Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 13

Lingkar Aksara menyewa ruangan kelas FT—Fakultas Tekhnik—untuk mengadakan writing camp. Berbeda dengan FIP dan FBS, jika FIP terkesan tertib dan FBS kreatif, FT lebih alami, ada hutan di belakang gedung itu, sedangkan di sisi kanan terdapat view spot daerah perkotaan bawah. Ruangan yang disewa terdiri dari tiga kelas,  dua kelas untuk tempat tidur, laki-laki dan perempuan terpisah, berjarak cukup jauh dari ujung ke ujung—ini permintaan Biru—dan satu kelas lagi untuk materi.

Acara pertama adalah sambutan dan materi, mendatangkan seorang sastrawan dari Jogja, Budihardjo Saputro. Dari sana, Cinta mempelajari berbagai macam teknis. Ternyata dunia kepenulisan tak sesimpel yang ia kira, semua harus serba jelas dan tepat, bahkan cerita fiksi sekalipun memerlukan riset yang tidak sembarangan. Penulis perlu tahu apa pun dari ceritanya, setiap unsurnya, tapi hanya sebagian yang dijelaskan kepada pembaca.

Acara selanjutnya adalah games. Cinta dijadikan wakil kelompok untuk games tebak kata. Awalnya ia merasa kikuk, ia merasa ilmunya masih sangat terbatas dan belum lagi sikap gugupnya.  Gadis itu menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, ditatapnya manik mata cokelat terang yang duduk di bagian para senior. Lelaki itu hanya mengangguk meyakinkan, tapi cukup mampu membuat Cinta kembali bersemangat.

“Silakan dijawab, mana kata baku yang benar!” seru sang pembawa acara tegas, jeda sejenak untuk melihat ke arah peserta, ada tiga peserta yang masing-masing diberi satu soal secara bergantian, giliran pertama jatuh kepada Cinta. “Seksama atau saksama?”

Sedikir ragu, Cinta menjawab, “Euuummm … seksama?”

“Salah!”

Gadis itu menggigit bibir lalu memilin ujung pakaiannya, cemas.

“Pertanyaan selanjutnya, sekadar atau sekedar?”

Cinta mencoba mengingat-ingat, kalau tidak salah di buku Biru ia tak hanya membaca beberapa puisi, tapi juga coretan ilmu, termasuk kata-kata yang sering salah dieja oleh orang. “Se-kadar?” jawab Cinta masih ragu.

“Yup, betul.”

Cinta mendesah cukup lega mendengar hal itu. Selanjutnya pertanyaan terus bergulir, mulai dari pertanyaan individu sampai rebutan. Cinta jauh lebih percaya diri dari biasanya. Mungkin karena beberapa kali ia menjawab benar, tak lagi ia hiraukan berbagai macam pandangan manusia, tak ia pedulikan kalau ia jadi pusat perhatian. Yang sekarang ia pikirkan hanya satu, yaitu belajar, belajar dan belajar. Cinta bahkan pernah mendengar istilah, orang yang berbakat akan kalah dengan orang yang berusaha keras. Ia tak tahu dia punya bakat atau tidak. Tapi yang jelas ia mau berusaha keras. Setidaknya sekali dalam hidupnya, ia pernah berjuang meraih sesuatu.

“Dan berdasarkan poin yang dikumpulkan …”—Mata pembawa acara berkeliling, membuat jantung peserta berdentum keras—”Cinta adalah pemenangnya.”

Tak sadar, Cinta memekikkan kata 'yes’ dan disambut riuh oleh teman-temannya. Ia tak pernah tahu dirinya bisa,ia tak menyangka dirinya mampu. Hal yang pertama kali ia lakukan setelah itu adalah menatap lelaki berbaju hitam yang berada di sudut ruangan. Seolah berterima kasih, secara tak langsung Biru telah membantunya dengan catatan yang ditulis di buku agenda lelaki itu. Sekilas Cinta melihat Biru tersenyum untuknya, hanya sekilas karena selanjutnya lelaki itu pergi dari kerumunan.

Tak mengindahkan teman-temannya yang lain, Cinta ikut keluar. Ia tak mau jadi pencuri sekarang, ia harus mengembalikan buku lelaki itu, tak peduli ia akan dicaci-maki. Buku yang selalu ia bawa ke mana-mana itu punya pemilik dan ia tak berhak mengambilnya.

Matanya menangkap punggung Biru yang sedang menatap ke hutan belakang fakultas, menerawang seolah jiwanya tak berada di tempat ia berpijak. Entah memikirkan apa. Langkah Cinta mendekat, takut-takut. “Eeeuumm … Mas?”

Seorang yang ia sapa menoleh, agak terkejut. “Ngapain kamu ke sini?”

“Aku …”—Gadis itu menggigit bibir bawahnya lagi—“aku mau mengembalikan ini.” Memberanikan diri, Cinta menyodorkan buku bersampul hitam ke arah Biru.

Biru terhenyak. “Bagaimana bisa…”

“Jatuh di kafe,” sahut Cinta cepat. “Dan maaf, aku sudah mencuri baca beberapa catatan di dalamnya.” Gadis itu menunduk cemas sembari memainkan kukunya yang mulai panjang.

Lama, tak ada jawaban yang terucap membuat Cinta penasaran dan mendongak. Yang ia lihat justru Biru tak menatapnya, tapi melihat hutan yang sedari tadi jadi objek pengamatannya. Cinta tertegun melihat paras Biru lebih dekat, dari samping. Terlihat begitu manis dan keren. Ah, sepertinya akhir-akhir ini pandangan Cinta memang sedikit berbeda menilai Biru. Lelaki itu selalu nampak lebih mempesona dari biasanya.

“Ambil aja.”

“Eh?” Cinta menajamkan indra pendengarannya, memastikan ia tak salah dengar. Cinta menyangka Biru akan memarahinya karena melanggar privasi, tapi jawaban enteng itu sama sekali tak Cinta duga.

Biru berdecak, ia menoleh lagi kepada Cinta. “Aku bilang ambil aja. Denger nggak, sih? Punya kuping dipakai nggak?”

Cinta membasahi tenggorokannya. Kalimat pedas dengan nada sarkastik itu memang lebih mencerminkan seorang Banyu Biru.

“Sekarang kamu balik! Kamu tahu lelaki dan perempuan dilarang berduaan?”

Ya, Biru kembali ke sosok normalnya, si muka datar dengan mulut pedas. Namun sekarang Cinta tak lagi kesal dengan ucapan itu. Apa yang dikatakan Biru benar, setelah mengatakan permisi ia pergi, meninggalkan Biru yang menatap punggungnya sendu.

***

Adzan Maghrib berkumandang dari musholla kampus, hal yang menjadi kewajiban selanjutnya segera ditunaikan oleh anggota yang beragama Islam. Cinta sendiri bergegas mengambil mukena, ia cukup sulit menemukannya tadi, karena lupa di mana ia menaruh terakhir kali. Alhasil, gadis itu agak sedikit terlambat, setengah berlari ia menyusul bergabung bersama jamaah yang lain.

Suara lantunan surat An-Naba terdengar. Begitu teduh, menenangkan. Suaranya mengalir jernih bagai air mata pegunungan yang menyejukkan. Cinta tertegun sejenak, mengaguminya, mencoba mencari tahu siapa pemilik suara itu, tapi saat mendengar takbir lalu semua jamaah melakukan rukuk, ia segera mengenyahkan pikirannyama. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk terpesona.

Beberapa menit, setelah sholat dan dzikir selesai. Cinta merapikan mukenanya, lalu melalui ekor matanya ia menangkap bayangan tinggi kurus bangkit dari shaf imam. Ia mengenali pemilik suara merdu itu. Biru. Seolah ribuan bunga bermekaran di hatinya, seutas senyum tanpa sadar terbit. Cinta tak tahu apa yang ia rasakan, ini lebih dari apa yang ia alami pada Langit, padahal justru pertemuan awal dengan Langitlah yang berkesan. Sedangkan Biru, jika mengingat awal pertama kali bertemu lelaki itu, Cinta pasti akan uring-uringan sendiri. Sungguh Allah memang Maha Pembolak-balik hati manusia.

“Udah ganteng, sholeh lagi. Ya nggak?” Celetukan seseorang yang ada di sebelahnya membuat Cinta mengerjap, ia menoleh dan melihat Fida—salah satu senior di Lingkar Aksara—sedang mengerling ke arahnya. “Sayang, kalau ngomong suka pedes, tapi ya tetep aja mempesona.” Tawa kecil gadis itu muncul.

“Hah?”

“Biru juga diem-diem sering curi pandang ke arah kamu, lho,” kata gadis itu membuat pipi Cinta memerah.

Meski tidak tahu kebenarannya, hati Cinta berdesir mendengar semua itu. Tak ada perut yang dipenuhi kupu-kupu, tak ada jantung berdetak tak menentu, hanya saja tunas kenyamanan muncul dalam hati Cinta, dan mungkin akan tumbuh semakin lebat.

“Jodoh nggak akan ke mana, kok. Berdoa aja sama Allah untuk diberikan yang terbaik.” Fida tersenyum simpul, membuat bibir ranumnya. “Yuk, balik. Malam ini ada materi lagi.”

Cinta mengangguk mengiyakan.

Baru saja keluar dari musholla seseorang menyambutnya dengan senyum merekah. Langit.

“Eh, Lang?”

“Hai, Ta.”

“Baru dateng?” tanya Cinta yang dijawab anggukan oleh Langit. “Tadi ikut jamaah?”

Bukannya menjawab, Langit hanya cengengesan, lalu mengacak belakang kepalanya. “Eh, malam ini gue nginep sini, lho.”

Dahi Cinta mengerut, seolah bertanya, 'Bagaimana bisa?’

Dagu Langit mengedik ke arah Asa yang sedang mengobrol dengan Biru. “Mas Asa kan senior Mas Biru, dia nggak bakalan mungkin nolak permintaan Mas Asa untuk kita nginep.”

Cinta membulatkan bibir dan mengucapkan huruf O panjang.

“Eh, lo tidur di ruangan mana, Ta?” tanya Langit lagi yang dijawab Cinta dengan tunjukan jari.

“Oke, balik gih! Abis ini materi, kan?” Tangan Langit bersedekah sembari tersenyum manis. “Lagian ketua lo udah ngelihatin gue dari tadi, tuh.”

Cinta menelusuri arah pandang Langit, di mana terdapat Biru sedang memandang ke arah mereka, pandangan tajam, tatapan sinis. Biru memang tidak suka lelaki itu datang ke pelatihannya. Bagi Biru, Langit hanya suka membuat masalah.

~bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro