Chapter 1
Selamat datang di chapter 1
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (I'm a Queen of Typo 👸)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
Bukankah rencana yang disusun rapi sering kali kacau oleh sesuatu atau seseorang?
~Cecilia Bintang~
______________________________________________
Jakarta, 29 Juli
10.20 a.m.
Prriiittt
Suara peluit menggema di seluruh gedung olah raga indoor SMA Geelerd. Menandakan permainan basket putri tuan rumah melawan SMA Harapan Bangsa pada babak terakhir pertandingan final antar sekolah segera dimulai.
“SMA Geelerd ... yes!” teriak pelatih di antara suara bisingnya penghuni GOR, diikutin tos yang dipadukan oleh asisten dan semua pemain pasca berdo’a.
Usai menyemarakkan tos, lima pemain inti berlari-lari kecil menuju lapangan. Bersamaan dengan riuh ricuh penonton yang mendukung kedua tim semakin merajalela.
Pada tepi lapangan yang longgar terdapat anggota pemandu sorak dari sekolah masing-masing. Dengan gerakan kecil selaras dengan pom-pom besar yang berkibar-kibar, sebagai bentuk dukungan, mereka kompak berteriak, “We are SMA Geelerd! We can do it!”
Itu pula yang dilakukan pemandu sorak SMA Harapan Bangsa untuk mendukung sekolah mereka.
Pada pagar pembatas tribun paling bawah, terdapat spanduk bertuliskan penyemangat bagi SMA mereka. Berikutnya tribun sebelah kanan terlihat para murid membawa pom-pom, balon bentuk memanjang, terompet suporter mirip milik penjual cilok dan ada juga yang memegang spanduk khusus untuk menyemangati Cecilia Bintang. Dengan kata lain, mereka merupakan anggota BFC alias Bintang Fans Club.
Pemain nomor tujuh SMA Geelerd idola mereka saat ini tengah berlari menyusuri daerah lawan. Tanganya terangkat, memberi isyarat pada salah satu temannya yang membawa bola agar mengoper bola itu padanya. Selewat beberapa detik, ketika Bintang sudah berada di sekitar bawah ring, bola yang melambung dia tangkap dengan apik lantas menembak tepat ke keranjang.
Saat itu pula wasit mengangkat dua jari, menandakan tambahan poin untuk SMA Geelerd. Semacam menjadi pemicu semangat supaya bisa mengejar lawan yang hanya tertinggal dua poin.
Tidak ingin berlarut dalam euphoria, Bintang bersama timnya kembali ke daerah bertahan kala para anggota BFC meneriakkan namanya menggunakan toa.
“Kak Bintang, semangaaat Kak! Kakak pasti bisa! Go! Go! SMA Geelerd!” teriak salah seorang murid perempuan yang berstatus sebagai ketua BFC, bersahut-sahutan dengan anggota lainnya. Sementara bagian seksi dokumentasi berusaha menulikan pendengaran agar fokusnya tidak pecah saat mengambil gambar sang idola.
“BINTANG HANDS UP!” teriak pelatih yang beridiri di tepi lapangan.
Walau suara tersebut bertimpang tindih dengan semarak yang ada, Bintang dapat mendengarnya samar-samar. Jadi dia merentangkan tangan ke atas dengan jarak aman ketika pemain lawan sedang menggiring bola ke arah ring dan akan menembak. Karena tinggi idola SMA Geelerd itu mencapai 175 cm, dia tidak kesulitan menghalau bola yang melambung tinggi, menangkap serta membekapnya sebelum akhirnya berputar untuk menghindari lawan yang menghalau, lalu menggiring benda bulat membal tersebut ke daerah lawan.
Dengan serangan balik yang cepat dan kaki yang panjang sehingga tidak ada yang sanggup mengejar, kurang dari delapan detik gadis berkuncir ekor kuda yang surainya berkibaran akibat terpaan angin itu sudah memasukkan bola ke keranjang.
Hati pendukung SMA Geelerd membuncah kala beberapa detik lagi kemenangan sudah di depan mata. Begitu juga dengan Bintang yang semakin bersemangat dan terus berusaha mencetak poin untuk mengharumkan nama sekolah.
Ketika peluit tanda pertandingan usai menumbuk gendang telinganya, sudut bibir Bintang tertarik ke atas seiring dengan pameran gigi putih terawat yang terus mengiasi wajah manisnya. Bebarengan dengan suara ramai penghuni gedung serta terompet kembali membanjiri seisi ruangan luas tersebut.
Menghiraukan beberapa anak rambut yang lengket di wajah akibat keringat, para pemain SMA Geelerd terlihat saling bersalaman dan berpelukan dengan lawan, kemudian kembali ke deretan kursi panjang tanpa lengan yang berada di sisi lapangan. Mereka juga saling berpelukan dengan sesama pemain cadangan dan pelatih beserta asistennya. Walau napas ngos-ngosan, titik-titik hasil metabolisme masih bercucuran serta rasa lelah, tapi rasanya sepadan dengan kemenangan yang diraih.
Sembari menunggu kelompok pemandu sorak tampil di tengah lapangan, pelatih meminta asisten dan semua pemain baik putra maupun putri berkumpul untuk memberi pengarahan. Butuh beberapa detik agar mereka bergerombol. Pria paruh baya tersebut lantas berdiri, sedangkan yang lain duduk di kursi pemain.
“Oke, udah kumpul semuanya?” Beliau setengah berterak sembari mengendarkan pandangan ke wajah-wajah di hadapannya.
“Sudah Pak,” jawab mereka kompak.
“Baik, pertama puji syukur atas kehadirat Tuhan yang mana Esa, tim putra dan putri kita diberi kemenangan. Saya bangga pada semuanya. Hari ini kalian mainnya bagus. Karena kita sudah berusaha keras, sesuai dengan janji, saya akan memberi kalian libur latihan selama dua hari.”
Salah seorang pemain tim putra mengangkat tangan dan bertanya, “Apa hari sabtu minggu seperti biasa Pak?”
Pelatih metingis. “Tenang dulu, saya belum selesai ngomong kok.”
Beberapa pemain saling bercanda namun kembali diam dan memperhatikan pria paruh baya tersebut. “Saya serius, besok sama jum’at saya liburkan. Nah, buat ngerayain kemenangan kita, sabtu dan minggu saya bakalan ngadain camp selama dua hari satu malem di Puncak! Sekalian welcome party adik kelas yang baru daftar basket.”
“Huaa ....” Semua pemain kembali ricuh sebab semangat menantikan hari tersebut. Mereka hanya tidak menyangka akan mendapat libur sebanyak ini.
Pelatih pun berkacak pinggang, wajah yang sedikit keriput itu tersenyum lebar sambil memandangi para pemain yang gembira.
“Anggep aja liburan. Setelah itu kita bakalan latian lagi buat persiapan kejuaraan daerah. Oke, sekian pengarahan dari saya. Untuk mengakhiri ini, mari kita berdo’a menurut kepercayaan masing-masing. Berdo’a, mulai.”
Selama beberapa detik mereka hening untuk berdo’a. Setelah itu pelatih pun mengulurkan tangan. Asisten dan para pemain sontak berdiri kemudian mengikuti beliau untuk tos.
“SMA GEELERD ...!”
“YES!”
Jakarta, 29 Juli
11.20 a.m.
Beberapa menit kemudian acara penyerahan tropi telah usai. Bintang meraih gelar pencetak skor terbanyak sepanjang pertandingan, mulai dari babak penyisihan hingga final. Jadi pemain nomor tujuh itu mendapatkan tropinya sendiri.
Sebenarnya, saat inilah yang dia tunggu-tunggu. Saat di mana kemenangan berhasil dia peluk. Setelah berdebat dengan dirinya sendiri dan dimenangkan oleh sisi egonya—membuat taruhan apabila berhasil membawa SMA Geelerd menjadi juara satu—Cecilia Bintang akan menyatakan perasaannya pada Barja Agritama. Sahabat sekaligus teman sekelasnya, usai penyerahan tropi.
Ini tidak bisa dituda lagi. Mengingat sudah dua tahun lalu mereka bersahabat, seiring waktu itu juga perasaan Bintang yang tumbuh terhadap Barja karena BFC menjadi mak comblang mereka. Selama ini keduanya juga tidak pernah memiliki pacar. Alasannya cukup sederhana. Pertama, Barja terlalu sibuk dengan basket sama seperti Bintang. Kedua, selain memiliki fans club yang terus menjadi bayangannya selama disekolah, Bintang juga sering disangka sebagai laki-laki. Dari fakta tersebut dapat ditarik kesimpukan bahwa BFC memang sering menyatakan perasaan suka padanya namun tidak pernah ada laki-laki yang berniat menjalin hubungan dengannya.
Salahkan saja mamanya karena sudah menamai dirinya dengan Bintang. Jadi jangan salahkan gadis itu apabila dia juga tomboy. Dulu rambut hitamnya hanya sebahu. Bila ditutupi tudung jaket, dia sudah kelihatan seperti laki-laki. Namun sejak menyukai Barja, Bintang memutuskan untuk memanjangkan rambutnya.
Seakan berkomplot dengan nama, badannya juga melebihi standar perempuan Indonesia. Tinggi yang mengancam dengan pembawaan santai dan asyik.
Kaum Adam merasa, berteman dengan Bintang itu sama saja berteman dengan laki-laki. Mengobrol dengannya sama saja mengobrol dengan kawan lama. Tidak ada percikan api cinta, tidak ada perasaan terpesona atau segala macam reaksi yang timbul seperti bila berdekatan dengan wanita. Dengan kata lain mereka menganggap Bintang tidak menarik sebagai perempuan—kecuali anggota BFC—namun sangat menarik dijadikan idola, sebab prestasi yang tidak perlu diragunkan lagi.
Oleh sebab itu, tidak ingin berakhir menjadi jomlo legend dengan perasaan yang kian lama kian membeludak sia-sia, Bintang bertekat tidak akan menunda pernyataan cintanya pada Barja. Satu-satunya laki-laki yang dia inginkan dan dia pikir akan menerimanya. Meskitpun pada kenyataannya, Barja tidak pernah menunjukkan sikap lebih dari seorang sahabat, akan tetapi Bintang cukup percaya diri.
Sebagai permulaan, gadis berpostur tinggi tersebut kembali ke kursi, meletakkan tropi di sebelahnya duduk, kemudian mengguyur tenggorokan dengan sebotol air mineral untuk meredakan rasa gugup yang tiba-tiba membanjiri seluruh saraf pada tubuhnya. Handuk kecil yang tadi sempat melingkari leher jenjang Bintang kini sudah tergeletak di atas tas.
Di antara kerumunan, sepasang iris gelap gadis tersebut menjelajah, mencari sosok yang dicari. Ketika terhenti pada satu titik, jantungnya kembali memompa dua kali lebih cepat. Menyebabkan seluruh darahnya terasa berdesir.
Here we go. Batin Bintang lantas mengambil sikap bangkit, membuang satu napas berat yang singkat lalu memasukkan botol, tropi dan handuk ke dalam tas lantas menentengnya di pundak, sebelum akhirnya berhasil berjalan ke arah Barja yang sedang terlihat menyalami beberapa kawan dengan senyum secerah langit hari ini.
Sesekali Bintang berhenti untuk memeluk teman-teman yang kebetulan sedang memberinya ucapan selamat.
Pada waktu yang sama, terdapat sedikit keributan di tengah lapangan. Ada seorang anak laki-laki yang tiba-tiba merebut alat pengeras suara alias toa dari ketua BFC. Sedikit adu mulut dan tarik-menarik hingga akhirnya berhasil memegang pengeras suara tersebut.
Hal itu jelas Bintang hiraukan. Saat ini yang terpenting adalah Barja. Meskipun sulit, gadis bongsor itu berusaha mengesampingkan suara-suara gaduh dan terus berjalan membelah kerumunan menuju sahabat sekaligus bucin kronisnya.
“Kak Bintaaangg ....”
Terdengar seseorang memanggil namanya melalui pengeras suara. Bertimpang tindih dengan suara yang lain namun lebih mendominasi.
Abaikan. Paling juga BFC. Hati Bintang memperingatkan. Karena sebentar lagi dia akan tiba di depan Barja. Sedikit lagi. Kurang lima langkah lagi.
“Kak Bintaaangggg ....”
Abaikan. Fokus ke Barja. Kurang empat langkah lagi. Akan tetapi tidak bisa menambah kecepatan jalannya sebab terlalu gugup.
“Kaaakkk Bintang! Liat sini dan dengerin gue!”
Abaikan, kurang tiga langkah lagi. Tapi dia malah berjalan semakin pelan. Berlawanan dengan jantungnya yang berkejaran.
“Kak Bintang ... mau nggak jadi pacar gue?!”
Seluruh suara yang mengisi GOR kontan sunyi, perintah abaikan dalam hati serta gerakan langkah Bintang mendadak berhenti. Dia berpikir, mungkin saja suara tersebut sedang mengelabuhi pendengarannya. Namun saat sekali lagi suara itu berkoar, “Kak Bintang ... mau nggak jadi pacar gue?!”
Bintang tahu dia tidak salah dengar, bahkan seluruh penghuni GOR yang kini membelah jalanan untuk bisa menatap dirinya dan pemilik suara berat tersebut secara bergantian. Termasuk Barja, semua warga Bikini Bottom, negara api, seluruh dunia persilatan maupun penduduk Pluto pun tidak salah dengar.
Karena tidak ada satu pun manusia penghuni GOR yang angkat bicara, laki-laki yang posisinya membelakangi Bintang kembali memecah keheningan. “Halo ... Kak Bintang ... bisa denger gue? Kak Bintang, mau nggak jadi pacar gue?!”
What the duck?! Cari mati tuh bocah!
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote dan komen
See you next chapter teman temin
With Love
©® Chacha Eclipster
👻👻👻
4 Agustus 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro