Parak
Lintang melaju dengan kecepatan tinggi, mobilnya meliuk-liuk menembus jalan menuju jantung kota. Kegelisahannya terasa tak tertahankan, menggulung dalam kepanikan yang memuncak. Tetes-tetes keringat mengalir deras dari pelipisnya, tak tertahankan di tengah perlombaan melawan waktu dan para pengemudi lain yang berlomba-lomba menyalipnya. Matanya terus-menerus melirik lampu merah di tiap persimpangan. Ia ingin menyudahi rasa sakit di dada.
Laki-laki itu mendambakan laut yang bergejolak rendah, arusnya menyapu bebatuan yang masih kokoh berdiri di antara karak karang dan sampah-sampah plastik pancawarna. Nyala lampu mercusuar mini di kejauhan berkedip-kedip setiap tiga detik, memantulkan cahaya kehijauan yang menerpa perahu-perahu panjang di tepi dermaga. Ia masih ingat betul. Di pertigaan terakhir, ia tinggal berjalan ke utara sedikit, menyeberangi perempatan sebelum gerbang pantai, terus ke utara sambil menyusuri deretan kapal slerek, pasar ikan, warung makan, dan berhenti di semenanjung kecil tempat menyaksikan arunika. Hanya memakan waktu kurang dari sepuluh menit jika ia melangkahkan kakinya, dan kurang dari lima menit jika memakai mobilnya.
Saat laki-laki itu melempar pandangan keluar jendela mobil, dia sudah jauh dari Perempatan Lugjang. Ia melihat sekelilingnya. Cahaya matahari telah menutupi setiap atap rumah yang masih basah di Sasak Perot. Musim hujan sepertinya telah mengabadikan kubangan-kubangan lumpur yang berjejer di tepi aspal. Tak lama lagi, mungkin sore nanti, hujan bakal kembali berziarah.
Tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mungkin memang terlalu dini mengharapkan ada orang-orang yang ia kenal lewat di pinggir jalan, menyapanya, menanyakan kabar, atau bertukar cerita di hari Minggu. Lintang lantas mulai menyapa orang-orang terlebih dulu dengan seluruh indranya. Tukang sayur keliling, petugas kebersihan dari pemkab, abang penjual bakso, ibu-ibu buruh cuci, para petani, dan masih banyak lagi. Semuanya berlalu-lalang di bawah mega-mega yang diarak dari lereng gunung di barat menuju laut di sebelah timur.
Lintang menggelengkan kepalanya perlahan. Mengingat apa yang sudah terjadi, laki-laki itu merasa tak berdaya. Lintang mengingat bagaimana ia akhirnya bisa berangkat ke Jakarta, lepas dari tempat yang tak pernah ia sebut sebagai rumah. Mungkin lebih tepat ia sebut sebagai kantor atau stasiun. Ada rasa pedih di dada begitu ia harus pulang kampung ketika baru setengah semester di Jakarta.
Ayahnya waktu itu terinfeksi virus dan harus dilarikan ke rumah sakit. Sialnya lagi, tabungannya harus terkuras untuk membiayai pemakaman Ayah. Namun, meskipun sudah diterpa badai, Lintang sama sekali tak menangis di depan nisan ayahnya. Pandangannya kosong, kakinya lemas seperti daun jagung yang direbus. Baru ketika laki-laki itu masuk rumah, ia baru sadar kehilangan siapa.
Lintang mengambil napas lagi dan mengamati dengan lebih saksama.
Gas buangan mengepul dari setiap knalpot. Gesekan daun kering dan sapu lidi menggelitik telinga laki-laki itu. Beberapa orang tertawa, tersenyum, dan bersenda gurau. Setiap jiwa yang berhak hidup berusaha melawan dinginnya Maut, menentang ingatan bahwa suatu saat, mereka juga harus dikubur dan dilupakan. Mereka masih memiliki orang yang dicintai; mereka memiliki tugas yang mesti dipenuhi dan kenangan yang harus diciptakan.
Sedangkan Lintang, ia hanya memiliki dirinya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro