Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sepasang Jari Kelingking

Sejujurnya, aku bahkan tak tahu apa yang kurasakan semenjak Sinah menyenderkan kepalanya ke bahuku. Seperti ada popcorn warna-warni yang meletus dalam perutku. Warna-warna itu lumer jadi satu, lumer, dan terbang melalui mata dan mulut. Tiap-tiap bercaknya berterbangan dan hinggap kemana-mana. Dunia terasa jauh lebih indah.

Padahal, aku sudah bilang ke diriku sendiri untuk tidak jatuh cinta secepat itu. Ibu juga demikian. Beliau tak menyarankan aku membawa perempuan ke rumah kecuali dia sudah setengah tahun jalan bersamaku. Tapi memang sedari awal, aku juga tak menaruh harapan apa-apa pada gadis berambut panjang dan halus ini.

Sinah sekarang tertidur lelap. Dia sepertinya kelelahan setelah party di indekosnya semalam. Kebetulan kami berada dalam satu gerbong yang sama, dari satu stasiun keberangkatan, mengemban tanggungjawab di satu almamater, tetapi stasiun kepulangan kami berbeda. 

Sebenarnya, kebetulan ini juga di luar dugaanku. Kupikir Sinah akan mengambil kereta lebih awal usai ujian semester. Tapi ternyata dia masih enggan berpisah dengan kota rantaunya. Padahal dulu dia sering bilang, dia ingin pulang ke kampung halaman minimal sebulan sekali. Dia merasa tak betah karena berbagai hal. Mulai dari culture shock, salah jurusan, dan lingkaran pertemanan yang dia nilai agak toxic.

Kulihat lagi Sinah di samping kiri. Rambut hitam halusnya menjuntai ke samping pundak. Aromanya familier, jeju rose. Seperti sampo yang sering dipakai Ibu dulu. Hoodie hitamnya ia dekap rapat, bersama dengan kerudung yang ia kalungkan di leher. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung yang tadi bermerkaran waktu masuk peron, sekarang nyaris hilang. Celana panjangnya juga kelihatan rapi. Mungkin karena selesai disetrika.

Pundak kiriku benar-benar merasakan getaran halus itu. Napasnya yang tertatih-tatih, tapi pelan. Bibir Sinah masih merah ranum. Mirip buah ceri yang dipetik langsung dari pohon. Tanpa kusadari, pipiku juga ikutan memerah. Ludahku kereguk dengan rakus.

Tiba-tiba, ada sedikit goncangan di kereta. Di luar, gerbong melintasi sebuah jembatan di tengah-tengah hutan, dengan sinar matahari pagi yang masih menerobos kaca jendela. Siluet-siluet pohon kelapa, trembesi, pepaya, dan pisang, berlalu-lalang dan lolos dari tangkapan mataku.

Tanpa kusadari, tangan kanan Sinah bergeser sedikit ke atas lutut kiriku. Sangat dekat, bahkan terlalu dekat dengan tangan kiriku. Napasku berhenti untuk beberapa saat. Begitu pula waktu.

Beberapa detik berlalu, dan aku baru sadar Sinah tetap tertidur pulas. Wajahnya adalah rembulan, pipi kanan dan kirinya begitu gemilang terkena pantulan arunika. Bulu matanya begitu lentik. Meskipun aku tahu makeup-nya tak begitu merata karena tergesa-gesa dan takut ketinggalan kereta seperti sebelumnya, tetap saja, Ya Allah, aku benar-benar tak bisa memikirkan apa-apa selain orang di sampingku pada detik ini.

Kuhela napas sedalam-dalamnya. Diam-diam, kullingkarkan jari kelingkingku.

Aku tersenyum.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro