17. Mentari, bintang, dan meteor
"Oikawa-chan, akhirnya datang jugaa~"
Oikawa menatap datar Koushi yang sedang asyik melompat-lompat di atas kasur rumah sakit. Almondnya berbinar cerah seperti biasa dengan sehelai kertas dan pensil di genggamannya. "Kau sedang apa, Suga-chan?"
"Merusaki fasilitas rumah sakit sembari menunggumu datang," Jawabnya asal. Setelah itu, tawa datang tanpa diundang darinya. Oikawa menarik ahoge Koushi dan memaksanya duduk diam di kasur. "Jangan aneh-aneh!"
Bibir sang perak mengerucut, kemudian merebahkan dirinya di atas kasur dan menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut. Setelah itu, dia bangkit, duduk seperti biasa dengan selimut menutupi tubuhnya. Sedikit gerakan timbul dari dalam. Oikawa mengernyit, entah apa yang sedang pemuda ini lakukan.
"Aku ngambek," Jawabnya tanpa ada yang bertanya. Oikawa mengangkat bahu dan akhirnya duduk pula di kursi pejenguk. Dirinya meraih helai kertas di atas nakas, tertulis "ALiCE&u" pada pojok atas putih itu. Dibawahnya, terdapat goresan pena hitam sambung-menyambung.
Suara melengking Koushi tiba-tiba menusuk telinga Oikawa, "A! Jangan diambiiil!" Dengan gesit seperti bukan pasien rumah sakit, surai abu itu merebut kertas yang diambil sang brunet. Kini, selimut sudah menghilang dari tubuhnya, digantikan dengan peluh. "Aduh, panas!" Diucap Koushi. Tak heran jika pemuda itu lantas menyalakan AC dengan suhu paling dingin.
Koushi beralih menatap Oikawa yang sekarang sedang mengisi tts silang dari buku yang Koushi beli beberapa hari lalu. Tidak biasanya Oikawa diam seperti ini. Biasanya, pasti ada setidaknya 3 kalimat mencaci dirinya keluar dari kurva yang biasa menyunggingkan senyum pada para dara. Koushi mendekat pada Oikawa, "Oikawa-chan isi tts yang mana?"
Koushi mengerucutkan bibirnya ketika Oikawa hanya mencoret-coret halaman buku itu. "Jangan dicoret-coret! Isi yang bener, dong!!" Bukan maaf yang terlontar darinya, melainkan sebaliknya. "Kukira, Suga-chan termasuk anak eksis. Ternyata, nggak juga."
"Isi tts itu seru, tau! Kalau aku benar semua, nanti aku dapat hadiah," Bantahnya. Oikawa hanya bergumam tidak jelas dan meletakkan buku itu di tangan sang pemilik. Dirinya menghela nafas berat seraya menyenderkan kepalanya pada bahu Koushi. Surai perak tersentak dengan rona merah menyerbak tanpa diinginkan di kedua pipinya.
"O, oikawa-chan akhirnya menyukaiku!"
"Ngaco!!" Tapi malah menyamankan diri di bahu Koushi yang kecil. Orang biasa tidak mungkin merasa nyaman dengan itu. Koushi menggembungkan pipinya, tapi tangannya tidak bergerak menggeser kepala Oikawa. Kedua tangannya tetap menggenggam kertas itu.
"Ada apa?"
Pemilik surai perak tersenyum lembut walau pandangan Oikawa sedang memandang lurus kebawah. Tidak ada gerak lain yang Koushi lakukan selain sungging pada sudut bibirnya.
Oikawa terdiam sejenak, walau akhirnya menjawab pertanyaan itu. "Aku bertengkar dengan kakakku."
Mulut si lawan bicara seketika membentuk o lebar, "Oooohh," gumamnya kencang. Kemudian, pasien rumah sakit itu tersenyum lebar dan menawarkan diri menjadi tempat curhat Oikawa. "Mau curhat?"
Oikawa tidak bergeming dari posisinya. Mulutnya pun terkatup rapat, tidak ada niatan untuk berbicara selain berkata, "Orang dari keluarga harmonis sepertimu tidak akan paham."
Almond mengerjap, menelengkan kepala sembari meletakkan telunjuk di bawah dagu. Butuh beberapa detik sebelum Koushi menunjukkan reaksi yang seharusnya; pipi menggembung dan alis yang menukik. "Begini-begini, aku ahli dalam menanggapi orang curhat, tahu!" Bantahnya.
Koushi membuang wajah, "Kalau Oikawa-chan tidak mau cerita, sih, ya sudah. Namun, kalau nggak cerita karena alasan itu, aku marah!"
Oikawa menegakkan tubuh, menoleh pada Koushi yang mendumel kecil. Kekehan kecil lolos dari mulutnya, "Baiklah kalau begitu. Dengar baik-baik, ya! Jangan motong di tengah jalan!"
Koushi berbalik cepat, menatap wajah Oikawa dengan bibir mengerut, "Aku tahu tata krama!"
"Kakakku marah besar karena aku terang-terangan menghina suami alphanya."
Walau cemberut, Koushi tetap mendengarkan cerita sang raja besar dengan seksama. Sesekali pun mengusap punggung pemilik cokelat dengan lembut. Tidak ada komentar membela atau mencela keluar dari mulut Koushi.
"Kupikir, aku tidak salah. Wajar 'kan untuk seorang adik membenci kakak ipar yang sembarangan menghamili kakaknya?"
Koushi mendengungkan kalimat aneh, Oikawa berasumsi jika omega itu sedang berusaha menyusun jawaban yang tidak menyinggung kedua belah pihak. Tak lama, surai perak itu memberikan komentar netral, "Kakakmu paham perasaanmu, Oikawa-chan. Meski begitu, hmm, mungkin yang Oikawa-chan butuhkan saat ini adalah waktu untuk menerima kakak iparmu."
"Sikapnya memang brengsek, tapi bisa kau buktikan keloyalannya pada kakakmu dengan marga yang pria itu sandang, Oikawa-chan."
"Memangnya hanya dengan marga cukup untuk menggantikan anak yang lahir karena perbuatan kejinya?!"
Pandangan omega abu tetap terkendali walau Oikawa kini mengunci dirinya di tembok. Pasang hazel itu menyalang, nafasnya terengah karena menahan emosi yang memuncak.
"Aku ... karenanya, aneki mengubur dalam impiannya. Adik mana yang tidak akan murka karena itu, Suga-chan ..."
Oikawa menyenderkan kepalanya pada bahu seorang Sugawara Koushi. Sang omega tidak berkomentar apapun selain mengusap surai pemilik bahu yang bergemetar. Aroma manis pastry memenuhi ruangan. Bukan karena heat, tapi sengaja dikeluarkan Koushi untuk menenangkan feromon mint yang menguar menyedihkan.
Hening, walau waktu telah berjalan selama 10 menit. Tidak ada dari mereka yang angkat suara. Walau seperti itu, Oikawa justru menyamankan diri di pundak Koushi. Feromon mint perlahan-lahan normal kembali.
"Bolehkah aku bercerita lagi?"
Koushi hanya merespon dengan anggukan, sekaligus mempersilahkan sang lawan bicara untuk melanjutkan ucapannya. Jemari lentiknya setia mengusak surai kecokelatan itu.
***
"Tooru, jaga ucapanmu!"
"Kenapa pula aku harus menghormati alpha brengsek sepertinya, aneki?!"
Kondisi di ruangan 112 semakin panas. Seorang dewasa dan remaja tanggung konsisten melontarkan debat pada satu sama lain. Sementara pria alpha yang dimaksud diam bungkam, enggan untuk angkat mulut.
"Harusnya kau ingat impianmu, aneki. Karena DIA, kau mengubur mimpimu, 'kan?!"
"Kekasih macam mana yang tega melakukan hal itu?!"
Jemarinya tidak tahan untuk terang-terangan menunjuk penyebab dari pertengkaran kakak-beradik. Akari menyalang, "Hentikan!"
"Karenanya, kau menangis tiap malam. Karena dia, tubuhmu berubah. Karenanya, kau jadi gila, aneki!!"
"Cukup, Tooru!!"
Hazel terbelalak melihat sepasang ruby memandangnya dingin dan menusuk. Iris ruby yang mengancam topaz miliknya untuk bungkam sukses mengunci mulut Tooru. Alpha itu mendecih, meraih tas dan keluar dari ruangan. Setelahnya, terdengar suara Tetsuya yang mengucapkan maaf, dan Akari dengan isak tangisnya yang pecah.
Di sisi lain, Tooru menghentakkan kakinya. Kesal, frustasi, sedih bercampur menjadi satu. Rasanya seperti permen nano-nano.
"Alpha itu menyeramkan."
Fakta bahwa insting alpha-nya bereaksi ketika ada omega yang sedang heat, juga membuatnya ingin melakukan reinkarnasi segera. Dia mengatakan hal itu dengan kondisi sudah pernah menyicip beberapa omega, dan tidak berakhir menjadikan mereka sebagai mate.
Pikiran Tooru mengawan, berpikir untuk mencari kafe untuk menenangkan batin dan otaknya. Seporsi pancake cokelat adalah ide bagus. Meski begitu, sepertinya dia mengalami gegar otak sehingga tidak mampu untuk mengontrol gerak kaki sendiri. Entah apa yang membuat kakinya berjalan dengan sendirinya ke depan kamar seorang Sugawara Koushi.
***
"Sebenarnya aku kepingin pancake dari cafe dekat Seijoh. Tapi, kakiku malas untuk melangkah dan memutuskan untuk mampir ke kamarmu dulu secara sepihak," Ucapnya seraya mencomot potongan buah peach dari atas nakas. Koushi mengerucut, "Eeh, kau kemari kalau ada butuhnya doang, dong?"
"Tepat!"
"Hidoii! Pergi sana!" Pukulan lemah yang mendarat pada pundaknya terasa geli, tawa muncul karenanya. Meski begitu, senyum tetap terukir di bibir Koushi. Iris almondnya menyipit seiring senyum terukir.
Oikawa membenarkan posisi duduknya seperti semula, "Aku merasa lebih baik setelah bercerita padamu. Terima kasib, Suga-chan."
"Iie, harusnya aku yang minta maaf! Harusnya aku tidak memberi tanggapan sebelum- eh?"
Koushi menelengkan kepalanya, "Mezurashii na!"
"Tidak biasanya Oikawa-chan seperti ini. Kamu kesurupan?!" Almond membelalak panik, "Sadar, Oikawa-chan!" Kedua tangan mengguncang pundak Oikawa heboh.
"Woi, aku tidak kerasukan!"
"Oh ..." Kedua cengkraman dilepas dari bahu, "Habisnya aneh, sih. Kamu nggak pernah ngomong begitu sebelumnya."
"Kau tidak mau? Oke, lain kali tidak akan kukatakan."
"Bukan begituuu!"
Lengan kemeja ditarik, pipinya menggembung bersama sepasang topaz yang menyipit sebal. Oikawa mengerjap, rasanya aneh melihat kedua pipi Koushi merona merah seperti ini.
Pandangan mereka bertemu, tapi almond milik si beo abu dengan segera mengalihkan pandangannya ke sudut lain, seolah berlari menghindar dari tatapan intens Oikawa. Mulutnya komat-kamit, namun tidak mengeluarkan suara apapun. Seperti sedang menyusun kalimat yang tertata rapih tanpa kerusakan.
"Aku suka," Almond berdalih dan menatap lekat hazel lawan bicaranya. "Aku menyukainya! Maksudku, aku suka ketika kau berkata itu padaku!"
"Rasanya seperti kau telah mengakui keberadaanku, kehadiranku di hidupmu."
Dia tersenyum lebar, "Itu membuatku senang. Terima kasih, Oikawa-chan!"
Angin meniup gorden putih yang menutup jendela. Surai monokrom tertiup, wajah manis Koushi diterpa angin sejuk yang membuat atensinya beralih dari Oikawa. "Ah, anginnya sejuk sekali!"
Atensi Koushi benar-benar terhisap pada angin itu. Rasanya wajar jika dia tidak menangkap pemandangan rona merah menyerbak di pipi seorang Oikawa Tooru. Tak lama, hanya bertahan selama hitungan detik dan Oikawa berhasil menormalkan suhu pada wajahnya.
Tangan diletakkan di dada. Tidak, tidak perlu melakukan itu pun Oikawa dapat mendengar detak jantung yang berdetak lebih cepat dibanding biasanya. Saat ini, jantungnya berdetak kencang dan tubuhnya terasa geli. Kemudian, sensasi aneh ... yang menggelitik di perutnya.
Hazel melirik raut Koushi, omega itu sedang menikmati angin sepoi-sepoi yang mampir mengunjunginya. Kilauan mineral dalam topaz Koushi, senyum cerah miliknya, kata-katanya yang lembut, lalu ... dia yang menghangatkan. Seolah seperti monokrom itu adalah matahari yang bertugas untuk menyinari semesta dengan cahayanya.
Tidak, mungkin deskripsi bintang lebih cocok untuknya. Atau bulan? Meteor? Rasanya semua benda langit yang bercahaya cocok jika disamakan dengan Koushi.
Oikawa tersentak, geli semakin menjadi. Suhu wajahnya kembali naik, mungkin rona merah itu juga menyebar di sekitar telinganya. Sensasi aneh dan mengganggu, tapi dia juga menyukainya di saat yang bersamaan.
"Aneh ..."
Sensasi apa ini?
.
.
.
.
.
AKU KEMBALII!
Yabaii, kegiatan SMA sulit juga. *Lap keringat* aku sudah lama nggak nulis, jadi mohon maaf ya kalau tulisannya aneh. :")
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro