BAB 1
BAB 1
"Hidup itu harus punya tujuan. Selayaknya kita naik kendaraan. Jika dari awal kita tak tahu mau ke mana, kita akan kehilangan arah, dan akhirnya tersesat."
Cinta tercenung sejenak memikirkan ucapan Nadia semalam. Sepupunya itu memang terkenal mempunyai tujuan hidup yang jelas meski umur mereka baru menginjak dua puluh tahun. Berbeda dengan Cinta yang bahkan tidak benar-benar mengetahui apa yang ia inginkan.
Cinta suka membaca buku, tapi dia tidak cukup percaya diri untuk menjadi seorang penulis. Suaranya pun tidak jelek ketika bersenandung, tapi tampil di muka umum adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan.
Keputusannya untuk berkuliah di UNNES dengan Prodi Teknologi Pendidikan pun hanya sekadar coba-coba. Tak ada tujuan berarti, ia hanya ingin kuliah tanpa membebani orang tua. Katanya, kuliah di universitas negeri—apalagi bidang pendidikan—jauh lebih murah daripada universitas lain. Dan itulah yang akhirnya membawa Cinta berada di kampus ini. Hanya berpedoman, asal punya gelar semua selesai. Tanpa perlu memikirkan akan seperti apa dirinya kelak.
Namun perkataan Nadia semalam kembali membuatnya berpikir tentang sesuatu yang terlupakan selama ini. Cita-cita. Tujuan hidup yang akan ia raih, yang akan jadi motivasi besarnya dalam menyelesaikan dunia pendidikan ini. Mumpung masih muda, tak ada salahnya bukan untuknya mempertimbangkan lagi cita-cita apa yang akan dia kejar.
“Cinta.” Sebuah suara membuyarkan lamunan gadis itu. Sang empunya nama menoleh dan menarik ujung bibir saat perempuan sebaya mendekat.
“Dicariin dari tadi juga, tahunya di sini. Ngapain, to?” Pipit, gadis dengan rambut kuncir ekor kuda itu menghentikan langkah tepat di depan Cinta yang sedang berdiri di balkon fakultas.
Cinta merapikan kerudung segiempat bermotif bunga yang ia kenakan sebelum menjawab dengan gelengan. “Nggak ngapa-ngapain. Kenapa?”
Mata bulat Pipit seketika berbinar. “Eh, udah denger belum?”
Dahi Cinta berkerut tipis, menanyakan kehebohan temannya.
“Kita sekelompok sama Langit di MKU Bahasa Indonesia!”
Mendengar nama lelaki itu disebut wajah Cinta seketika merona, terlihat begitu menggemaskan, apalagi saat sepasang bola mata miliknya mengerjap lucu tanpa ia sadari.
“Hayo!” Pipit yang menyadari perubahan ekspresi Cinta langsung semangat menggoda. “Seneng, to?”
Senang? Tentu saja. Siapa yang tidak senang saat bisa selangkah lebih dekat dengan sang idola. Tapi mengakui hal itu pada sahabatnya sendiri pasti sangat memalukan.
Cinta menetralisir raut mukanya. “Eng-enggak.”
“Aih ... sama aku aja pakai bohong. Lihat, merah tuh pipi.”
Kedua tangan Cinta beralih menangkup buntalan tebal di sisi wajahnya yang semakin merona, dan reaksi itu seketika memancing tawa sang lawan bicara.
“Kamu lucu banget, sumpah!”
“Ish, Pipit mah ....” Bibir Cinta mencebik manja, diselingi pukulan pelan ke bahu Pipit. “Emang kamu denger dari mana?”
“Dari Pak Dosen lah. Nih!” Pipit melambaikan selembar kertas di hadapan Cinta. "Hari ini Pak Agung nggak masuk, jadi kita diminta buat diskusi kelompok. Dan beruntungnya, kita satu kelompok sama Langit."
Bibir Cinta berkedut, selama ini melihat Langit dari kejauhan saja sudah membuat dia salah tingkah apalagi bila mereka berdekatan.
Langit Permada. Ya, itulah nama lelaki yang beberapa minggu ini menarik hati Cinta. Dia mahasiswa jurusan Psikologi yang masih satu fakultas dengannya. Sudah semenjak OSPEK fakultas setahun lalu, nama Langit membumbung tinggi, wajah yang mirip dengan bintang korea menjadikannya buah bibir di kalangan mahasiswa baru, bahkan kakak senior. Belum lagi sikapnya yang ramah, supel, dan mudah bercengkrama dengan siapa saja.
Tapi bukan itu alasan Cinta menyukai seorang Langit Permada. Ada sesuatu hal khusus yang membuat ia menjadi penggemar rahasia lelaki itu.
“Langit!” Suara cempreng Pipit kembali menyeruak, terdengar heboh dengan tangan melambai-lambai ke suatu arah yang segera Cinta telusuri.
Dan pemandangan di depannya langsung membuat ia segera menunduk. Lelaki itu ada di sana, awalnya sempat menyipitkan mata, mungkin heran ada seorang cewek tidak dikenal memanggil namanya. Namun, itu hanya berlangsung beberapa detik sebelum senyum cerah nampak dari wajah oriental Langit.
"Yap! Ada apa?" Langit bertanya sesaat setelah berhasil mengikis jarak di antara mereka.
“Ini, tadi aku dapet tugas dari Pak Agung, kita satu kelompok diskusi.” Pipit mengulangi penjelasannya.
“Oh ya? Wah ... keren, nih, bisa sekelompok sama cewek-cewek pinter macam lo dan Cinta,” kata Langit dengan logat anak ibu kota yang menjadi ciri khasnya. Langit memang lebih lama tinggal di sana, kira-kira baru setahun ini dia pindah ke Semarang, lebih tepatnya saat memilih untuk berkuliah di kota Atlas ini.
Refleks, Cinta mendongak, memastikan dia tidak salah dengar saat namanya tersebut oleh Langit.
Melihat Cinta memperhatikannya, Langit menoleh ke arah cewek itu, menarik ujung bibir. "Hai, Cinta."
Jantung Cinta seakan berhenti untuk sesaat, berdebar dua kali lipat lebih cepat dari biasanya.
Aku benar-benar tidak salah dengar, kan? Langit mengetahui namaku?
Mungkin reaksi Cinta terlihat berlebihan, tapi dia benar-benar tidak menyangka bahwa seorang Langit Permada mengetahui namanya, seorang gadis yang mungkin hanya dikenal oleh teman sekelasnya saja.
***
Selesai dengan kegiatan kampus yang cukup menyita banyak tenaga seharian ini, Cinta membutuhkan sesuatu yang bisa menambah kembali energinya. Dan kafe Amora—tempat langganannya—adalah sasaran yang tepat. Cukup perjalanan lima menit dari kampus, gadis itu telah sampai di tempat yang dituju.
Kafe dengan konsep seperti rumah baca itu menjadi surga tersendiri untuknya yang memang sangat tergila-gila pada buku. Ia bisa menghabiskan waktu seharian hanya untuk tenggelam dalam dunia aksara itu.
Sebelum memasuki interior kafe, pengunjung akan disambut dengan pintu dari kayu jati dengan empat buah kaca bersekat yang berada di bagian atas. Saat pintu itu terbuka sebuah lonceng kecil akan berbunyi untuk menyambut siapa pun orang yang berkunjung. Menelisik ke dalam, beberapa meja dan kursi dari kayu terjejer rapi, dinding yang didominasi oleh rak-rak buku semakin membuat mata Cinta berbinar.
Namun, hari ini ada suasana yang berbeda dari dalam kafe ini. Biasanya kesan sepi, tenang, dan hangat akan langsung gadis itu rasakan, tetapi saat ini justru terlihat banyak orang berjubel di dalamnya.
Cinta sebenarnya paling benci keramaian, tapi sudah kepalang tanggung jadi tak mungkin undur diri.
Ia melangkah pelan ke meja bar yang berada di ujung barat. Seorang lelaki berumur pertengahan kepala dua menyambutnya, Cinta sudah sangat mengenal orang itu. Dia Satya. Mas Satya, begitulah Cinta biasa memanggil.
“Eh, Mbak Cinta,” sapa lelaki dengan rambut belah tengah itu ramah.
“Iya, Mas.” Ada jeda sejenak. “Ramai, ya?”
“Iya, Mbak. Kebetulan ada pelanggan yang ulang tahun dan ngerayain pesta di sini.”
Mulut Cinta membulat, mengangguk beberapa kali lalu mencoba memaklumi kondisi yang terjadi. Toh, tidak tiap hari ia mendapatkan suasana seperti ini.
“Pesan apa, Mbak?”
Senyuman tipis Cinta tampilkan. “Seperti biasa, Mas.”
“Caramel Machiato dan Stawberry Cheesse Cake?”
Cinta mengangguk setuju.
“Oke. Please, wait a minute.”
Gadis itu kembali menyetujui. Sembari menunggu, Cinta mengetuk meja bar bermaterial kayu, itu adalah kebiasaan yang ia lakukan saat merasa bosan. Sebenarnya ia tak perlu menunggu lama, karena beberapa makanan sudah tersedia di balik etalase yang ada di bawah meja. Berbagai macam bahan minuman juga sudah berjejer rapi di tempatnya, hanya perlu beberapa waktu untuk menakar semua menjadi satu dan menyajikannya di atas meja.
“Caramel Machiato dan Stawberry Cheesse Cake sudah siap.” Satya mengangsurkan sebuah nampan di mana pesanan Cinta tersaji.
“Makasih, Mas.”
Cinta kembali mengamati sekitar, mengernyit sejenak. Sekarang dia benar-benar tidak suka kebisingan yang ada di kafe ini. Pasti aktivitas membacanya akan terganggu, apalagi saat matanya bersirobok pada meja kedua di sebelah timur, paling pojok. Itu adalah meja kesayangan yang sudah terisi oleh orang lain, dan dia benci bila harus berpindah tempat duduk.
“Meja Mbak Cinta sudah ada yang ngisi, ya?”
Dengan bibir sedikit mengerucut Cinta mengangguk.
Satya ikut memutar kepala, mencari meja dan kursi kosong yang mungkin tersisa, tapi hasilnya nihil.
“Yah ... nggak ada tempat kosong, Mbak. Cuma ada meja itu yang ditempati seorang pelanggan,” ucap Satya sembari menunjuk sebuah meja yang berseberangan dengan meja kesayangannya.
“Nggak enak, Mas. Nggak kenal orangnya juga.”
Satya mengulum senyum. “Dulu kita awalnya juga nggak kenal, Mbak.”
Sedikit ragu, tapi akhirnya langkah itu memanjang menuju ke meja yang dimaksud. Cinta menggigit bibir, memikirkan apa yang harus dia katakan. Dia sama sekali tidak lihai dalam memulai pembicaraan dengan orang baru.
“Ada apa?” Suara bernada bariton terdengar, membuat gadis itu berjengit kaget.
Cinta menoleh ke kiri kanan, mencari sumber suara.
Lelaki yang sedari tadi sibuk dengan laptop, kini memutar kepala ke arahnya. “Ada apa ke sini?” tanya lelaki dengan nada dingin yang menyeruak.
Sekali lagi Cinta menggigit bibir bawah, wajah lelaki ini terlihat tidak bersahabat, tak ada sedikit pun senyum nampak di bibirnya. Akan tetapi, dia sudah terlanjur memesan makanan dan minuman, jadi dia tak mempunyai pilihan lagi selain memberanikan diri. “Euumm ... maaf, boleh kita berbagi tempat duduk?”
Dahi lelaki dengan kacamata minus itu sedikit berlipat, meskipun hal itu tidak berpengaruh besar pada raut muka datarnya.
“Semua meja sudah penuh, dan hanya tertinggal kursi ini. Saya sudah terlanjur memesan makanan jadi—”
“Kamu berkerudung, kan?" sahut lelaki itu memotong pembicaraan Cinta yang belum selesai.
Dahi Cinta mengerut. “Maaf?”
Mata tajam itu seolah mengintimidasi Cinta. “Berduaan dengan non mahram itu haram, seharusnya saya tidak perlu menjelaskan ini, bukan?”
“Berduaan?” Cinta masih tidak mengerti. Apanya yang berduaan? Bukannya mereka berada di tempat ramai?
“Justru karena banyak orang di sini, semakin bisa memicu fitnah.” Seolah dapat mendengar suara batin Cinta, lelaki itu menjawab.
“Sepertinya Anda terlalu berlebihan. Saya—”
“Seharusnya Anda malu dengan kerudung yang Anda pakai. Saat seseorang memutuskan diri untuk menutup auratnya, dia pun juga harus menjaga sikap. Tidak usah berdalih dan memaklumi sesuatu hal hanya karena dasar dianggap terlalu berlebihan. Konteksnya sudah jelas. Hal itu dilarang.”
Gigi Cinta bergemeretak, hatinya memanas. Atas dasar apa lelaki ini men-judge yang macam-macam tentangku?
Tak ingin kehilangan kendali, tubuh Cinta berbalik 180 derajat. Alisnya menanjak tajam seiring dengan langkah yang menjauh dari lelaki menyebalkan itu tanpa permisi. Cukup kasar Cinta menggebrakkan nampan kembali ke meja bar. “Bungkus aja, Mas,” ucapnya tanpa nada bersahabat. Tak seperti Cinta yang biasanya. Lelaki itu sanggup memancing sisi lain gadis itu yang jarang dilihat orang lain.
“Lho? Mbak Cinta kenapa?” tanya Satya diiringi kerutan dahi dalam.
“Nggak pa-pa,” ucap Cinta singkat, mencoba untuk menahan gemuruh di dalam hatinya.
Tak ingin ikut campur dengan urusan pelanggan, Satya akhirnya hanya mengangkat bahu, lalu melaksanakan apa yang diminta gadis itu tadi.
Tak lama, seseorang berdiri persis di samping Cinta. Awalnya ia masa bodoh, tetapi saat ekor matanya menangkap bahwa lelaki menyebalkan itulah yang berdiri di sana, Cinta tersentak.
Jadi, dia sudah selesai dengan kegiatannya di sana? Kenapa hanya untuk berbagi meja yang barang sebentar saja tidak diperbolehkan. Ah, sepertinya dia memang benar-benar lelaki yang menyebalkan.
“Mas Biru sudah selesai?” tanya Satya sembari mengangsurkan pesanan Cinta yang telah ia bungkus paper bag.
Lelaki itu mengangguk, sempat melirik sekilas ke arah Cinta sebelum menaruh uangnya di meja dan berjalan keluar.
Biru, jadi namanya Biru. Aku menyukai warna biru, tapi aku sama sekali tak menyukainya.
****
Duh, si Biru nyebelin banget ya!
Kalau ketemu cowok kayak gitu rasanya pengen ngulek sambel!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro