
Luka
Tett ... Tettt....
Bunyi bel pertanda kegiatan sekolah untuk hari ini telah usai. Semua siswa bersiap untuk pulang. Siswa kelas XII baru selesai ujian, jadi tidak ada pelajaran.
Renan Abhimanyu, cowok berperawakan sedang, bermata teduh, berkulit putih, rambut hitam lurus, bersiap menemui kekasihnya Adhisa Putri, cewek manis itu bersekolah di tempat yang berbeda dengannya. Sekolah mereka terletak di komplek yang sama, hanya berjarak lima menit bila ditempuh dengan berjalan kaki.
Mereka sudah menjalin hubungan sejak dua tahun yang lalu. Keduanya sering bertemu saat menunggu bis di halte yang tak jauh dari sekolah tempat mereka menimba ilmu. Ketatnya peraturan yang tidak memperbolehkan siswa mengendarai kendaraan bermotor sebelum umur tujuh belas tahun, membuat mereka pulang dan pergi sekolah naik bis kota.
Kini mereka sudah kelas XII. Setiap hari mereka selalu pulang bersama, layaknya pasangan kekasih pada umumnya. Kecuali jika salah satu dari mereka ada yang mengikuti kegiatan ekstra. Walaupun rumah mereka berlawanan arah, Abhi dengan senang hati mengantar Disha pulang.
*******
"Cha," panggil Abi pada Echa teman sebangku Disha.
"Iya ada apa Bhi, kamu memanggilku?" jawab Echa setelah menghampiri Abi.
"Apa Dhisa masih di dalam kelas?"
tanya Abi.
Gadis berambut sebahu itu mengerutkan kening, "Disha udah keluar 15 menit yang lalu, kukira dia nungguin kamu Bhi."
"O gitu, ya udah terimakasih ya Cha, aku pulang duluan kalau gitu."
"Oke," jawab gadis itu sambil mengacungkan jempolnya.
Abi berjalan ke parkiran, bergegas ia memakai jaket dan helm, berniat mampir ke rumah Disha karena hp kekasihnya itu tidak aktif. Abi merasa ada yang aneh dengan kekasihnya itu. Bahkan selama sebulan ini mereka tak lagi pulang sekolah bersama. Chat nya pun jarang dibalas.
Abhi memacu motornya membelah jalanan berdebu di siang yang terik ini. Dia ingin segera sampai ke rumah Disha. Banyak tanya yang bercokol di kepalanya, tentang perubahan sikap kekasihnya itu.
*********
"Aku pulang dulu sayang," ucap seorang cowok yang berdiri berhadapan dengan Disha sambil menggenggam tangannya.
"Iya, hati-hati di jalan, besok kita berangkat ke sekolah bareng lagi kan?" tanya Disha.
"Iya dong besok aku samperin kamu lagi, kita berangkat bareng."
"Oke aku tunggu pokoknya besok ya," balas Disya dengan cerianya.
Mereka berbincang sambil berseda gurau dan terlihat mesra, tanpa tau ada seseorang yang menyaksikan dengan menahan emosi dan sakit hati. Abi tidak mengira sahabatnya Panji telah berselingkuh dengan Disha kekasihnya.
Sampai motor Panji melaju dan Disha sudah masuk rumah, Abhi masih berdiri mematung dengan perasaan campur aduk. Tak menyangka mereka berdua tega mengkhianatinya. Bahkan langit yang tadi cerah berubah mendung, seakan siap menumpahkan airnya. Seperti hati Abhi yang bergerimis menahan sesaknya akibat sebuah pengkhianatan.
********
Abhi duduk termenung di pinggir danau, tempat yang sering ia datangi di kala hatinya sedih. Batu-batu kecil ia lemparkan ke danau itu, entah sudah berapa kilo batu yang dilemparnya jika ditimbang.
Setelah melihat kejadian tadi sungguh ia sakit hati dan pikirannya pun kacau. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke danau ini, berharap bisa menenangkan pikiran.
Abhi berdiri dan berteriak keras, berharap perasaannya bisa sedikit lega. Mengingat pengkhiatan sahabat dan kekasihnya, membuat hati Abi makin sakit. Bagai tertusuk ribuan belati, meninggalkan banyak luka di hatinya.
Abi menyayangi Disha sepenuh hati, menjaganya agar tetap utuh sampai mereka menikah nanti. Ya Abi selalu berdo'a mereka berjodoh dan sampai ke pelaminan. Namun ternyata takdir berkata lain, justru luka yang kini ia terima.
Hari sudah sore, Abhi segera beranjak dari tempat itu. Dia segera memakai helm dan menaiki motornya. Dihidupkan mesin motor kesanyangannya itu dan segera melaju agak kencang, karena tak ingin kemalaman sampai di rumah.
Terlihat ibunya yang sedang duduk di teras, saat Abi memasuki halaman rumahnya. Dia mematikan mesin motor dan segera turun, menghampiri ibunya.
"Darimana saja jam segini baru pulang?"
Abi tak langsung menjawab, ia meraih tangan ibunya lalu menciumnya.
"Tadi main sebentar bu, nggak terasa dah sore aja."
"Ya udah, ayo masuk, lain kali kalau main jangan lupa waktu, ibu kan khawatir Bhi."
"Maafin Abhi ya bu, lain kali nggak lagi deh," balas Abi merasa bersalah karna sudah membuat ibunya khawatir.
"Iya, mandi habis magrib kita makan sama-sama ya."
"Iya bu," jawab Abi sambil berlalu menuju kamarnya.
********
Abi bersiap ingin pergi ke rumah Disha. Ingin bertanya tentang apa yang dilihatnya kemarin sepulang sekolah. Bergegas ia memacu motornya. Dia berharap semoga bisa bertemu dan berbicara serius dengan kekasihnya itu, ya kekasih karena sampai saat ini mereka belum putus.
Baru sampai, Abhi melihat Disha dan Panji keluar rumah bersama, mereka berboncengan hendak pergi bersama. Saking asiknya ngobrol mereka berdua tidak menyadari kehadiran Abhi di seberang jalan.
Setelah motor Panji melaju, segera Abhi mengikutinya karena tak ingin kehilangan jejak mereka. Ya, dia butuh penjelasan atas semua yang ia lihat.
"Ini kartu parkirnya mas."
"Iya pak, terimakasih."
"Sama-sama mas."
Setelah memarkirkan motornya Abhi masuk ke kedai kopi, dimana ia melihat Disha dan Panji masuk tadi.
Abhi memilih tempat duduk yang tidak terlalu jauh, agar bisa mendengar percakapan mereka.
"Apa Abhi sudah tau hubungan kita yang?"
"Kurasa dia belum tau."
"Terus gimana selanjutnya, nggak mungkin kan kita pacaran diam-diam terus kaya gini."
"Entahlah untuk saat ini kita nikmati aja ya, soal Abhi kita pikirkan nanti." Jawab gadis itu sambil mengedikkan bahu. Mereka terus mengobrol, tak jarang Panji melontarkan kata-kata mesra yang membuat wajah Disha bersemu.
Abhi yang mendengar percakapan mereka merasa sakit hati. Tidak tahan dia berdiri berniat menghampiri mereka.
"Ini yang katanya sibuk?"
Kedua remaja yang sedang ngobrol sambil bersenda gurau itupun kaget bukan main, menoleh bersamaan mendapati Abhi dengan tatapan datar dan raut tak bersahabat.
"A ... Abhi," jawab mereka terbata.
Wajah mereka seketika berubah pias.
"Kenapa?, Pantas sebulan ini kamu nggak pernah mau aku ajak pulang bareng, ternyata kau sudah berkhianat di belakangku."
Disha hanya bisa menunduk, tak berani mengeluarkan sepatah katapun.
"Dan kau," tatapan Abhi berpindah kepada Panji, "Kau tau Disha pacarku tapi, kenapa kau tega menusukku dari belakang."
Sungguh Abhi tak mengira sahabatnya sejak merah putih itu tega menikung pacarnya.
"Duduk dulu Bi," bujuk Panji.
"Kami hanya nggak sengaja ketemu di jalan tadi, terus kita mampir ke sini buat minum kopi."
"Nggak sengaja? kamu pikir aku percaya."
"Apanya yang nggak sengaja kalau berangkat bersama dari rumahnya." Balas Abhi sambil menunjuk Disha yang sejak tadi hanya menunduk.
Mereka berdua nampak terkejut mendengar ucapan Abhi barusan.
Tidak menyangka Abhi sudah melihat mereka sejak berangkat dari rumah tadi.
"Nggak usah sok terkejut begitu."
"Aku udah lihat dan dengar semuanya."
"Bahkan aku lihat kalian kemarin."
"Kau ingin putus kan?"
Sontak Disha mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk.
"Oke mulai hari ini tak ada hubungan apapun diantara kita," Abhi menatap tajam Disha, "kita putus."
Terlihat jelas kemarahan dan kekecewaan di mata teduh Abhi.
Setelah berkata demikian, bergegas ia meninggalkan pasangan pengkhianat itu. Marah, benci, terluka, dia merasa hatinya telah remuk redam saat ini. Dikhianati bukan hanya oleh kekasih tapi juga sahabat yang disayanginya.
******
Sudah sebulan sejak kejadian di kedai kopi, Abhi tak pernah lagi berhubungan dengan mantan kekasih dan sahabatnya itu. Bahkan ia memblokir nomor keduanya. Sungguh ia sudah tidak peduli lagi dengan mereka berdua. Saat ini dia hanya ingin memyembuhkan luka hatinya, walau tak tau akan bisa sembuh atau tidak. Sungguh luka ini teramat dalam, tapi Abhi berusaha untuk melupakan semua, walau seberapapun sulitnya tapi hidup tetap berlanjut, ia tidak mau terus terpuruk dan berkubang dalam duka.
"Bhi, sudah lama Disha enggak main ke rumah ya."
Abhi sejenak tertegun dengan pertanyaan ibunya. Ya dulu Disha sering main ke rumah. Bahkan dia sudah akrab dengan ibu Salma.
"Mungkin dia sibuk bu, kan lagi pendaftaran kuliah."
"Emang kalian bertengkar?"
"Enggak kok bu, cuma memang kita lagi sibuk dengan urusan masing-masing aja."
"Beneran?, kamu g bohong kan?"
"Iya ibu, nggak ada apa-apa kok."
Tidak bermaksud bohong, hanya saja Abhi tak tega jika tau kalau dia sudah putus dengan Disha, pasti ibunya akan sangat kecewa, karena hubungan mereka sudah sangat dekat. Disha sudah seperti anak perempuan bagi wanita kesayangannya itu.
"Ya udah kalau kalian baik-baik saja," jawab bu Salma sambil tersenyum dan mengusap punggung anak semata wayangnya itu. Beliau berharap apa yang dikatakan anaknya benar adanya, karena selama satu bulan ini Abhi sedikit berubah, menjadi lebih pendiam, sering terlihat murung dan melamun.
*********
"Assalamualaikum...."
"Waalaikumsalam...." Jawab bu Salma setelah membuka pintu.
"Siang bu, gimana kabar ibu."
"Ibu baik alhamdulillah sehat juga."
Bu Salma memeluk Disha setelah gadis itu menyalami dan mencium tangannya.
"Gimana kabarmu nak, lama enggak main kemari, ibu kangen loh sama kamu."
"Eh iya baik bu, aku juga kangen sama ibu," jawab Dhisa agak sedikit gugup.
"Ibu buatin minum dulu ya nak."
"Eh enggak usah bu, duduk saja disini ngobrol sama Disha."
"Beneran nggak mau minum ini."
"Iya bu beneran." Balas Dhisa meyakinkan bu Salma.
"Baiklah kalau itu maumu."
Gadis itu menepuk jidatnya, "Sampe lupa, tadi aku bawa kue bronis coklat kesukaan ibu, bentar ya tak ambil dulu, tertinggal di motor kayaknya."
Wanita berusia 42 tahun itu hanya geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah gadis itu, yang nampak lucu menurutnya.
Disha masuk kembali membawa kresek di tangan kanannya.
"Ini bu kue bronisnya, aku buat bareng bunda semalam," kata Disha sambil menyerahkan kresek itu pada ibunya Abhi.
Ibu membuka kardus penutup wadah kue tersebut, "Wah kelihatannya enak, tunggu sebentar ya ibu nyiapin kuenya buat temen ngobrol."
Disha menjawab dengan anggukan kepala. Beberapa menit kemudian ibu keluar dengan sepiring bronis dan dua gelas teh hangat.
"Ibu kenapa repot buatin minum segala, Disha kan bisa buat sendiri kaya biasanya."
"Enggak apa-apa, sudah ayo diminum."
Bu Salma dan Dhisa ngobrol dengan asiknya, tak terasa sudah satu jam mereka ngobrol. Hubungan mereka memang dekat karena Abhi sering mengajak Dhisa ke rumahnya.
"Bu ... Abhi dimana ya? Kok dari tadi enggak kelihatan."
"Oh Abhi sedang keluar, katanya mau ke toko buku. Memang dia tidak menghubungimu?"
"Eh tidak bu, itu nomer ku sudah ganti karena yang kemarin kecemplung air hpnya." Disha tidak sepenuhnya bohong karena memang hpnya kecebur di kolam rumahnya.
"Oalah gitu toh, lah kamu belum kasih nomer barumu ke Abhi?"
"Belum bu, kan sebulan ini kami jarang ketemu."
"Ya sudah enggak apa-apa, ini masukkin no barumu ke ponsel ibu aja, biar kita bisa saling berkabar."
Disha tersenyum dan meraih ponsel bu Salma, mengetik deretan angka disana.
"Ini sudah dhisa masukkin nomernya," katanya sambil menyerahkan hp ibu Salma.
Tak terasa hari sudah semakin siang. Dhisapun pamit pulang.
"Bu Disha pulang dulu ya."
"Kenapa buru-buru, apa enggak nunggu Abhi pulang?"
"Udah siang ini bu, aku janji mau nganterin ibu ke toko kue."
"Baiklah kalau begitu, besok-besok main kesini lagi ya."
Disha Mengangguk "Iya bu aku usahain bisa main kesini lagi lain waktu."
Bu Salma tersenyum kemudian memeluk kekasih anaknya itu.
"Hati-hati di jalan ya."
"Iya bu, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam...."
********
Tiba di rumah Abhi segera mematikan mesin motornya dan memasukkannya ke garasi. Rumah terasa sepi, Abhi mencari keberadaan ibunya, ternyata sang ibu sedang berada di taman belakang rumah, menyirami bunga-bunga kesayangannya.
"Assalamualaikum," ucap Abhi sambil berjalan mendekati ibunya.
"Waalaikumsalam," jawab ibu lalu meletakkan selang dan mematikan kran air yang digunakan untuk menyiram bunganya tadi.
"Baru pulang, dapat nggak buku yang kamu cari?"
"Iya bu, alhamdulillah dapet tadi sempet muter-muter nyarinya."
"Ya udah mandi sana, jam 4 ini, jangan lupa sholat ashar," kata ibu mengingatkan.
"Iya bu," jawab Abhi sambil berlalu, dia juga sudah tidak sabar ingin mengguyur badannya yang terasa gerah dan lengket akibat keringat.
*******
Tring....
Bunyi ponsel Abhi tanda ada pesan masuk. Dilihatnya nomor tak dikenal yang mengirim pesan. Karena penasaran ia membacanya.
Bisakah kita bertemu, aku ingin bicara hal penting, bunyi pesan tersebut.
Ini siapa ya, apa kita saling kenal?, balas Abhi.
Ponsel Abhi berbunyi, tanda ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal tadi. Setelah menimbang beberapa saat ia menggeser tombol hijau ke atas.
"Halo, dengan siapa ini ya?"
Tak ada jawaban, hanya terdengar suara helaan napas dari seberang sana. Baru akan menutup panggilan tersebut, terdengar suara seseorang yang sangat ia kenal.
"Halo Bhi, bisakah kita bertemu?"
Baru ingin menutup panggilan tersebut, terdengar suara gadis di seberang sana.
"Kumohon jangan ditutup dulu, dengerin aku Bhi," jawabnya menghiba.
Abhi tidak menjawab, ia ingin tahu apa yang ingin Disha katakan.
"Bisakah kita bertemu aku ingin menjelaskan semuanya." Jeda sejenak "Kumohon."
"Baiklah, dimana?", jawab Abhi datar.
Terdengar helaan napas lega dari seberang sana. "Bagaimana kalau di taman dekat kedai es krim."
"Oke."
********
Dua remaja yang pernah punya hubungan, duduk berdampingan di bangku taman yang masih terlihat sepi. Keduanya saling diam tanpa ada yang mulai bicara. Abhi merasa bosan dengan keadaan ini, ia ingin segera pulang. Muak jika mengingat pengkhianatan gadis di sampingnya.
"Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan aku pulang saja."
"Tunggu," cegah Disha saat Abhi sudah berdiri dari duduknya dan berniat pergi.
Abhi menoleh memperhatikan wajah mantannya itu, melihat sorot matanya yang sarat permohonan. Tidak tega ia duduk kembali.
"Kenapa?"
"Maaf," hanya kata itu yang mampu terucap dari bibir gadis yang terlihat lebih kurus itu. Ia ingin menjelaskan semua, tapi lidahnya benar-benar kelu. Keberaniannya pun menguap entah kemana.
"Sudah?, kalau tidak ada yang lain aku pulang."
"I ... Ini," ucap Disha terbata sambil menyerahkan sesuatu padanya.
"Apa ini?" balasnya tanpa niat untuk menerimanya.
Karena mendapat penolakan, Disha meletakkannya di tempat kosong diantara dia dan Abhi duduk.
"Bacalah, aku minta maaf atas semua yang telah terjadi diantara kita."
Tak ada jawaban, hanya suara beberapa orang yang mulai berdatangan di taman itu serta gemericik air kolam di sebelah tempat mereka duduk.
"Kau berhak membenciku, tapi ... Bisakah kita tetap berteman?"
"Terserah," balas Abhi dingin.
Entah apa yang ada di otak gadis ini, dia pikir setelah ketahuan selingkuh, hubungan mereka bertiga masih bisa sepaerti dulu. Omong kosong, ibarat cawan yang telah retak sekalipun dapat direkatkan dengan lem super kuat, tetap saja akan terlihat bekas retakannya.
Dilihatnya Disha tidak berniat menjelaskan lebih jauh Abhi berdiri dan melangkah pergi, baru beberapa langkah, dia mendengar suara memanggilnya.
"Mas, itu pacarnya pingsan," kata seorang yang kebetulan lewat.
Abhi menoleh, benar kata orang tadi terlihat Disha tergeletak di tanah. Tidak tega dihampiri dan digendongnya gadis itu, dibawanya ke klinik dekat taman.
"Sus tolong temen saya pingsan ini."
"Iya, tolong bawa masuk ke ruang periksa!" suruh seorang suster.
Abhi duduk di kursi tunggu yang ada di depan ruang periksa. Berharap semua baik-baik saja, ya walaupun dia sakit hati, tapi rasa sayang itu masih ada dan ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada mantannya itu.
Clek....
Terdengar pintu terbuka, muncul suster tadi dari balik pintu.
"Silahkan masuk dokter memanggil anda."
Mengangguk dan mengikuti suster tersebut masuk ke ruang dimana Disha diperiksa,terlihat seorang dokter wanita sedang menulis sesuatu.
"Silahkab duduk!" pinta bu dokter setelah melihat Abhi.
"Iya bu, bagaimana keadaan temen saya, apa dia baik-baik saja?"
Dokter itu tersenyum, "Begini...."
Betapa terkejutnya Abhi mendengar penjelasan bu dokter tadi, hatinya yang sudah patah kini bertambah hancur. Dia meremas rambutnya sebagai pelampiasan emosinya.
*******
Hening, hanya suara detak jarum jam yang terdengar, kedua insan berlainan jenis itu saling membisu. Sepuluh menit berlalu.
"Siapa?, Panji?, tidak ku kira sejauh itu hubungan kalian."
Tak ada jawaban. Diamnya Disha dianggap -ya-oleh Abhi. Abhi teringat undangan yang diberikan padanya di taman tadi, tak mengira ternyata itu undangan pernikahan mantannya itu.
"Selamat, semoga kalian bahagia."
"Aku pulang, kurasa sebentar lagi Panji datang."
Abhi berdiri, ingin segera keluar dari ruangan ini. Melihat Disha membuat hatinya makin sakit, Saat ia akan membuka pintu.
"Maaf dan terimakasih," ucap Disha dengan suara yang bergetar.
Tak menjawab, membuka pintu dan bergegas pergi. Abhi tidak mau bertemu Panji, bukan karena apa, ia hanya takut tak bisa mengendalikan emosinya saat bertemu mantan sahabatnya itu. Berjalan ke taman dimana dia janjian dengan Disha tadi.
Diambil dan dibuka undangan tadi ya, ternyata memang undangan pernikahan Disha dan Panji yang akan dilaksanakan satu minggu lagi.
"Apa salahku," gumam Abhi sambil meremas undangan tadi.
Tak menyangka gadis yang ia cintai dan sayangi sepenuh hati, yang dia jaga agar jangan sampai rusak, ternyata justru berkhianat dengan sahabatnya. Dan hubungan mereka pun sudah kebablasan. Ya, ternyata Disha hamil lima minggu. Seperti yang dijelaskan dokter paruh baya tadi.
Abhi memacu motornya dengan kencang, sebagai luapan emosi yang dipendamnya sejak tadi. Beberapa kali pacaran, Disha yang paling ia sayang tapi juga yang menorehkan luka paling dalam. Kini ia tak percaya adanya cinta, hatinya seakan mati rasa. Cukup dia tidak mau terluka lagi. Hidupnya tetap berlanjut walau tanpa adanya Dhisa. Masih ada orangtua yang harus ia bahagiakan.
********
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro