BAB 3
Yang udah nggak sabar mau baca sampai tamat, atau ngintip part selanjutnya. Bisa banget ya baca di Karya karsa. Cari aja username primamutiara_
Harga perbabnya murah banget kok, kalau mau baca sampai tamat lebih murah lagi. Hehehe.
Happy reading. 🤗🤗
***
Orang itu adalah Langit. Ya, Cinta tidak salah. Sudut bibirnya ikut naik saat mengingat senyum yang diarahkan kepadanya. Setelah pertunjukan semalam, sebenarnya Langit terlihat ingin menghampiri Cinta, tapi sebuah telepon mengusiknya dan membuat laki-laki itu segera beranjak dari sana.
Ah, apa aku terlalu geer? Cinta menggeleng pelan, mencoba menghalau pikiran yang tidak-tidak. Fokus kuliah! Fokus!
Cinta menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Kembali fokus pada bacaannya.
Jam kuliahnya baru dimulai setengah jam lagi, tetapi kebiasaan gadis itu memang selalu datang lebih awal dari anak-anak yang lain. Sepi, dia suka suasana sepi yang membuatnya lebih mudah berkonsentrasi dengan pikirannya sendiri. Saat yang lain sedang asyik nongkrong di kantin, dia justru lebih memilih menunggu di kelas, berteman dengan lagu yang teralun di earphone dan buku yang tak pernah lepas dari perhatiannya.
"Pagi-pagi udah menyendiri aja, Cin? Didatengin penunggu gedung ini baru tahu rasa."
Mendadak sebuah suara menginterupsi Cinta untuk mendongak ke arah sumber suara, Langit, lelaki itu datang menghampirinya, dan tanpa permisi langsung duduk persis di sebelah tempatnya berdiam diri.
Langit terlihat sangat tampan pagi ini, rambut warna brown yang dipotong simetris di atas telinga masih terlihat basah dan acak-acakan, tak lupa senyum cerah mengembang indah dari bibirnya.
"Iya, iya. Gue emang ganteng," goda Langit
Godaan Langit tentu saja langsung membuat pipi Cinta lagi-lagi bersemu dan memilih untuk menatap lantai.
"Yeeee ... malah nunduk. Gue mau tanya sesuatu nih, Cin."
Mata Cinta mengerjap, ia kembali mendongak dan menatap Langit dengan dahi berkerut. Memang aneh bila hari ini Langit ke kelasnya kalau tidak ada sesuatu.
"Ya?"
"Yang semalem itu, lo kenal sama mereka?" tanya Langit akhirnya dan mendapatkan jawaban anggukan dari Cinta
"Cewek berambut keriting gantung yang jadi vokalis itu sepupuku," jawab gadis itu lagi.
"Oh iya?"
"He'em." Perasaan Cinta mendadak tidak enak. Jujur, ini bukan kali pertama dia mengalami kejadian seperti ini. Semua seolah dejavu.
"Sebenarnya gue pernah lihat sepupu lo sebelumnya."
Alis Cinta naik, mencoba melontarkan pertanyaan dengan ekspresi itu.
"Dia anak musik, kan?"
Gadis itu mengangguk pelan. "Pernah lihat dia manggung?"
"Yup, anaknya cantik, suaranya keren. Eh, kemarin malah lihat dia ngobrol sama lo."
Tawa Cinta menguar hambar. "Oh ya?" Sepertinya dia mulai tahu pembicaraan ini akan bermuara ke mana.
"Kenalin gue sama dia dong," ucap Langit akhirnya.
Cinta tertawa garing, hal ini mudah sekali ditebak. Apa lagi alasan seorang cowok mendekatinya kalau bukan untuk meminta diperkenalkan dengan Nadia.
"Malah ngelamun. Lo tuh emang kayak gini ya, Cin?"
"Hah? Apa?"
"Nunduk, diem, nunduk, diem. Gitu aja terus sampe monyet bertelur."
Tanpa sadar tawa Cinta terumbar dan disusul oleh Langit. Tanpa sadar fokus lelaki itu terpecah ke arah buku di depan Cinta.
"Lagi baca buku apa sih?"
"Oh, ini." Gadis itu menunjukan cover buku yang ia pegang. "Novel Rindu Dendam."
Ia manggut-manggut tanda mengerti. "Karya Age Airlangga dan Racky Rachman, kan?"
"Eh? Kok tahu?"
"Tahu lah." Langit memiringkan bibirnya. "Purnama yang bulat sempurna. Gambarkan kisahku di wajahmu. Bahwa rindu bukanlah suatu yang indah. Namun sebuah rasa yang membuat resah ...."
Cinta mendelik kaget, dia ternyata hafal sebuah puisi yang ada di dalam buku ini. "Purnama yang bulat sempurna. Gambarkan amarahku di bayanganmu. Bahwa dendam bukanlah suatu hal yang kejam. Namun sebuah rasa dan gairah untuk menempuh hidup." Gadis itu pun melanjutkan bait puisi yang ia lantunkan.
"Gue paling suka puisi itu," kata Langit kemudian.
"Wah ... aku gak nyangka kamu tau kayak ginian juga."
"Lo ngomong gitu seolah gue ini anak pemales banget yang nggak pernah baca buku, ya?"
Tangan Cinta bergerak tak tentu arah. "Eh, bukan gitu maksudnya."
Seringai usil keluar dari bibir Langit. "Gue dijejelin terus sama kakak gue, ya lama-lama jadi suka juga."
"Kakak kamu suka baca novel?"
Langit mengangguk. "Lumayan, suka nulis juga."
"Wah ... keren." Mata Cinta berbinar cerah.
"Mau aku kenalin sama dia?"
Cinta mengangguk semangat, seperti anak kecil yang diiming-imingi permen oleh orang tuanya.
"Kenalin gue dulu sama sepupu lo."
Cinta berdecak malas, membuat Langit semakin tertawa keras.
***
Tatapan lelaki itu fokus ke sebuah rumah bercat kuning gading yang terlihat paling mencolok di antara rumah yang lain. Dari sini, dari kafe langganannya, ia dapat melihat bangunan sederhana itu berdiri kokoh. Jaraknya memang agak jauh. Posisi kafe yang berada di ujung bukit di daerah gunung pati, memberikan efek landscape pemandangan perumahan di kawasan yang ada di bawahnya.
Sesekali laki-laki itu menyesap kopi yang ada di depannya. Masih dengan tatapan yang belum terlepas dari sana, ia menyandarkan punggung ke kursi dan bersedekap, sesekali menaikkan kacamatanya yang melorot ke bawah. Rambut lelaki itu berwarna hitam gelap—senada dengan baju dan celananya—agak panjang, setengkuk, bagian poni yang menutupi mata ia ikat ke belakang.
Sebuah bunyi lonceng mengalihkan perhatiannya. Sosok perempuan dengan setelan kaos salem dan rok krem memasuki kafe itu. Seperti biasa, ia mengenakan ransel hitam yang membuatnya seperti kura-kura ninja, lalu tangannya mengapit beberapa buku.
Lelaki itu hanya melihatnya sekilas, kemudian meletakkan secangkir kopi yang hampir habis. Ia mengambil buku kecil di atas meja, menuliskan sesuatu di sana, beberapa waktu asyik dengan kegiatannya sampai ada sebuah nada dering mengganggu konsentrasinya.
Ponsel itu ada di dekat buku yang sedang ia tulis, lelaki itu melirik sekilas, lalu menggeser tombol hijau.
"Assalamua'alaikum."
Ia mendengar dengan saksama seseorang yang berbicara di ujung telepon sana.
"Iya, nanti aku di tempat biasa." Lalu jeda sejenak. "Moccacino?"
Sedetik kemudian ia memutar bola mata. "Hmmm, nanti aku pesenin. Ya udah, aku pulang dulu. Assalamualaikum."
Lelaki itu memasukkan ponselnya ke dalam saku, kemudian beranjak ke meja bar, di mana gadis yang tadi ia perhatikan juga ada di sana.
"Mbak Cinta, ini pesenannya, dan ini bill-nya." Satya—pelayan kafe itu—mengangsurkan sebungkus paper bag yang berisi pesanan sang gadis yang ternyata bernama Cinta itu, lalu tatapannya beralih ke lelaki yang berdiri di sebelahnya. "Mas Biru sudah selesai?"
Mendengar nama itu tersebut, Cinta segera menoleh, kaget.
Biru itu mengangguk. "Saya pesan es moccacino."
"Oh iya. Sebentar, Mas." Sementara Satya menangani pesanan Biru, mata lelaki itu menengok ke sebelah, terlihat Cinta membulatkan mata, terkejut melihatnya,
"Apa?" ucap Biru, hampir tanpa ekspresi.
Cinta menggeleng gugup, lalu mengalihkan perhatian ke tasnya, mencari sesuatu di sana.
"Mana, sih?" Biru mendengar Cinta bergumam, lalu sibuk sendiri dengan dunianya.
Dengan sebelah alis naik, Biru hanya memerhatikan gadis yang sepertinya tak menemukan apa yang ia cari, mengaduk-aduk tas, hingga berniat menaruhnya ke atas meja.
"Ini mas."
Bertepatan dengan Satya yang mengangsurkan segelas moccacino yang dipesan oleh Biru.
Seperti adegan slow motion, waktu bergerak lambat, segelas mocachino itu diterjang oleh tas Cinta yang kemudian terlempar ke arah Biru.
Cinta meringis.
Tatapan Biru yang semula datar berubah menjadi tajam, siap menerkam gadis di hadapannya.
author note
Adakah yang masih semangat membaca cerita ini? ;)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro