Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Jeha

Untuk bernapas pun rasa-rasanya Jeha enggan sekali. Sudah berapa lama dia di jalan? Jeha tidak tahu. Tak ada tujuan. Pulang? Tidak. Dia menggeleng. Baik itu rumah secara kiasan maupun secara harfiah, semuanya sudah tidak tersisa. Mungkin memang benar, Jeha bukan tokoh utama di hidup Hamdan layaknya tokoh-tokoh putri yang dia baca di dongeng sewaktu kecil dulu.

Langkah kaki Jeha tak tentu arah. Dia hanya mencoba untuk pasrah. Betul. Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Bahkan jika saja tadi dia timpuk kepala Kanara pakai batu atau kayu, semuanya tidak akan berubah. Sekalipun dia musnahkan Kanara sampai ke atom-atom, tetap tidak akan ada yang berubah.

Cinta Hamdan padanya tidak sebesar cinta Hamdan pada Kanara. Fakta yang ingin membuat Jeha mengeluarkan seluruh koleksi umpatan yang dimilikinya seumur hidup.

"ANJING!"

Jeha mengambil batu sebesar kepalan tangannya yang dia lihat di pinggir jalan. Dia melempar ke sembarang arah, tak peduli kalau batunya menimpa hewan kecil, tak sadar kalau hewan kecil itu sudah mati. Dia berteriak-teriak seperti orang kerasukan setan. Ataukah dia adalah setan itu sendiri?

Tidak.

Dia sudah tidak peduli apa pun lagi.

Mentari sudah semakin tergelincir. Hitungan demi hitungan lagi, langit akan berubah menjadi gelap. Jeha tidak tahu mesti tidur di mana. Dia tidak peduli. Pinggir sungai, musala, bawah jembatan, bergabung dengan gembel-gembel. Apa pun itu, dia tidak peduli.

Langkah demi langkah Jeha tempuh dengan tatapan kosong. Seluruh kaki yang kemarin masih mulus kini luka-luka, kasar, dan beberapa tetes darah tertinggal bersama jejak kakinya.

Dia tidak peduli.

Beberapa kendaraan lewat-lewat saja, tak ada yang menyinggahi atau sekadar membunyikan klakson mereka. Mungkin saja dengan penampilan seperti ini, orang lain sangka dia gembel atau gila.

Dia tidak peduli.

Air matanya sudah tidak bisa keluar lagi. Hamdan, Hamdan, Hamdan, Hamdan, Hamdan! Kenapa? Kenapa memilih berpura-pura bahagia menjalani hidup dengannya? Kenapa Hamdan tidak berterus-terang dari awal? Kenapa Hamdan selalu menyembunyikan perasaan aslinya? Licik betul itu makhluk. Sia-sia sudah perasaannya dia korbankan untuk secuil persen lelaki di dunia ini.

Betulkah demikian? Sepertinya tidak. Jeha cuma terlalu tinggi berekspektasi, terlalu tinggi berharap, terlalu tinggi berkhayal. Sampai-sampai dia dibutakan rasa dan tertipu oleh muslihat Hamdan. Dasar torpedo kambing gunung.

Buncis busuk.

Munding.

Sore semakin menjadi-jadi, nyala lampu di pinggir jalan mulai menerangi Jeha. Beberapa anak kecil berlari menjauh. Satu-dua mengejek orang gila. Dia tidak peduli.

Jeha terus berjalan, tetapi mau sampai kapan, dia tidak tahu. Dia tidak letih. Dia tidak merasakan apa pun. Tujuannya kini sudah tidak ada. Sia-sia belaka jika dia bertahan. Ya, selewat lalu bisikan iblis datang lagi. Jeha mendadak tahu ke mana dia harus pergi.

Kaki Jeha berjalan cepat. Cepat sekali sampai hampir berlari. Dia ingat jalan ini, jalan yang mengarah ke jembatan. Kakinya terus menelusuri trotoar. Tiang-tiang besar dan kokoh mulai terlihat. Beberapa kendaraan masih melaju. Dia terus berjalan hingga ke ujung jembatan, terus berjalan lagi sampai hampir ke tengah. Sungai mengalir deras di bawah sana.

Hidup adalah sebuah pilihan. Jika tak punya, buatlah pilihan sendiri.

Jeha mengangguk. Dia sudah tidak punya apa-apa lagi. Selain Hamdan, seluruh keluarganya sudah tidak ada yang hidup lagi. Jadi, saat Hamdan terjatuh ke dalam tangkapan Kanara, dia betul-betul kehilangan apa pun. Dia menarik napas dan menoleh ke bawah jembatan.

Diperhatikannya betul-betul apa yang ada di bawah sana. Arus sungai, tumpukan sampah, satu atau dua sampah yang terbawa arus sungai, sampai ranting yang memilih untuk hanyut daripada bertahan di pohonnya. Dan Jeha akan menjadi salah satu ranting itu. Bukan keinginannya sebetulnya. Ranting yang hanyut adalah bagian yang mati dan terseleksi oleh pohon itu sendiri. Seperti Jeha yang terseleksi dari hidup Hamdan.

Baru saja kakinya melangkah memijak besi pembatas jembatan, sebuah suara mengagetkannya. Jeha celingukan. Suara tangis? Oh, dia mulai gila. Tangisan bayi di ujung senja. Bayi siapa? Setankah?

Jeha menggeleng berusaha mengusir bayangan tentang bayi lucu dan mungil yang mirip dia dan Hamdan. Dia tidak bisa melahirkan. Sialan. Ada banyak latar belakang hidupnya yang perlu ditanggalkan dan dilupakan. Tidak ada gunanya juga sekarang mengingat hidup. Tak ada artinya lagi. Jeha memegang birai jembatan dan bersiap melompat lagi.

Tangisan bayi kembali terdengar, kali ini lebih keras. Angin yang berembus seakan sengaja mengarahkan suara itu ke kuping Jeha. Diperhatikannya sekeliling yang sunyi. Padahal semesta seakan mendukungnya dengan membuat jembatan ini menjadi sepi dan tidak ada orang yang lewat. Aktivitas magrib sedang berlangsung. Sialan. Di mana, sih, asal suara itu. Mengganggu orang mau mampus saja.

Mata Jeha menjelajah bagian bawah jembatan. Apakah suara itu berasal dari sana? pikirnya. Dia mengurungkan niat untuk bunuh diri dan berlari ke ujung jembatan, lalu turun dan menghampiri tumpukan sampah yang dilihatnya tadi. Betul. Ternyata suara tangis itu dari sini. Semakin jelas dan kencang. Jeha berkeliling susah payah karena tidak terlalu banyak cahaya. Tidak banyak yang bisa dia tangkap. Sampai matanya berhenti pada sebuah kardus yang bergerak-gerak.

Awalnya dia ragu, tetapi rasa penasaran mengalahkan rasa ragu itu, sama seperti rasa-ingin-mati-nya yang kalah beberapa saat yang lalu. Jeha maju perlahan dan tangisan bayi itu semakin jelas dan jelas. Tiba-tiba sebuah suara mengganggu dan dia berteriak.

"Tenang, tenang."

Sesosok tinggi dan tegap mengangkat tangan. Jeha tidak bisa melihat dengan jelas apa yang di hadapannya kini. Namun, belajar dari pengalaman, dia mengambil potongan botol kaca di dekatnya.

"Aku bukan orang jahat. Aku gembel. Cuma mau mulung dan dengar suara bayi nangis, terus ke sini dan ketemu dikau. Oke? Turunin itu beling. Takut luka."

Kewaspadaan Jeha tidak melonggar sedikit pun. Orang itu bilang kalau dia harus memeriksa isi kardus tadi. Jeha menggeleng.

"Aku saja," kata Jeha.

Setelah mendekat dan yakin kalau orang yang bersamanya—yang ternyata seorang lelaki itu—bukan orang jahat, Jeha menilik isi kardus. Bayi betulan. Menangis menggeliat dan menendang-nendang udara. Naluri wanitanya langsung aktif dan membawa bayi tersebut ke dekapannya.

"Nama?" tanya lelaki tadi.

"Jeha."

Jeha kini larut dalam kesenangannya membuai bayi itu.

"Jeha Kinarsih."

TAMAT

***

Yey! Gimana sama cerita romance pertama yang mejeng di akunku? Jangan lupa klik tanda bintang dan share ke teman-teman kalian yang ingin membaca cerita dengan gaya cerita yang serupa dengan cerita ini.

Banyak-banyak terima kasih buat yang udah vote awal, terima kasih juga yang vote pertengahan, bahkan terima kasih juga yang vote kapan-kapan. Tanpa kalian para pembaca, ceritaku bakalan sepi. Makasih banyak!

Oh, iya. Kalian ngeuh gak kalau ini kisah siapa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro