Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12

Sebuah rumah berdesain minimalis dengan tembok putih abu-abu nampak di depan mereka. Berbagai jenis tanaman dan bunga tertata cantik di halaman berumput teki. Ada sebuah pagar berwarna putih setinggi setengah meter yang memisahkannya dengan jalanan. Dan di depan sanalah Biru memarkir mobilnya.

Biru menoleh saat tak mendengar apa pun di jok belakang dan ia menemukan Cinta sedang tertidur di sana, dengan selimut yang menyelimutinya seperti kepompong, gadis itu meringkuk.

Biru mengamati wajah pulas Cinta, terlihat polos. Alis yang menghiasi gadis itu berjejer rapi tanpa perlu goresan pensil, Biru bisa melihat bulu mata yang melengkung  cantik, hidungnya kecil pendek dan bibir ranum tipis, dan yang paling Biru sukai adalah pipinya yang terlihat bulat dengan semburat merah muda, sangat menggemaskan.

Tersadar akan sesuatu, Biru segera memalingkan muka. “Astaghfirullah,” katanya sembari mengatur ritme jantung yang berdetak tak keruan. “Jangan! Ini nggak boleh.” Ini bermonolog sendiri, lalu menghela napas pelan. Setelah sanggup menguasai diri lelaki itu segera menoleh kembali, kali ini wajahnya gahar.

“Hei!” sergah Biru, namun tak membuat gadis itu bergerak sedikit pun. “Kamu!” Meski menaikkan suaranya beberapa oktaf tetap saja tak ada yang berubah. Gregetan, Biru mengambil sebuah buku yang ada di dashboard dan menyentuhkannya ke Cinta, mengguncang badan gadis itu tanpa bersentuhan secara langsung.

Dan berhasil!

Cinta menggeliat, mengucek mata malas, lalu melihat sekeliling. “Udah sampe, ya?” tanyanya polos.

Decakan keras dari bibir Biru. “Menurut kamu?”

Gadis itu melepas selimut yang membungkusnya, lalu menatap keluar jendela. “Masih hujan.”

“Sana telepon orang rumah! Minta bawain payung, kek. Apa, kek.”

Untuk kali ini, Cinta tak merasa tersinggung dengan nada bicara kasar Biru. Ia menurut, mengambil ponsel dari dalam tasnya dan menghubungi seseorang. “Nggak diangkat.” Bibir gadis itu mencebik. “Ya udah aku turun aja. Deket, kok.”

Meski belum mendapatkan persetujuan Biru, Cinta tetap membuka pintu mobil.

“Katanya alergi dingin!” Suara itu menghentikan kaki Cinta yang hampir menapak tanah.

“Ah, iya. Tapi nggak papa.” Senyum di wajah gadis itu terbit, tapi belum juga melangkah sesuatu mengurungkan niatnya. Mereka menangkap  Nadia yang mematung di halaman rumah. Bola mata Cinta berbinar. “Di!” teriaknya ke arah sang sepupu.

Biru sendiri menatap arah pandang Cinta, menatap Nadia yang juga membalas tatapannya. Tak ada ekspresi, seolah mereka tak pernah mengenali satu sama lain.

Agak canggung, Nadia mendekat. Mengangsurkan payung untuk Cinta, sembari mencuri pandang pada sang pengemudi mobil yang sudah membuang wajahnya.

“Terima kasih ya, Mas,” ucap Cinta dengan hiasan senyum di bibir, yang dijawab gumaman Biru tanpa menoleh. “Mau mampir dulu?”

“Aku nggak punya alasan untuk bertamu ke rumah gadis malam-malam begini.”

Kebaikan Biru malam ini memang sempat membuat Cinta lupa tentang prinsip teguh lelaki itu. Gadis itu menggaruk pelipis canggung, lalu menggosok hidungnya yang kembali memerah. “Oh ya udah kalau gitu, ma—”

“Kamu sampai kapan berdiri di situ? Mau tambah kedinginan dan sakit?” Biru memotong ucapan Cinta yang belum selesai dengan nada kasar dan pandangan tajam. “Aku pulang dulu. Assalamualaikum,” katanya tanpa mendengar jawaban salam dari Cinta dan Nadia.

***

Nadia tertegun menatap Cinta yang sedang tersenyum memandangi jaket dan sebuah buku hitam di kamarnya. Ada yang mencelos dalam hati gadis itu, seperti pisau yang menghujamnya dalam. Apalagi saat teringat perkataan Biru, yang meski kasar namun sarat akan perhatian. Rasanya nyala api menggerogoti kewarasannya. Entah sudah berapa lama dia tak merasakan cemburu seperti ini.   Seharusnya dia sudah biasa. Bukankah dulu dia juga merasakannya?

Nggak! Aku nggak boleh kayak gini. Aku harus mendukung mereka. Nadia membatin. Ia buang jauh-jauh segala pikiran buruk yang mencoba menghasutnya. Hal yang selanjutnya ia lakukan adalah menghampiri Cinta dan menaruh segelas wedang jahe ke nakas. “Minum dulu, Ta. Angetin badan. Nanti kamu sakit aku yang repot.”

Masih dengan senyum yang belum lepas dari wajahnya, Cinta menoleh. “Makasih, Di.”

Nadia mengangguk dan duduk di tempat tidur Cinta, nenjejeri gadis itu. “Kok kamu bisa dianterin Mas Biru, to? Seinget aku kan, Mas Biru membatasi pergaulan sama cewek.”

“Eh, kamu tahu Mas Biru kayak gitu?” Mata Cinta mengerjap.

Tawa Nadia menguar. “Di kampus siapa sih yang nggak kenal cowok yang mulutnya kayak petasan banting macam dia.”

Cinta terbahak mendengar penuturan Nadia. “Tapi ternyata aslinya dia lumayan baik, ya?” Mata gadis itu kembali menerawang jaket bomber warna hitam yang tergantung di sudut kamar.

Nadia mengerling, lalu berdehem sekilas. “Tanda-tandanya bunga asmara bermekaran, nih.”

Ucapan Nadia sontak membuat semburat merah muda muncul di pipi Cinta. “Ish! Apaan, sih?”

“Aku dukung, kok. Aku dukung seratus persen. Perlu bantuan pedekate, nggak?” Alis Nadia bergerak naik turun.

“Nadia, ih!” Cinta memukul Nadia menggunakan bantal yang ia ambil di dekatnya dan memancing Nadia tertawa keras. Meski dalam hati gadis itu tersayat sakit. Kalau ini demi kebahagiaan kalian, aku rela. Terutama dia. Aku ingin dia bisa kembali seperti Biru yang aku kenal dulu.

***

Writing camp?” Pertanyaan itu meluncur saat pertemuan Lingkar Aksara hari ini. Beberapa saat yang lalu, Fabian menjelaskan bahwa anak-anak yang baru bergabung akan diajak belajar kepenulisan lebih dalam sembari dekat dengan alam.

“Yup! Kegiatan ini nggak wajib. Tapi kalian bakal nyesel kalau nggak ikutan,” ucap Fabian meyakinkan.

Salah satu junior mengacungkan jarinya, bermaksud untuk bertanya dan Fabian mempersilakan. “Apa yang kita lakukan di sana, Kak? Ada biayanya?”

“Belajar, praktek, dan bersosialisasi. Di sana kalian bisa riset langsung setting untuk gagasan cerita kalian. Akan ada pembicara dari penulis senior juga yang datang. Untuk biayanya, lima puluh ribu untuk dua hari satu malam dan dikumpulkan kepada  bendahara komunitas, Mbak Sinta,” terang Fabian. “Ada pertanyaan lagi?”

Sebenarnya Cinta ingin mengajukan pertanyaan, tapi gadis itu selalu gugup jika menjadi pusat perhatian, jadi meski berbagai macam persoalan berlarian dalam benaknya, ia tetap memilih diam. Matanya mendadak beralih ke sosok Biru yang sedang bergumul dengan laptopnya, terlihat serius. Tak sadar bibir Cinta tertarik tipis. Kalau dilihat-lihat wajah Biru tidak terlalu seram, alisnya tebal dan datar, ujung matanya juga agak turun ke bawah, hanya bingkai kacamata yang meruncing membuat kesan tajam tampak dari raut wajah lelaki itu.

Non member boleh ikut?” Celetukan itu muncul dari luar gazebo, membuyarkan lamunan Cinta, merebut perhatian semua orang. Ada lelaki dengan jaket jeans biru dongker dan topi putih yang ia balik menghadap ke belakang sedang tersenyum cerah. Sebelah matanya kemudian mengedip ke arah Cinta yang duduk di paling pojok belakang. Dia Langit, datang tak diundang, menyeruak masuk ke kerumunan. “Gimana, Mas?”

“Maaf, khusus untuk member. Non member boleh menengok, tapi tidak bisa ikut menginap.” Fabian menjawab pertanyaan Langit dengan tenang.

Langit mendesah “Yah … penonton kecewa. Padahal gue butuh hiburan.” Tak dinyana Langit menghampiri Cinta dan merangkul pundaknya. Gadis itu terhenyak, mencoba melepaskan tangan Langit lalu mendelik ke arah lelaki yang malah cengengesan. “Jadi satpam nggak papa, deh. Yang penting boleh ikut, ya?”

“Ma—”

“Ini bukan taman bermain, Lang.” Suara Biru menyela kasar. “Jangan ke sini kalau cuma mau buat onar.”

“Ouch!” Langit memegang dadanya, berakting kesakitan. “Seperti biasa, langsung ngejleb ya, Mas?” Tawa lelaki itu menggema. “Oke, gue diem. Tapi tetep mau duduk di sini, di sebelah Cinta.”

Bola mata Cinta hampir saja keluar. Tak terima namanya disebut-sebut. “Lang, kamu apa-apaan, sih?” bisiknya menahan gregetan.

Tapi sang lawan bicara tak merasa bersalah sedikit pun dan tersenyum cerah ke arahnya. “Iya, di sana nanti kamu aku jagain, kok. Tenang aja.”

Cinta tak bisa menahan kegeraman, tangannya mencubit perut Langit yang tertutupi kaos putih bertuliskan ‘Pejuang Cinta’. Sedangkan di depan sana, rahang Biru mengeras, buku-buku jarinya memutih akibat terlalu kuat mengepal. Dia tidak suka pemandangan disuguhkan muda-mudi itu. Dan yang lebih ia benci lagi, ia tak bisa melakukan apa-apa.

~bersambung

Woooooo makin seru nih kayaknya. 😍😍😍😍😍

Untuk yang mau baca lengkap sampai epilog langsung ke karyakarsa ya. Cari aja username primamutiara_ tengkyuuuu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro