act 01; patient
✧✦✧
Harapan Hagiwara Kagami hari ini adalah untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dengan tenang, kemudian melanjutkan latihan klub teaternya agar dapat tampil dengan prima di festival sekolah nantinya. Untuk tiba-tiba jatuh di tengah latihan karena rasa pusing dan lelah bukanlah bagian yang dia inginkan.
'Anemia terkutuk,' umpat siswi itu sembari melangkah dengan lesu menuju UKS. Butuh banyak bujukan agar dia bisa pergi seorang diri ke UKS. Tadi guru pembimbing klub sempat menyuruh seorang murid pindahan dengan rambut asimetris berwarna putih untuk membawanya, untungnya Kagami bisa membujuk mereka agar dia bisa pergi sendiri dan tidak mengganggu latihan.
Ketika dia membuka pintu UKS, dia tidak menyangka kalau sudah ada satu orang yang duduk manis di atas ranjang UKS. Dalam pikirannya semua murid sudah pulang atau melakukan kegiatan klub mereka. Kalau pun ada yang menunggu mereka mungkin adalah anggota komite kesehatan sekolah. Karena itu Kagami hanya bisa berdiri dengan canggung di ambang pintu UKS, menatapi siswa yang berada di dalam.
Rambut hitam pendek, tetapi poni sampingnya mencapai bawah dagu dan berwarna putih di ujungnya. Matanya berwarna hitam, menatapi datar ke arah pintu namun terlihat sedikit terkejut juga. Kagami tidak perlu melihat dua kali untuk mengenali siapa orang tersebut, yang lain tak lain adalah senior satu angkatan darinya, Akutagawa Ryuunosuke.
Kagami tidak perlu bertanya untuk mengetahui alasan Akutagawa berada di UKS. Seantero sekolah sudah tahu kalau Akutagawa adalah pengunjung tetap UKS. Dia tidak dipanggil 'Pangeran UKS' tanpa alasan apa pun. Di sisi lain, Kagami juga tetangganya dan dekat dengan adik dari Akutagawa bersaudara.
"Oh," keduanya berkata bersama-sama. Sesaat manik berwarna hitam dan magenta menatapi satu sama lain, sebelum siswi berambut cokelat beige itu membungkuk dan menutup pintu dengan perlahan ketika dia masuk.
"Selamat sore, Akutagawa-senpai," sapanya perlahan. Langkah kakinya pelan-pelan ketika dia mendekati rak obat-obatan. Tas yang ia bawa ia letakkan di atas meja terdekat. "Hari ini pun kau melewatkan latihan kendo lagi?" tanya siswi itu dengan hati-hati. Dia berusaha membuka rak obat, ketika tersadar bahwa rak itu terkunci rapat.
Sesaat Akutagawa terbatuk. "Laci," ucapnya dengan suara parau. Dia memperhatikan adik kelasnya membuka laci dan mengambil kunci rak obat di dalam, sebelum terbatuk lagi. "Aku tidak berniat untuk melewatkan latihan. Kau sendiri kenapa di sini? Kukira klub teater tidak diliburkan hari ini."
Tawa canggung keluar dari bibir Kagami. Dia membuka kunci rak dengan hati-hati dan menjawab tanpa melihat ke arah Akutagawa, "Anemiaku gigih sekali, aku terpaksa tidak ikut latihan juga," katanya, sengaja menambahkan candaan untuk meringankan kecanggungan yang ada. "Sebenarnya aku disuruh pulang, tetapi aku tidak ingin meninggalkan latihan juga."
Akutagawa hanya menjawab dengan gumaman pelan kemudian dia diam lagi. Dia baru akan melanjutkan bacaannya, tetapi berhenti saat tersadar kalau Kagami masih mengutak-atik isi rak obat. Dari tempat dia duduk, Akutagawa bisa melihat bagaimana Kagami menggerutu kesal dengan pelan, atau terkadang menghentikan gerakannya dan memegang kepalanya sendiri.
Ketika waktu berlalu untuk cukup lama, barulah Akutagawa menutup bukunya dan berbalik menghadap Kagami. Siswa itu tidak meninggalkan tempatnya, tapi hanya mengarahkan gadis itu. "Suplemen zat besi ada di dalam keranjang kecil berwarna hijau," tunjuknya.
"Oh!" wajah Kagami berseri-seri ketika dia berhasil menemukan obar yang dia cari. Dia tersenyum puas dan mengambil secukupnya, sebelum mengunci rak itu lagi. "Kau sudah hafal di mana letak semua obat, ya? Hebatnya!" pujinya.
Akutagawa menjawab dengan anggukan, sembari memperhatikan gadis itu duduk tidak jauh darinya. "Aku terlalu sering menghabiskan waktuku di sini," jelasnya. "Terkadang Yosano-san butuh bantuan saat menghitung stok obat. Dia memaksaku untuk membantunya, tetapi sebagai gantinya dia juga memberikan kunci cadangan rak obat padaku."
"Bukankah itu bagus untukmu?" Kagami terkekeh geli. "Kau tidak perlu mencari Yosano-san atau guru kalau butuh sesuatu di UKS," tambahnya. Kagami berhenti berbicara sejenak untuk menelan obatnya, sebelum dia menghela nafas.
Keduanya duduk dalam keheningan untuk beberapa saat. Bukan tipe yang menenangkan atau membuat mereka santai, tetapi suatu keheningan yang canggung. Kagami berpikir untuk pergi dan kembali mengikuti latihan, hanya saja merasa enggan meninggalkan kakak kelasnya begitu saja. Di sisi lain, Akutagawa juga hanya memperhatikan bukunya yang tertutup di pangkuannya.
Suara detak jam dinding mengisi ruangan, diikuti nyanyian burung dari luar. Mereka masih tidak berbicara pada satu sama lain. Kagami tidak dapat menyalahkan Akutagawa, mengingat Akutagawa sendiri bukanlah tipe yang dengan mudahnya memulai percakapan atau selalu memiliki topik pembicaraan.
"Jadi... bagaimana dengan latihan klub kendomu, Akutagawa-senpai?" tanya Kagami setelah berpikir sesaat. Dia melihat Akutagawa hanya meliriknya untuk beberapa saat, sebelum mengalihkan pandangannya menuju sampul bukunya lagi—dia tidak menunjukkan kalau akan membuka dan melanjutkan bacaannya di sebelah adik kelasnya.
Akutagawa terbatuk sebelum menjawab, "Aku melewati beberapa sesi latihan belakangan ini, semua karena batukku," jelasnya. Salah satu tangannya menutupi mulutnya saat dia terbatuk lagi. "Tapi, semuanya baik-baik saja. Kalau bukan karena batukku, pastinya aku sedang latihan."
Kagami terkekeh, dia bisa membayangkan kekesalan siswa tersebut. "Semoga lekas sembuh, Ryuu-san," ucapnya. Dia tidak menunjukkan rasa bersalah atau kecanggungan karena memakai nama panggilan itu, meski Akutagawa menatapinya dengan kening yang berkerut. "Sebagai gantinya, kau harus tahu untuk tidak memaksakan dirimu. Akan berbahaya kalau kau berakhir dibawa ke rumah sakit, bukan?"
Siswa itu mendengus. "Aku tidak selemah itu. Dan aku tidak butuh rasa ibamu," gerutunya. Jelas, dia tidak suka dikasihani atau pun dipandang lemah. Ada suatu alasan mengapa Akutagawa memasuki klub kendo meski fisiknya tidak terlalu bagus.
Hanya saja Kagami tetap melepas tawa. "Baiklah, aku mengerti, Yatsugare-san," katanya, seringaian jahil terlukis di bibir tipisnya.
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu," lagi-lagi Akutagawa menggerutu. Dia bersungut kesal dengan suara pelan pada dirinya sendiri, sementara Kagami di sebelahnya terkekeh lagi. Untuk beberapa saat Akutagawa memperhatikan adik kelasnya dari samping, sebisa mungkin juga melakukannya dengan diam-diam, tanpa disadari Kagami sendiri.
Setelahnya topik mengalir dengan lebih alami. Seperti biasa, Akutagawa tidak banyak berbicara. Kagami tidak terlihat keberatan dan melakukan apa yang bisa dia lakukan untuk tetap berkomunikasi dengannya. Toh, Kagami juga tidak keberatan. Dia senang menikmati waktu bersama Akutagawa seperti ini.
"Apa yang akan klubmu tampilkan?" tanya Akutagawa ketika Kagami mengungkit latihan klubnya lagi. Saat Kagami memperhatikannya, dia tidak tahu kalau Akutagawa bertanya karena rasa ingin tahu atau hanya untuk berbasa-basi saja.
Dengan sebuah senyuman, Kagami menjawab, "Snow White."
Alis tipis Akutagawa terangkat keheranan. "Aku terkejut kalian tidak memakai hal klise seperti Romeo dan Juliet atau Hamlet," katanya. "Apa yang akan kau perankan?"
Tawa pelan keluar dari bibir Kagami. "Putri Salju juga tidak jauh klise dengan dua drama itu, bukan? Lagipula, Snow White lebih mudah dikenal," jelasnya. Senyumannya tidak menghilang sedetik pun ketika dia menjawab pertanyaan kedua dari Akutagawa. Malah, dia menjawab dengan suatu kebanggaan tersendiri. "Aku akan bermain sebagai Ratu Jahat, ibu tiri Putih Salju."
Sesaat Akutagawa terlihat kaget, namun tidak untuk waktu yang lama. "Kau terlihat bahagia sekali menjadi tokoh antagonis," gumamnya. "Biasanya orang-orang lebih menyukai menjadi tokoh utama; Putih Salju atau mungkin sang Pangeran."
"Apa salahnya kalau aku menyukai peranku?" tanya Kagami balik. "Sebagai bagian dari klub teater, sudah seharusnya tiap pemeran siap menerima peran apa pun. Kalau aku mendapatkan peran kurcari, maka aku akan menjadi kurcaci. Kalau aku mendapatkan peran Ratu Jahat, maka aku akan menjadi Ratu Jahat."
Akutagawa mengangguk pelan sembari mendengarkan penjelasan siswi itu. Dia tampak seperti akan mengatakan sesuatu, namun menahan dirinya. Setelah berpikir beberapa saat, barulah Akutagawa menatapi Kagami lekat-lekat. "Kau sangat menyukai akting, ya?"
Kagami mengerjapkan matanya. Netra magentanya menunjukkan keterkejutan, tetapi dia segera menutupinya dengan senyuman. "Tentunya," katanya. "Bagaimana denganmu? Apa kau menyukai kendo?"
Untuk beberapa saat, Akutagawa diam saja. Dia menatapi Kagami tanpa ekspresi, sementara di benaknya ia memikirkan kembali pertanyaan gadis itu. Pada akhirnya Akutagawa menjawab dengan mengalihkan pandangannya. Namun kata-kata yang ia ucapkan berupa, "Mungkin saja."
Sementara Kagami menatapi pemuda itu keheranan, Akutagawa melihat menuju jam dinding. Belum waktunya kegiatan klub usai, namun dia tahu keduanya sama-sama tidak diizinkan untuk mengikuti klub.
"Kalau tidak ada hal yang kau perlukan lagi, sebaiknya kau pulang sekarang," kata Akutagawa setelah berpikir untuk waktu yang cukup lama. "Kau perlu segera istirahat, jangan lupa meminum suplemen yang kau butuhkan," ingatnya, sementara itu tangannya kembali membuka buku bacaannya.
Netra magenta mengerjap beberapa kali. "Lalu bagaimana denganmu? Sebaiknya kau juga pulang sekarang bukan, Akutagawa-senpai?"
Sesaat Akutagawa melirik Kagami, namun dia mengalihkan pandangannya sembari terbatuk. "Aku akan baik-baik saja," dia tidak menghiraukan kekhawatiran Kagami dan melanjutkan bacaannya. "Aku akan pulang bersama Gin nanti, kau pulang duluan dan istirahatlah," katanya, kemudian diikuti rangkaian batuknya.
Kening Kagami mengerut, tatapan siswi menunjukkan ketidakyakinannya. Untuk beberapa saat gadis itu hanya duduk dengan kedua tangannya terkepalkan erat-erat di atas pangkuan. Giginya menggertak, alisnya juga berdenyut beberapa kali. Kagami baru berdiri dari duduknya, tetapi bukannya melangkah keluar dia berdiri di hadapan Akutagawa.
"Akutagawa-senpai, ayo pulang bersama," ajaknya. Suaranya tegas, tidak terlalu nyaring namun tidak begitu lembut juga. Ada tekad yang terlukiskan dengan jelas di mata beriris magenta miliknya, menunjukkan dia tidak akan menyerah begitu saja. "Bagaimana pun juga, kau yang lebih membutuhkan istirahat daripada aku. Di sisi lain, aku yakin Gin-chan tidak akan menyukai kelakuanmu yang keras kepala ini."
Akutagawa memicingkan matanya ke arah Kagami. "Kau tidak perlu membawa Gin juga ke urusan ini. Aku baik-baik saja," gerutunya.
"Dengan batukmu itu, kau menyebutnya baik-baik saja?" tanya Kagami.
Tatapan sinis dari Akutagawa membuat Kagami membeku di tempat, tetapi dia tidak berpindah dari tempatnya berdiri. Keduanya saling menatapi satu sama lain, bahkan tidak mematahkan pandangannya saat Akutagawa menggeram kepada siswi itu, "Kenapa kau keras kepala sekali? Aku tidak butuh rasa kasihan."
Helaan nafas keluar dari bibir Kagami. "Aku juga perlu bertanya hal yang sama, kenapa kau keras kepala?" tanyanya. "Memang, aku kasihan padamu, aku tidak akan mengelak dari hal itu. Tetapi aku juga khawatir dengan keadaanmu, Ryuu. Maka dari itu, ayo pulang saja."
Mereka menatapi satu sama lain dalam keheningan untuk waktu yang lama. Akutagawa jelas-jelas tidak ingin menyerah begitu saja. Tetapi keberuntungan sedang berada di sisi Kagami, karena akhirnya siswa berambut hitam itu menganggukkan kepalanya dengan pasrah. Dia terbatuk untuk beberapa saat, sebelum memasukkan buku bacaannya ke dalam tas miliknya.
"Kau hanya menang untuk saat ini," gerutunya kesal.
Kagami hanya tersenyum, sebelum dia berbalik untuk mengambil tasnya sendiri. "Kurasa Gin akan lebih lega kalau kau istirahat di rumah," katanya. "Sebaiknya kau segera mengabari Gin kalau kau akan pulang terlebih dahulu."
Saat Kagami berbalik, dia melihat Akutagawa sedang memegang ponselnya. "Sudah," katanya sembari memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku seragamnya. Ia pun berjalan menuju pintu keluar UKS, Kagami mengikuti dari belakang.
Selama berjalan menuju loker sepatu, keheningan mengikuti mereka. Hanya suara dari sebuah ruang kelas yang mereka lewati atau dari lapangan yang terdengar. Dari jendela lorong, Kagami juga bisa melihat aktivitas dari beberapa klub olahraga di lapangan.
"Kagami," keheningan pecah ketika Akutagawa memanggilnya. Perempuan itu menengok menuju seniornya, meski Akutagawa lebih terfokus menatap lorong di depannya. "Kenapa kau melakukan ini?"
Kedua mata Kagami mengerjap. Dia hanya diam untuk beberapa saat, sebelum tersenyum lebar kepada Akutagawa dengan rona merah menghiasi pipinya. Akutagawa hanya meliriknya, namun berakhir menghentikan langkah kakinya saat memperhatikan wajah adik kelasnya. Gadis itu pun menjawab tanpa adanya keraguan di kata yang terucapkan.
"Kenapa tidak? Tidak ada salahnya kalau aku peduli padamu, bukan?"
✧✦✧
Demy ngga nyangka ngetik Akutagawa bakal serasa secanggung ini...
Mungkin alasan utamanya karena ini High School AU jadi ngga kebayang Akutagawa bakal punya sifat yang 100% sama kayak di anime/manganya.
Mohon maaf kalau ada kesalahan kata atau salah penulisan, sampai jumpa di bagian selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro