Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11

***

Biru terdengar tak bersuara, bahkan tangannya menengadah seperti membaca doa. Cinta mengerutkan dahi, ia hampir berucap lagi kalau Biru tidak menoleh ke arahnya, seperti biasa dengan tatapan yang menghujam tajam.

"Kamu nggak denger suara adzan?" ucap Biru kemudian.

Mata Cinta mengerjap, dia memasang telinga dengan saksama, dan benar saja, suara puji-pujian, sholawat atas nabi terdengar melalui speaker yang tidak jauh dari tempat ia berada, pertanda sebelumnya adzan Maghrib berkumandang. Sedari tadi saat di dalam mobil, Cinta memang hanya melamun. Biru mendiaminya begitu lama, apa yang bisa dia lakukan selain bergelut dengan pikiran sendiri?

Tanpa Cinta sadari, Biru telah keluar dari Toyota Kijangnya. Jangan membayangkan adegan sang pria membukakan pintu mobil untuk si gadis karena itu pasti tidak akan pernah terjadi. Ingat? Biru adalah spesies makhluk dingin dengan mulut pedas. Rasanya mustahil melihat dia bersikap baik apalagi romantis dengan orang yang bukan mahram.

Lelaki itu hanya berdiri di depan mobil, kedua tangan ia masukkan ke dalam saku. Ia menunggu Cinta keluar sebelum mengunci kendaraan roda empatnya itu, meninggalkannya aman sampai selesai melaksanakan ibadah.

Mereka akhirnya berjalan menuju masjid dengan Biru yang melangkah terlebih dulu, berjarak satu meter dari Cinta. Tujuan lelaki dan gadis itu bercabang saat sudah mendekat di tempat ibadah. Cinta berbelok ke kanan, Biru berbelok ke kiri, menuju ke area masing-masing.

Setelah beberapa menit bergulat dengan salat dan dzikir, Cinta keluar dari masjid. Lalu melihat ke arah mobil yang terparkir di halaman berpaving. Belum ada orang di sana. Mungkin sang pemilik masih khusyuk beribadah di dalam sana. Cinta akhirnya memutuskan untuk duduk di undakan yang ada di teras. Sembari menunggu, gadis itu menopang dagu dan menatap wanita-wanita paruh baya yang masih mengenakan mukena berjalan pulang. Sebagian lelaki dewasa, yang sudah menyelesaikan ibadahnya memilih duduk di teras, membicarakan banyak hal. Dan yang paling menarik perhatian Cinta adalah tingkah polah anak-anak kecil yang memakai koko dan peci berlarian di halaman, bercanda satu sama lain. Bibirnya tersenyum melihat generasi penerus bangsa itu masih mau menyejahterakan rumah Allah.

"Nuwun Sewu, Mbak."

Cinta menoleh, seorang wanita berumur sekitar kepala tiga tersenyum, meminta ijin untuk duduk dekat di dekat gadis itu. Mengerti maksud dari ibu tersebut, Cinta menggeser tubuhnya. Untuk beberapa detik mereka terdiam hingga akhirnya seseorang memulai pembicaraan.

"Nungguin suami, Mbak?" tanya Ibu itu basa-basi.

Cinta menggeleng mendengar pertanyaan itu. "Temen aja kok, Bu."

"Oh, masih single, ya?"

Cinta tersenyum mengiyakan.

"Mumpung masih single harus cari pendamping hidup yang terbaik, Mbak. Wanita itu berhak mencari kriteria apa pun sesuai dengan keinginannya. Tetapi, ada dua kriteria yang tidak boleh ketinggalan, yaitu yang bagus agamanya dan bagus akhlaknya."

Sekali Cinta hanya menarik tipis ujung bibirnya.

"Eh, maaf. Saya bawel, ya? Masa baru kenal udah kasih wejangan macem-macem."

Kekehan pelan keluar dari bibir Cinta. "Nggak papa kok, Bu. Justru saya senang karena ada yang ngingetin."

"Saya ini memang suka ngomong, Mbak. Kalau nemu yang sensian kadang saya disemprot." Ibu itu tertawa lebar. "Kalau saya nungguin suami saya, Mbak," jelas sang ibu tanpa perlu ditanya. "Suami saya itu kalau di masjid suka lupa waktu. Jadinya ya gini, harus nunggu dulu."

Sifat sok akrab ibu itu membuat Cinta merasa tidak enak jika tidak menanggapi. "Alhamdulillah ya, Bu. Insya Allah bapak bisa jadi imam yang baik."

"Aamiin." Sang ibu tersenyum. "Saya ini termasuk beruntung lho, Mbak. Padahal dulu saya bandelnya masya Allah, tapi bisa dapet suami yang sebaik itu. Rasanya seperti berkah yang luar biasa."

"Mungkin ibu orang yang baik. Jadi Allah juga mengirimkan malaikat di sisi Ibu."

"Alhamdulillah. Mbak pasti juga orang yang baik, nanti pasti dapet pasangan yang baik juga."

"Aamiin." Bibir Cinta tertarik tipis.

Ibu dengan gamis dan hijab lebarnya itu menoleh sedikit ke arah lain. "Eh, itu suami saya." Tangannya menunjuk seorang pria seumuran dengannya yang sedang berjalan ke arah mereka. Dan ternyata dia tak sendiri, ada orang di sampingnya, Biru. Mereka asyik mengobrol, bahkan sesekali Biru menarik ujung bibirnya menanggapi celotehan suami dari ibu yang duduk di sebelah Cinta.

"Itu juga temen saya, Mbak," jawab Cinta.

Sang ibu mengering sekilas, terlihat menggoda. "Wah, ganteng mbak temennya."

Mendengar penuturan wanita itu, perhatian Cinta kembali teralih pada sosok Biru. Wajah dan rambutnya terlihat fresh karena tersapu oleh air wudlu. Kacamata yang biasa ia gunakan ditanggalkan dan dimasukkan ke dalam saku. Aura intimidasinya menghilang saat senyum dengan lesung pipi terpasang di wajahnya.

"Jaga pandangan!"

Hanya dua kata itu yang keluar dari mulut Biru sesaat setelah berada di depan Cinta dan membuat gadis itu tersadar.

Cinta bodoh! Cinta bodoh!

***

Seperti biasa, saat Cinta bersama Biru hanya ada sepi dan senyap yang melingkupi suasana mereka berdua. Cinta lebih memilih melihat pemandangan malam dari kaca jendela mobil. Dan Biru tetap fokus dengan aktivitasnya.

"Abis ini ke mana?" tanya Biru sambil mengetuk-etukkan jarinya pada setir mobil, membuat Cinta memandang ke depan jalan, ada pertigaan di sana.

"Belok kiri," jawabnya singkat dan Biru hanya menggumam menanggapi.

Hanya itu. Selanjutnya keheningan kembali menyergap, hingga tak berapa lama mereka merasakan mobil sedikit oleng lalu Biru menghentikan laju mobilnya.

Cinta celingukan, menatap Biru yang duduk di jok depan. "Kenapa?"

"Sebentar." Biru keluar dan melihat sisi kiri mobilnya, raut wajahnya seperti menandakan ketidakberesan. Detik berikutnya ia membuka pintu belakang mobil, membuat Cinta mengikuti segala yang dilakukan lelaki itu, tapi sekali lagi ia kembali dengan wajah yang bertekuk masam.

Cinta menjulurkan lehernya keluar, memperhatikan Biru yang sedang berkacak pinggang melihat bagian bawah mobilnya. "Kenapa?" tanya gadis itu lagi.

"Bocor," jawab Biru tanpa menatap sang penanya.

Cinta segera mengikuti arah pandang Biru dan melihat ban kiri belakang pada mobil itu kempes. "Kenapa bisa bocor?"

Biru mengedikkan bahunya sebagai jawaban.

Cinta mulai cemas, apalagi saat mendengar guntur bergema, tubuhnya melonjak kaget, ketakutan. Selanjutnya, ia menatap Biru. "Terus kita pulangnya gimana?"

Bukannya menenangkan, justru Biru menatap Cinta dengan nyalang. "Kamu bisa diem sebentar nggak, sih?"

Mood Biru sepertinya sedang buruk sekarang. Lelaki itu terlihat berpikir sejenak, lalu meraih ponsel yang ada di saku kemejanya, menggeser layar dan menempelkannya di telinga. "Halo, Assalamualaikum." Biru terdiam sejenak, menunggu jawaban dari seberang telepon. "Dan. Kamu dimana?" tanyanya kemudian. "Ban mobilku bocor, aku nggak bawa ban serep. Bisa minta tolong nggak?" Selanjutnya ia mengangguk, terlihat sedikit lega. "Oke, makasih."

***

Sambil menunggu adik Biru datang, Cinta duduk di trotoar tidak jauh dari tempat di mana mereka berhenti. Kakinya ia selonjorkan, seharian ini sepertinya adalah hari yang sangat melelahkan untuk Cinta. Bahkan ia belum sempat beristirahat. Mulai dari kuliah full dari pagi sampai sore, lalu pertemuan Lingkar Aksara, kemudian pulang dengan beberapa hambatan kecil.

Merasa bosan, Cinta melirik ke arah Biru yang memilih duduk di kap mobil sambil terus menatap jalanan dan sesekali melihat jam, sepertinya ia tak sabar menunggu. Pandangan Cinta beralih ke langit malam yang terlihat hitam pekat, tak ada penampakan apa pun di sana selain kilat yang sesekali berkilap. Feeling-nya benar-benar tidak enak. Ia harap hujan tak akan datang secepat ini, setidaknya menunggu sampai ia sampai rumah. Cinta tidak suka hujan.

Namun, ternyata doanya tak terdengar oleh Sang Pemilik Alam. Setitik demi setitik hujan membasahi bumi, lama-lama semakin lebat. Cinta berdecak sebal. Ia berlari ke arah mobil dengan kedua telapak tangan di atas kepala.

Peka terhadap apa yang Cinta alami, Biru menunggu gadis itu sampai dan membukakan pintu mobil bagian belakang. Setelah itu ia berputar, duduk di balik kemudi, menepuk-nepuk bajunya yang sedikit basah oleh air hujan. Sedangkan di belakang, Cinta tak berhenti mendumel, menggosok hidungnya yang memerah. "Kenapa mesti hujan, to?" omelnya lebih kepada diri sendiri.

Biru yang mendengar hal itu hanya melirik sekilas, tak berniat menyahut.

"Aku nggak suka hujan." Cinta bermonolog dengan diri sendiri.

Biru menghela napas, kemudian membuka suara, "Kamu tahu? Berdasarkan imam Syafi'i dalam Al Umm Al Baihaqi, doa yang mustajab ada pada tiga kejadian, saat bertemunya dua pasukan, menjelang salat dilaksanakan, dan saat turun hujan," kata lelaki itu seperti mencoba menghibur Cinta, atau mungkin menceramahinya. "Manfaatkan hujan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, mensyukuri nikmatNya. Bukan untuk mengutuk. Sesungguhnya lebih banyak keberkahan yang terjadi saat hujan turun," lanjutnya.

"Tapi ...." Sekali lagi Cinta menggosok hidung, kemudian badannya. "A-ku aler-gi di-ngin," kata Cinta dengan tubuh menggigil, mulutnya perlahan-lahan terbuka, sedangkan matanya memejam. "Hachim!" Inilah yang membuat ia membenci salah satu anugerah Tuhan ini. Gadis itu kembali menggosok indra penciumannya yang sudah memerah, dan kembali bersin. Selalu berulang-ulang setiap detiknya.

Biru berdecak, ia melepas jaket yang ia kenakan lalu melemparnya ke arah Cinta, membuat gadis itu mengerutkan kening. Belum sempat ia bertanya, lagi-lagi hidungnya terasa gatal dan mengeluarkan bakteri-bakteri jahat dari sana.

"Pake!" Biru berteriak keras membuat gadis itu berjingkat. "Cepatan!" serunya tak terbantah. "Di sana juga ada selimut, kamu bisa pake." Dagu lelaki itu mengedik ke belakang. "Lagian Aidan ke mana, sih? Lama banget. Nggak tahu ada cewek apa di sini." Cinta menangkap sebuah nada khawatir di balik monolog Biru.

Gadis itu tersenyum, memakai jaket dan selimut yang diberikan Biru. Lalu memandang lelaki yang berkutat kembali dengan ponsel, sepertinya kembali menghubungi adiknya. Perlahan, kehangatan menjalar ke tubuh Cinta, bahkan sampai ke hatinya.

"Thanks," ucap Cinta lirih.  

~bersambung

Tanda-tandanya bunga asmara, kini bersemi sekali lagi. 🎤🎤🎤🎤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro