Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[01] Di Bawah Atap Masjid

Assalamualaikum.... Sudahkah cerita ini masuk ke library Kakak?
Yuk, di-save dan mari baca.
Koment yang banyak bisa menutrisi mood penulis loh.

Happy reading...

Sejak Rumi naik ke mobil, adam berambut tutupi leher itu telah mencuri perhatiannya. Bukannya Rumi naksir. Pria yang sedang mengemudi di depan itu terasa familiar. Ia mirip dengan seseorang yang Rumi kenal. Dari sisi Rumi duduk dalam angkutan umum kini, ia hanya bisa melihat wajah samping si gondrong. Lelaki itu berahang tegas. Bulu-bulu halus di dekat telinganya merambat sampai ke pipi. Pembuluh darah di balik kulit putih tangannya membujur perlihatkan jalan sanguis menuju jantung.

Rumi enggak mungkin melupakan pria itu. Sosok pemilik rupa yang tidak menunjukkan laku. Keindahan fisiknya tak singkron dengan kebaikan sifatnya. Pria itu dahulu pernah diusir dari kampung akibat sebuah perkara. Apakah itu yang menyebabkan dia terdampar di kota ini?

Enggak! Tidak mungkin itu adalah dia! Mereka pasti hanya mirip. Sepuluh tahun yang terlewati bisa saja membuat ingatan Rumi ambyar.

Terdengar decakan dari lelaki di seberang tempat duduk Rumi. Perhatian Rumi teralihkan dari preman masa lalu kepada teman seperjalanan menuju kota di Timur Indonesia ini.

"Kenapa?"

Lelaki berkemeja hitam lengan panjang memonyongkan bibir ke tempat yang sebelumnya Rumi lihat. Rumi juga menoleh ke sana lalu menaikkan alis ketika Syarif berkata pelan, "Parampuang kapista! (Perempuan gatel)!" Syarif memiringkan sebelah bibir setelah bicara.

Apa artinya? Rumi enggak mengerti. Temannya yang asli Ambon itu baru kali ini mengucapkan bahasa daerahnya sendiri. Sampai kemarin saat masih di Padang, Syarif selalu berbahasa Indonesia. Oia, dia pun belajar tuturan Minang sehingga menggunakannya dalam bercakap. Kini saat berada di Kota Manise, bahasa pun ia tukar.

"Ose ini lia nyong gogos sampe seng kedip lay, Nona! (Kamu menatap lelaki tampan tanpa berkedip, Nona)!"

Lima penumpang selain mereka menatap ke arah Rumi. Rumi jadi makin bingung dengan apa yang dibicarakan oleh Muhammad Syarifuddin. Dia lagi ngejek?

"Kamu ngomong apaan sih?" Tentu saja perempuan bergamis kuning kunyit itu kesal. Rumi merasa sedang dikerjai. Dasar, Syarif!

"Apo bana nan kau caliak dari uda di muko tu sampai indak mangijok saketek alah juo (Apa sih yang kamu lihat dari abang di depan itu sampai matanya tidak berkedip)?" ulang Syarif dengan bahasa Minang yang lancar.

Entah itu ilusi atau bukan, Rumi sempat lihat punggung si supir menegang. Ia juga melirik ke belakang lewat spion tengah. Dia ngerti Syarif ngomong apa? Mungkinkah ... Ah, daripada memikirkan orang yang mirip Fir'aun, lebih baik Rumi mengurusi ejekan Syarifuddin.

"Biasa aja kali, Pak, ngomongnya. Pakai ngegas segala. Siapa yang enggak berkedip?" tampik Rumi.

"Ose lah. Siapa lagi?"

Kedua teman sehobi itu memang kerap bertengkar ringan. Bagi mereka, itulah resep mengawetkan pertemanan. Eits! Mereka tidak berada dalam hubungan asmara. Jangan berharap ada tujuan ke arah sana. Syarifuddin baru saja mengkhitbah perempuan yang sudah lama diminatinya. Ck ... Memang istilah itu yang Syarif katakan kepada Rumi waktu mengemukakan rencananya. Katanya setelah wisuda nanti, dia akan mengkhitbah perempuan saleha yang dia minati. Mereka merayakan pesta kelulusan sarjana baru sebulan yang lalu.

"Nggak sampai-sampai, ya. Katanya tadi deket, makanya ang (kamu) ajak aku naik angkot," sindir Rumi dengan logat Minangkabau yang kental.

"Minggir muka jua, Bang!" teriak Syarif sambil tersenyum mengejek ke arah Rumi. Rupanya mereka telah sampai.

"Trus ang (kamu) turun se (saja) kayak gitu? Bawain ha koper aku!"

"Lamak na kau mah (Enak banget jadi kamu)." Syarifuddin menarik penyimpanan barang milik Rumi ke luar.

"He ... he ...." Rumi turun setelah Syarif.

Pemuda itu membayar ongkos mereka berdua lewat jendela depan. Lagi-lagi Rumi merasa jika pria pengendara mobil hijau muda adalah orang yang dia kenal. Sampai angkutan umum itu menjauh, Rumi masih terpaku ke sana.

"Oi! Melamun lagi! Enggak bisa pulang loh entar kalau terjerat bujang sini."

"Mulutnya!" kesal Rumi. "Ini rumah sepupumu, Syarif?" tunjuk Rumi ke bangunan berlantai satu nan tampak asri oleh tumbuhan hijau.

Pagarnya cukup jauh dari rumah karena ada halaman yang ditumbuhi banyak tanaman. Semua tertata elok dan membuat Rumi terpesona oleh kecantikannya.

"Iya. Ayo, masuk. Selamat datang di Ambon!" seru pemuda bercelana dasar lembut itu menggeret koper mereka berdua. Milik Rumi di tangan kanan, sedangkan kopernya sendiri di tangan kiri.

Rumi bergumam di dalam hati, "Allahumma inni as'aluka min khairi haadzihi al-ardh, wa khairi ma jama'tu fiha. Wa a'udzu bika min syarriha wa syarri ma jama'tu fiha. Allahummarzuqna hayaha. Wa a'idznaa min wabaaha. Wa habbibnaa ila ahliha. Wa habbib shalihi ahliha ilayna."

Ya Allah, sungguh aku bermohon kepada-Mu kebaikan wilayah ini, serta kebaikan yang Engkau kumpulkan di sini. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan wilayah dan yang ada di dalamnya. Ya Allah, karuniakanlah kami kesuburannya. Ya allah, selamatkanlah kami dari keburukannya, karuniakanlah kecintaan penduduknya serta orang-orang shalih di antara mereka kepada kami.

Rumi mengucapkan aamiin pelan dan meneruskan langkahnya ikuti Syarif. Sepanjang jalan sejak dari Padang ia tak henti berdoa. Pergi tanpa izin yang ikhlas dari ibu membuat Rumi cukup was-was.

"Tuwangam ponge! (Oh my God)! Abang Syarif su datang!" sambut gadis muda dari dalam.

Dia bernama Siti, sepupu yang telah diceritakan Syarif sebelum mereka datang. Anak tunggal paman Syarif.

"Halo, Kakak. Nama saya Siti dan selamat datang di rumah kami."

Siti Fatimah mengenakan baju terusan panjang seperti kemeja, tetapi dalamnya semata kaki. Warnanya abu-abu. Pashmina hijau botol menutupi mahkota gadis manise dengan ujung-ujung kain disilangkan serta diletakkan di pundak. Bibirnya yang bervolume diolesi pewarna tipis sehingga menambah manis si gadis Ambon.

"Kaka itu cantik lo, Bang. Pernah seng Abang suka deng dia?" bisik si adik sepupu di telinga Syarif.
Posisi mereka tidak dekat betul sih-masih dalam posisi wajar sebagai batasan saudara yang tidak semahram, tetapi cukup pelan untuk didengar Rumi.

"Jang mongo-mongo ee! (Jangan aneh-aneh)!" Syarif menarik hijab bagian atas kepala Siti sehingga yang punya pun marah.

"Abang! Se pung tangan paling kaco eee ... Beta pung jilbab rusak ni!" rengek perempuan cantik yang jalan bersisian dengan Syarif itu.

"Iyo. Barang ose bicara sabarang. Ose su tau beta su ada tunangan." (Ya. Kamu bicara sembarangan sih. Sudah tahu aku punya tunangan.)

Keduanya terus bertengkar tanpa menghiraukan Rumi di belakang mereka yang pusing tujuh keliling mendengar tuturan dua saudara itu.

"Beta sampai lupa ada kaka cantik. Mari, Kaka, masuk ke rumah katong. Maaf ee kalau berantakan."

Rumi mengedarkan pandangan ke seisi rumah. Nyaman. Satu kata itu langsung terinstal dalam otaknya. Ia merasa pulang. Padahal tempat ini jauh sekali dari kampung halamannya. Ibarat kata, Ambon dengan Padang itu ketemuannya cuma di pasar atau di toko. Pisang ambon di Padang namanya diganti jadi pisang ambun.

"Eh Kaka, se su cake ka balong?" tanya Siti menggugurkan lamunan Rumi yang enggak penting.

Lagi-lagi Rumi kaget dengan bahasa Ambon yang ditujukan kepadanya. Sungguh, Rumi kok jadi lemot begini sih?

"Dia diem," ejek Syarif. "Siti tanya, kamu sudah makan atau belum."

Rumi pun menggumamkan vokal o yang panjang, lupa menjawab.

"Makanya pakai bahasa Indonesia, Pendek!" tarik Syarif pada hijab Siti.

"Eh, tidak apa-apa. Aku juga ingin belajar bahasa Ambon," sahut Rumi tak enak. Lagi pula ia ingin pandai bahasa orang timur walaupun di sini hanya sebentar.

Rumi pergi ke Kota Pattimura untuk mengikuti festival qasidah tingkat Nasional. Sekalian liburan juga sih karena kuliahnya sudah selesai. Kebetulan perhelatan akbar itu akan digelar di Kota Ambon.

Ia memaksa Syarif untuk ikut karena cowok itu bisa jadi teman sekaligus maps yang dapat Rumi manfaatkan. Bukan cuma itu. Syarif pun berpartisipasi karena mereka berdua satu grup banjari di kampus. Dalam festival nanti mereka tidak membawakan puji-pujian tersebut, melainkan lagu pop religi.

Rumi suka bernyayi. Sejak SMP dia ikut lomba tarik suara mulai dari tingkat kecamatan, kota, kabupaten, sampai nasional. Rumi juga pernah terpilih sebagai duta pariwisata kota tempat ia tinggal karena seringnya ia mewakili daerahnya sebagai bintang tamu. Tampil di depan umum sudah tak jadi masalah bagi gadis kelahiran 23 tahun yang lalu itu.

"Kaka pasti su capek, mari katong makang dulu ee."

"Hah?" Rumi kembali bingung dengan tuturan Siti.

Siti lantas tertawa lalu memberikan penjelasan, "Ayo makan dulu, Kaka." Logat Ambon gadis itu kental.

"Maaf, tapi boleh saya numpang salat?"

Siti langsung menarik tangan Rumi ke sebuah kamar tanpa canggung. Rekah senyum pada wajah cantik gadis timur itu membuat Rumi merasa diterima. Keluaga ini baik. Oh iya, ke mana orang tua Siti?

"Pukul segini, mereka masih di toko," jawab Siti setelah butiran tanya Rumi lantunkan.

Rumi mengangguk dan mulai melepaskan hijabnya.

"Nanti Kaka tidur di sini denganku. Katong seng punya banyak kamar."

"Oh, tidak apa-apa," sambut Rumi dengan senyuman setelah memaknai kalimat dan raut wajah sang empu rumah.

Malamnya setelah berkenalan dengan kedua orang tua Siti, Rumi diajak Siti berjamaah di masjid. Seruan untuk bersujud sedang menggema ke seluruh negeri. Mendayu dan merayu insan untuk singgah dan beribadat kepada Sang Pencipta.

"Kaka barang su ada kekasih?"

"Ya?" pinta Rumi agar Siti mau mengulang pertanyaannya. Dilatari suara azan dari masjid, mereka jalan kaki sambil mengobrol.

"Kaka punya pacar?"

Lantas Rumi menggeleng.

"Yo. Kaka mau langsung menikah saja? Ah, bagaimana kalau Kaka menikah deng mungare di sini? Jadi maitua orang Ambon? Istri orang Ambon."

Rumi menggaruk-garuk pipi sambil melebarkan rekah bibirnya. Kalau dia jadian dengan orang sini, pasti Rumi jarang pulang. Enggak mungkin ibunya dia tinggal lama-lama.

"Tar usah Kaka jawab sekarang. Kita su sampai nih."

Takbir rakaat pertama dimulai Rumi dengan khusyuk mengikuti imam. Seterusnya, kepala Rumi tolehkan ke kanan disambut salam akhir di kiri. Rumi lanjutkan dengan doa kepada Sang Pencipta.

Allah, lindungi Rumi yang pergi sangat jauh tanpa mempertimbangkan rasa keberatan ibu. Larangan ibu tidak Rumi pertimbangkan. Jika Rumi telah berencana, dia bertekat akan melakukannya. Ibu yang mengalah terhadap Rumi.

Rumi tidak bisa mengikuti ajang besar seperti ini lagi jika telah punya pekerjaan tetap. Liburan ini sebagai penebus waktu yang nyaris membuat Rumi stres saat menggarap skripsi. Anggap saja hadiah atas kelulusan Rumi. Ibu mengizinkan Rumi berangkat dengan alasan-alasan itu, walaupun hatinya berat.

"Jadi, besok Kaka tampil pukul berapa?" Lagi suara keras yang diusahakan pelan oleh Siti terdengar di rungu Rumi.

Sambil melipat peralatan salat, Rumi menjawab sang gadis, "Sehabis ishoma. Ada sekitar dua atau tiga peserta sebelum saya."

"Kaka pasti bisa!" seru Siti kemudian berdiri diikuti oleh Rumi.

"Kalau Abang Syarif?"

Mereka bercerita sambil berjalan keluar masjid. Dua gadis berjarak tiga tahun itu tampak akrab. Mungkin karena Siti yang pembawaannya easy going. Rumi jadi banyak bicara juga untuk menjawab semua pertanyaan Siti.

Beberapa orang juga menuju gerbang masjid untuk pulang. Rumi telah memakai sandal sambil menunggu Siti yang sedang bicara dengan kenalannya. Rumi mengalihkan pandangan ke sekitar halaman. Beberapa orang jalan berombongan, berdua, juga sendirian.

Siti belum selesai beramah tamah dengan wanita yang Rumi tebak sebagai tetangganya. Gadis dengan hijab intan yang terulur panjang itu melipat tangan di depan dada sekaligus untuk memeluk perlengkapan salat.

Lalu ...

Rumi mengucek mata saat lagi-lagi pandangannya menemukan orang yang tidak asing.

Kenapa banyak sekali orang yang wajahnya mirip dengan si Ma'un?

Pria berbaju koko abu-abu itu jalan mendekat ke tempat Rumi. Ia datang dari arah kiri masjid, pintu keluar kelompok adam.

Dia?

Rumi bertanya-tanya sendiri. Apa mungkin orang yang Rumi lihat di angkot sama dengan orang ini yang adalah tetangga Rumi di kampung? Eh, masa sih si Ma'un menginjak lantai masjid. Tongkrongan Ma'un kalau bukan di pos ronda, ya, musala. Dan itu bukan untuk salat, tapi molor bareng teman-teman segengnya.

"Rumi?" sapa pria yang wajahnya ditumbuhi bulu itu.

Otak Rumi melakukan pekerjaan dengan baik. Ingatannya ternyata masih bagus. Pemilik iris cokelat seperti agar-agar buatan ibu yang telah menyebut nama Rumi memang dia.

Fir'aun!

***

Bersambung .....

OKI, 26 April 2020


Voor se, Kak SHasanah5

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro