02. Ruang untuk Rasa
HALO PULU!! MAAF YA BARU UPDATE!
Ada yang kangen Biru?
Oh ya, cerita Biru ini mau aku buat twitter, jangan lupa nanti baca ya! Di twitter @hellooitsvira
Makasih yang udah suka Biru 🙏 aku bersyukur banget punya kalian ❤
Makasih bagi yang masih setia nunggu cerita ini update, tanpa kalian aku jg mungkin gak bakal bisa lanjut 😭 MAKASIH DUKUNGANNYA!!!!
jangan lupa follow
@coretan.vira
@birulangit.bumi
@queenela.aneira
SIAP RAMAIKAN KOMENTAR SETIAP PARAGRAF PUL?!! SIAP!
HAPPY READING ❤❤❤
°°°°°°°°
"Kamu tahu? Di peta hatiku ada ruang paling istimewa untukmu. Ruang yang selalu menunggu penghuninya untuk datang, meskipun Kau tak pernah berniat membukanya"
~Biru Langit Sabumi~
°°°°°
Tepat pada pukul 10.00. Motor milik Biru baru saja tiba di depan pintu gerbang kampus kebanggaannya, yaitu Universitas Harapan Nusa atau yang lebih dikenalnya dengan sebutan kampus Harnus. Salah satu universitas swasta ternama di daerah Jakarta yang dilengkapi oleh fasilitas-fasilitas mendukung dan top jempol serta lulusan-lulusan maha siswa terbaik.
Berkuliah di sini, bukan berarti Biru berharap tertular menjadi salah satu siswa unggul, asal lulus tepat waktu aja sudah cukup baginya.
Tak terasa di tahun ini, Biru sudah menjadi anak kuliahan semester 3 jurusan Hukum. Hebat sekali dia sudah bertahan sampai detik ini meskipun jalannya tidak semulus ketek Lisa Blackpink.
Bicara soal jurusan, ini sedikit cerita mengapa cowok itu memilih jurusan hukum padahal keahliannya lebih di bidang seni. Awalnya, setelah lulus SMA sebetulnya Biru sangat frustrasi menentukan ingin berkuliah atau tidak.
Namun, mengetahui pola pikir Ayahnya yang super ribet kalau urusan pendidikan, akhirnya Biru memutuskan untuk berkuliah saja dari pada nanti dia tambah membebankan keluarga karena menjadi anak tidak berguna.
Dan alasan pertama Biru memilih Hukum tak lain karena Aneira yang ingin mengambil jurusan itu. Kebetulan Ridwan adalah seorang pengacara dan Ibunya dulu mantan dosen mata kuliah Hukum. Maka dari itu Biru memilih Hukum padahal sejujurnya dia tidak tertarik.
Sewaktu Ayahnya tahu jika Biru ingin mengambil Hukum pun beliau terkejut bukan main sekaligus bangga dengan pilihan anaknya. Pria itu sangat mendukung Biru untuk masuk hukum seperti Bara yang kini sudah semester 5. Jadi itulah alasan singkat mengapa Biru mati-matian mempertahankan dirinya di jurusan ini.
"Kita mulai kelas jam berapa?" tanya Biru seraya membantu Aneira untuk membuka helmnya.
"Jam 11 sih, mau ke kafe seberang kampus dulu gak? Kita nyemil roti bakar coklat yuk!" ajak Aneira yang hanya dibalas dengan wajah datar sahabatnya. Kemudian tangan cewek itu perlahan bergerak memegang tangan Biru sembari memasang wajah memelas, membuat Biru sontak terkejut atas perlakuannya yang tiba-tiba.
Ini adalah hal yang biasa, tetapi sangat tidak biasa untuk jantung Biru saat ini.
Biru berdehem singkat untuk menetralkan rasa gugupnya. "Makan manis-manis terus, nggak bagus, Ra."
Mendengar hal itu, bibir Aneira langsung mencebik kesal. Apa-apaan! Sahabatnya ini sangat tidak seru. Padahal Aneira sudah banyak mengurangi makanan manis walaupun terkadang dia khilaf. Sebab menurutnya kalau sedang stres oleh tugas kuliah, makanan manis adalah jalan ninjanya.
"Sekali aja minggu ini, ya, ya, ya?" pinta Aneira sekali lagi, masih berusaha untuk membujuknya.
Tak perlu menunggu waktu lama, Biru langsung mengangguk setuju. "Janji, ya?"
"Janji."
Kemudian mereka berjalan beriringan menuju luar gerbang kampus. Karena letak kampus mereka langsung berhadapan dengan jalan raya kota, jalanannya selalu penuh dengan banyak kendaraan yang berlalu-lalang.
Dan pada saat mereka harus menyeberang jalan, tangan Biru secara otomatis menggenggam erat tangan Aneira seperti itu adalah hal yang wajib cowok itu lakukan jika mereka sedang pergi berdua. Karena prinsip Biru sejak dulu adalah, dia harus menjaga Aneira kemana pun mereka pergi karena itu adalah tanggung jawabnya.
Suara gemerincing lonceng terdengar bersahutan ketika pintu kafe Alyssum terbuka. Seluruh pandangan mata langsung tertuju pada sepasang pemuda yang baru saja masuk bersamaan ke dalam sana. Aroma kopi Arabika langsung menyengat indra penciuman Biru begitu cowok itu berjalan menuju meja pemesanan. Kafe dekat kampus ini memang terkenal akan kopi buatannya yang selalu mengunggah selera, Biru yang bukan pencinta kopi saja sangat suka minum di sini sekalian nongkrong bersama dengan para tugasnya yang bertumpuk-tumpuk.
"Mbak, saya mau pesan roti bakar rasa coklat satu sama strawberry milkshake satu," ucap Biru yang sudah sangat hafal menu kesukaan Aneira di luar kepala. Tidak pernah sedikit pun terlupa apa saja yang disukai oleh cewek itu, mau sekecil apa pun kalau itu tentang Aneira, Biru pasti mengingatnya dengan baik.
Sesudah itu, Biru langsung mengeluarkan selembar uang berwarna merah dan membayarnya sambil menunggu pesanannya siap. Sejenak dia menoleh ke arah Aneira yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Terlihat cewek itu tengah memperhatikan seseorang yang berada di meja paling pojok dekat pintu masuk.
Melihatnya kening Biru lantas berkerut bingung lalu dia mengarahkan pandangannya ke arah sosok cowok yang tengah duduk membelakanginya. Dia mempertajam penglihatannya. Jika dilihat dari model gaya rambut serta postur tubuhnya, sepertinya Biru cukup kenal siapa orang itu. Tak salah lagi, itu adalah Bara, kakak laki-lakinya.
"Mas, mohon ditunggu pesanannya. Nanti saya antarkan ke meja." Suara pelayan wanita itu mengembalikan kesadaran Biru. Cowok itu mengangguk sambil tersenyum simpul sebelum melangkahkan kakinya mendekati meja yang Aneira tempati.
"Hey, ngeliatin apa hayo?" Biru tiba-tiba saja merusak suasana dengan cara mengacak-acak rambut Aneira dan membuat cewek itu langsung berdecak kesal. Aneira sontak menjauhkan kepalanya dari jangkauan Biru.
"Biru, ih! Ngeselin banget deh!"
Biru tergelak seraya merapikan rambut cewek itu lagi. "Duh, si gemes ngambek," godanya.
"Gemes apaan gemes! Ngawur!" sahut Aneira masih jutek yang justru membuat Biru semakin tertawa gemas. Menjadi salah satu hobi favoritnya sejak dulu, yaitu membuat Aneira kesal sampai ngambek.
"Gemesnya Biru." Cowok itu dengan gemas mengunyel-unyel pipi Aneira.
"Biru!"
"Apa cantik?"
"Diem! Gue lagi menjalankan misi."
Terlihat kerutan tipis di dahi Biru. "Misi apa coba? Mau ikut jadi mata-matanya deh."
"Misi lihatin masa depan," ucap Aneira asal. Cewek itu tak lagi menghadap Biru, melainkan matanya tertuju ke arah depan. Lebih tepatnya pada Bara yang sedang asyik mengobrol bersama teman-teman satu kampusnya.
Sementara Biru pun melakukan hal yang sama. Bukan pada Bara, tetapi pada cewek di sebelahnya. Dengan senyuman hangat dan mata teduh, sorot Biru seolah menyampaikan sebuah rasa terpendam terhadap Aneira yang tengah memperhatikan orang lain. Tak pernah terpikirkan oleh Biru untuk menyukai sahabatnya sendiri. Namun, apa boleh buat jika hati tak bisa menerka pada siapa dirinya akan berlabuh.
Hujan juga tidak pernah tahu di mana dia akan terjatuh, sama seperti Biru yang tidak pernah mengira akan mencintai Aneira segitu dalamnya. Rangkaian rasa ini tidak bisa disampaikan sebab Biru lebih ingin Aneira mengenalnya sebagai sosok sahabat yang selalu ada.
"Kenapa gak bilang Bara?" tanya Biru, membuat Aneira menoleh cepat.
"Bilang apa?"
"Suka, kan?" Meski berat, tapi Biru tidak menghilangkan senyumannya.
"Malu." Aneira menunduk.
"Mau dipanggilin?" Mendengar itu, Aneira langsung menggeleng kuat yang membuat Biru terkekeh pelan.
"Biar makan bareng," ucap Biru.
"Mau sama Bubu aja," jawab Aneira dengan suara pelan.
"Mau sama Biru atau Bara?"
"Uhm.. Biru."
Biru tersenyum mendengarnya. Kemudian cowok itu menaruh telapak tangannya di puncak kepala Aneira lalu menolehkannya ke samping agar cewek itu menatapnya. "Ya udah, sama gue aja. Jangan sama yang lain."
"Iya jelek."
"Ulang-ulang, iya Biru ganteng. Gitu."
"Iya Bubu jelek!"
"Gantengan gue dari pada Bara, Ra." Biru mengucapnya dengan penuh percaya diri, membuat Aneira memutar bola matanya malas.
"Iya deh, si paling ganteng."
"Nah, gitu dong!"
"Rambutnya berantakan!!" Aneira langsung memukul tangan Biru yang lagi-lagi mengacak-acak rambutnya sambil tertawa puas.
"Biar makin jelek."
"ISH, BIRUU!!"
Suara teriakan Aneira berhasil membuat seluruh pasang mata yang berada di sana memandang ke arahnya dengan pandangan berbeda-beda. Sedangkan Biru sudah lebih dulu menunduk karena malu saat mereka langsung menjadi pusat perhatian.
Di sisi lain, Bara mengulas senyum tipis saat melihat keberadaan adiknya sedang bersama perempuan yang sejak dulu menjadi sahabat mereka. Namun, semenjak Bara semakin dewasa, dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar. Jadi, otomatis hubungan persahabatannya dengan Aneira sedikit merenggang.
"Hadeh, si friendzone." Bara terkekeh.
°°°°°
Biru tampak baru saja keluar dari ruang perpustakaan sembari membawa beberapa buku di kedua tangannya. m
Mungkin saja orang lain melihatnya seperti siswa yang rajin. Bagaimana tidak, dosen mata kuliahnya itu sangat tidak berperasaan. Memberikan tugas yang mengharuskan Biru terpaksa mencari berbagai macam-macam bahan referensi untuk kelangsungan hidupnya.
Akibat berjalan menunduk, Biru sampai tidak melihat ada orang lain yang lewat. Alhasil, cowok itu menabrak seorang laki-laki di depannya cukup kencang hingga buku-buku yang dia ada ditangannya terjatuh, bercampur dengan isi Pocky yang ikut berhamburan di lantai.
"Gimana sih lo jalannya!" omelnya cukup keras, membuat Biru sontak mendongak dan menatap laki-laki di depannya.
Orang itu memasang wajah jutek tidak bersahabat. Ditambah, penampilannya yang cukup modis membuat Biru semakin yakin jika cowok ini adalah orang kaya yang punya banyak uang. Kaus hitam dilapisi oleh kemeja putih polos dengan dua kancing yang sengaja dibuka dari atas, lalu jam tangan mahal, serta sepatu sport keluaran terbaru.
"Makanan gue jatuh! Tanggung jawab!" ocehnya lagi, masih tidak terima.
"Maaf," ucap Biru tidak berniat untuk memperpanjang masalah. Dia langsung membersihkan kekacauan yang terjadi, kemudian mengembalikan brosur milik cowok itu yang sempat terjatuh.
Pandangan Biru seketika terpaku pada tulisan yang tertera di brosur tersebut. Keningnya mengernyit saat membaca deretan kata 'Audisi Aspire band'. Namun, belum sempat Biru melihat lebih lama, cowok di depannya itu sudah merebutnya terlebih dahulu.
"Cepetan gue buru-buru!"
"Maaf, itu apa, ya?" tanya Biru sopan.
"Ini? Lo, kan, udah lulus SMA. Bisa baca dong berarti?" sahutnya, membuat emosi Biru jadi ikut terpancing.
"Gue nanya baik-baik." Biru memasang wajah dingin, lalu tak lagi memedulikan orang itu dan memilih untuk lanjut merapikan buku-bukunya.
Bukannya takut, cowok di depannya ini tertawa. "Bercanda kali, ini audisi club baru di kampus. Katanya sih bagus."
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Masih tidak ada jawaban dari Biru. Cowok itu tetap sibuk merapikan buku-bukunta. Seolah menganggap jika tidak ada orang yang berbicara tadi. Hingga tak lama kemudian, sebuah uluran tangan terlihat turut ikut membantunya mengambil buku-buku tersebut.
"Salam kenal, nama gue Rajavas Sadega. Bisa dipanggil Javas, atau terserah lo. Gue anak DKV semester 5," sebut Javas memperkenalkan diri terlebih dulu.
"Biru."
Javas tergelak. "Seriously? Nama lo kenapa unik banget? Biru doang?"
Biru mengangguk singkat. "Biru Langit Sabumi. Panggilannya Biru."
"Anak mana?" tanya Javas.
"Anak Bapak-Ibu gue." Jawaban Biru berhasil membuat Javas menoleh dengan tatapan datar.
"Itu gue tau! Ya, kali anak tetangga!"
Biru menampilkan senyuman kecil. "Anak Hukum, semester 3."
"Widih, Adek tingkat nih!" ujar Javas. "Lo udah pernah ikutan kegiatan kampus belum? Kayak organisasi gitu?"
"Belum. Nggak minat."
"Lo ikut—"
"Javas!" panggil seorang cewek yang berdiri tak jauh dari tempat mereka. Cewek itu melambaikan tangannya yang langsung dibalas oleh Javas dengan senyuman merekah.
Kemudian Javas menoleh kepada Biru dan menepuk bahunya sebagai tanda pertemanan mereka hari ini. "Bir, udah ada cewek gue tuh. Gue duluan, ya! Kalau kita ketemu lagi berarti takdir kita harus temenan."
"IYA CANTIK! AKU DATENG!!" teriaknya kegirangan yang menyita atensi orang-orang di sana. Sementara Biru langsung menepuk dahinya tidak habis pikir.
Ternyata Javas tidak seperti apa yang Biru bayangkan saat pertama kali melihatnya. Laki-laki itu bahkan tampak lebih stres ketimbang Semesta, teman seangkatan di kampus sekaligus tetangganya yang menyebalkan.
Terdengar hembusan napas berat dari Biru sebelum arah pandangnya terjatuh ke sebuah brosur audisi tadi yang sengaja Javas letakkan di atas buku Biru.
Sebuah senyum kecil terbit di bibir Biru. Cowok itu lantas menatap punggung Javas yang sudah berjalan jauh di depan sana. "Makasih, Bang. Semoga kita ketemu lagi," gumam Biru.
°°°°°°
GIMANA PART INI?!
Aku bakal kenalin anak anak Aspire satu-satu ya, kisah Biru ini sebelum Biru masuk ASPIRE jadi dia masih kenalnya sama Semesta, karena tetanggaan 😭
Lucu kann
BAPER GAK?!
Di sini ada yg suka sama Bara?
PESAN UNTUK BIRU?
PESAN UNTUK ANEIRA?
PESAN UNTUK AUTHOR?
SPAM KOMEN DI SINI YUK 💙💙
jangan silent reader pliss
SPAM NAMA BIRU!!
SEE YOU NEXT PART PULUU!! 🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro