Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cinta Egois

"Terimakasih, Dokter," ucap Lisa tulus kepada dokter yang sudah memeriksa  putrinya.

"Sama-sama, jangan lupa diminum obatnya ya!"

Lisa mengangguk, "Iya Dok."

Sejak semalam, badan Nabita demam. Sudah di kompres tapi belum turun juga sampai pagi. Suaminya sedang ada tugas ke luar kota sejak dua hari yang lalu. Ponselnya tak bisa dihubungi sejak semalam. Pesannya pun baru centang satu. Oleh karena itu, ia membawa putrinya ke rumah sakit diantar pak Budi, supir pribadi yang sudah bekerja sepuluh tahun di rumahnya.

Nabita, gadis manis berumur dua belas tahun itu putri sematawayangnya bersama Ikbal. Lisa sangat menyayanginya, mengingat perjuangannya mendapatkan buah hatinya itu tidaklah mudah. Baru di tahun ke lima pernikahannya Bita lahir. Baginya, Nabita anugerah terbesar dalam hidupnya. Sebab itu, kala Bita sakit ia khawatir luar biasa. Rasa takut kehilangan itu selalu ada. Apalagi sejak kecil Bita memang sering sakit-sakitan.

********

Lisa menggenggam tangan Bita yang terasa panas. Setetes air bening jatuh membasahi pipinya.

"Bunda, Bita kangen Ayah." Ucap bocah kecil itu sebelum terlelap dalam tidurnya.

Melepas tangan anaknya, Lisa berdiri menghampiri meja, berniat menghubungi suaminya lagi.

Tut ... Tutt ...

Nomor yang anda tuju tidak aktif

Berkali-kali Lisa menghubungi suaminya, tapi hanya suara operator yang ia dengar. Bahkan, tak satupun chat nya dibaca. Sebegitu pentingkah ... Ahh ... sudahlah, baginya kini kesembuhan putrinya lah yang utama.

Ceklek ....

Mbok Marni masuk membawa tas berisi baju ganti untuk Lisa dan Bita, juga makanan untuk majikannya itu.

"Assalamualaikum...., gimana keadaan kakak?", semua orang di rumahnya memang memanggil Bita kakak, termasuk si mbok dan pak Budi. Semenjak Ranum–adik Lisa melahirkan, Bita memang meminta dipanggil kakak.

"Waalaikumsalam...., demamnya masih belum turun, tapi tadi sudah mau makan dan minum obat."

"Yang sabar ya, setidaknya kakak mau makan dan minum obat."

Lisa mengangguk,"Iya mbok."

"Makan dulu, ini mbok bawain tadi."

Lisa menggeleng, dia tidak selera makan.

"Kamu harus makan nduk, sedih boleh tapi harus jaga kesehatan juga. Kalau kamu sampai sakit siapa yang jagain kakak."

Lisa memang sudah menganggap mbok Marni seperti ibunya sendiri, begitu juga sebaliknya.

Lisa mengangguk, menuju sofa yang ada di ruang rawat putrinya. Ia terus memasukkan makanan ke mulutnya, walau sangat sulit saat menelannya. Kembali menetes bulir bening di pipinya yang agak tirus. Tak kuat lagi dia menyudahi makannya dan segera ke kamar mandi. Menghidupkan keran air agar menyamarkan tangisnya. Setelah cukup meluapkan emosi, segera mencuci muka dan keluar, tak ingin si mbok curiga.

*****

Sudah tiga hari Bita dirawat, tapi tak satupun pesannya dibalas oleh Ikbal. Sesibuk itukah suaminya itu?,
sampai ponsel selalu tidak aktif. Putrinya selalu menanyakan ayahnya.  Mungkin karena saking rindunya. Ya ... walau memang sudah sering ditinggal ke luar kota, kali ini Bita seperti sangat merindukan ayahnya.

Mas Bita sakit, dia nanyain kamu terus. Tak rindu kah kamu pada putrimu?

Lisa mengelus pipi Bita, demam anaknya sudah turun. Hanya saja masih lemas. Hanya demam biasa kata dokter. Kalau nanti malam sudah tidak panas lagi, besok sudah diperbolehkan pulang.

*****

"Anak bunda emang pinter deh, enggak susah minum obat."

Bita tersenyum dan memeluk bundanya, "Bita kan sayang bunda, enggak mau liat bunda sedih."

"Bunda juga sayanggg banget sama Bita."

Bita memeluk bundanya erat,"Bunda enggak boleh sedih lagi ya, harus selalu bahagia."

Lisa melonggarkan pelukannya, mengecup kepala putrinya sayang, "Asal Bita sehat dan enggak sedih lagi, karena kamu kebahagiaan bunda."

"Bita janji enggak akan sedih dan sakit lagi," balasnya sambil tersenyum manis.

Lisa ingin selalu melihat senyum putrinya itu, baginya itu sudah lebih dari cukup.

"Sekarang istirahat ya, bunda temenin."

*****

"Sudah?", tanya Fatma ibu Lisa.

Lisa mengangguk, menuju dapur meletakkan piring kotor bekas makan anaknya tadi. Setelah itu bergabung dengan–para orangtua–yang sedang mengobrol di ruang keluarga. Mereka baru tiba tadi pagi.

"Apa belum ada kabar dari Ikbal?", tanya ayah mertuanya.

Lisa menggeleng, "Ponselnya masih belum aktif  sekarang Pi."

Sudah satu minggu belum ada kabar dari Ikbal. Pikiran buruk mulai merasukinya, takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Entahlah kepergian suaminya kali ini membuat perasaannya  tidak enak. Seperti ada sesuatu yang menyesakkan dada. Walau sudah sering ditinggal ke luar kota, tapi kali ini sungguh berbeda rasanya.

"Kita berdo'a saja semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk,"timpal Akhmad papa Lisa.

Semua yang ada di ruangan tersebut mengangguk.

*****

"Mas...."

"Kamu sudah sadar sayang,"ucap seorang pria yang menggenggam tangan seorang wanita. Terlihat binar ceria di matanya ketika wanita yang sangat dicintainya itu membuka mata, setelah satu minggu dinyatakan koma. Saking bahagianya sampai ia meneteskan air mata. Segera dia menekan tombol darurat yang ada di samping ranjang pasien.

"Kamu membuat mas khawatir sayang."

Wanita itu tersenyum, membalas genggaman tangan suaminya, "Jangan sedih, aku sudah bangun sekarang."

Ceklek....

Dokter masuk diikuti seorang perawat.

"Saya periksa dulu ya."

***

"Tuhan lebih sayang sama dia, udah jangan nangis lagi ya."

Terdengar isak tangis yang menyayat hati, tangis seorang wanita yang baru saja kehilangan calon anaknya. Janin yang baru berumur lima minggu, tak dapat dipertahankan akibat pendarahan, setelah ia terpeleset di kamar mandi.

"Tapi kita sudah sangat menunggu kehadirannya mas, maaf ... maaf karena aku tidak bisa menjaganya,"ucap Karina sambil menangis.

"Semua bukan salahmu, sudah mas enggak suka liat kamu nangis,"balas suami karina.

"Aku takut tidak bisa hamil lagi."

"Jangan berpikir yang bukan-bukan, sudah ayo sekarang istirahat, mas temenin biar cepet pulih."

Tak sampai tiga puluh menit Karina sudah terlelap. Ikbal bangkit dari duduknya, berniat pindah ke sofa. Ia ingin istirahat, badannya sangat lelah. Satu minggu menunggui istrinya yang koma karena pendarahan dan harus dikuret. Ditambah rasa sedih dan kecewa karena kehilangan calon anaknya, membuat ia benar-benar capek. Merebahkan tubuhnya di sofa dan tak sampai lima menit terdengar deru nafas teratur menandakan pria berumur 42 tahun itu sudah terlelap.

*****

"Tidak....!", terdengar jeritan yang sangat memilukan.

"Jangan tinggalin bunda nak, kamu udah janji enggak akan ninggalin bunda kan, ya Allah ... Bita ... bangun nak, buka matamu sayang!", isak Lisa memenuhi kamar gadis itu.

"Kamu bilang kangen ayah kan nak?, ayah pasti pulang, tapi kamu harus bangun sayang."

"Istighfar Lisa, mama dan mami mertuanya berusaha menguatkan Lisa.

"Bita hanya sedang tidur kan ma?"

Fatma memeluk Lisa, airmata makin deras mengalir dari mata tuanya. Kehilangan salah satu cucunya yang masih belia sungguh membuat ia sedih. Dia tahu seperti apa perasaan putrinya itu saat ini, pasti lebih sakit dari yang ia rasa. Karena Bita adalah hidup Lisa.

"Sabar ya nak, ikhlaskan supaya Bita pergi dengan tenang."

Tadi saat seluruh keluarga sedang ngobrol, terdengar teriakan Lisa yang sedang membangunkan Bita untuk makan siang. Kaget dengan apa yang mereka lihat. Tubuh gadis kecil itu kejang-kejang, dan suhu tubuhnya juga meningkat. Sempat dibawa ke rumah sakit, namun Tuhan berkehendak lain. Bita dinyatakan meninggal sejak di perjalanan menuju rumah sakit.

Pemakaman Bita telah usai. Para pelayat juga sudah pamit pulang. Hanya keluarga Lisa yang masih tinggal. Dan beberapa tetangga dekat yang membantu untuk persiapan tahlilan nanti malam.

Tut ... tut....

"Bagaimana?", tanya bu Sari pada suaminya.

Pak Damar menggeleng, beliau menghela napas lelah. Di mana anak laki-laki nya itu, kenapa sudah berhari-hari ponselnya tidak aktif. Dari sejak kemarin beliau berusaha menghubungi Ikbal. Tapi hanya suara operator yang menjawab.

****

Ikbal mendorong kursi roda yang diduduki Karina. Selang tiga hari bangun dari koma keadaan karina kian membaik. Dan pagi tadi dokter memperbolehkan ia pulang.

"Hati-hati sayang," Ikbal menuntun Karina memasuki mobil.

"Terimakasih mas".

Ikbal bergegas mengendarai mobilnya. Jalan cukup lenggang hingga tak sampai 20 menit mereka sudah sampai di rumah.

"Ayo mas bantu."

Karina tersenyum, berjalan masuk rumah dipapah suaminya.

"Maaf ya mas aku tak bisa menjaga kandunganku."

"Stt ... Semua bukan salahmu, harusnya mas yang minta maaf karena tak bisa menjaga kalian."

Karina mengangguk, semakin mendekap suaminya. Ia sedih karena kehilangan calon anaknya.

"Tidur ya, mas juga capek."

Dijawab gumaman Karina.

*****

"Bita....!", Ikbal terbangun dengan keringat mengucur di seluruh tubuhnya. Ia mimpi bertemu putrinya, tapi Bita berlari menjauh saat melihatnya. Mendadak dia ingat sudah berapa hari tidak mengabari ke rumah. Menoleh ke samping, terlihat Karina masih lelap. Bergegas turun dari ranjang dan mencari ponselnya.

"Habis baterai ternyata," ucap Ikbal. Segera ia mengisi daya ponselnya. Dia berpikir sudah berapa hari tidak mengabari keluarganya. Sungguh ia merasa bersalah, pasti  mereka mengkhawatirkannya. Melihat Karina pendarahan dan harus kehilangan calon anak mereka membuat ia melupakan Lisa dan putrinya.

"Astagfirulloh," Ikbal mengusap wajahnya kasar.

"Engh....," terdengar lenguhan Karina.

Ikbal menoleh, memperhatikan Karina yang merubah posisi tidurnya.
Wanita cantik yang memiliki selisih umur tujuh tahun dengannya. janda kembang yang sudah membuat Ikbal jatuh cinta untuk pertama kalinya. Awalnya Ikbal ingin mengubur rasa cintanya, karena ia sudah memiliki istri dan juga seorang anak. Tapi makin hari rasa itu makin besar. Apalagi setelah ia tahu Karina juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Bahkan, wanita itu rela jikalau hanya dijadikan simpanan. Akhirnya mereka menikah tiga tahun yang lalu. Berdalih untuk menghindari zina. Dan sampai saat ini ia masih merahasiakan dari keluarganya.

Teringat mimpinya tadi, Ikbal mengambil ponsel yang baru terisi separuh. Berniat menghubungi istri pertamanya. Saat menghidupkan ponsel banyak pesan masuk. Bahkan ada banyak panggilan tak terjawab juga, paling banyak dari Lisa.

Lisa
Mas, kamu dimana?

Bita nanyain kamu terus, apa kamu bisa pulang cepat?

Mas aku bawa Bita ke rumah sakit karena demamnya nggak turun dari semalam.

Mas kamu nggak balas pesan ku.

Bita nanyain kamu lagi, tak bisakah kau pulang?

Masih banyak pesan lainnya, tapi yang membuat ia khawatir adalah pesan dari istrinya yang mengatakan Bita sakit. Segera ia menghubungi Lisa.

Tut ... tut....

Berkali-kali melakukan panggilan tak satupun yang diangkat.

Lis bagaimana keadaan Bita? Apa dia sudah sembuh?, Maafkan aku yang tidak memberi kabar.

Hanya centang satu.

Tut...tut....

"Assalamu'alaikum...."

"Waalaikumsalam ... Papi...."

Belum selesai bicara, papinya menyela dengan nada datar,"Cepatlah pulang!"

Saat ingin menjawab panggilan sudah ditutup oleh papinya.

Ikbal menghembuskan napas kasar, pikirannya yang sejak kemarin tidak enak kini bertambah khawatir.

****

Memasuki halaman rumah, Ikbal heran kenapa ada dua mobil terparkir disana. Dudah jam sepuluh malam, tapi kenapa masih ada tamu. Perasaannya kini semakin tidak enak, bergegas ia keluar dari mobil.

"Assalamualaikum....", tak ada yang menjawab salamnya.

Terlihat mbok Marni sedang membereskan ruang makan.

"Mbok."

"Eh Tuan, Maaf ... Mbok nggak denger tadi", wanita tua itu terlihat kaget melihat kedatangan tuan-nya.

"Istri dan anakku dimana mbok? itu ada mobil papi sama papa, mereka ke sini?"

"I ... itu, a ... anu Tuan", si mbok tergagap menjawab pertanyaan tuan-nya.

"Istri dan anakku dimana mbok?, itu ada mobil papi sama papa, dimana mereka?

"Nyonya....", belum selesai mbok Marni menjawab.

"Ikbal!", terdengar suara papi memanggilnya.

"Papi ingin bicara!"

Kini mereka duduk si ruang keluarga, ada papi dan mami Ikbal juga papa Lisa.

"Jelaskan apa ini!", tanya papinya sambil melempar map hijau ke atas meja.

Ikbal meraih dan membuka map tersebut. Dia benar-benar terkejut setelah melihat isi map itu. Beberapa fotonya dengan Karina, darimana papi mendapatkannya?

"Siapa wanita itu?"

Ikbal menghela napas, mungkin sudah saatnya ia berkata jujur.

"Dia Karina ... istri kedua ku Pi, aku menikahinya tiga tahun yang lalu."

Orangtua Ikbal tampak terkejut mendengar penuturan anaknya. Bahkan maminya sudah tak sanggup lagi menahan air matanya. Begitu juga dengan papa Lisa.

"Lisa tau kamu menikah lagi?"

Ikbal menggeleng, "Tidak."

"Kau menikah lagi tanpa izin dari Lisa?, kau ... benar-benar keterlaluan Ikbal!, kau membohongi kami semua!"

Papi ikbal tak menyangka anak yang selalu ia banggakan itu tega mengkhianati keluarganya. Dia benar-benar marah.

"Kenapa kau tega mengkhianati istrimu?"

Ikbal menceritakan semua, bagaimana ia bertemu dengan Karina yang membuat ia jatuh cinta untuk pertama kalinya. Begitupun dengan Karina, yang rela dijadikan istri siri. Tidak ada yang ia tutupi, begitupun tentang dimana ia beberapa hari ini.
Dan juga alasan dia menikah lagi diam-diam karena tidak ingin menyakiti Lisa.

"Dan kau pikir Lisa tak sakit hati jika tau kamu telah mengkhianatinya?, bahkan papi yakin dia akan lebih sakit dan kecewa karena kau tidak jujur dari awal."

Pak Damar tak habis pikir dengan jalan pikiran anaknya itu. Dia juga menikah karena perjodohan tapi ia mampu menjaga kesetiaan untuk istrinya. Entah sudah berapa kebohongan yang Ikbal lakukan.

"Kau sudah membuat kami semua kecewa, bahkan saat cucu papi sakit dan meninggal pun kau tak ada di rumah, tapi sedang bersama istri mudamu."

Ikbal terkejut dengan penuturan papinya tadi, cucu ... cucu papi siapa maksudnya. Kini ia benar-benar khawatir, apalagi sejak pulang tadi dia belum melihat istri dan anaknya.

"Apa maksud papi?, siapa yang meninggal?"

Ikbal melihat mami nya sudah terisak di pelukan papinya. Hatinya begitu sakit melihat itu semua. Papinya masih diam, berusaha menenangkan istrinya.

"Anakmu."

"Maksud papi apa?", tanya Ikbal tak percaya.

"Bita sakit dan kini telah pergi meninggalkan kita semua."

*****

"Makan dulu nak."

Lisa menggeleng, kehilangan Bita membuatnya begitu sedih. Ia sangat menyayanginya. Bahkan demi Bita dia berusaha bertahan dalam pernikahan nya. Pernikahan perjodohan yang ia kira akan berakhir indah sampai maut memisahkan. Ternyata tak seindah yang ia bayangkan. Suaminya diam-diam menikah lagi dengan seorang janda yang lebih cantik dan lebih muda darinya. Karina Larasati wanita yang sudah merebut hati suaminya.

"Kau harus tetap makan nak, mama enggak mau kamu sakit, Bita juga pasti sedih liat bundanya kaya gini."

"Ma ... Kenapa rasanya sakit sekali...."

Lisa terisak memeluk mamanya, kehilangan Bita lebih sakit daripada saat ia tahu pengkhianatan suaminya.

"Sabar ya nak." Fatma ikut menangis, tak menyangka begitu berat cobaan yang dijalani putrinya. Kini ia hanya bisa mendukung apapun keputusan Lisa nantinya.

******

Hening, hanya derit pohon bambu yang terdengar. Sesekali terdengar kicauan burung, yang bersembunyi di pepohonan. Daun-daun kering berguguran tertiup angin, jatuh berserakan di atas tanah pemakaman. Seorang pria bersimpuh di depan sebuah makam yang masih merah. Tempat peristirahatan terakhir putrinya.

"Maafin ayah nak, maaf....", Ikbal tercekat, seperti ada batu yg mengganjal tenggorokannya. Ia tak lagi mampu berkata-kata. Kini ia sadar betapa ia telah lalai akan tanggung jawab nya, terhadap istri dan juga anaknya.

Lisa menolak untuk menemui Ikbal. Rasa kecewa dan sakit hati membuat ia enggan bertatap muka dengan suaminya itu. Dia butuh waktu untuk menata hati dan pikiran, agar bisa mengambil keputusan yang tepat.

Setelah dari makam putrinya, Ikbal memang pergi ku rumah mertuanya. Berniat menemui istrinya, ya Lisa istri yang sudah menemani hidupnya selama tujuh belas tahun. Dan sudah melahirkan seorang putri untuknya. Istri yang sudah ia khianati dan sakiti.
Tapi ibu dari anaknya itu masih enggan menemuinya, tak apa Ikbal mengerti akan keadaan ini, pasti Lisa sangat sedih kehilangan anak mereka, dan dia akan menunggu waktu yang tepat untuk menemui istrinya lagi.

*****

Waktu terus berjalan, hingga tak terasa telah lewat empat puluh hari Bita pergi. Ikbal memandang tak percaya pada sebuah buku di tangannya. Ia sampai meneteskan air mata usai membacanya. Tak menyangka akan apa yang terlulis di sana.

Untuk ayah,

Terimakasih karena sudah menjadi ayah terbaik untukku. Selalu sayang dan menuruti apa keinginanku. Bahkan tak pernah marah jika nilai ku jelek. Saat aku sakit ayah juga selalu menjagaku. Mengantar jemput ke sekolah walau kadang ayah lelah. Bita minta maaf jika sudah nakal dan buat ayah kecewa.

Ayah ingat waktu ada acara lomba pentas seni di sekolah?, waktu Bita kelas empat. Bita menunggu tapi ayah tidak datang. Hanya bunda yang datang. Aku sedih tapi kupikir mungkin ayah sedang sibuk. Sejak saat itu, ayah jadi sering pergi-pergi. Bunda bilang ayah sibuk bekerja demi masa depanku.

Saat ulang tahunku yang ke sebelas, ayah tidak ada di rumah. Kata Bunda, ayah sedang berada di luar kota karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Aku sedih tapi aku hanya bisa diam.

Keesokan harinya bunda mengajakku liburan. Kami pergi ke banyak tempat.
Saat sedang makan kami bertemu sahabat lama bunda dan diajak mampir ke rumahnya. Yang tidak aku sangka, aku dan bunda melihat ayah turun dari mobil dan bergandengan tangan dengan seorang wanita cantik. Kemudian masuk ke rumah yang tidak jauh dari rumah tante siska sahabat bunda.

Dari tante siska kami tau kalau ayah sudah menikah dengan wanita itu dan sudah tinggal di sana sejak dua tahun yang lalu. Tante siska juga bercerita banyak hal tentang kalian, tentang ayah yang begitu mencintai tante Karina istri baru ayah. Mendengar semua itu kepalaku pening dan aku tidak tau apa yang terjadi setelahnya, karena saat aku bangun sudah ada di rumah.

Bita ingin bertanya pada ayah, tapi bunda melarang. Bunda bilang ini urusan orang dewasa. Aku nurut sama bunda. Hanya kadang tidak tega saat enggak sengaja liat bunda yang nangis tengah malam.

Dan sejak saat itu Bita enggak pernah berharap lagi bisa sama-sama ayah terus, karena ayah memang tidak selalu ada bersama kami. Yang penting masih ada bunda yang selalu ada buat Bita.

*****

Suasana cafe Pelangi siang ini cukup ramai. Empat orang dewasa duduk dalam diam. Beberapa menit berlalu, belum ada satupun kata yang keluar dari bibir mereka.

"Maaf....", ucap ikbal penuh sesal.

Lisa menggeleng,"Kamu tidak salah mas, mungkin aku yang salah karena tidak bisa menjadi istri seperti yang kau inginkan."

"Tidak Lisa selama ini kamu sudah menjadi istri dan ibu terbaik."

Lisa tertawa miris,"Kalau aku istri yang baik kenapa kau mengkhianatiku mas, dan kalau aku ibu yang baik kenapa Bita ninggalin aku."

Wanita yang duduk di samping Ikbal hanya menunduk, ia merasa bersalah telah menjadi duri dalam rumah tangga Lisa dan Ikbal.

"Maafkan aku Lisa, kita perbaiki hubungan kita. Aku janji akan adil pada kalian berdua."

"Maaf mas, aku tidak bisa. Aku sudah mencoba bertahan sekalipun aku tau kau tidak mencintaiku. Dan putriku sudah pergi, jadi tidak ada lagi alasan untukku bertahan."

Menghela napas,"Ceraikan aku!"

*****

Sidang perceraian mereka telah usai. Meski Ikbal sempat bersikukuh mempertahankan rumah tangganya dengan Lisa, tapi akhirnya ia menyerah juga, karena Lisa tetap ingin bercerai.

Kini Lisa tinggal bersama orangtuanya, meski Ikbal memberikan rumah mereka untuk Lisa. Ia tidak mau menempati rumah itu. Karena terlalu banyak kenangan menyakitkan di sana, terutama saat Bita pergi.

Lisa berusaha sabar dan ikhlas dengan apa yang terjadi. Mungkin memang beginilah takdirnya. Jodohnya dengan Ikbal hanya sampai di sini, di tahun ke tujuh belas pernikahan mereka. Sakit ... sudah pasti, tapi ia bersyukur masih memiliki orangtua dan saudara yang menyayangi nya. Jadi, dia harus tetap melanjutkan hidup, meski luka hatinya entah bisa sembuh atau tidak.

*****

Tengah malam, Ikbal tidak bisa tidur. Ia berjalan menuju balkon, duduk bersender di kursi. Mengusap wajahnya kasar, tidak menyangka akan seperti ini akhirnya. Kehilangan anak dan bercerai dengan Lisa. Mami meninggal tak lama setelah perceraiannya karena serangan jantung. Setelah kepergian mami, papinya tinggal dengan adiknya.

Kini ia baru sadar cintanya pada Karina sungguh egois. Cinta yang sudah membuat ia buta. Sehingga dia tidak bisa melihat bahwa ia telah dikaruniai keluarga yang sempurna.

"Mas belum tidur?"

Merasakan usapan di bahunya Ikbal menoleh, mendapati Karina berdiri disampingnya,"Tadi kebangun, terus enggak bisa tidur lagi."

"Tapi ini sudah malam loh mas, tidak baik kalau di luar gini, nanti masuk angin."

Ikbal berdiri menggandeng tangan istrinya,"Ayo masuk, aku juga udah mulai ngantuk."

Karina tersenyum, tak lama terdengar dengkuran halus pertanda Ikbal sudah tidur nyenyak. Ia pandangi  prianya itu, ada gurat lelah menghiasi wajahnya. Dia tau meski tak pernah mengeluh, suaminya itu punya banyak beban pikiran.

Setetes bulir bening jatuh dari mata indahnya. Dia menyesal telah menjadi penyebab seorang suami mengkhianati istrinya. Karena ia juga, seorang anak kehilangan sosok seorang ayah. Dulu ia hanya berpikir ingin hidup bersama orang yang dicintai dan mencintainya juga. Sungguh kini ia sadar betapa sudah sangat egois. Cintanya telah menghancurkan banyak hati. Sekarang hidupnya selalu dibayangi perasaan bersalah dan penyesalan. Apalagi vonis dokter yang menyatakan ia akan sulit punya anak, setelah 3 kali keguguran. Mungkin ini hukuman dari Tuhan, atas segala dosa-dosanya.

Kini Karina dan Ikbal sama-sama  menyadari bahwa cinta mereka adalah cinta egois. Tapi sayang, mereka sadar ketika sudah sangat terlambat. Karena waktu tidak mungkin bisa diputar kembali.

                       
                         ********

120720





















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro