangannya. Ia mundur. Ingin berlari. Tapi kenapa kaki Ririn susah digerakkan?
Ririn menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri Paman Darma dipukuli oleh penjaganya sampai tidak bisa berdiri. Tubuh itu tergeletak di atas tanah merah bergumulan darah. Babak belur. Ririn menelan ludahnya menyaksikan aksi penjaganya itu. Tubuhnya semakin memasang antisipasi dibandingkan sebelum bertemu Paman Darma.
"Ririn." Attar hendak mendekat.
Ririn menggeleng. Tidak ada suara yang keluar dari bibirnya, bahkan untuk menjerit.
"Aku mau pergi. Aku ingin lari. Jangan dekati aku."
Attar menatap Ririn dengan mata sendu dengan kedua tangan mengepal erat.
Ririn akhirnya dapat melangkahkan kakinya. Ia berjalan ke arah rumah Aji, sementara itu Attar mengikuti di belakang Ririn dalam jarak yang sangat jauh. Hatinya juga ikut pedih menyaksikan punggung ringkih wanitanya.
Malam itu Attar duduk di halaman seperti malam-malam biasanya. Dia terbiasa menunggu di luar kamar Ririn hingga si pemilik kamar tertidur. Malam ini ia kembali waspada sewaktu Aji memasuki kamar Ririn. Attar berusaha mengendalikan emosinya untuk tetap stabil sewaktu melihat bayangan-bayangan di balik kain jendela kamar itu.
Lalu, bibirnya berkedut ketika mendengar jeritan Ririn. Ririn tampak berjongkok dan Aji hanya dapat berdiri di hadapannya.
"Tua bangka tidak tahu diri." Attar pun melintasi halaman untuk kembali ke kediamannya tepat di sebelah rumah Aji Bramantya.
***
Ririn membuka matanya. Dia tidak sengaja tertidur di samping jendela. Matanya mengedar ke sekeliling ruangan yang sepi. Perlahan ingatan buruk mulai menguasai kepalanya. Ririn merasakan kakinya gemetaran. Aji Bramantya pasti akan datang lagi untuk mengambil haknya terhadap tubuh Ririn. Kemudian Ririn akan dijadikan istri secara sah. Akhirnya Ririn akan terpenjara dalam ketakutan.
Ririn belum menemukan jalan keluar untuk membuat Aji mengundurkan rencananya. Sesuai perjanjian, di usianya yang kedelapan belas tahun, bahkan ini sudah lewat beberapa bulan dari ulang tahun Ririn, Aji akan mengesahkan pernikahan mereka. Tepatnya tiga bulan sebelum Ririn berusia sembilan belas tahun. Tanpa pikir panjang, Ririn membuka jendela. Bodohnya ia lupa kalau jendelanya memiliki terali besi. Ririn memasang telinga baik-baik. Dirasanya anggota rumah sudah lelap semua, Ririn diam-diam pergi keluar kamar. Ririn pilih kabur daripada menjadi istri seseorang. Ririn akan mencari cara lain demi membelikan perhiasan mahal untuk Bibi Lilis asalkan dirinya selamat dari binatang berwujud lelaki tua, yaitu Aji Bramantya.
"Bajumu terlalu tipis untuk bepergian."
Suara Attar menghentikan langkah Ririn. Ririn dengan kewaspadaan yang tinggi meneliti Attar yang duduk agak jauh dari tempatnya.
"Kau belum tidur." Ririn menegaskan. "Apakah Aji membayarmu dua puluh empat jam?" sinis Ririn.
Attar duduk dengan menyilang kaki pada bangku di sebelah pintu gerbang. Tak terlihat bahwa lelaki itu ingin menghentikan aksi Ririn.
"Iya. Kau ingin pergi ke mana?" tanya Attar.
"Apa kau bisa membantu jika aku memberikan jawaban? Tapi kau orangnya Aji. Tidur sajalah. Aku bisa pergi sendiri." Ririn merapatkan kemeja tidurnya.
"Aku akan melakukan apa pun untukmu. Aku orangmu dan aku ingatkan kita berteman, mungkin kau lupa," tegas Attar. Dia berdiri dari tempat duduk dengan berlipat tangan di dada.
"Aku tidak punya uang membayarmu."
"Kapan aku mengatakan minta bayaranmu?" Alis Attar naik.
Ririn mendengkus. Dia meneliti raut Attar, dan tentu saja Ririn tidak membaca apa-apa, meskipun Attar berdiri di bawah cahaya lampu. Bahkan batin Ririn langsung memperingati bahwa Attar tidak ada bedanya dengan Aji dan seluruh pria di muka bumi. Binatang.
"Aku kuberitahukan kau satu hal."
Ririn otomatis tertarik.
"Aku tahu apa yang paling kau inginkan detik ini," kata Attar berlipat tangan. Bagi Ririn, Attar terlihat sombong. Tapi tak mengapa karena Attar sepertinya memiliki sesuatu yang hebat.
"Apa itu?" Suara Ririn menurun.
Dalam keheningan malam, mata elang sang pria mengawasi Ririn. Ririn luput menyaksikan senyuman tipis di sudut bibir lawan bicaranya.
Langkah Ririn maju. "Katakan," pinta Ririn dengan mata polos penuh harap. Ririn ingin mendengarkan kejutan.
"Kau ingin meninggalkan Aji agar mendapatkan kebebasanmu."
Ririn tergagap. Tidak ada yang pernah mengetahui apa yang tersimpan dalam kepala Ririn. Ririn merasa jika Attar adalah orang yang pintar. Gadis itu tersenyum.
"Tahukah kau bagaimana agar itu bisa berhasil? Aku tidak menemukan caranya. Paman Darma pasti menangkapku kalau aku pergi dari Aji."
"Asal kau percaya padaku, aku akan melakukan apa pun keinginanmu. Apa pun."
"Benarkah, Attar?"
Bagaikan sihir suara Ririn menyebut namanya membuat Attar mengembangkan senyuman lebar. Ia bertekad bahwa senyuman dan mata yang polos tanpa kesinisan itu akan selamanya hanya menatapnya.
"Masuklah. Aku akan memberitahukanmu secepatnya."
"Nanti Aji datang lagi." Ririn kembali teringat.
"Berteriaklah seperti biasanya. Aku selalu di dekatmu. Kau tenang saja."
Ririn lantas mengangguk dengan patuh.
"Kau sudah berjanji!" Ririn berlari ke kamarnya.
***
"Apakah boleh mempercayai Attar?" tanya Ririn saat kaki Bibi Lilis baru saja menginjak saung tempat Ririn menunggu wali sahnya itu.
"Tidak." Bibi Lilis duduk di seberang Ririn yang dibatasi oleh sebuah meja panjang.
"Baiklah. Tapi dia berjanji akan melakukan apa saja untukku. Bukankah dia baik?"
Bibi Lilis mengambil buku menu. Sambil meneliti deretan makanan, dia menjawab pertanyaan Ririn, "Tidak ada laki-laki yang boleh kau percayai. Jika dia berjanji, tunggu saja tanpa berharap apa pun."
Ririn mengangguk. "Baik."
"Aji tidak pernah lagi melakukan sesuatu kepadamu?" tanya Bibi Lilis, pertanyaan yang sama setiap mereka bertemu.
"Dia sering ke kamarku. Ingin menciumku. Aku ingin Bibi memukul kepalanya. Mau?"
"Dia suamimu. Kenapa aku harus memukulnya?"
"Aku tidak suka. Dia seperti binatang yang hanya punya nafsu. Dia menjijikkan bukan lagi binatang yang jinak."
"Kat—"
Bibi Lilis akan menyela, tetapi diserobot oleh Ririn yang berseru, "Cincin untuk Bibi!"
"Dari mana lagi kau mendapatkan benda ini?" Bibi Lilis kaget dan membuat Ririn tersenyum lebar.
"Aji tentu saja. Dia senang kalau aku senang. Aku senang punya perhiasan untuk Bibi."
"Kau sendiri kenapa tidak senang memakai perhiasan?"
Bibi Lilis mengembalikan cincin itu ke telapak tangan Ririn.
"Aku tidak suka. Itu tidak ada gunanya. Pakailah! Aku memilihkan untuk Bibi. Jangan disimpan seperti yang lain."
"Apa kau ingat sudah berapa banyak yang kau berikan kepadaku?" tanya Bibi Lilis, mengabaikan benda berkilau di hadapannya.
"Tidak. Tidak akan pernah cukup."
Bibi Lilis menatap keponakannya dengan mata meredup. Dia segera berdiri membawa kertas menu ke konter pemesanan.
Pandangan Ririn diedarkan ke sekeliling warung makan di pinggir sawah tersebut. Dia melihat Attar duduk di kap mobil sambil mengapit rokok di antara jemarinya. Kedua tungkai Ririn membawa tubuh semampai itu tegak. Dengan langkah cepat dia menghampiri Attar tanpa menghiraukan panggilan dari Bibi Lilis yang heran dengan pergerakannya.
"Kapan kau akan memberitahuku rencanamu? Kau pembohong," kecam Ririn.
"Apakah kau sudah percaya padaku?" Attar mengisap batangan di jemarinya.
Asapnya menyerbu ke wajah Ririn.
"Tidak. Tapi kau telah berjanji!" Ririn menatap Attar dengan bengis, seperti dia menatap orang-orang yang mengatainya gila.
"Kau harus percaya dulu kepadaku. Katakan kau mempercayaiku." Attar meminta dengan santai. Bagi telinga Ririn, dia terdengar main-main.
"Aku percaya."
Attar menaikkan sebelah sudut bibirnya, "Jujurlah. Aku tidak menyukai ketika kau berbohong."
Ririn menggertakkan gigi. "Tidak mau. Aku sudah tidak peduli." Gadis bergaun sepanjang mata kaki itu berjalan kembali ke saung. "Aku sudah mengatakannya pada Attar."
"Apa?" tanya Bibi Lilis heran.
"Aku tidak percaya padanya. Sekarang dia sudah tahu."
Bibi Lilis hanya menggeleng-geleng. "Kau sering sebodoh ini," gumamnya.
Ririn tersenyum. "Ajilah yang bodoh."
"Kau sering berbuat semaumu."
Ririn mengatupkan bibir tampak berpikir. "Apakah itu hal baik?" tanya Ririn dengan kening yang mengerut.
"Ya! Kau pintar sekali!"
Ririn tersenyum mendengar sinisme yang dia artikan sebagai pujian.
"Kalau begitu, kenapa aku belum menemukan cara? Aku tidak mau Aji sampai meresmikan pernikahan. Bibi bilang aku harus menjaga status pernikahanku tetap bersih. Apa Bibi tidak mau membantuku kali ini?"
"Kau harus sabar. Aku sudah lama menyiapkannya untukmu."
"Baiklah. Makan sampai kenyang, Bibi!" seru Ririn mengambil nasi ke piringnya.
***
Tbc
27 September 2023
Gimana sih Ririn di mata pembaca?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro