Bab 18
"Oh iya, atau Mas Biru cemburu ya lihat aku sama Cinta?"
Tenggorokan Cinta terasa tercekat. Rasanya ingin sekali ia memukul kepala laki-laki itu agar cepat sadar, dia takut akhirnya ia juga akan menjadi korban.
"Menurut kamu, gimana, Ta?" Arah tatapan Langit berganti ke Cinta.
Cinta hanya melotot ke arah Langit, membuat lelaki yang awalnya serius itu memuntahkan tawanya.
"Santai aja, kenapa sih? Tegang amat. Cuma becanda gue." Langit mengibaskan tangan, lalu dengan entengnya ia menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekali lagi, ingin sekali Cinta memukul kepala lelaki itu sekarang juga. Baru saja tanganku ingin mengambil buku untuk kulemparkan ke arah Langit, sebuah suara menghentikan aksiku.
"Apa maksud kamu?" Biru mulai membuka suara, dan Cinta merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Suaranya yang dingin, dengan muka yang masih serius menatap lelaki di sampingnya seolah menuntut penjelasan.
Bahu Langit mengendik santai, seolah tak terintimidasi sama sekali dengan tatapan mata menusuk itu.
"Ya ... enggak maksud apa-apa sih, Mas, cuma tanya aja," jawab Langit sambil menoleh ke arah lain, seorang pelayan datang menyajikan pesanan kami, dan ia menyambutnya dengan senyuman.
"Tahu nggak, Mas, istilah ini?" lanjut Langit. "Lebih baik mencoba lalu kehilangan, daripada berdiam diri lalu menyesal kemudian."
Mata Langit kembali menatap manik berwarna coklat terang di hadapannya.
"Kalau emang nggak cemburu sama Cinta sih, nggak apa-apa, tapi kalau ternyata bener dan masih suka nutupin perasaan hanya karena gengsi atau sejenisnya, ati-ati nanti diserobot orang, lho," lanjutnya, "gue misalnya." Ia kembali mengibarkan sebuah bendera perang ke arah Biru.
Langit sepertinya benar-benar kehabisan obat, leluconnya benar-benar tidak lucu.
Cinta tertawa hambar, mencoba mencairkan suasana, meskipun ia tahu, yang ada tawa sumbangnya malah membuat situasi ini semakin terlihat aneh. "Lang, becandanya nggak usah kelewatan deh. Nggak mungkin Mas Biru cemburu sama kita." Setelah sekian lama akhirnya ia memberanikan diri mengucapkan sesuatu.
Kedua laki-laki itu menghadapkan kepalanya ke arah Cinta. "Kenapa nggak mungkin? Nothing impossible if Allah say it, Kun fa ya kun. Jadi! Maka jadilah." Langit bereaksi pada ucapan Cinta.
Cinta menggeram dalam diam, ia tak dapat berkata apa-apa jika Langit sudah membawa nama Allah.
"Benar kan, Mas Biru?" Kepala Langit mengendik ke arah laki-laki dengan kacamata minus di sampingnya.
Jujur, sebenarnya ada setitik harapan yang tumbuh di hati Cinta untuk mendengar kata "ya" terlontar dari mulut itu. Ah! Cinta mulai ngawur, Cinta mulai ketularan Langit.
Tanpa ia sadari matanya melirik ke arah Biru, melihat reaksinya, dan yang ia lihat hanya hembusan napas berat yang keluar dari hidung lelaki itu, binar matanya berubah sayu, entah apa yang ada di pikirannya, namun sepertinya ada sesuatu yang ia rasakan saat ini, kegamangan kah?
"Cepat makan keburu dingin," ucap Biru yang kemudian diikuti dengan gerak-geriknya yang tidak biasa, ia sedikit menyesap kopinya dan menatap ke luar, melihat rintikan hujan yang menetes di jendela kaca.
~~~
Beberapa jam kemudian Langit telah mengantarkan Cinta ke rumah dengan selamat, langsung ia rebahkan badan yang kelelahan ini ke kasur empuk, rasanya seharian ini ia sangat merindukan benda mati ini.
Matanya menatap langit-langit kamar yang berwarna putih, bayangan gadis itu kembali ke moment beberapa saat lalu. Mata sayu itu, hembusan napas berat itu, baru sekali ini ia melihatnya, dia kenapa?
Sebuah getaran pada ponsel membuat bayangan Cinta membuyar, dengan malas ia meraihnya dan melihat siapa yang tega menganggu keasyikan melamunnya malam inj, namun tubuhnya langsung menegak seketika saat melihat nama yang tertera di sana.
1 new message received
Mas Biru
Cinta harus bertingkah apa sekarang? Senang? Takut? Ngeri? Perasaannya benar-benar tercampur aduk. Ini pertama kalinya laki-laki itu mengirimkan sebuah pesan untuknya. Sebenarnya sudah lama oa menyimpan nomer Biru, tapi tak ada sedikit pun keberanian untuk memulai sebuah pesan singkat, dan sekarang lelaki itu yang memulainya. Cinta bingung, dia harus apa? Dia harus bagaimana?
Dengan hati-hati Cinta membuka pesan itu.
From : Mas Biru
.
Dahinya mengeryit. "Cuma begini saja? Cuma tanda titik?"
To : Mas Biru
????
Cinta menghembuskan napas kasar, karena terlalu jengkel a hanya menulis apa yang terlintas di pikirannya.
Dan, apa yang ia dapatkan? Tidak ada.
Beberapa menit tak ada SMS balasan, dan Cinta menyerah untuk menunggu, hingga saat kakinya turun dari ranjang untuk segera mandi, ponsel itu kembali bergetar.
From : Mas Biru
Kepencet
Ada kecewa menelusup dalam hati Cinta, tapi akhirnya ia sadar diri. Memangnya ada alasan apa Mas Biru menghubunginya? Nggak ada, kan? Lalu kenapa harus kecewa?
To : Mas Biru
Oh.
Oke, sepertinya hanya perlu jawaban seperti itu saja, tak ingin menunjukkan kekecewaan yang terlalu kentara. Kakiny kembali melangkah, tapi nada getaran yang lebih panjang ia rasakan. "Tunggu ... tunggu ... Mas Biru meneleponku?" Ia memencet tombol hijau di ponselnya dengan hati-hati.
"Ha-lo, Assalamu'alaikum," ucap Cinta ragu-ragu.
"Wa'alaikumsalam warohmatulloh." Suara laki-laki di seberang sana terdengar.
"Mas Biru?" tanya Cinta meyakinkan kalau aku tidak salah orang.
"Hmmm ...," jawabnya, "Maaf soal yang tadi."
"Yang tadi?" Dahiku berlipat.
"Kepencet."
"Oh, iya, nggak apa-apa, kok."
"Iya."
Hening sesaat. Ia tak berbicara lagi, begitupun dengan Cinta
"Udah sampai rumah?" Suara dengan nada dingin itu muncul lagi.
"Udah."
"Oh."
Sunyi, sepi, dan sendiri, Cinta benci.
"Tadi Langit ...." Biru memulai ucapan lagi dan itu membuat Cinta menahan napas saat mendengarnya.
"Ya?"
"Nggak jadi."
Ugh! Kenapa lama-lama Cinta jadi emosi dengan tingkah laki-laki di seberang telepon sana.
"Itu soal yang tadi juga..."
"Apa?"
"Nggak apa-apa."
Rasanya emosinya sudah naik ke ubun-ubun, apa maunya lelaki ini, apa?!
"Mas, kalau mau ngomong, ngomong aja, deh," ucapnya dengan nada sebal.
"Eh, kok kamu sewot?"
"Ya, abisnya nggak jadi mulu."
"Ya, aku kan ..."
Terputus lagi, iya, selalu saja seperti itu sedari tadi, ini sebenernya jaringannya yang error, hape Cinta yang rusak, atau orangnya yang memang tidak mempunyai banyak kosa kata untuk berbicara.
"Apa? Nggak jadi lagi, kan?"
Dari tempatnya berada saat ini ia bisa mendengar helaan napas kasar terdengar dari mulut lelaki yang ada di sana.
"Soal omongan Langit yang tadi jangan diambil hati, " ucap Biru akhirnya.
Eh, tapi dia nelpon cuma mau ngomong soal ini?
"Oh, iya. Aku nggak mikirin itu kok, tadi Langit juga udah aku omelin abis-abisan, katanya sih dia cuma becanda."
"Kamu deket banget sama Langit, ya?"
"Biasa aja."
"Kok bisa pulang bareng?"
"Ya, tadi kan ...." Belum selesai Cinta menjelaskan, sejenak aku tersadar. "Tunggu, tunggu. Memang kenapa kalau aku pulang bareng sama dia?"
"Cuma ngingetin temen sesama muslim aja, Berdasarkan hadits At-Tirmidzi dan Al-Hakim. 'Ingatlah, bahwa tidaklah seorang laki-laki itu berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan.'"
Ah! Dia mulai lagi dengan hadits-haditsnya itu, akhirnya kamu kebagian dapet ceramahnya juga ya, Cin.
"Nggak bagus cowok dan cewek berduaan dalam satu mobil," lanjutnya.
"Aku dan Mas Biru juga pernah dalam satu mobil."
"Tapi itu beda, Cinta."
Oh ... sebentar, Cinta? Dia memanggil namanya? Seingatnya ini pertama kalinya Biru menyebut namanya secara gamblang dan jelas, entah mengapa sekarang seperti ada kupu-kupu yang memenuhi seluruh rongga paru-paru gadis itu, rasanya sungguh menggelitik, tak sadar sebuah senyuman tersungging dari bibirnya.
"Cin? Kamu masih di sana?"
"Oh, iya, Mas. Masih." Cinta mengerjapkan mata, mencoba untuk tetap berpikir rasional. "Ya sama aja sih mas, waktu itu mas Biru nolong aku, begitupun dengan Langit sekarang ini, lalu apa bedanya? Lagian Langit itu orang yang baik kok."
"Lain kali jangan mau dianterin cowok lagi, termasuk sama aku juga. Kalau hujan atau pulang malem minta tolong dijemput sama Nadia aja lebih aman."
Sikap Biru benar-benar aneh, menurut Cinta seperti bentuk perhatian tapi ia tidak GR. Bisa aja dia benar-benar mencoba mengingatkan sesama muslim seperti apa yang baru saja dia katakan.
"Iya," jawab Cinta singkat, mencari aman, meskipun dadanya benar-benar bergemuruh luar biasa.
"Oh iya, motor kamu tertinggal di kampus, kan?"
"Iya."
"Terus besok gimana?"
Cinta memutar bola mata. Ia merasa ucapan Biru tidak to the point sedari tadi.
"Apanya yang gimana?"
"Naik apa?"
"Paling naik angkot, atau bis."
"Oh."
Sekali lagi Cinta merasa gemas.
"Kamu udah buat tugas yang tadi?"
Ini perasaannya saja, atau Biru memang sedang memanjang-manjangkan komunikasi mereka? Sepertinya ini pertama kalinya lelaki itu mengajaknya mengobrol lebih dari satu pokok bahasan.
"Baru nulis kerangka aja, sih."
Lagi-lagi ia terdiam sejenak, hingga akhirnya berucap,"Besok ada anak-anak mau ke perpus, cari bahan riset, mau ikut?"
Alis Cinta memerpendek jaraknya. "Tumben?"
"Maksudnya?"
Cinta gelagapan, oa keceplosan. "Oh, maksudnya, boleh. Siapa aja yang ikut?"
"Nayaka, Bian, Lala, Naura."
"Kakak senior semua, ya?"
"Ya."
"Kalau nggak ngrepotin sih, mau banget."
"Ya udah besok langsung ketemu di sana aja, atau telpon Lala."
"Iya, Mas."
"Ya sudah, aku ada urusan, Wassalamualaikum."
"Waalaikumussalam warohmatulloh."
Bunyi nada terputus menandakan orang di seberang sana sudah menutup telponnya, sedangkan Cinta masih mempertahankan ponsel itu di telinganya, bibir gadis itu tak berhenti tersungging tanpa bisa ia kontrol, dan tubuhnya menghangat dengan jantung yang berdebar kencang.
Memikirkan besok akan bertemu dengan Biru saja membuat ia bersemu merah.
~bersambung
Sweet nggak? Enggak? Ya udah! Wkwkwkwk, emang pasangan ini nggak ada sweet-sweetnya kok, yang satu dingin, yang satu nggak banyak tingkah, jadinya ya kayak begini, garing kriuk-kriuk.
Eh, tapi ini pertama kalinya Biru ngajakin Cinta pergi, meskipun nggak berdua, nggak boleh pergi berduaan sama yang bukan mahram, nanti ketiganya setan, hihihi...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro