Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10

Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore, tapi langit mendung membuatnya terlihat lebih gelap dari biasanya. Di gazebo, Cinta terduduk lemas di lantai, dengan tangan yang menjadi penopang dagu, dan kakinya mengetuk-ngetuk pelan pada tanah yang ia pijak. Gadis itu resah, dan wajahnya menunjukkan hal itu.

“Lho, Cinta. Belum pulang? Kumpul-kumpulnya dah selesai dari tadi, lho,” tanya Asa sembari berdiri di sisi Cinta.

Cinta mendongak, dan segera menegapkan badan. “Iya, Mas. Motor mendadak mogok, sekarang aku bingung pulangnya gimana.”

Asa mengangguk-angguk. “Mogok kenapa? Udah dibawa ke bengkel?”

"Udah, di bengkel deket situ." Cinta menunjuk dengan dagu, ke arah bengkel yang memang masih bisa terlihat dalam pandangan matanya. “Katanya besok baru bisa selesai, soalnya sekarang montirnya dah pada pulang.”

“Euumm …” Asa berpikir sebentar, lalu kepalanya berputar sembilan puluh derajat ke kiri dan kanan, mencari sesuatu. “Woy, Ru!”

Kenapa Mas Asa manggil orang itu?

Sang empunya nama menoleh dan menghampiri orang yang memanggilnya. Ia sempat melirik Cinta sekilas kemudian memilih acuh tak acuh dengan gadis itu. “Ada apa, Mas?”

“Kamu bawa mobil, kan? Anterin Cinta pulang gih! Kasihan motornya mogok.”

Embusan napas terdengar kasar dari hidungnya. “Berduaan sama yang bukan mahram haram, Mas,” ucap Biru yang responnya sudah bisa ditebak oleh Cinta. Justru keajaiban dunia jika lelaki itu mengiyakan.

“Inget kata kamu waktu itu? Ada beberapa pengecualian berinteraksi dalam dengan lawan jenis, salah satunya adalah dalam hal tolong menolong. Ayolah ... kamu mau nih anak kenapa-kenapa di jalan? Atau parahnya nggak bisa pulang ke rumah, gimana?” Asa mencoba meyakinkan.

Tapi bukan Biru namanya jika mau mengalah begitu saja. “Itu sih, urusan dia,” jawabnya tanpa ekspresi sama sekali.

Asa berdecak. “Ah elah, tega banget sih kamu jadi cowok, Ru. Jangan fanatik-fanatik lah jadi orang.”

“Kata sok fanatik bisa jadi penghambat orang untuk menjadi lebih baik lho, Mas. Ati-ati “

“Ya terus gimana? Kasihan Cinta, Ru.”

Sudah tak sabar mendengar perdebatan kedua lelaki itu, akhirnya Cinta memberanikan diri untuk menyahut, “Udah, nggak pa-pa kok, Mas. Nanti aku cari jalan keluar sendiri aja.”

Asa mendecih ke arah Biru, lalu tatapan matanya kembali ke arah Cinta. “Beneran, Ta? Ada yang bisa kamu mintai tolong nggak?”

Cinta mengangguk, meski sebenarnya dia masih ragu akan hal itu.

“Oh, syukur deh.” Asa mengkus dada. “Aku sebenernya pengen nganterin kamu pulang, Ya. Tapi aku ada urusan genting.” Mata Asa mengarah ke jam tangannya. “Aduh! Mana udah telat lagi.”

“Iya, Mas. Nggak papa,” jawab Cinta setenang mungkin.

“Ya udah kalau gitu. Aku udah telat nih, keburu si nyonya ngambek. Cabut dulu ya, Ta, Ru,” ujar Asa sembari menyalami Biru, lalu Cinta sebagai salam perpisahan, tapi Cinta lebih memilih untuk menangkupkan tangan di depan dada. Dia tidak mau mendapatkan kesinisan dari Biru lagi.

Sekilas dari sudut mata, Cinta menangkap bibir Biru tertarik tipis, entah untuk alasan apa. Tapi ia segera mengenyahkan pemikiran itu, sepertinya ia cuma berkhayal saja. Otot wajah Biru terlalu kaku untuk bisa tersenyum, mungkin ada yang salah dengan matanya.

Setelah kepergian Asa, Cinta mendesah lemah. Dia harus bagaimana sekarang? Langit sudah semakin gelap, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan, dan dia benci hujan.

“Telepon Nadi!” seru Biru tanpa basa-basi.

“Ah ya, kenapa nggak kepikiran.” Cinta segera meraih ponsel di tas dan men-dial nomor Nadia. Belum sampai telepon tersambung Cinta baru sadar akan sesuatu. Ia menoleh cepat ke arah Biru yang sudah berjalan menjauh tanpa permisi.

Bagaimana bisa Biru kenal Nadia? pikirnya. Ah, kampus tak sesempit itu. Mereka satu fakultas, bisa saja kan mereka saling kenal? Gadis itu mengedikkan bahu, tepat saat telepon tersambung.

“Halo Assalamualaikum, Di?”

Segera setalah jawaban dalam dari seberang, Cinta mengutarakan niatnya meminta tolong.

“Oh … nggak bisa, ya?” Wajah gadis itu menunduk lesu. Sekarang ia khawatir, bagaimana cara ia pulang. Melihat sekeliling, tak ada orang yang ia kenal. Sampai akhirnya nama Pipit tercetus, temannya itu kan ngekos di dekat kampus.

Hal selanjutnya setelah menelepon Nadia adalah menghubungi Pipit. Syukur Alhamdulillah gadis itu senang hati menerimanya.

“Oh ya udah ke sini aja, tapi aku nggak bisa jemput kamu, kamu kan tahu aku nggak bisa naik motor. Kamu ke sini sendiri nggak papa, Ta? Inget jalannya, kan?”

Cinta mengangguk, senyuman terbit di bibirnya.

“Tapi ati-ati ya, Ta. Daerahku kalau jam segini terkenal rawan soalnya.” Nada bicara Pipit penuh kekhawatiran.

Sekali lagi Cinta mengangguk, meski ia sadar orang di balik telepon tidak bisa melihatnya.

***

Kos Pipit memang dekat dengan lingkungan kampus, namun berada di pelosok gang. Perkampungan sepi di mana hanya mempunyai jalanan yang muat satu mobil saja. Dan sekarang Cinta sedang berjalan menuju ke sana. Gadis itu mengamati langit, cuaca mendung memang membuat sore ini terlihat lebih gelap dari biasanya. Semilir angin yang menusuk tulang pun semakin membuat bulu kuduk Cinta merinding.  

Tepat saat berada di pertigaan jalan, Cinta melihat ada tiga orang yang sedang duduk di atas motor menatapnya secara intens, mengikuti setiap langkahnya yang berpijak di bumi. Dan jujur, itu menakutkan. Cinta mempercepat laju jalannya, malah bersiap untuk berlari, tetapi salah seorang dari orang tadi mencegatnya.

Orang dengan kulit gelap dan bermata runcing itu seketika membuat Cinta terhenyak dan mundur selangkah.”Sendirian aja, Mbak?” tanya lelaki itu.

Cinta mengangguk samar kemudian kepalanya menunduk permisi, tapi kedua teman lelaki itu malah menghalangi jalannya.

“Sini Abang anterin. Mau ke mana?” tanya lelaki lain, lelaki dengan jaket bomber cokelat dan tubuh gempal.

Cinta menggeleng, sembari tersenyum canggung.

“Sama saya saja, Mbak. Dijamin selamat sampai tujuan.” Seorang lelaki dengan tubuh kurus tinggi yang sedari tadi diam akhirnya bersuara.

Sekali lagi, gadis itu menggeleng. Ia takut. Sungguh-sungguh takut. Rasanya deguban jantung yang beritme cepat membuat tubuhnya terasa lemas. Cinta tidak suka orang asing, ia tidak suka menerka-nerka apakah mereka baik atau jahat. Ia terlalu nyaman dengan orang-orang yang dikenalnya saja.

Cinta mencoba menyeruak benteng yang di bangun pada lelaki itu sopan, punggungnya menekuk. Berharap dengan begitu orang-orang itu bisa melepaskannya begitu saja

Tapi ternyata tidak, orang-orang itu bersikukuh di tempat mereka berdiri, malah di antaranya memegang lengan Cinta, dan membuat gadis itu melonjak kaget.

Wes to, Mbak. Jangan jual mahal. Cuma duduk diem di jok motor aja nggak susah, kok.”

“Ma-maaf,” ucap Cinta terbata, kata pertama yang muncul dari mulutnya. Ia rasanya ingin menangis sekarang. Biasanya jam segini, dia sudah sampai di rumah, duduk tenang dengan novel di tangannya. Siapa yang suruh dia ikut komunitas-komunitas segala. Sok aktif. Sok ingin mempunyai mimpi.

Mendadak gadis itu merasakan sebuah lampu sorot menuju ke arah mereka, ia menoleh dan melihat sebuah mobil hitam berhenti. Mungkin karena ia dan ketiga orang itu menghalangi laju jalannya. Namun ternyata seseorang keluar dari sana dan membuat bola matanya membulat.

Biru muncul, mendekat dan menunduk sopan. “Maaf, Bang. Ini teman saya, kami janjian pulang bareng, tapi sepertinya dia tersesat,” kata lelaki itu ramah, sedikit menarik ujung bibirnya, senyum khas seorang Banyu Biru.

“Yah … gagal dapat orderan lagi kita.”

Decakan dan sahutan menjadi jawaban dari ketiga orang yang mencegat Cinta tadi.

Sekali lagi Biru tersenyum. “Kalau begitu kami permisi, Bang.”

“Ya udahlah, alamat cuma makan nasi sama garem.”

Biru yang sudah bersiap pergi menghentikan langkah, menatap ketiga orang yang berjalan menuju motor mereka masing-masing. Cinta bisa melihat lelaki itu menghela napas lalu kembali menghampiri gerombolan tadi.

Biru merogoh saku, dan menyalami salah satu dari mereka. “Buat uang jajan anak ya, Bang. Semoga lain waktu rezekinya makin lancar.”

“Wah! Serius ini buat kita, Mas?”

Entah untuk berapa kali Cinta melihat Biru menjawab dengan senyuman, rasanya ini bukan seperti Biru yang selama ini dia kenal.

“Matur nuwun yo, Mas. Wes, mbaknya dibawa aja. Keburu hujan,” ujar mereka dengan senyum yang merekah lebar.

Biru mengangguk, berjalan menghampiri Cinta lagi. Wajah ramahnya seketika berubah saat melihat gadis itu, ia berjalan lebih dulu lalu berhenti saat menyadari Cinta masih berdiri di tempatnya. “Ayo!” serunya dan Cinta gelagapan mengikutinya.

Biru membuka pintu mobil belakang, membuat dahi gadis itu mengerut. “Masuk!” Satu kata, satu makna, dan dalam satu helaan nafas.

“Euumm anu … tapi … aku beneran duduk di belakang?”

Biru berdecak pelan, ia menatap  Cinta tajam, dan mengedikkan dagu sebagai kode untuk Cinta memasuki mobil itu. Tak ada pilihan  lain, Cinta akhirnya pasrah mengikuti.

Setelah berada di balik kemudi, Biru menggenggam setir mobil kencang-kencang.”

“Kamu itu bodoh atau gimana, sih?” Kalimat pertama yang keluar dari mulut Biru adalah kalimat pedas dengan nada yang menusuk, matanya masih memandang jalanan di depan hingga Cinta tak bisa melihat ekspresinya.

“Bodoh?”

"Iya, bodoh! Jalan itu rawan, tapi masih nekat aja lewat sana. Untung tadi cuma tukang ojek. Kalau penjahat beneran gimana?”

Gadis itu menggaruk pelipisnya. “Ya gimana lagi, itu kan satu-satunya jalan ke kost temenku.”

Jeda sejenak, genggaman tangannya pada setir mengendur. ”Bukannya pulang?”

"Nggak bisa pulang, nggak ada yang mau nganter," kata Cinta memberikan penekanan di kalimat terakhir.

Biru mendengkus pelan. “Mana rumah kamu?” Nada bicara lelaki itu sudah menurun.

“Hah?”

Tidak ada jawaban pasti yang terdengar membuat Biru menoleh ke arah Cinta. Dengan pandangan yang tidak bersahabat tentu saja. 

Takut-takut, Cinta menelan salivanya. “Jalan Raya Sampangan kilometer 7," jawab Cinta sembari menunduk takut.

Tanpa berbicara lagi, Biru segera menyalakan mobinya, Toyota Kijang keluaran tahun 1995.

Untuk sesaat mereka hanya saling diam. Biru fokus dengan jalanan, dan Cinta membuang pandangan ke luar jendela. Hingga akhirnya laju mobil Biru terhenti, membuat Cinta gelagapan. Perasaan belum sampai tempat yang mereka dituju. Ia menatap Biru penuh tanya.

“Eeuuumm kok berhenti?”

Tak ada jawaban dari sang sopir mobil, dan hal itu membuat perasaan Cinta  tidak  enak.

Mau apa lagi orang ini ya Allah.

~ bersambung

Siapa yang masih setia nunggu repost cerita ini?

Yang mau baca langsung sampai tamat, bisa langsung ke karya karsa. Link ada di bio.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro