Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 21

"Di, kamu ... suka sama Mas Biru?" Pertanyaan Cinta sukses membuat Nadia menghentikan langkah kakinya dan menoleh sempurna ke hadapan sepupu yang paling dekat dengannya itu.

Melihat belum ada tanda-tanda jawaban, Cinta bertanya lagi, "Kamu suka sama Mas Biru, kan?"

Nadia mengerjapkan matanya, dan menyadarkan diri dari keterkejutan. "Kamu ngomong apa sih, Cin? Nggak usah ngaco, deh." Ia melanjutkan langkah kakinya yang diikuti Cinta dari belakang.

"Di ... aku memang terkadang kurang peka, tapi aku tidak cukup bodoh untuk tahu perasaan orang yang sudah aku anggap sebagai saudara kandungku sendiri."

Hembusan nafas pelan terdengar dari indera penciuman Nadia. Ia mengerem mendadak laju jalannya dan kembali menoleh ke arah gadis berkerudung itu. "Oke, aku jujur, dulu aku emang pernah suka sama Mas Biru."

"Dulu?"

"Ya, dulu. Saat SMA," ujar Nadia lagi.

"Sekarang?"

Lidah Nadia berdecak. "Kamu kenapa kepo banget, sih?" Gadis itu melipat tangannya di depan dada. " Nah ... sekarang aku yang tanya sama kamu. Kamu suka nggak sama Mas Biru?"

Mulut Cinta gelagapan. "Kok malah nanya aku?"

"Nah, situ nggak mau dikepoin, terus ngapain tanya-tanya?"

"Ya ... karena jawaban kamu bisa jadi penentu langkah aku ke depan, Di."

"Okey, gini aja, aku mau ngomong sesuatu sama kamu."

"Soal apa?"

Tatapan mata Nadia meneduh, dia memang sudah lama ingin mengungkapkan ini kepada Cinta, dan mungkin sekarang lah saat yang tepat baginya.

~~~

Sebuah gesekan spidol pada white board yang ditaruh di ujung gazebo itu terdengar nyaring, beberapa pasang mata memperhatikan Bian yang sedang menjelaskan materi kali ini.

"Jadi yang harus dilakukan pertama kali adalah pembuatan kerangka, kerangka dapat membuat cerita kita fokus dan nggak lari kemana-mana," terang Bian. "Lalu, biasanya akan ada pertanyaan, jika kerangka sudah jadi, tetapi mendadak ada ide baru yang ingin kita selipkan di dalam cerita bagaimana? Apakah masih boleh kita masukkan? Jawabannya, boleh? Selama tidak mengubah plot dan alur cerita yang sudah kita susun rapi." Bian menaruh spidol yang dipegangnya ke lantai.

"Sejauh ini ada pertanyaan lagi?"

Seluruh junior yang memperhatikannya dengan serius, menggeleng pelan, merasa sudah jelas dengan semua penjelasan yang ada. Terkecuali Cinta, gadis itu terlihat tidak fokus sedari tadi, bahkan ia sempat ingin bolos saja dari materi kali ini, kalau tidak bertemu dengan Naura ditengah jalan saat pulang tadi.

Pikirannya berkecamuk, apa yang dikatakan Nadia kemarin benar-benar membuatnya gamang. Dia sudah mengerti duduk perkara dari persoalan ini, tetapi dia masih ragu untuk memutuskan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Apakah dia memang harus mengambil langkah itu? Apa dia bisa?

Tanpa ia sadari sepasang mata coklat terang memperhatikannya sedari tadi, matanya menyipit curiga, merasakan kejanggalan dari gerak-gerik Cinta.

"Oke, cukup sekian dari saya. Kalian bisa langsung mengumpulkan kerangka yang sudah kalian buat, jika masih ada yang perlu ditambahkan saya beri waktu lima belas menit dari sekarang. Terima kasih." Kaki lelaki itu menapak ke arah samping, menghampiri Biru yang sedang fokus mengamati sesuatu.

"Gadhul Bashar, Ru! Tundukkan pandanganmu!" seru lelaki itu yang membuat Biru terhenyak.

"Oh, kamu, Yan."

"Aku nggak ngerti, kenapa akhir-akhir ini kamu sering melanggar komitmenmu, apa yang terjadi?" tanya Bian mengeluarkan isi kepalanya.

"Entahlah," jawab Biru yang sama sekali tidak memberikan pencerahan.

"Jadi gini kalau Biru suka dengan seorang wanita?" Kepala lelaki itu manggut-manggut. "Selama empat tahun kita berteman, aku bahkan nggak pernah lihat kamu lirik wanita manapun. Memang apa yang membuat Cinta menarik?"

Kepala Biru tertoleh sempurna. "Cinta?"

"Kamu kira aku nggak lihat tatapan mata kamu kalau lihat dia bagaimana?"

Mau tak mau bibir Biru tertarik ke atas, tipis, tapi cukup menjawab semuanya.

Sekali lagi Bian hanya menganggukkan kepalanya pertanda mengerti. "Yang jelas, tetap jaga prinsipmu, jika memang dirasa sudah tidak bisa menahan gejolak di hati kamu, lebih baik kamu cepat lamar dia saja."

"Melamar?" Sebelah alis Biru tertarik ke atas.

"Hei, kamu sudah mempunyai usaha yang bisa dijadikan pegangan hidup, kenapa masih ragu untuk melamar anak orang?"

Hanya hembusan nafas yang terdengar berat dari mulut lelaki berkacamata itu. "Entahlah."

Sebuah pulpen melayang tepat di jidat Biru, tentu saja tersangkanya adalah Bian. "Itu bukan jawaban, Ru." Lelaki itu kembali ke posisi duduknya yang semula. "Kalau mau pedekate, sama orang tuanya dulu, Akhi. Baru sama anaknya."

"Na'am, Akhi," jawab Biru diselingi tawa pelan, tapi dalam sekejap wajahnya kembali datar saat ekor matanya mendapati Cinta menghampiri mereka.

"Mas, ini kerangkaku. Sebenarnya masih kurang yakin, tadi nyoba corat-coret dikit." Gadis itu mengangsurkan beberapa lembar kertas ke arah Bian, tanpa sedikitpun melihat sosok Biru yang ada di sampingnya.

"Oke, thanks, Cin." Bian menggulung kertas yang Cinta berikan dan mengangkatnya ke udara sekilas.

"Sama-sama, Mas. Oh ya, ada hal penting yang harus saya lakukan, saya permisi dulu ya, Mas." kata Cinta sembari bergegas pergi.

Ada sebuah ketakutan menelusup dalam hati Cinta saat ini dan ia tak ingin rasa seperti itu terus beranak pinak dalam hatinya.

Dan bukan Biru namanya kalau dia tak menyadari hal itu.
Biru menautkan alisnya, benar-benar merasa ada sesuatu yang janggal, dan ternyata Bian pun merasakannya. "Cinta kenapa?"

Kedua bahu Biru terangkat satu kali, iya memandang punggung yang perlahan menjauh itu.

~~~

Perasaan Cinta saat ini tidak menentu, dia belum yakin apakah keputusannya untuk menghindari Biru sudah benar atau tidak, meskipun hati kecilnya menuntut lain, logikanya berulah dengan berbagai macam argumen yang langsung diiyakan oleh nalarnya.

Ini jalan terbaik Cinta.

Untuk kebahagiaan semua orang.

Racaunya dalam hati.

"Eh, Astaghfirullahaladzim!" Cinta mengusap kepalanya yang terpentok sesuatu, saking tidak fokusnya dia bahkan tidak mengetahui ada tiang listrik berdiri kokoh menghadangnya. "Ini siapa sih yang naruh ini di sini!" bentaknya seolah dapat berbicara dengan benda mati.

Suara gelakan tawa muncul di belakang punggungnya, membuat gadis itu membalikkan badan.

"Lo ngapain ngomong sama tiang listrik, Cin?" Langit berbicara dengan setengah menahan tawa yang masih ingin keluar dari mulutnya.

"Lagian lo ngapain sih jalan meleng gitu? Lagi ngelamunin apa?" tanya Langit lagi.

"Eum .. anu ... "

"Anu?"

Cinta berdecak. "Nggak tahu, Lang."

"Heemmm, kayaknya lo nggak boleh dibiarin pulang sendiri, deh. Bisa-bisa nanti motor lo nyusruk ke got, kan ngrepotin banyak orang. Gue anterin, ya," kata Langit sembari mengendikkan kepalanya ke arah mobil yang terparkir manis tepat di sampingnya.

Cinta segera menggeleng ekstrim. "Eh ... nggak usah, aku bawa motor." Jari telunjuk Cinta menunjuk motor yang terparkir tepat di sebelahnya.

"Oh ... gampang." Tanpa aba-aba, Langit mendekati motor matic berwarna merah itu dan duduk di atasnya. "Ayok!"

Mulut Cinta mengerucut. "Kamu bawa mobil, Lang."

"Bentar ... " Langit menaikkan telapak tangannya ke udara, seolah memberi kode Cinta untuk menunggu, tak selang beberapa lama, ia menusukkan ranting pohon kecil ke pentil rodanya, membuat Ban itu berangsur-angsur mengempis.

"Eh ... eh ... eh ... " Mata Cinta membulat, tak habis pikir apa yang baru saja dilakukan lelaki itu.

Setelah selesai dengan aktivitasnya, Langit tersenyum cerah dan menepuk tangan sekilas, bangga melihat hasil kerja kerasnya. "Lo mau gue jalan kaki karena ban mobil gue kempes? Enggak, kan? Ayo kasih gue tumpangan!"

Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu. "Ck! Lang... "

Langit yang kembali naik ke atas motor Cinta menoleh. "Apa lagi, sih?"

"Aku nggak mau boncengan sama cowok, nggak mau deket-deket."

"Aku juga nggak mau dideketin " jawab Langit cepat.

"Gak boleh pegang-pegang," lanjut Cinta lagi.

"Gimana gue bisa megang, kan tangan gue di depan," katanya sembari menaruh tangan ke stang motor. "Lo kali yang mau grepe-grepe gue, iya, kan? Hayooo."

"Langit! Omongannya nggak sopan banget!" Kali ini muka Cinta benar-benar tertekuk sebal.

"Makanya ayo! Itu tas slempang lo, taruh di tengah. Lo duduk paling ujung, kita nggak pegangan, beres!"

"Tapi, Lang ... "

"Lo beneran yakin mau gue pulang jalan kaki? Iya? Wah parah lo, Cin. Itu ya balasan lo setelah gue banyak berbuat baik sama lo?"

"Nggak usah drama!"

Tawa menguar di sela-sela percakapan mereka, tentu saja keluar dari mulut Langit. "Ya udah, ayo!"

"Dasar tukang maksa! Lain kali aku biarin aja jalan kaki, sekalian olahraga."

Langit tergelak. "Iya dah, apa kata lo aja. Kita ke cafe langganan lo, ya. Laper gue."

"Katanya pulang?" kata Cinta setengah merengek.

"Iya pulangnya setelah makan. Lo nggak kasihan cacing-cacing di perut gue udah konser? Waktu itu aja gue udah berbaik hati ngasih makan cacing-cacing peliharaan lo."

Cinta menghentakkan kakinya ke tanah. "Bawel!" Dengan wajah terpaksa ia menaiki jok motor belakang, menempati posisi paling ujung.

"Jangan ngerem mendadak!"

"Siap, Bos!"

~~~

Bunyi ban berdecit pelan menandakan mereka sudah sampai pada tempat yang mereka tuju. Perpaduan antara aroma kopi dan manisnya kue menyambut mereka dengan ramah.

"Lapeeerrr ..." Langit bergegas turun dari motor maticnya dan bersenandung pelan, membuat Cinta hanya geleng kepala di sampingnya.

Lonceng lagi-lagi berbunyi saat mereka memasuki kafe itu, Cinta selalu menyukainya, kalau tidak ingat umur, dia mungkin ingin sekali bolak-balik keluar masuk kafe hanya untuk mendengarkannya, untungnya, dia masih mempunyai urat malu dan dapat berpikir normal.

"Selamat siang Mbak Cinta, pesan seperti biasa?" Satya menyambut dengan ramah.

Senyuman manis Cinta jadikan jawaban pertanyaan itu.
-
"Kalau Masnya?" Tatapan mata Satya berpaling ke Langit.

"Gue juga sama ya, Mas."

"Wuu ... gak kreatif!"

"Bodo!"

Mas Satya terkekeh geli mendengar perdebatan dua insan itu. "Sebentar ya, Mas, Mbak."

"Kenapa sih lo suka banget minuman dan makanan itu?"

"Karena mereka manis. Aku selalu suka sama yang manis-manis."

"Termasuk gue, dong." Langit menaik turunkan alisnya.

"Dih!"

Tepukan pelan mendadak bersarang di bahu Langit. "Lho, Lang, Cin. Kok kalian ada sini?" Sebuah suara yang terdengar tidak begitu asing memaksa kedua orang itu melihat ke sumbernya.

"Eh, Mas Asa?" Cinta yang terlebih dahulu membuka mulut.

"Mas sendiri ngapain kemari? Sama siapa?" Langit yang bertanya.

"Tuh, sama Biru." Asa menunjuk seseorang yang berada tidak jauh di belakangnya.

Mati aku!

Kerongkongan Cinta rasanya tercekat. Kenapa lelaki itu sering muncul justru saat ia ingin menjauhinya?

"Gabung ya entar."

"Rebes deh, Bos!" seru Langit.

"Eum ... Kayaknya aku ada urusan, deh, Mas. Aku pamit pulang aja, deh," ujar Cinta cepat.

"Urusan apa? Perasaan tadi kamu bilang nggak ada acara kemana-mana."

Mata gadis itu mendelik ke arah Langit, tapi orang yang dituju sama sekali tidak mengerti apa maksudnya, atau lebih tepatnya pura-pura tidak mengerti. "Oh ayolah! Makin rame makin seru, Cin."

"Enggak bisa, Lang."

"Kamu ngehindar dari aku?" Suara dengan nada dingin itu menyeruak di tengah-tengah mereka.

Rasa bersalah perlahan muncul dalam diri Cinta. Apakah ia bertingkah se-transparan itu?

"Eh, enggak kok, Mas." Cinta berkilah.

"Kalau nggak, bertahan di sini saja sebentar."

~~~

Jemari kecil Cinta bergerak gelisah memilin ujung bajunya. Sesekali ia menyesap Caramel machiato-nya untuk merilekskan badan sejenak.

Baru saja Langit ijin ke toilet dan Asa mendapatkan telepon dari calon istrinya, yang berarti sekarang hanya menyisakan dua insan itu dalam satu meja.

Awalnya hening, tak ada yang memulai pembicaraan, hingga salah satu dari mereka membuka suara.

"Jadi ini, urusan pentingnya itu pergi sama Langit, ya?" tanya lelaki dingin itu datar.

Cinta semakin salah tingkah, dan tak tahu harus menjawab apa. "Eng-nggak gitu, Mas. T-tadi nggak sengaja ketemu,"

"Lalu boncengan motor berdua?"

Tenggorokan gadis itu terasa kering sekarang. "Eum ... tadi ban mobilnya Langit bocor. Dan dia minta tumpangan, aku nggak enak harus nolak, dia udah baik banget sama aku."

"Oh."

Dingin dan tak tersentuh, lagi-lagi Biru tampilkan, membuat siapapun tak akan berani untuk menganggunya.

Sekarang yang ada di pikiran Cinta hanya satu, apakah ini saat yang tepat untuk mengakhirinya, pikiran dan hatinya kembali berperang.

Baginya, tak ada pilihan lain selain mundur.

Baginya, tak ada yang bisa ia lakukan selain menyerah, meskipun ia tak pernah mencoba.

Sakit, memang!

Sedih, pasti!

Tapi dia harus memantapkan hati, baginya keluarga adalah nomer satu dari apapun di muka bumi ini.

"Eumm ..., Mas."

Kepala Biru terdongak. "Ya?"

"Sebaiknya mulai sekarang kita nggak usah terlalu deket, ya."

Tak seperti biasa, Biru tak berhasil menahan keterkejutannya. "Maksud kamu?"

"Maaf, Mas. Aku nggak bisa, aku sudah mendengar semuanya dari Di."

"Semuanya?" Binar redup itu muncul, membuat hati Cinta terenyuh, hampir saja menggagalkan misinya.

Ia tak pernah melihat sorot mata kecewa itu sebelumnya. Apakah keputusannya membuat laki-laki itu terluka?

Sebelum gadis itu berujar, Biru terlebih dahulu membuka suara.

"Oke, kalau itu mau kamu," ucap Biru bergetar. "Aku nggak bisa maksa."

Menunduk, itu yang bisa Cinta lakukan saat ini, menahan air yang siap tumpah dari matanya. "Maaf, Mas."

Pedih.

Sakit.

Kalian tahu apa yang lebih sakit dari sebuah perpisahan? Ketika sebuah hubungan berakhir, bahkan sebelum mereka memulainya.

Sebuah senyuman tipis dilayangkan oleh Biru, bukan senyum merekah, melainkan sebuah kegetiran yang terpampang nyata.

Cinta sudah tidak tahan lagi, dia harus segera pergi atau ia akan goyah sebentar lagi.

"Aku permisi." dengan cepat gadis itu berjalan ke luar, dan menabrak sosok Langit yang baru akan kembali ke tempatnya. Lelaki itu melongo di tempat.

"Cinta kenapa?" tanya Asa di balik punggung Langit.

"Gue ngejar dia dulu ya, Mas."

Asa masih tak sadar, hanya mengangguk sekilas, matanya kemudian menangkap sosok Biru yang membeku dengan raut muka yang tak biasa.

"Ada apa, sih?"

Biru tersadar dari lamunannya. "Nggak papa kok, Mas," lirihnya.

"I know you so well, it's not you. What happened?"

Seolah paru-parunya sangat membutuhkan oksigen, Biru meraup udara di sekitarnya secara kasar dan menghembuskannya perlahan.

"Sepertinya Cinta sudah tahu tentang masa laluku, Mas."

Mata Asa membulat tak percaya. "Bagaimana bisa?"

Biru mengangkat bahunya. "Entahlah." Nafas lelaki itu berat.

"Mungkin ini cara Allah menegurku. Seharusnya aku sadar diri kalau aku memang nggak pantes berharap untuk mendapatkan seorang wanita yang baik."

"Kamj ngomong apa, sih? Aku paling nggak suka kamu kayak gini, mana Biru yang optimistik?"

Biru mendecih. "Kamu tahu semua itu hanya topeng, Mas."

Asa mengacak rambutnya emosi. "Siapa yang ngasih tahu Cinta?" tanya Asa kasar. "Nadia? Teman Lana?"

Mata Biru menatap Asa tak percaya. "Maass ..."

"Aku harus ketemu sama dia!"

Asa melangkahkan kakinya panjang-panjang menuju ke suatu tempat. Dia harus menemukan biang keladi dari semua ini.

~bersambung

Attention

- CERITA INI SUDAH PERNAH TAMAT DAN SEDANG DIREPOST ULANG SAMPAI SELESAI

- YANG TIDAK SABAR, BAB UTUH TERSEDIA DI KARYAKARSA primamutiara_ (Link ada di bio wattpad) HARGA MULAI RP. 2000 SAJA PERBABNYA

- VERSI KARYA KARSA LEBIH RAPI, ENAK DIBACA DAN ADA PENAMBAHAN ADEGAN SWEET

[Author Note]

Udahan dulu manis-manisnya. Konflik, kuy!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro