Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Jeha

Jeha terbangun dengan napas memburu. Bahunya naik dan turun tidak beraturan. Kelopak matanya terbuka lebar, padahal baru sedetik dia masuk ke alam sadar. Dia mimpi buruk. Sangat buruk. Jeha mengusap wajah.

"Hamdan?"

Tak ada sahutan dari suaminya. Dia lapar. Sekali lagi dipanggilnya Hamdan. Namun, yang dipanggil tak kunjung datang. Apa mungkin Hamdan sedang tertatih-tatih menuju ke mari? Kaki suaminya itu belum sembuh betul.

Terpaksalah Jeha bangkit meski jalannya sempoyongan. Ketika memijak lantai yang seharusnya keras, lututnya bergetar. Dia merasa menginjak awan. Melayang-layang di antara angin dan sinar mentari. Berpegangan ke dinding adalah pilihannya saat ini.

"Hamdan?"

Tetap tidak ada sahutan. Apakah dia harus memeriksa ke luar? Di meja rias, ada ponselnya dan sepucuk kertas. Setelah membaca tulisan itu, dia menghela napas. Ada urusan, ternyata. Apa dia sudah tidak penting lagi? Masih sakit begini ditinggal pergi begitu saja.

Sambil tertatih, Jeha menuju dapur. Walau susah payah dan hampir jatuh, dia berhasil menghampiri panci yang berisi sup krim. Ada tulisan di sticky notes, tulisan Hamdan, yang menyuruhnya segera menghangatkan sup itu dan makan saat sudah bangun. Jeha tersenyum.

Hamdan tidak seperti orang kebanyakan. Dia menunjukkan rasa sayang dengan perilaku berbeda. Pernah suatu ketika Jeha bertanya, kenapa Hamdan jarang sekali memanjakan orang yang dia sayang, dan jawaban suaminya itu membuatnya semakin jatuh cinta.

"Tuhan sayang kita, tapi Dia enggak manjain kita sama sekali. Itu yang namanya betul-betul sayang. Dia enggak kasih langsung apa yang kita mau, tapi Dia kasih kita jalan dan kemampuan buat dapat apa yang kita mau." Jeha menatap hamdan dengan serius waktu itu.

"Terus-terus?" tanya Jeha tak sabar.

"Aku sayang kamu. Aku mau kamu punya kemampuan buat ambil apa yang kamu mau, yang kamu ingin. Bukan dengan kasih cuma-cuma. Biar kamu bisa ngehargain sesuatu yang udah kamu perjuangin. Yang betul-betul kamu perjuangin."

Sialan Hamdan, tidak sewaktu dia sakit juga kali!

Rasa ingin mencabut bulu-bulu kaki Hamdan memuncak. Ingatkan Jeha agar dia mengikat suaminya, lalu mencabut habis semua bulu kakinya. Kiri dan kanan. Oh, ketiaknya juga kalau perlu. Pakai selotip sekalian.

Jeha menyalakan kompor. Dia menunggu di meja makan. Urusan apa pula suaminya itu? Apakah ada sesuatu yang terjadi di tempat kerjanya selama dia tinggal. Jeha menghela napas. Itu, 'kan, buat dirinya juga nantinya. Hamdan selalu mengutamakannya. Pipinya menghangat. Eh, tidak, seluruh badannnya memang hangat. Napasnya memendek.

Masakan yang Jeha tunggui mendidih. Dia mengangkatnya dengan perantara kain lap, lalu menyimpan teko untuk menjerang air. Teh hangat melintas di kepalanya, sepertinya dia ingin itu. Ditaruhnya kain lap di samping kompor, sementara dia ke ruang tengah. Pikirnya, dia harus banyak bergerak agar bisa cepat sembuh.

Jeha melangkah pelan sambil berpegangan pada dinding. Di setiap langkahnya, dia meyakinkan diri kalau perasaat berputar di kepalanya sekarang hanya perasaannya saja, dan tidak betul-betul nyata. Namun, sedikit lagi sampai meja, dia tersandung karpet, lalu kepalanya terbentur ujung sofa.

"Aduh!" Jeha mengusap kepala. Dia mendudukkan diri. Sejenak, kepalanya berhenti pusing sebab sakit jenis lain. Dia menggeleng untuk menetralkan pandangan.

Jeha duduk di sofa sambil memperhatikan buku-buku yang sudah disusun hamdan. Sampai di mana proses ceritanya tadi? Duh, kenapa tiba-tiba dingin? Jeha menoleh sekeliling tidak ada jendela yang terbuka. Ini jam berapa? Dia tidak tahu. Jam dinding seakan berlarian jarum-jarumnya entah kemana. Dia memutuskan untuk rebahan saja.

Niatnya hanya rebahan, tetapi matanya menjadi lebih berat. Jeha belum makan dan minum obat. Namun, kantuk sudah menyerangnya duluan. Tak apa, makan bisa ditunda, pikirnya. Akhirnya, dia terlelap.

Baru sedetik dia kira, Jeha ingat kalau sedang menjerang air untuk membuat teh hangat. Matanya langsung membelalak dan dia mencoba duduk. Tiba-tiba dari belakang terjulur tangan yang langsung mendekap mulutnya. Dia mencoba berteriak dan berontak, tetapi tenaganya tidak bisa dikerahkan secara maksimal.

Jeha langsung diikat dan digendong. Dalam keadaan sehat pun dia akan susah melawan, apalagi dia sakit begini. Yang di pikirannya kini hanyalah Hamdan dan Hamdan. Dia menangis dengan kencang, sampai sebuah hantaman mendarat di kepalanya. Seluruhnya menjadi gelap. Mereka meninggalkan kompor yang masih menyala.

Tak seorang pun menyadari kalau kain lap yang disimpan Jeha di sebelah kompor sudah dijilat api. Api menjalar melahap rak rempah-rempah yang memang terbuat dari plastik. Tetesan plastik yang meleleh jatuh ke lantai dan tong sampah. Tong sampah yang juga terbuat dari plastik itu ikut terbakar. Api terus merayap ke arah sapu. Sisa-sisa plastik lain menyebar. Lemari kayu di atas juga ikutan terkena dampaknya. Tahu-tahu api sudah besar, membelai ujung tabung gas yang terhubung dengan kompor.

***

Oke, siap-siap buat bagian selanjutnya, kalian akan lihat perubahan Jeha. Hueheheh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro