Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sang Puan Rembulan

Lintang merasa kembali hidup dalam ketidaktahuan seperti tiga belas tahun lalu: belajar membelah hutan tebu dengan menerbangkan layang-layang, menunggangi kelapa genjah untuk menyentuh awan, dan mencelupkan diri menuju kedalaman sungai—sekalipun sungai itu sesekali bercampur buih deterjen, kantung plastik, dan ranting kayu.

Laki-laki itu baru ingat bahwa biasanya, ketika bulan ramadan tiba, festival layang-layang akan dimulai di seluruh penjuru desa. Banyak anak kampung yang berlomba untuk merakit layang-layang terbaik di hadapan juri, terkadang tak sedikit pula anak kecil yang saling sikut-sikutan demi memburu layangan putus--dari rumah ke rumah, sungai ke sungai, kemudian ke dermaga.

Pulang. Hampir pulang, desahnya dalam hati.

Lintang berkhayal jika ia bisa terbang laiknya burung, menyisiri pesisir dermaga bersama para nelayan yang melabuhkan kapal-kapalnya dan bersembunyi dari nyala lampu mercusuar mini di kejauhan saat matahari tenggelam. Atau hinggap di salah satu kedai makanan, menyaksikan rangkaian lentera berapi di tepi jalan pada malam minggu--sembari menertawakan anak-anak yang naik kereta bercahaya. Anak-anak dengan wajah sumringah, seakan mereka telah melakukan perjalanan keliling dunia dalam sehari semalam.

Sempurnalah malam itu jika Lintang membelikan adiknya, Azima, sepotong arum manis dan mengajaknya jalan-jalan menuju formasi batuan yang menjorok ke laut—tempat sebuah mercusuar kecil bersemayam. Di balik dermaga batu tersebut, ada hamparan bebatuan yang dihinggapi lumut hijau. Bukan cuma satu atau dua orang yang memunguti lumut di sana dan memasukkannya ke dalam kantung plastik. Sementara orang-orang itu sibuk memunguti lumut, Azima dan Lintang sibuk berburu kepiting-kepiting kecil di balik dermaga batu.

Entah berapa lubang yang digali kepiting-kepiting kecil itu sejak pagi. Mereka tampak peka. Jangankan gerakan tangan, langkah kaki kecil pun bisa membuat mereka serentak bersembunyi di sela-sela akar mangrove. Agaknya ada bunga tak sempurna—yang Lintang sendiri tak tahu namanya--merekah dari akar bakau di rawa-rawa tersebut. Warnanya putih dan cokelat. Akar-akar tersebut membelit batang pohon tempat bersarangnya beberapa noktah jamur kuping.

Kebetulan, pesisir pantai kota ini diberkahi barisan pasak-pasak kerucut yang menganga ke atas. Di permukaan kulit pasak-pasak tersebut, ada tonjolan-tonjolan lentisel yang pecah dan masih utuh. Di balik belitan-belitan sulur itu, ke arah matahari terbit, menuju pulau Bali, ada hamparan dermaga batu dan aliran sungai kecil yang mengalir dari rawa-rawa. Lintang dan Azima suka memain-mainkan koloni jamur dan berendam di sela-sela batang mangrove.

Lintang begitu merindukan momen-momen itu. Walau momen-momen itu bukan momen terbaiknya, ia ingin merasakan kehangatan lagi itu walau hanya sekali. Sembari duduk di dekat Jalan Tiga Berlian, Lintang menyanyikan lagu yang ia buat untuk adiknya, "Dengarlah, dengar. Sang perawan bulan, wasiatnya ... terbawa bayu segara."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro