Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14

Getaran ponsel di saku tas yang ia jadikan bantal, mengusik tidur Cinta. Awalnya ia tidak mengacuhkannya, tapi getaran itu tak kunjung berhenti. Cinta berdecak. Bangkit dari tidurnya dan melihat siapa sang penganggu tidur malamnya itu.

Nama Langit tertera di sana, mata Cinta menyipit, ia melirik jam yang ada di layar, jam 23:53. Ngapain Langit telepon?

"Ya halo, assalamualaikum."

Ada suara jawaban salam di ujung telepon sana. "Ta, keluar dong!" seru lelaki itu setengah berbisik.

"Hah?"

Langit berdecak. "Kok malah hah heh hoh, sih? Gue lagi ada di depan tenda lo nih."

Mata Cinta membulat. "Ngapain? Ini udah malem lho, Lang."

"Udah ... buruan! Di sini dingin, nih."

Dengan terpaksa Cinta beranjak dari tempat tidurnya, mengeratkan jaket dan melingkarkan syal pada lehernya. Tak lupa juga ia mengenakan sarung tangan dan kaos kaki yang membuatnya tetap hangat. Ia tak mau alerginya kambuh, ia tak mau menyusahkan orang lain di saat camping seperti ini.

Setelah keluar dari tenda, gadis itu melihat Langit yang sudah menanti ia di depan. Agak bersembunyi di balik pohon. Langkah Cinta memanjang mendekati lelaki itu.

Dagunya mengedik pelan. "Ada apa?"

"Aduh, lengkap banget sih pakaian kamu, Ta? Tapi lucu, pipinya makin tebal kejepit syal gitu."

Bibir Cinta mencebik. "Apa, sih?"

Dan reaksi itu langsung mengundang tawa Langit, hanya sekejap karena ia sadar sedang berada di mana. Kepala lelaki itu menengok ke kiri dan ke kanan. Merasa semuanya aman, ia berfokus pada Cinta lagi.

"Ikut gue, yuk," ajak Langit dengan bola mata yang berbinar cerah.

"Eh ke mana? Ini udah malem, lho. Nan-"

"Udah ikut aja." Tanpa seijin Cinta, Langit menarik tangan gadis itu untuk mengikutinya, tapi Cinta segera menahan langkah.

"Peraturannya, peserta nggak boleh keluar tanpa ijin panitia, Lang."

Bukannya mengurungkan niat, Langit malah menarik tubuh Cinta lebih kuat. "Percaya sama gue. Lo nggak bakalan nyesel." Lelaki itu mengedipkan sebelah matanya, membuat Cinta mengerang frustrasi.

***

Langit berjalan mengendap ke arah hutan yang berbatasan dengan kampung warga. Tangannya menggandeng Cinta erat, membuat gadis itu merasa canggung. Tapi ia juga cukup takut jika berjalan sendiri.

"Lang, kita mau ke mana, to?" Gadis itu celingukan ke kiri dan ke kanan, merinding dengan nuansa sekitar yang mencekam. Pohon pinus berkeliling dengan batang pohon tinggi-tinggi besar, penerangan minim, hanya ada satu dua lampu sepanjang perjalanan tadi

"Bentar lagi nyampe." Langit terus menuntun Cinta untuk mengikutinya.

Gadis itu diam. Kembali menengok ke segala arah. Entah apa yang ia pikirkan hingga mau-maunya diajak keluar lelaki di hutan seperti ini. Mereka berhenti tepat di dekat jurang. Dari tempat ini, Cinta bisa menatap langit yang terbentang luas tanpa ada penghalang apa pun, panorama pegunungan dengan lampu-lampu kecil menyala menghiasi suasana malam ini. Meski sekarang musim penghujan, cuaca terlihat sangat cerah, bintang-bintang bertaburan di angkasa, juga bulan yang hampir bulat sempurna.

"Sini!" Langit menepuk sebuah kursi yang terbuat dari batang kayu kelapa, dibuat seadanya. Ada lampu remang-remang yang menerangi tempat itu. Langit sendiri sudah duduk dengan kaki yang menggantung.

"Kita ngapain sih di sini? Pulang, yuk," rengek gadis itu takut-takut.

"Malam ini ada hujan meteor," ujar Langit sembari melihat jam yang melingkar di tangannya. "Beberapa detik lagi."-Cinta menoleh sempurna, ke arah Langit-"Lima, empat, tiga, dua, satu." Lalu kepala lelaki itu terdongak, binar matanya membesar, senyum pun merekah dari bibirnya.

Penasaran, Cinta ikut mengikuti arah pandang Langit, dan mulutnya menganga seketika. Takjub. Bintang-bintang jatuh berhamburan, ekornya panjang-panjang dengan kekuatan gerak yang cepat. Jumlahnya terkadang hanya satu dua, lalu disusul dengan jumlah yang lebih banyak lagi, terlihat cantik, nampak mengagumkan.

"Keren, ya?" tanya Langit.

Tanpa mengalihkan pandangannya, Cinta menjawab, "Banget!"

"Kamu nggak mau ngucapin do'a?" Lelaki itu bertanya lagi, mengambil alih perhatian Cinta.

"Eh? Buat apa?"

"Katanya kalau ada bintang jatuh apa yang diucapkan pasti terkabul," kata Langit meyakinkan. Itu mendengar hal itu di film-film tontonan adik perempuannya.

Ujung bibir Cinta tertarik. "Kenapa kita berdoa kepada bintang jatuh, di saat kita bisa berdoa kepada Yang Menciptakannya?"

"Eh?" Mata Langit mengerjap.

"Meski ilmu agamaku belum bagus-bagus banget. Aku tahulah bedanya yang masuk akal atau enggak. Allah itu menciptakan bintang untuk tiga tujuan, sebagai hiasan langit dunia, pelempar setan, dan yang terakhir sebagai petunjuk arah. Nggak ada ceritanya sebagai perantara terkabulnya doa. Apalagi dengan ucapan 'pasti terkabul'."

Langit meringis keki, tujuannya untuk bisa membuat gadis itu kagum langsung hancur seketika.

"Tapi ini keren, Lang. Seumur-umur baru sekali ini aku lihat bintang jatuh secara langsung," lanjut gadis itu lagi.

Binar mata Langit kembali nampak. Ternyata dia tidak terlalu gagal juga. Ia dapat melihat Cinta kembali menatap langit dengan senyum yang bergantung. Lelaki itu tak jemu memandang wajah Cinta, tak ingin melewatkan moment sedikit pun akan setiap ekspresi yang ditunjukkan sang gadis.

"Eh, Mbak, Mas, ngapain di sana? Mau macem-macem, ya?" Sebuah suara terdengar, mengagetkan muda-mudi itu. Seorang warga sekitar yang tengah ronda malam di area perbatasan antara hutan dan kampung warga menyorot mereka dengan senter.

Perasaan Langit menjadi tidak enak, pun Cinta yang berdetak dua kali lipat dari biasanya.

***

Seorang lelaki berkaus garis-garis dengan celana sebetis dan sarung yang menyilang di badannya itu mengetuk-etukan jemari di pahanya sendiri. Menatap kedua insan yang ia grebek dan langsung dibawa ke pos ronda. Sang lelaki dari tadi berkilah kalau mereka cuma nongkrong saja, sedang perempuannya menangis sesenggukan. Lagu lama. Penyesalan selalu datang belakangan.

"Sumpah demi Allah, Pak. Kita nggak ngapa-ngapain," ujar Langit, lelaki dengan sweater flece biru dongker yang sedari tadi tak berhenti mengoceh. "Saya cuma ngajak dia lihat hujan meteor." Lelaki itu mengerang, mengacak rambutnya yang bermodel fringe.

"Kalau semua maling ngaku, penjara wes penuh, Le," jawab lelaki lain yang terlihat lebih tua. Jeda sejenak untuknya menghisap rokok dalam-dalam. "Anak jaman sekarang emang rusak. Kuliah pake uang orangtua kok malah buat yang nggak bener."

"Pak, kita nggak ngapa-ngapain, astaga!" Langit membantah lagi

"Mbaknya juga. Pakai jilbab tapi mau aja dibawa cowok mojok."

Rasanya tenggorokan Cinta tercekat, sakit karena menahan isakan yang berontak keluar. Ia sungguh malu. Sangat malu. Tapi ini juga salahnya, dia sulit berkata tidak pada orang lain, dia belum mempunyai prinsip kuat. Dia masih seringkali terbawa arus yang membuatnya terkena batu sendiri. Pikiran Cinta melayang jauh. Bagaimana jika keluarganya di kampung halaman mendengar hal ini? Atau keluarga yang paling dekat-Nadia, juga ayah serta ibunya. Dia tak mau mengecewakan orang, apalagi karena hal memalukan seperti ini.

Langit memandang Cinta iba, merasa bersalah. Dia sama sekali tak bermaksud membuat Cinta dalam masalah. Dia hanya ingin memberikan surprise kecil yang mungkin akan membekas dalam ingatan gadis itu. Dan ... ya kejadian ini memang sepertinya tidak bisa gadis itu lupakan begitu saja.

"Permisi." Sebuah suara mengambil alih perhatian semua orang, ada Biru di sana, dan Asa di sampingnya, mereka tampil seadanya, khas bangun tidur. Bahkan Biru tak mengenakan kacamatanya kali ini, rambutnya acak-acakan, dengan mata lelah. "Maaf, Pak. Saya ketua di acara makrab."

"Oalah, kowe to ketuanya. Bagaimana bisa kecolongan dua peserta bertindak mesum begini."

"Sudah saya bilang, Pak. Kita nggak ngelakuin kayak gitu. Ya ampun!" Langit menyela, setengah berteriak emosi.

"Lang!" Asa melotot ke arah adiknya.

"Mas, jelasin lah sama mereka, gue sama Cinta bukan orang kayak gitu."

Biru hanya menatap sekilas, feeling-nya yang tidak enak sedari tadi memang tidak meleset. Ia melihat Cinta yang hanya diam saja, menangis, mencoba menahan isakan agar tidak terdengar.

***

Setelah selesai menjelaskan kepada warga sekitar. Akhirnya Langit dan Cinta dilepaskan. Langit dibawa kakaknya menjauh, sedangkan Cinta sedari tadi tertunduk lemah, masih menyembunyikan tangis yang terus mengalir ke pipinya. Meski begitu, hanya orang bodoh yang tak menyadari apa yang terjadi pada gadis itu.

Biru yang berjalan di depan Cinta berhenti mendadak, menarik napas dalam kemudian membalikkan badan. "Bisa diem, nggak?" sergah lelaki itu kasar, ia bisa melihat bahu Cinta naik turun dengan kepala masih tertunduk. "Percuma ditangisin. Waktu nggak bakalan bisa diulang juga."

Meski matanya tak menatap Biru, pendengaran Cinta menajam.

"Yang penting sekarang bukan nyeselin apa yang udah terjadi, tapi bagaimana kamu bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian. Jadi manusia yang lebih baik lagi dan jangan ulangi kesalahan untuk kedua kalinya. Manusia dikasih otak buat berpikir bukan pajangan."

Kata-kata Biru menancap tepat di hati Cinta. Isak gadis itu berangsur-angsur mereda, kepalanya terangkat, melihat Biru yang sudah membuang muka.

"Dan satu lagi. Allah memberi batasan pergaulan laki-laki dan perempuan yang non mahram bukan tanpa tujuan, tapi untuk menghindari fitnah seperti ini. Seharusnya sebagai gadis muslim, apalagi sudah menutup aurat kamu bisa menjaga diri sendiri. Setidaknya jaga nama baik agamamu."

Cinta menggigit bibir bawahnya, air matanya kembali mengalir. Ia mengutuk diri sendiri atas apa yang terjadi hari ini. Dia memang belum menjadi seorang gadis muslimah yang baik, tapi selalu ada kesempatan untuk berubah, kan?

~bersambung

Lama, ya? 😂😂😂

Ada yang nyadar nggak sih settingnya beda? Iya... Emang kemarin ada perombakan setting writing camp, ada tambahan adegan unyu juga. Tapi entar buat di versi cetaknya ya, hehehe...

Kalau sempet mau double update sih nanti.

Yes?

Or

No?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro