Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8

Sorry for delay

Ingat ya, yang udah penasaran banget fan baca sampai tamat bisa langsung mampir ke karyakarsa. Link di bio

Happy reading!

***

"Nadia! Di, Nad, Nadi, Dia. Hei!"

Nadia mendengkus kesal. Ia menghentikan langkah dan menoleh sempurna ke orang yang sedari tadi mengganggunya, Langit. Langit pun mengerem kakinya, agak tersentak oleh sikap Nadia yang menatapnya garang.

"Bisa nggak sih nggak nggangguin aku?" ucap gadis itu kesal.

"Gue mau ngom—"

"Jaga jarak!" Telunjuk Nadia teracung saat Langit akan menghampirinya.

"Oke." Lelaki itu mundur teratur. "Gue mau ngomong sesuatu sama lo."

"Apa? Kamu suka sama aku?" Nadia mengibaskan rambut ke belakang. "Sorry, kamu bukan tipeku jadi jangan ngarep."

Mulut Langit setengah terbuka, dia tak menyangka gadis di hadapannya ini akan sangat blak-blakan. Namun, sedetik kemudian tawanya pecah. "Gue suka gaya lo!" Perlu waktu beberapa detik untuk Langit meredakan tawa. "Tapi gue nggak mau ngomong itu. Gue cuma mau minta bantuan."

Dahi Nadia mengerut dalam, ia menatap Langit penuh tanya.

"Sini deh gue bisikin." Senyum iseng milik lelaki itu tercetak sempurna dan membuat Nadia berdecak.

"Ogah! Nggak ketipu sama modusan kamu," kata Nadia sembari kembali melangkah.

"Dih! Gue serius kali, Di!" teriak Langit sambil berjalan lebih cepat, menjajari langkah Nadia. Tapi gadis itu kembali menunjuk ke arah Langit, kode agar dia berhenti mengikutinya.

"Jaga jarak!" ucapnya mempertegas.

Langit terdiam di tempat, bibirnya menggemakan tawa. "Kayak truk tronton aja pakai jaga jarak," gumamnya lebih kepada diri sendiri. "Di! Gue seriusan mau ngomong sama lo. Nanti aku telepon, ya." Sekali lagi, lelaki itu terbahak saat melihat Nadia melengos sebal. Tapi kemudian tawanya berangsur-angsur hilang, seiring dengan punggung Nadia yang tak lagi nampak. Lelaki itu mengembuskan napas pelan. "Kok gini banget ya usaha gue deketin dia." Langit menggeleng, tak habis pikir dengan pikirannya sendiri. "Sesuatu yang berharga memang sudah didapet, Lang!"

***

Setiap kali melihat buku berwarna hitam milik Biru, Cinta selalu merasakan debaran aneh. Apalagi setelah membaca coretan yang ada di sana, salah satu tulisan Biru yang membuat hatinya terenyuh dan sering ia baca berulang-ulang. Penasaran dengan arti yang tersirat di sana. Ingin tahu dengan maksud yang ingin disampaikan sang penulis.

Maaf, satu kata yang selalu ingin diucapkan oleh bibirku.

Maaf, sebuah kata yang tak pernah bisa terdengar oleh indra pendengaranmu.

Maaf, andai kata itu bisa menebus sebuah kesalahanku.

Nyatanya, tidak.

Aku terlambat.

Entah apa maksudnya, Cinta tidak mengerti. Yang dia tahu lelaki ini seperti menyesal akan sesuatu, tapi apa?

Cinta menggeleng. Untuk apa dia peduli? Ingat, fokus kamu saat ini bukan lelaki, Ta!

Gadis itu memgembalikan kembali novel di atas nakas, sepertinya dia harus mengalihkan perhatian sekarang. Lama-lama berkutat dengan buku itu akan membuat rasa ingin tahunya membesar.

Penasaran adalah fase awal orang untuk jatuh cinta, dan saat ini jatuh cinta bukan prioritas bagi gadis itu, apalagi kepada Biru, lelaki bermuka datar dan bermulut pedas. Dia pasti cuma mencari penyakit kalau jatuh cinta dengan sosok seperti itu.

"Ta!" Tiba-tiba pintu kamar Cinta terbuka dan selanjutnya spring bed yang sedang ia tempati berkedut, menandakan seseorang tengah duduk di atasnya.

Cinta menoleh, melihat Nadia yang bersedekap kesal.

"Kenapa, to?" tanya Cinta sembari mengubah posisi tidurannya menjadi duduk bersila.

"Kamu nemu temen kayak Langit di mana, sih?"

Tawa cinta membahana ketika mendengar nada bicara Nadia yang terkesan kesal. "Emang Langit kenapa?"

"Masa dia teriak-teriak minta ngomong, udah gitu mana banyak temen ngelihatin lagi. Nggak sadar tempat tuh anak."

Bagi Cinta, ekpresi Nadia saat marah itu lucu. Hidungnya akan mengembang dan mengempis dalam tempo cepat dan ia tak bisa menahan diri untuk tertawa. "Emang dia mau ngomong apa?"

"Mana aku tahu," jawab Nadia sambil mengedikkan bahu.

"Jangan-jangan mau nembak kamu." Cinta berargumen sendiri, matanya mengerling usil menggoda Nadia.

"Ish! Ogah! Langit tuh pasti tipe orang yang nembak pake cara alay, lebay, terus pamer di depan umum gitu. Amit-amit!"

Volume tawa Cinta mengeras. "Romantis tahu, Di. Orang kayak gitu artinya sayang banget sama kamu."

"Romantis dari Hongkong! Sumpah deh, Ta. Aku nggak suka temen kamu itu. Bilangin sama dia buat jauh-jauh dari aku, deh."

Kali ini tawa Cinta sudah mereda, ia memasang ekspresi serius. "Emang kenapa sama Langit? Dia ganteng, lho. Kamu cocok kok pacaran sama dia."

"Kamu ini nggak suka pacaran tapi ngusulin orang pacaran. Gimana, sih?" Tangan Nadia melipat di depan dada, kesal.

"Ya abisan kamu aneh. Kenapa sih setiap kali ada cowok deketin selalu kamu marah-marahin? Kalau aku jelas, mau fokus sama pendidikan dulu, makanya nggak mau pacaran. Lha kamu?"

Nadia menghela napas, dia juga tak mengerti.

Bagi Nadia, lelaki yang suka mengejarnya itu menyebalkan. Entah sudah berapa kali dia harus berjutek-jutek ria kepada mereka. Cara mereka bertutur, bersikap, membuat ia jemu. Oke, perempuan memang tercipta untuk dikejar, tapi bukan seperti barang yang layak diperebutkan dengan berbagai cara, kan? Dia lebih suka pengejaran yang elegan. Tanpa banyak bicara tapi menunjukkan dengan sikap. Tidak banyak gombal tapi mengucapkan kata yang tepat.

Sejauh ini, dia belum menemukan sosok lelaki seperti itu, atau mungkin ia saja yang menutup mata.

Kecantikan Nadia yang di atas rata-rata, seharusnya mudah saja bagi dia untuk memilih pria. Bola mata yang bersinar dengan bulu mata lentik yang memesona, hidung mancung terpahat sempurna, bibir tipis, dan rambut keriting gantung yang sengaja disemir warna cokelat gelap membuat ia seperti seorang dewi Yunani. Seharusnya bukan hal susah baginya untuk mendapatkan lelaki manapun. Tapi, hatinya seakan terpaut pada satu orang.

Ah, lagi-lagi semua pemikirannya bersarang ke sana. Ia menggeleng pelan untuk mengusir bayangan lelaki yang sudah lama berseliweran dalam benaknya.

"Di?" Tangan Cinta melambai di depan wajah Nadia, membuyarkan lamunannya.

Mata Nadia mengerjap. "Hah? Apa?"

"Mikirin apa, to?"

Nadia tersudut, dia tak ingin membicarakan tentang perasaannya sekarang, bahkan kepada Cinta sekalipun. Ia tak mau mengungkit luka masa lalu yang sudah ia pendam sekian lama.

Dan bunyi nada dering di sakunya menyelamatkan Nadia. "Ada telepon," katanya langsung melarikan diri dan tanpa melihat nama yang tertera di layar ia langsung menggeser tombol hijau.

"Halo!" sapa Nadia cepat.

"Hai, Mbak Nadi."

Jantung Nadia rasanya ingin melompat, hanya beberapa orang yang memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Ia baru mengecek nama yang menguhubunginya.

Aya.

Rasanya sudah lama gadis itu tidak ada kabar, pasti ada sesuatu yang penting.

"Iya, Ya?"

"Nanti bisa ketemu nggak, Mbak?"

Nadia berpikir sejenak. "Eeuumm ... ada perlu apa, ya?"

"Ada titipin untuk mbak dan juga mas—"

"Ya, kamu tahu di mana kacamata bunda, nggak?" Terdengar seseorang memanggil gadis itu membuat apa yang akan diucapkannya terpotong.

"Pokoknya ini penting, Mbak. Kita ketemu, ya?"

Setengah ragu, Nadia mengangguk. "Ya udah, nanti kapan dan di mananya SMS, ya."

"Ya udah kalau gitu, Mbak. Bunda udah manggil, aku takut kalau ketahuan hubungin Mbak Nadi. Dagh!"

Telepon tertutup, menimbulkan bunyi panjang yang membuat Nadia terpaku. Pikirannya saat ini melanglang buana. Rasanya sudah lama sekali Nadia tidak berhubungan dengan keluarga Aya. Dan tadi gadis itu juga sempat bilang seseorang lain yang Nadia yakin pasti lelaki itu yang dimaksud. Apakah dia harus memberitahunya tentang hal ini?

~bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro