Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17

Allah bukan melarang kita untuk mencintai seseorang sebelum keabsahan terjadi. Hanya saja ia meminimalisir rasa sakitmu, karna orang yang belum menjadi hakmu bisa saja terbawa angin dan pergi. Siapa yang tahu takdir akan bermuara kemana?

- Cinta

Pertemuan Lingkar aksara baru saja bubar, Cinta berjalan terhuyung ke parkiran motor, tapi baru saja gadis itu masuk ke dalam sana dan akan mengambil kendaraan roda duanya, hujan deras mendadak turun.

Ia melenguh pasrah, lalu beristighfar, ia tak bermaksud membenci salah satu anugerah Tuhan ini, tapi dia seperti tak bisa ke mana-mana kalau hujan turun. Gadis itu menggosok badannya pelan, rasa dingin sudah merasuk dalam tubuhnya.

Cukup lama, sampai sebuah jaket mendadak terlempar ke arahnya dan secara reflek langsung ia tangkap. matanya menangkap punggung seseorang yang sedang berjalan menjauh darinya, seolah tak mengenal gadis itu

"Emmm ... Mas Biru, ini apa?"

Lirikan mata sekilas Biru layangkan ke arah Cinta. "Aku naik motor, nggak mobil."

Bola mata Cinta berputar. Lalu? Apa nyambungnya dengan pertanyaanku?

"Aku nggak nanya itu, Mas. Yang aku tanya jaket ini, punya Mas Biru, bukan?"

"Oh."

Ini jawaban seperti apa lagi??

"Hatchi!" Hidung Cinta mulai gatal dan bereaksi dengan lingkungan sekitar yang mulai mendingin.

Mata Biru membulat lalu kemudian berkata dengan keras, "Cepetan!"

"Apanya?"

"Di pake."

"Apa?"

"Itu." Ia mengendikkan dagunya ke sesuatu yang ada di tangan Cinta

"Apa, sih?"

"Jaket."

"Oh." Cint membulatkan mulutnya dan mengerjap. "Jadi ini beneran punya Mas Biru, kan?"

"Penting?"

Ah, ngomong sama dia selalu saja seperti ini, berputar-putar tak tentu arah. Lebih baik Cinta tak mengindahkannya saja. Ia pakai jaket itu tanpa berkata lebih lanjut lagi. Hangat dan nyaman, aroma mint menguar memberikan kesan segar.

Cinta mendekap tubuhnya sendiri. Sesaat ia merasa kejanggalan. Bukankah Biru tadi melangkah menuju motornya, lalu kenapa belum keluar juga sampai sekarang.

Cinta menoleh ke belakang dan mendapati sosok itu sedang duduk di atas motornya, berjarak kurang lebih empat meter dari tempatnya berada. Tidak melakukan apa-apa, hanya duduk-duduk saja sambil membaca sebuah buku, padahal parkiran ini cukup gelap. Apa maksudnya lelaki itu? Dia aneh hari ini.

"Mas?" Cinta setengah berteriak agar lelaki itu mendengarnya. "Kok masih di situ, nggak pulang?"

"Baca," jawabnya. Singkat, padat dan jelas.

Diksinya dalam berbicara hanya secuil, apa kabar dengan tulisannya? Bukankah dia penulis?

Cinta hampir menyahut lagi kalau tidak ada bunyi ringtone dari dalam tasnya. Nama yang tertera di ponsel itu membuat dahinya berkerut. Dari Langit?

"Ya, Halo. Assalamu'alaikum."

"Lo dimana, Cin?" balas orang di seberang sana dengan cepat.

Cinta tersenyum kecil. "Jawab salam wajib, Lang."

"Oh iya. Wa'alaikumsalam. Lo dimana?"

"Di parkiran."

"Parkiran apa?"

"Parkiran gedung dekanat."

"Kok bisa ada di situ?"

Cinta hampir membuka suaranya tapi kemudian ia tertawa sendiri, bukankah ia tadi ketularan Biru dengan menjawab pertanyaan Langit dengan kata yang sangat irit?

"Tadi ada perkumpulan komunitas. Ada apa, Lang?"

"Enggak apa-apa sih? Ada sesuatu yang mau gue tanyain."

"Soal?"

"Entar aja lah kalau ketemu langsung. Lo sama siapa? Mau gue jemput?"

"Aku bawa motor kok."

"Terus kok nggak pulang?"

"Alergi dingin, Lang. Biasanya sekali aku main hujan pasti langsung sakit."

"Oke, lo jangan kemana-mana ya, tunggu di situ."

"Eh? Maksudnya?"

Tut...tut...tut...

Suara telpon terputus. Cinta melihat ponselnya dengan dahi yang berkerut. Hari ini banyak laki-laki yang bertingkah aneh.

Tak lama bunyi deru mobil mendekati parkiran ini. Matanya menyipit melihat seseorang yang berlari keluar dari mobil itu.

"Loh, Langit?"

Ia mengacak-acak rambutnya yang basah karena terkena siraman air hujan. Gayanya persis seperti adegan di film yang diberi efek slow motion, yang membuatnya yakin jika ada gadis yang melihatnya pasti akan langsung terpesona.

"Kok ke sini?" tanya Cinta.

"Jemput lo."

"Kan aku bilang bawa motor, cuma nunggu hujan reda aja."

"Kalau hujannya nggak reda-reda sampai malam gimana? Lo mau terus di sini?"

"Terus motorku?"

"Gampang, nanti gue telpon temen gue yang kost deket sini. Nanti dititipin ke dia."

"Ya itu namanya ngrepotin banyak orang, Lang."

Mata Langit menatap Cinta tajam. "Nolak niat baik orang itu dosa lho, Cin."

Decakan pelan keluar dari mulut Cinta "Ya udah."

Kali ini senyum dari bibir Langit merekah, tapi sejurus kemudian matanya menelisik tubuh Cinta lebih tepatnya sesuatu yang membungkus badan gadis itu.

"Jaket siapa?"

"Oh ini punya...."

Belum sempat Cinta bicara deru motor Biru melewati kami dengan kencang, sangat kencang hingga membuanya terkejut.

Nah, kan. Lagi-lagi lelaki dingin itu bertambah aneh.

~~~

Hujan semakin lebat mengguyur bumi, bau tanah terasa sekali dalam indera penciuman Cinta, pandangan gadis itu menatap nanar ke jendela mobil dan melihat pemandangan di luar sana.

"Diem aja, Cin? Sariawan?" Kalimat pertama Langit membuat Cinta berjingkat kaget.

"Oh, enggak kok, Lang. Cuma lagi bingung ngomongin apa."

"Eummm ... pengen ngomongin sesuatu, ya?" Mata Langit naik ke atas, kemudian senyum kecil muncul dari bibirnya. "Ngomongin Mas Biru gimana?"

"Kenapa, harus ngomongin dia? Nggak baik lho ngomongin orang."

Langit tertawa kecil, matanya mengerling nakal ke arah Cinta.

"Kayaknya tadi Mas Biru cemburu, deh," ucapnya yang langsung kujawab dengan mata yang bertambah membulat.

"Kamu kalau ngomong suka ngawur, ya gak mungkin lah," jawab Cinta sembari menetralkan perasaan berdegup kencang.

"Kenapa nggak mungkin? Mungkin aja lah, Cin. Allah bisa membolak-balikan hati manusia dalam sekejap."

Kali ini bibir Cinta tersenyum simpul menanggapi jawaban Langit. "Cieh, sekarang udah bawa-bawa nama Allah kalau ngomong."

Langit melepas sebelah tangannya untuk mengacak-acak belakang rambutnya sendiri. "Kan gara-gara lo, Cin."

"Tuh, baru dipuji dikit langsung beda jawaban. Bukan gara-gara aku, Lang. Tapi semua kan Allah yang ngasih hidayah." Aku melirik Langit yang manggut-manggut tidak jelas.

"Oh ya, ngomong-ngomong soal Di, elo udah nanyain soal hubungannya sama Mas Biru?" tanya lelaki itu lagi setelah tawanya terhenti.

Cinta menghela nafas sejenak. "Udah sih, tapi dia belum mau jujur," jawab Cinta. "Kamu sendiri tahu?"

"Enggak sih, gue tahu Mas Biru dan Nadia ada hubungan aja baru akhir-akhir ini, kok."

"Kalau soal masa lalu Biru?"

Langit terkekeh. "Lo ternyata orangnya kepoan juga, ya?"

"Eh, nggak bermaksud kepo," elak Cinta. Gadis itu juga bingung sendiri kenapa ia jadi seperti ini, padahal biasanya Cinta tak pernah mau ikut campur urusan orang lain.

"Ya, nggak usah blushing gitu kali." Omongan Langit sukses mebuat wajah Cinta seperti kepiting rebus sekarang. "Gue nggak tahu apa-apa, Cinta. Saat gue tanya sama Mas Asa dia nggak mau jawab, katanya nggak baik omongin aib orang."

Sebelah alis Cinta menukik ke atas. "Aib?"

"Iya, gue juga nggak berani nanya lebih lanjut, sih. Kayaknya Di yang lebih tahu masa lalu Mas Biru, coba lo bicara dulu sama dia. Gue yakin dia pasti mau ngomong sama lo."

Cinta hanya diam, pemikiran tentang apa hubungan mereka berdua mengisi otaknya saat ini.

"Oh iya, laper nih. Belum makan tadi siang, mampir makan dulu, yuk!"

Cinta menggeleng pelan. "Enggak, ah. Nanti pulang kesorean lagi, Lang."

"Kan sekali-kali doang makan bareng lo. Kita ke kafe langganan lo aja, gimana?"

Mendengar nama kafe itu tersebut, dia jadi lapar. Sepertinya sudah lama sekali gadis itu tidak berkunjung ke sana, karena kesibukannya akhir-akhir ini.

"Gimana?" tanyanya lagi.

"Enggak, Lang," jawab Cinta keukeuh.

Krucuk krucuk

Langit lagi dan lagi tertawa. "Iya, Cintanya nggak laper, tapi cacing di perutnya yang teriak-teriak minta dikasih makan," sindir Langit, membuat Cinta ingin menutup muka dengan ember sekarang juga.

Langit langsung membelokkan kemudinya ke arah kanan, belok ke arah gang cempaka dan berhenti tepat di kafe bernuansa hangat itu.

"Wait." Langit mencopot jaketnya dan keluar pintu, ia menjadikan jaket itu seperti payung. Kemudian tangannya membuka pintu yang ada persis di sebelah Cinta. "Come on!" serunya sambil menggerakkan kepala, mengkode untuk ikut berteduh di atas jaket itu dengannya.

Cinta menggeleng ekstrim, ada perasaan rikuh jika harus berdekatan dengan Langit.

"Oh, ayolah, bentar lagi jaket gue basah, Cinta," geramnya. "Gue juga nggak mau lo kehujanan, pulangin anak orang dalam kondisi nggak sehat bisa langsung di gorok camer gue."

Cinta tertawa mendengar penuturannya, tapi perasaanku tetep saja tidak enak.

"Janji nggak deket-deket, nggak pegang-pegang, nggak mepet-mepet. Ayo!"

Oh, mata puppy eyes yang ia keluarkan, membuat Cinta benar-benar tak tega. Akhirnya ia langkahkan kakinya keluar mobil, dapat ia lihat Langit tersenyum penuh kemenangan lalu dengan sigap langsung melindungi Cinta dari air hujan dengan jaketnya. Mereka berlari berdua, hanya beberapa langkah saja mereka sudah sampai di teras kafe. Langit mengibas-ngibaskan jaketnya yang terlihat basah kuyup.

"Maaf, gara-gara kebanyakan mikir, jaket kamu jadi kayak gitu," katanya penuh dengan rasa bersalah.

"Iya tanggung jawab lo, Cin. Cuciin ya?"

Cinta tahu ia menggoda setiap kali mata Langit melirik dan alisnya naik turun seperti itu.

"Sekalian, cucian di rumah juga banyak, sih."

"Ogah!" Cinta melangkah ke dalam mendahului Langit.

Gadis itu dengar dari belakang Langit tertawa dan berteriak, "Tungguin kali."

Nuansa kafe ini, Cinta benar-benar merindukannya, bau kue dan kopi adalah yang paling dikenal oleh indera penciumannya.

Langit mengetuk-etuk meja bar.

"Permisi, Mas."

Seseorang berbalik ke arah kami. Potongan rambut Satya agak berubah saat terakhir kali Cinta bertemu dengannya, tapi senyumnya masih tetap sama.

"Oh iya, ada yang bisa dibantu, Mas?" tanya lelaki itu sopan, Mas Satya sempat melirik Cinta sekilas dan menyunggingkan senyum, Cinta pun membalasnya.

"Eummm...." Langit terlihat berpikir sambil melihat papan menu yang tergantung di tembok. "Gue mau nasi goreng, spesial pedas, sama lemon tea anget," katanya. "Kalau elo, Cin?"

"Aku kayak biasanya aja, deh."

Telunjuk Langit bergerak ke kiri dan ke kanan di depan mata Cinta. "Nggak! Nggak! Lo harus makan besar."

"Tapi, Lang...."

"Gue nggak mau ngasih lo makan, tapi ngasih jatah cacing-cacing yang ada di perut lo."

Aih! Kenapa dia mengingatkan itu lagi, Cinta kan jadi nggak bisa berkutik.

"Kamu doyan nasgor kan? Pedes juga nggak?" tanya Langit lagi.

"Iya, samain aja," jawab Cinta pasrah.

"Tambah teh anget juga, ya. Masa' makan besar minumnya caramel machiato."

"Iya-Iya, terserah kamu aja, Lang. Terserah!" geram Cinta dan disambut oleh tawanya yang khas.

"Hahaha .... Oke, Cinta." Mata Langit kembali menghadap ke Mas Satya. "Jadinya nasi goreng pedes dua, lemon tea anget dua, sama Chessecake stawberry-nya satu, jangan sampe ketinggalan ya, Mas. Nanti ada yang ngambek kalau jatah makan kuenya dikurangi."

Cinta melotot kesal ke arah Langit.

"Bukan elo, Cin. Cacing-cacing itu maksudnya."

"Serah, Lang. Serah!"

"Iya, orang ganteng mah terserah, dong."

Mas Satya ikut terkikik. "Wah ... Mbak Cinta sekarang dah punya pacar, ya? Perhatian lagi."

Cinta langsung tersedak ludahnya sendiri. "Oh, enggak, Mas. Mas Satya salah paham. Dia bukan pacarku, kok."

"Jangan bukan, tapi belum," jawab Langit dengan nada usilnya yang langsung Cinta hadiahi dengan sebuah timpukan keras di buku yang sedari tadi ia bawa.

"Okey, tunggu sebentar ya, Mbak, Mas. Duduk aja dulu, nanti saya yang anterin ke situ."

"Sip, Mas." jawab Langit sembari mengacungkan jempol. Ia membalik-balikkan badannya dan mendadak matanya berbinar ke suatu arah. "Kita ke sana, yuk!"

Langit telah terlebih dahulu melangkahkan kakinya sebelum Cinta menjawab. Gadis itu masih menelusuri arah pandang Langit, dan ternyata kursi yang dia maksud adalah kursi dimana ada Mas Biru berada sekarang.

"Ayo sini, Ta." Tangan Langit melambai ke arah Cinta, dan dengan berat hati gadis itu mengikutinya.

Biru, masih dengan wajah datar dan mata tajamnya, melihat ke arah mereka dalam seperkian detik, dengan raut wajah yang susah diartikan.

"Boleh duduk sini kan, Mas? Boleh kan ya? Masa' nggak boleh." Langit bertanya sendiri dan menjawab sendiri.

Lelaki itu menarik kursi yang ada di depan Biru dan mempersilahkan Cinta duduk di sana. Sedangkan dia mengambil tempat di samping Biru.

"Kenapa tadi pulang asal nyelonong aja sih, Mas. Kayak orang nggak kenal aja," goda Langit sambil menyenggol lengan Biru. Cinta hanya memerhatikan mereka dalam diam, ada perasaan tidak enak yang menggelayut dalam hatinya.

"Kalau mau pamit itu baiknya Assalamualaikum gitu, saling mendoakan sesama muslim. Iya kan Cinta?"

Kenapa Cinta merasa Langit sedang mengibarkan bendera peperangan dengan Biru? Wajahnya boleh saja tersenyum, dan nada bicaranya terlihat seperti bercanda, tapi sorot matanya seolah menusuk tajam. Apa ini gara-gara peristiwa beberapa hari lalu saat dia melihat Nadia dan Biru berdua. Mungkin dia merasa tersaingi dengan Biru.

Biru masih dalam diamnya menyeruput kopi dalam gelas yang ada di tangannya.

"Oh iya, atau Mas Biru cemburu ya lihat gue sama Cinta?"

Sumpah?! Langit kamu berbicara apa? Cinta melototkan mata ke arah lelaki yang sama sekali tidak mengindahkannya. Biru yang semula memasang raut wajah tenang, rahangnya mulai mengeras, dan berbalik menatap mata Langit. Senyum Langit pun memudar. Cinta bisa merasakan hawa panas di sekitar sini.

~bersambung

[Author Note]

Oh ya, mau minta pendapat kalian nih, kira-kira kalian ini pendukung siapa, sih?

1. #TeamCIBI : CINTA-BIRU

2. #TeamCILA : CINTA-LANGIT

3. #TeamDIBI : NADIA-BIRU

4. #TeamDILA : NADIA-LANGIT

Nggak tahu kenapa mendadak aku jadi alay kayak gini, pakai tim-tim segala. Hayo milih yang mana?? :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro