Chapter 9
Selamat datang di chapter 9
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (berserakan)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
Jika laki-laki itu masih menganggapnya penting,
tentu akan mengabarinya nanti
~Cecilia Bintang~
______________________________________________
Jakarta, 6 Agustus
07.45 a.m.
Dompet check.
Baju hangat check.
Alat mandi check.
Sendal jepit check.
Charger check.
Headset besar check.
Paket internet check.
WA dari Barja not check.
Telepon dari Barja not check.
Memandangi ponsel dengan serentetan daftar yang baru saja dia buat untuk pergi camp ke Puncak pagi ini, Cecilia Bintang memejamkan mata serta meloloskan satu napas kasar setelah membaca dua daftar terakhirnya yang belum disilang.
Berpikir, sejak tiba-tiba gencar mendekati Aira, Barja jadi jarang berkomunikasi dengannya. Padahal dulu setiap hari mereka bisa saling chat WA sepanjang waktu. Membahas perihal A sampai dengan Z. Baik yang penting, maupun tidak penting.
Mengingat perbuatan Barja kemarin sore, apakah laki-laki itu hanya berniat menyuapnya dengan seblak mang Uung? Maksud Bintang, tidakkah Barja ingin mengirimnya pesan seperti biasa? Menjemputnya seperti biasa?
Semarah-marahnya Bintang pada laki-laki itu, dia juga tidak setega itu mengacuhkan Barja begitu lama.
Gadis itu ingin menelpon sahabatnya tersebut untuk menanyakan apakah bisa menjemputnya dan berangkat bersama ke sekolah atau tidak, tetapi harga dirinya melarangnya.
Bagaimanapun, Barja yang bersalah kemarin. Kenapa harus Bintang yang menelepon laki-laki itu terlebih dahulu?
Satu dengkusan lolos dari bibir Bintang. Ayolah tujuan camp ini adalah bersenang-senang. Tidak seharusnya mood-nya kacau. Lagi pula, semalam dia sudah makan seblak mang Uung bersama Galaxy. Tidakkah itu membuat perasaan Bintang menjadi lebih baik?
Kalau dipikir-pikir adik kelas itu secara tidak langsung menjadi penyelamat mood-nya yang rusak karena Barja. Jadi mungkin, Bintang akan bersikap sedikit normal—tidak membentak dan lain sebagainya—jika seandainya Galaxy mendekatinya lagi.
Btw, he’s kinda cute.
Tunggu sebentar, imut? Apa dia baru saja berpikir atau berharap Galaxy mendekatinya lagi?
Gadis itu segera menggeleng untuk menepis pikiran ngaco tersebut lalu melirik jam tangan yang menunjukkan pukul tujuh lebih empat puluh lima menit. Artinya Bintang harus bergegas memesan ojek online jika tidak ingin ketinggalan bus sekolah yang membawa mereka ke Puncak.
Buru-buru menggeser layar untuk melaksanakan itu, tidak sampai lima menit kemudian, ojeknya datang.
Bintang bergegas menaikkan zipper jamper abu terangnya hingga mencapai leher dan menyambar ransel, kemudian pamit mamanya untuk berangkat.
Karena sekarang hari sabtu, jalanan cukup lancar sehingga hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit untuk tiba di depan gerbang sekolah yang ramai.
Usai membayar, gadis itu mengamati seluruh anggota tim basket untuk mencari sosok Barja tetapi tidak ketemu. Hingga pelatih meminta semuanya untuk berkumpul dan naik bus, Barja tidak kunjung datang.
Ke mana sesungguhnya laki-laki itu?
Selesai meletakkan ransel serta menyisakan headset besar mirip penyiar radio tapi minus mic yang bertengger di leher jenjangnya, Bintang memilih mendaratkan tubuhnya di dua deret kursi nomor lima dari depan—tepat sebelah kaca.
Satu dengkusan lolos dari bibir gadis tersebut kala pikirannya tidak semudah itu mengabaikan Barja. Pada akhirnya memutuskan untuk meneleponnya, tapi ponsel laki-laki itu ternyata mati.
Bintang berdecak sebal.
Ya sudah. Kali ini dia menyerah. Jika laki-laki itu masih menganggapnya penting, tentu akan mengabarinya nanti. Jika tidak, siap-siap saja dia akan mengabaikan Barja selamanya.
Headset yang tersambung pada ponsel dia kenakan, aliran musik R&B segera menyerbu pendengarannya. Langkah selanjutnya Bintang mengenakan tudung jamper abu terangnya dan menghadap keluar jendela hingga beberapa menit kemudian mulutnya menguap lebar.
Ini pasti akibat tadi malam ikut begadang membantu mama serta kakak perempuannya merangkai bunga pesanan pelanggan. Karena tidak bisa memadukan kecantikan bunga-bunga, sebenarnya gadis tomboy itu hanya menjadi semacam tukang angkut yang bertugas memindahkan hasil rangkaian tersebut di atas etalase hingga tengah malam. Jadilah, rasa luar biasa kantuk yang tidak bisa dia tahan lagi.
Kedua tangan Bintang terlipat di dada, menunduk kemudian memutuskan untuk memejamkan mata. Entah sudah berapa lama, bus yang berlari melewati jalanan bergelombang membuat kepalanya terantuk kaca beberapa kali. Sedikit terusik, Bintang pun mengernyit tak nyaman dalam tidurnya. Hingga tiba-tiba sebuah tangan besar dan hangat dengan hati-hati memindahkan kepalanya pada sesuatu yang nyaman. Aroma campuran antara kayu dan pinus segera menyerbu indra pembau gadis itu.
Sepertinya Bintang mengenali aroma parfum ini. Namun karena terlampau mengantuk, dia jadi malas berpikir maupun menduga-duga. Hanya membiarkan dirinya jatuh dan tertidur lebih lelap dengan aroma menenangkan ini. Tanpa sadar bibirnya pun membentuk sebuah senyum kecil.
Sudah Bintang putuskan bahwa dia menyukai aroma ini.
Sementara itu, pemilik aroma tersebut ikut menyandarkan kepalanya pada kepala gadis itu. Senyuman juga tak luput tampil menghiasi wajahnya.
Entah kenapa pipinya semakin naik mengingat ngototnya kakak kelas ini saat menolak dia traktir seblak mang Uung semalam dan malah berlaku sebaliknya.
Katanya, “Masih kecil nggak usah belagu nraktir gue. Udah nih duit lo, tabung aja. Kan gue yang ngajak ke sini, jadi anggep aja ini bayaran lo jemput dan nganter gue pulang.”
Meskipun harga dirinya terluka, tapi dia sama sekali tidak bisa melawan. Entah karena suka melihat gadis itu mengomel atau semakin takjub dengan kata-kata yang dilontarkan padanya.
“Lain kali gue yang traktir ya Kak?”
Dia melihat senyum lebar terbentuk dari bibir Bintang.
“Gue pengennya ditraktir yang mahal!” seru gadis itu sambil melilitkan jaket miliknya dan berjalan menuju pelataran parkir. Angin malam segera menyambut, menyebabkan beberapa helaian anak rambut gadis itu berkibar. Bintang segera merapikannya.
“Nggak masalah Kak.”
Gerakan Bintang yang sudah menaikkan satu kaki di atas scooter dan akan meluncur pun terhenti.
“Bercanda Kiddo! Jangan terlalu polos jadi orang! Entar gampang dimanfaatin lho!”
“Makasih ya Kak, udah khawatir. Kalau dimaanfaatin Kakak nggak apa-apa kok.”
Dia melihat Bintang menepuk jidatnya sendiri sambil menggeleng, kemudian menjawab, “Terserah lo aja deh, yok pulang, udah malem.”
“Beneran Kak, manfaatin gue aja.”
“Jangan ngawur Kiddo.”
Ingatan itu membuat tangan besar dan hangat milik Galaxy reflek mengusap pipi Bintang secara perlahan.
Manfaatin gue ya Kak. Kayak gini juga nggak apa-apa kok.
Jreeeenggg ....
“Ekheem ... ekhem ....”
Jjreeenggg ....
Suara genjrengan gitar dan deheman seseorang membuat senyum Galaxy luntur perlahan. Kepalanya kembali tegak seirama dengan tangannya yang masih bertengger pada pipi gadis itu perlahan dia turunkan, untuk melihat siapa orang yang memainkan alat musik tersebut.
“Ekhem ... cek ... cek ....”
Jreeengg ....
“Di depan orang tuamu kau malukan diriku ....”
“Kau bandingkan aku dengan dirinya ....”
“Kau hina diriku kau sebut tentang harta ....”
“Kekasih sedar kutiada berpunya ....”
Waduh dalem bener lagunya Thomas Arya ini ya kalau dia yang nyanyiin. Galaxy berpendapat dalam hati sementara semua penghuni bus tertawa. Bahkan ada juga yang ikut maju mendampingi salah seorang anggota tim putra yang sedang memetik gitar sambil bernyanyi dengan sendu sebab menghayati lagu.
Galaxy merasakan adanya pergerakan dari Bintang. Pandangannya turun dan mendapati gadis itu tengah sedikit gelisah dalam tidurnya. Tangan Galaxy sontak terulur menyentuh pipi Bintang lagi, mengelusnya perlahan bermasud menenangkan.
“Sstt ... kalau masih ngantuk tidur lagi aja Kak, masih jauh kok perjalanannya,” bisik Galaxy. Lamat-lamat iris cokelat terangnya menangkap kedua sudut bibir gadis itu terangkat membentuk senyum.
Meskipun, tentu saja bisikan Galaxy tidak berguna karena Bintang mengenakan headset. Tapi, dia hanya ingin melakukannya tanpa sebab.
Puncak Parking Area, 6 Agustus
12.02 p.m.
“Hooaaammm ....” Bintang menguap lebar. Kelopak matanya terasa berat, akan tetapi dia paksakan untuk membuka ketika guncangan pelan yang berubah cepat menyerbu ketenangan tidurnya.
Setelah melepas headset, gadis tomboy itu baru bisa mendengar Yola—salah satu pemain inti SMA Geelerd—meneriakinya.
“Ya ampun Tang, pantesan aja lo kagak denger pak pelatih teriak-teriak pake toa. Orang telinga lo sumpelin pake heatset segedhe gaban gitu. Kuy, turun makan siang dulu.”
“La, gue ama lo ya? Jaja nggak ikutan nih.” Sambil mengucek mata, Bintang celingukan dan hanya mendapati mereka berdua yang masih berada di dalam bus.
Seturunnya dari kendaraan itu, tak serta merta membuat Bintang kontan mengikuti Yola menuju salah satu rumah makan—entah di kota mana, gadis itu masih belum terlalu peduli. Saat ini yang terpenting tangan-tangannya terangkat untuk meregangkan otot-otot yang kaku karena terlalu lama duduk.
Sementara di dalam rumah makan itu, Zhardian yang tidak sengaja menangkap sosok Bintang, reflek menyenggol lengan Galaxy yang sedang melahab nasi uduk.
“Gal, kak Bintang baru turun,” bisiknya tanpa memindah pandangan pada Bintang.
Sambil mengunyah, Galaxy mengikuti arah pandangan Zhardian dan mendapai Bintang berjalan masuk dengan mata setengah terpejam lengkap bersama headset yang bertengger di leher jenjang gadis itu.
“She’s adorable cute.”
Zhardian hampir tersedak nasi uduknya sendiri. Buru-buru dia meraih es teh dan menenggak isinya baru berkomentar. “Relatif Gal. Bagi lo yang tingginya pas buat kak Bintang yang judes emang gemesin plus cute banget. Tapi bagi gue, yang tingginya seimbang nggak bisa bilang kak Bintang cute. Apalagi gemesin.”
Zhardian menggeleng dan memilih sibuk kembali dengan nasi uduknya. Berpikir, selera Galaxy memang aneh.
“Lo tahu nggak Zhar, aroma parfumnya kak Bintang itu cokelat. Rada-rada pait, tapi juga manis. Cocok banget ama karakternya,” terang Galaxy semangat. Sementara Zhardian tampak mencibir.
“Iya, seneng banget yang semalam abis kencan terus dijadiin senderan. Udah mirip tembok aja lo Gal.”
Lagi-lagi menghiraukan celotehan Zhardian, Galaxy bergumam, “Kok kak Bintang nggak ngeliat gue ya? Nyesel gue kagak turun bareng dia. Keburu laper banget nih perut.”
“Lo aja yang segedhe ini kagak keliatan ya? Tapi kak Barja yang lebih pendek dari lo selalu keliatan di mata cewek-cewek.” Rasanya Zhardian ingin meninju mulutnya sendiri karena telah menyebutkan nama terlarang bagi Galaxy. Kadang dia merasa geram karena mulutnya yang kurang bisa diajak kompromi, “eh kak Aira nggak apa-apa Gal?” Zhardian reflek mengubah topik pembicaraan. Tapi justru malah memperburuk keadaan.
“Kenapa emang?” Nada Galaxy berubah ketus.
Heran, Zhardian ini sahabatnya bukan? Kenapa suka sekali jadi kompor? Memangnya Zhardian mau Galaxy jadikan bahan bakar? Biar meleduk? Iya?
“Ya nggak apa-apa sih, kan gue khawatir ama lo. Gue nggak pengen ikutan ngurusin masalah lo ama kak Aira Gal, tapi sebagai sahabat kan gue udah ngingetin dan bilangin lo gimana baiknya.”
“Iya gue ngerti kok. Cukup dukung gue deketin kak Bintang aja Zhar. Kak Aira itu urusan gue.”
Zhardian mengembuskan napas lalu menepuk pundak Galaxy. “Iya Gal.”
Puncak, 6 Agustus
13.06 p.m.
Berlawanan dengan Jakarta yang longgar, Puncak pada hari sabtu luar biasa macet. Meskipun sudah lewat jalan tol, perjalanannya membutuhkan waktu lebih dari tiga jam. Ditambah berhenti untuk makan siang, pukul tiga belas mereka baru tiba di salah satu villa yang terletak tidak terlalu di tinggi dari tempat penginapan lain.
Bus sudah terparkir rapi dan anggota tim begitu bersemangat untuk berhamburan keluar. Lain halnya dengan Bintang. Gadis itu memilih menjadi yang terakhir turun sebab malas bejubel.
Resmi menapaki tangga terakhir dari kendaraan SMA Geelerd itu, angin dingin segera menusuk permukaan kulit gadis tomboy tersebut. Wajahnya menampung rasa sejuk, begitu juga dengan sepasang tangannya yang telanjang. Bintang pun tersenyum dan menghidu udara banyak-banyak.
“Cuacanya enak ya Kak.”
“Astaga dragon!” Bintang terjingkat mendengar seseorang yang tiba-tiba bicara di belakangnya. Berikutmya melotot kaget begitu mendapati Galaxy sudah memindah berat tubuh ke sebelah kirinya. “Kiddo, kok lo bisa di sini?”
“Gue kan anggota baru tim basket. Btw, Kakak suka ditenangin ya kalau tidurnya nggak nyenyak?”
“Ha? Maksud lo?”
“Bukan apa-apa kok, ayo masuk Kak.”
Dasar aneh. Bintang memaki dalam hati. Saat kaki-kaki jenjangnya ingin menapak maju, dia baru mengingat sesuatu lalu menatap wajah Galaxy yang ternyata masih memandanginya sambil tersenyum.
Jangan bilang tadi itu—stop jangan mikir Tang!
Namun tidak bisa. Mata Bintang lebih melotot seirama dengan pikirannya yang mengembara pada waktu perjalanan tadi. Ketika tidurnya tidak tenang kepalanya bersandar pada sesuatu yang nyaman serta aroma menenangkan itu singgah.
Siapa lagi pemilik parfum campuran antara kayu dan pinus tersebut selain adik kelas ini? Bahkan dia juga merasakan usapan halus di permukaan pipinya yang mulus.
Jangan-jangan itu benar-benar Galaxy Andromeda.
Bagaimana ini? Padahal dia sudah memutuskan untuk menyukai aroma parfum itu lengakap beserta usapan hangatnya.
“Jangan bilang lo tadi ... tadi yang ... itu—”
“Sedih juga Kakak baru nyadar sekarangan kalau itu gue.”
“Apa?!”
Menghiraukan Bintang yang terkejut, wajah Galaxy berubah khawatir. “Eh? Kakak sakit? Muka Kakak merah. Perlu digandengkah?”
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Eclipster
👻👻👻
25 Agustus 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro