Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[03] Sebuah Kecelakaan

Ada yang baca? Krik krik...
Okee, happy reading untuk yang menemukan bab ini...

Tanpa kokok ayam, Aruminia Rizkiah terbangun lantas menoleh ke sebelah. Siti telah hilang dari pembaringan. Itu pertanda bahwa Rumi kesiangan. Tertidur setelah salat Subuh betul-betul di luar kebiasaannya. Mungkin efek lelah seharian kemarin. Juga perbedaan waktu bagian barat dan timur. Entahlah Rumi pun ragu untuk membela diri. Gadis itu segera ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah memasang hijab instan, ia langsung mencari si tuan rumah.

”Kak Rumi su bangun. Mari beta tunjukkan keindahan Kota Ambon pagi hari!”

Rumi menolak dengan lambaian tangan kencang. Gelengannya juga begitu semangat. Tidak mungkin Rumi jalan-jalan sebelum mandi. Malu dong dia.

Seng usah mandi, Kaka! Bagitu saja Kaka su cantik.”

”Siti mengajak ke Pasar Arumbai.” Ternyata si Syarif juga telah segar. Tunangan Fiona itu tengah memegang gelas putih menghadap jendela.

Cuma Rumi yang masih bekas bantal. Rumi memeriksa penampilannya. Ah, dia tidak terlihat lusuh amat sih. Itu pasti karena Rumi sempat membilas wajah.

”Kamu enggak ikut?”

Syarif menggeleng tegas setelah meletakkan gelas. Katanya, ia tak level jalan ke pasar apalagi bersama para gadis.

”Bukan itu alasannya,” sambar Siti. ”Tadi malam Kak Fio menyuruh Bang Syarif jaga jarak dengan Kak Rumi. Bang Syarif juga sudah dimarahi Mama karena pergi berdua deng Kak Rumi ke mari.”

Rumi menempelkan kedua telapak di depan dada. ”Tidak punya pilihan lain,” ucapnya pelan kepada Syarif.

”Enggak masalah. Asal ... bayarin ongkos pulang den (-ku)!”

Rumi memelototi Syarif, walaupun tahu Syarif hanya bercanda. Sebenarnya tidak salah Rumi melakukan apa yang Syarif inginkan apabila sanggup. Toh Rumi yang memaksa Syarif menjadi teman pergi. Namun sayang, Rumi tidak punya uang. Ia bukan orang berduit seperti Syarif. Biaya ke Ambon ini tabungan Rumi selama beberapa bulan.

”Pukul berapa kalian pergi?” usir Syarif setelah melihat mata Rumi sekilas.

Suka kepada Rumi? Jelas pernah. Syarif telah lama bersama si gadis Minang. Ia memperhatikan Rumi hingga tahu watak gadis itu dengan baik. Perasaan tersebut harus ia buang karena Rumi enggan mengubah hubungan mereka. Alasan klasik, tetapi Rumi kukuh mempertahankannya.

Tidak lama berdiri di depan rumah, sebuah angkutan umum dari arah STAIN mendekat. ”Nah, itu oto Abang Musa! Kita deng dia saja.” Siti melambaikan tangan ke jalan.

Gadis manise naik lebih dulu dan duduk di belakang sopir. Rumi menyusul di sebelah Siti. Selain mereka, hanya ada tiga penumpang. Satu di bangku depan. Dua lagi di seberang tempat Rumi dan Siti.

Dua kali menggunakan jasa angkutan hijau muda, Rumi dapat membandingkan perbedaan antara angkot Kota Ambon dengan Kota Padang. Rumi lebih nyaman duduk dalam oto versi Kota Manise.

”Nanti siang oto Abang lewat Lapangan Tantui?”

Rumi menoleh ke sebelah saat Siti berbicara. Loh, Siti kenal dengan sopirnya? Rumi enggak ikut nimbrung. Ia menikmati udara pagi lewat celah jendela yang dibuka sedikit lebar.

Rumi mendengar Siti tertawa. Ia kembali melihat ke sebelahnya. Penasaran dengan si pembawa kendaraan yang diajak Siti berbincang, Rumi agak memajukan tubuh untuk mengintip.

Si Ma’un lagi!

Tepat saat itu si sopir juga melihat Rumi dari kaca spion. Gadis berhijab merah tua itu melengos, sementara pria pemutar kemudi tersenyum kecil.

Apa-apaan itu pake senyum-senyum segala? Sok akrab.

Bukankah tadi Siti bilang mereka naik oto (mobil) Abang Musa? Nama itu tidak familiar di rungu Rumi. Jika tahu sejak awal, lebih baik cari mobil lain.

Bibir berminyak Ma’un saat sedang mengunyah berkelebat dalam ingatan Rumi. Perut Rumi mulai bergelombang akibat ombak mual. Rumi memejamkan mata. Namun, gambaran tangan yang sedang memutar roda kemudi membuatnya membayangkan saat Ma’un menggendongnya. Isi perut Rumi tidak bisa ditahan lagi. Gadis itu membekap mulut dengan telapak tangan. Jangan sampai Rumi muntah di kendaraan.

Siti masih asyik berbicara dalam bahasanya. ”Jadi kami tidak bisa ikut Abang Musa saat berangkat karena oto tidak melewati Lapangan Tantui pukul satu. Hm kalau bagitu, beta minta tolong Bang Musa bawa kami pulangnya saja. Kami bertiga seng bisa pakai sepeda motor.” Fir’aun mengangguk.

”Mari, Kaka, kita serbu ikan segar!” Siti menarik tangan Rumi untuk turun.

Begitu menginjak tanah, Rumi langsung jongkok ke rerumputan. Sementara Siti membayar ongkos mereka.

”Temanmu muntah.”

Siti menoleh ke arah Rumi. Ia berterima kasih pada sang pengendara kemudian menghampiri Rumi.

”Kaka tidak biasa naik kendaraan umum?” tanya Siti tidak enak.

Rumi menggeleng. ”Mungkin masuk angin,” kilahnya lalu berdiri.

”Sekarang bagaimana? Kaka masih mual?”

Cepat Rumi menggeleng lagi.

”Kita mampir sebentar di pasar ikan. Setelah itu kita cari nasi kuning, ya.”

Mereka berjalan ke arah keramaian. Pasar Arumbai, tempat khusus jual beli ikan segar, terletak di pinggir laut. Bangunan pasar berderet-deret di atas pantai. Udara terasa lembab dan lengket di wajah. Angin sepoi mengusap pipi Rumi dengan sayang. Cuaca agak dingin sebab pagi baru saja dimulai. Warna langit saja masih jingga. Bau amis yang berasal dari tangkapan laut menyerbu hidung. Kenangan tentang kejorokan Fir’aun Balai Salasa langsung buyar.

Allah menciptakan alam dengan sangat sempurna. Butiran pasir putih  terasa lembut ketika diinjak. Langit bersih menaungi lautan luas. Kapal-kapal nelayan nun jauh di hamparan laut bagaikan kutu di atas beras. Si kecil bergerak mencari kehidupan. Suara empasan ombak melatari jalan pagi Rumi di bumi Indonesia bagian timur. Ia terpukau oleh karunia Tuhan. Kalimat pujian kepada Sang Pencipta terlantun pelan dari bibir si gadih bundo.

”Orang Ambon wajib makan ikan,” cetus Siti sembari mengamati ikan yang akan dibeli. ”Katong orang Ambon seng makang ikang to, lombo.”

”Maksudnya?”

”Kalau tidak makan ikan, lemas. Ibaratnya begini, ikan sudah jadi makanan pokok yang tidak boleh ditinggalkan oleh orang Ambon.”

Siti telah menjinjing kantung berisi satu kilogram untuk dibawa pulang. ”Kita sarapan di Pasar Mardika saja. Naik oto lagi. Kaka masih sanggup?”

Rumi sih tidak menolak asal bukan menumpangi mobil si Ma’un. Dia ikut saja ke mana Siti bawa. Di depan mereka kini telah tersaji nasi kuning yang di atasnya ada mi, tempe, serundeng, telur rebus, dan ikan.

”Kaka seng bisa minta ayam atau daging ee,” bisik Siti, ”karena kalo nasi kuning di sini lauknya, ya, ikan deng tambahan seperti yang ada di Kaka pung piring.”

”Ini pasti enak.”

”Kaka jangan khawatir. Kalau Kaka tidak cocok dengan selera makanan Ambon, kita bisa cari rumah makan padang.”

”Ada?” Rumi mulai menyuap sendok berisi nasi kuning dan potongan kecil ikan.

”Banyak. Oh iya, dari sini ke Pantai Losari hanya sepuluh menit berjalan kaki. Tapi besok saja beta bawa Kaka naik sepeda motor. Sekarang kita langsung pulang masak ikan ini.”

🐟🐟🐟

Langit Kota Ambon mulai gelap. Sesuai janji dengan gadis tetangga, Musa tidak menerima penumpang yang bertujuan ke STAIN. Jadi, mobilnya sudah kosong sejak berangkat dari Batu Merah. Ia akan menunggu tiga penumpang istimewa di Lapangan Tantui dan pulang bersama mereka ke daerah Kebun Cengkeh.

Pria kepala tiga itu menajamkan pandangan untuk mencari Siti beserta dua temannya. Tempat yang disebut oleh Siti cukup ramai. Pasalnya dua hari yang lalu telah digelar Festival Qasidah Nasional di lapangan tersebut.

Musa memelankan laju kendaraan untuk mencari Siti. Kata gadis itu, ia akan menunggu di pinggir jalan. Dari kejauhan Musa melihat siluet gadis berhijab panjang melambaikan tangan ke arahnya. Ia berhenti di depan gadis itu.

”Abang Musa!” panggil Siti.

Teman laki-laki Siti membuka pintu di sebelah Musa, sedangkan teman perempuan duduk di dekat pintu sehingga berhadapan dengan Siti.

”Oh iya! Abang Musa orang Padang!”

Musa membenarkan dengan sebuah anggukan.

”Bang Syarif itu orang Ambon, tapi keluarganya tinggal di Padang. Kalau Kak Rumi orang Padang asli.”

”Oh ya?” Musa melirik ke belakang melalui kaca. ”Ngapain orang Padang asli jauh-jauh ke sini? Mau buka warung nasi?”

”Tidak. Bukan seperti itu. Kak Rumi liburan.”

Musa tidak mendengarkan tanggapan anak Tek Atik sama sekali. Pencahayaan minim dalam mobil menyembunyikan senyumannya.

”Mungkin temanmu mau muntah lagi,” celetuk Musa enteng teringat kejadian tadi pagi.

Lelaki di sebelah Musa menoleh ke belakang. ”Kamu baik-baik saja, Rumi?”

Begitu juga Siti yang langsung mengusap punggung Rumi.

”Aku baik-baik saja. Kalau nanti aku mual, aku akan muntah di wajah seseorang.”

Musa tak tahan untuk tidak tertawa. ”Aku punya banyak kantong keresek. Pakai saja, gratis.”

”Iya, Kaka. Kita sebentar lagi sampai. Tahan, ya!”

”Aku tidak mual!”

Musa menurunkan ketiga penumpang di depan rumah Siti. ”Rumi!” panggilnya sebelum gadis itu menjauh.

Rumi berhenti dan berbalik arah. Siti dengan temannya terus ke dalam. Rumi berdiri di bawah cahaya redup, tetapi Musa dapat menebak betapa kesal gadis itu kepadanya.

”Apa?” tanya Rumi dengan nada tak ramah.

”Kau kabur dari rumah?”

”Hah?”

”Kau hamil di luar nikah?”

”Astagfirullahal’adzim! Ma’un kurang ajar!”

Rumi berlari menjauh. Musa tertawa sambil menyugar rambut panjangnya.

”Siapa yang tidak curiga. Jauh-jauh ke sini lalu muntah-muntah.”

🐟🐟🐟

Setelah memberikan setoran harian kepada Abah Haji, Musa putar arah ke Kebun Cengkeh. Alhamdulillah ia membawa banyak penumpang hari ini. Kadang-kadang ia hanya mendapat lelahnya saja. Uang bensin pun tidak terbayar.  

Kota Ambon mulai menggelap pertanda malam segera tiba. Musa melirik jam kecil di dasbor. Seperti biasa ia akan tiba di rumah sebelum Magrib. Namun, sebuah kerumuman di pinggir jalan menarik perhatiannya. Musa segera berhenti untuk memuaskan rasa ingin tahunya.

”Ada apa?” Musa mengeluarkan kepala dari jendela.

”Sepeda motor diserempet oto penumpang.”

Musa segera turun ketika melihat pelat kendaraan yang ia kenali sebagai milik Siti. Gadis tetangga itu sedang menelepon, sementara di dekat kendaraan naas Rumi terduduk memegang kakinya.

”Mau apa kau?” teriak Rumi saat Musa ingin melihat luka gadis itu. Rumi menarik kaki kiri, tetapi langsung meringis.

”Ikut aku!” Tanpa menghiraukan teriakan Rumi, Musa menggendong korban kecelakaan itu. Ia memegang Rumi kuat-kuat sebab gadis itu ingin diturunkan.

”Siti! Ayo, ikut denganku saja!”

Siti tampak bimbang kemudian menggeleng. ”Beta tunggu Abang Syarif di sini. Sebentar lagi dia sampai. Abang Musa tolong bawa Kak Rumi ke rumah sakit. Nanti beta susul bersama Abang Syarif.”

Melihat Siti tidak terlalu parah dan masih bisa berdiri, Musa segera meninggalkan tempat itu menuju rumah sakit terdekat. Rumi duduk di sebelah Musa. Beberapa menit mereka lalui dalam diam.

”Kepalamu terbentur?”

Rumi tidak menanggapi.

”Kau merasa mual?”

Pancingan Musa tak diacuhkan.

”Rumi, kau masih hidup?”

Isakan kecil mengganti desisan kesakitan yang tak henti dari bibir Rumi. Musa berhenti mengajak Rumi bicara sampai mereka tiba di depan rumah sakit.

”Menangis tidak akan membuat kaki kau sembuh.” Musa membuka pintu penumpang dan akan menggendong Rumi ke luar.

”Enggak usah diobati,” tolak rumi.

”Kenapa? Kau bisa menyembuhkannya sendiri?”

Rumi menggeleng. ”Jangan ke rumah sakit. Lukanya bisa kering sendiri.”

”Itu luka bakar. Kau ingin membiarkan kakimu membusuk? Kau mau kehilangan kaki?”

”Enggak apa-apa. Aku enggak mau berobat.”

”Kau betulan gila. Pasti kepalamu terbentur ‘kan?”

”Anggap aja iya!”

Musa menarik paksa Rumi agar keluar, lalu mengangkatnya seperti tadi.

”Biarin aja! Jangan diobati!”

Musa meletakkan Rumi ke semen. Ia lalu menumpu tubuhnya dengan melipat satu lutut dalam posisi jongkok. Ini keadaan darurat, ucapnya pelan sebelum menaikkan rok yang dipakai Rumi. Tentu saja gadis itu menahan tangannya.

”Kau tidak ingin melihat kakimu untuk terakhir kalinya?” gertak Musa.

Gadis itu kelihatan takut, tapi tetap keras kepala. Rumi melipat kaki agar rok panjangnya menutup bagian yang terluka dari pandangan Musa.

Rumi menggeleng sambil menggigit bibir. Kelihatan sekali gadis itu menahan perih yang diakibatkan sentuhan kenalpot pada kakinya. Musa telah melihat sekilas sebelum mengangkat Rumi ke mobilnya. Luka bakar Rumi cukup parah. Entah apa penyebab Rumi enggan ditangani dokter.

”Luka itu bisa membuat satu kakimu diamputasi. Kau tidak takut hidup dengan satu kaki?”

Si gadis bergamis hitam itu menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan.

”Mana handphone-mu?” Musa tidak kehabisan akal. Dengan cepat ia menarik tas Rumi dan mengeluarkan benda yang ia tanyakan.

”Sepertinya aku harus menelepon ibumu. Dia pasti akan memaksamu untuk segera diobati.”

Ponsel Rumi terkunci menggunakan sandi. Musa mengambil jari Rumi untuk mengaktifkan dengan sidik jari sang empu.

Berhasil. Musa segera mencari nomor ibunda gadis itu.

”Iya! Iya! Aku mau diperiksa, tapi jangan telepon Bundo!”

Musa menurunkan ponsel Rumi dari telinga. Ancamannya berhasil. Musa tersenyum kecil.

”Periksa sedikit saja dan enggak usah dikasih obat,” bisik gadis itu.

Rumi tidak mau digendong. Ia juga menolak untuk dipapah, tetapi kakinya tidak sanggup dibawa berjalan. Musa memegang lengan atas Rumi untuk membantu melangkah.

”Bang!” panggil Rumi saat Musa hendak mengikuti suster  yang telah membersihkan luka.

Musa agak ragu bahwa yang barusan dipanggil Rumi adalah dirinya. Ia melihat ke sekeliling untuk meyakinkan pendengaran. Mata Rumi tertuju kepadanya. Jadi, betul Rumi memanggilnya sesopan itu? Musa kembali ke tempat Rumi berbaring.

”Kenapa?”

”Kata dokter lukanya parah sampai kena bagian dermis. Obatnya pasti mahal. Aku enggak ada uang. Jadi, enggak usah diapa-apain.”

”Terserah kau ingin sembuh atau tidak.” Musa meninggalkan Rumi yang pasti sedang menangis lagi.

🐣🐣🐣

Bersambung....

OKI, 2 Mei 2020

Selamat Hari Pendidikan Nasional....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro