Part 2
Kenangan ini, kenangan pertemananku dengan Fadli berputar kembali seperti film. Semua terasa baru kemarin, bukan satu, dua maupun duapuluh tahun silam. Awal perkenalan kami saat Taman Kanak-Kanak, waktu itu Fadli baru saja pindah rumah ke komplek kami, itulah awal mulanya perkenalan kami dan kemudian setelahnya dimana ada aku di sana ada Fadli.
"Nabila!"
Suara tegas dari orang di sampingku membawaku kembali ke masa kini. Masa dimana aku sudah kehilangan sosoknya, sosok yang selama ini hanya kuanggap sebagai teman walaupun nyatanya aku baru sadar kalau rasa ini lebih dari sekedar teman. Terlambat, semua sudah terlambat.
"Gak mau turun?"
Mataku mengerjap pelan, mencoba menghilangkan sisa-sisa air mata yang membuat semuanya terlihat buram. Wajahku melihat sekeliling dan barulah aku sadar kalau ini bukan rumahku. Kak Daffa, dia yang membawaku ke sini, dia yang menemaniku melewati hari ini. Kalau saja dia adalah sepupuku Ave atau adikku Didi, pasti aku sudah mengucapkan berbagai caci maki yang mengganjal hati. Aku ingin menggigit lengan ataupun menjambak rambut mereka hingga rontok. Aku gila! Tetapi faktanya yang ada di hadapanku sekarang adalah orang kaku dan aku segani. Arghhhhh, kenapa harus Kak Daffa yang menemaniku. Huh! Ini semua karena Ave maupun Didi menolak permintaanku kemarin.
"Ayolah, Dek! Sekali-kali bantuin Kakak kenapa?" rengekku kepada Didi yang masih keras kepala menolak permintaanku.
Jadi ceritanya, besok Fadli sahabatku akan menikah. Ah, sebenarnya aku harus menyiapkan mental lebih untuk melihat dia akan menikah dengan wanita lain. Aku bukanlah orang yang terjebak friendzone dengannya hanya saja aku selalu tidak ikhlas jika dengan wanita lain. Mendengarkan cerita tentang wanita idamannya saja sudah membuatku gerah apalagi sekarang aku harus melihat dia menikah. MENIKAH SAUDARA-SAUDARA!
DAMN! Aku pasti akan ikhlas seandainya Fadli menikah setelah aku yang menikah terlebih dahulu. Tetapi sekarang kasusya adalah di luar rencana, Fadli yang berencana untuk PDKT dengan si wanita justru ditantang untuk langsung menikahinya. Hah! Wanita sialan!
Abaikan masalah Fadli dan fokus ke pencarian patrner Bila! gerutuku dalam hati.
"Males-males, udah Kak Bila ajak Rangga aja sana!" tolak Didi.
Dasar bocah sableng! Masa iya aku datang ke pernikahan menggandeng bocah SMA. Apa kata dunia nantinya?
"Lo itu Adek gue bukan sih, Di?" ucapku geram.
"Harusnya gue yang nanya gitu ke Kak Bila. Kakak cuma inget gue waktu butuh terutama untuk jadi supir! Lupa dulu yang sering cuekin gue dan lebih perhatian ke Najwa?" balas Didi tak kalah geram. Perkataannya membuatku ingat kalau aku memang lebih dekat dengan Najwa daripada Didi maupun Rangga, maklum saja mereka laki-laki sementara aku perempuan. Gezzz.
"Ya ampun Adikku Didi Sayanggggg, aku kan deket sama Najwa karena pengen Adik cewek dan kamu tahu itu kan?"
Terdengar suara dengusan dari ujung telpon sana, "Nah kan jadi sok manis kalau ada maunya, kemana tadi kata-kata gue-lo yang tadi?"
Arghhhh! Ini bocah emang minta ditendang.
"Yakin nih gak mau bantu? Ya udah deh Kakak minta tolong sama Ave aja, awas aja kalo besok minta duit lagi sama Kakak. Ntar pokoknya Kakak juga mau bilang ke Ayah sama Bunda buat kurangin jatah bulanan kamu!" ancamku. Dalam hati kecilku masih berharap kalau Didi berubah pikiran.
"Bodooo! Didi juga bisa nyari duit sendiri kali. Udah ah ini mau ujian bentar lagi. Daaa Kakak! Wassalamu'alaikum."
Klik.
Sambungan terputus.
"Wa'alaikumussalam!" jawabku kepada diri sendiri.
Kandidat pertama Didi hasilnya silang, saatnya ke kandidat kedua yaitu Ave. Setelah memutar otak bagaiamana cara meminta bocah rese yang tidak kalah rese dengan Didi aku terpaksa meminta bantuan kepada Papa Alvin. Yeah, anak itu biasanya akan menurut apa yang dikatakan Papanya. Bismillah, semoga berhasil.
"Paaaaa, bantuin Bila!" rengekku begitu panggilan tersambung dan suara Papa terdengar.
"Jawab salam dulu, Bila!"
Ah iya, terlalu bersemangat aku sampai melupakan untuk menjawab salam. Astghfirullah.
"Wa'alaikumussalam. Hehehe, lupa!"
"Bila mau minta bantuin apa memangnya?"
Aku tersenyum bahagia mendengar pertanyaan Papa Alvin. Selama ini Beliau selalu menuruti keinginanku dan semoga kali ini juga begitu.
"Jangan bilang soal Ave lagi ya?" tebak Papa saat aku tidak kunjung mengeluarkan suara.
Aku meringis pelan walaupun kutahu Papa tidak melihatnya, "Hehehe, Iya. Mau minta tolong buat bujuk Ave! Please Pa ini masalah udah gawat darurat, istilahnya kalau bom tinggal menunggu hitungan detik untuk meledak! Papa tolong bilangin Ave ya?"
"Kamu juga dari dulu bilangnya darurat Bila Sayang! Lagian kenapa kamu gak ngomong langsung aja sama Ave?"
"Yahhhh Papa mah kaya gak tahu Ave aja! Dia kan cuma mau nurut apa kata Papa sama Mama. Kalau Bila yang minta pasti dia ngajuin syarat yang aneh-aneh, udah gitu belum tentu mau juga!"
"Memangnya mau minta Ave buat ngapain? "
"Buat nemenin Bila kondangan, Pa! Bila bingung mau ngajak siapa! Sebel!"
"Loh memangnya partner kondangan kamu kemana? Itu siapa namanya? Yang sering kamu ceritain sama Mama?"
Bah! Tidak salah lagi pasti yang dimaksud Papa adalah Fadli. Sejauh ini memang aku selalu pergi bersamanya. Aku baru sadar ternyata selama ini aku terlalu bergantung padanya.
"Itu dia masalahnya, Pa! Yang mau nikah ya dia itu si Fa, jadinya kan Bila bingung mau dateng sama siapa."
Mendengar jawabanku bukan bersimpati justru Papa tertawa lebar di ujung telpon. Astaga! Papa gila!
"Kasihan kali kamu, Bil!" ucap Papa disela-sela tawanya. "Makanya kamu buruan nikah juga kaya dia, jadi nanti kan punya partner!" lanjutnya lagi.
Ah, pembahasan nikah lagi.
"Paaaaa," rengekku meminta Papa berhenti tertawa.
Setelah perdebatan kecil dengan Papa akhirnya Beliau setuju untuk membujuk Ave. Yess, sekarang tinggal menunggu kabar.
**
Satu pesan singkat dari Papa mengabarkan kalau Beliau sudah menghubungi Ave. Baiklah, sekarang giliranku beraksi.
"Hallo, Assalamu'alaikum!" pada nada sambung ketiga Ave sudah mengangkat panggilan.
"Wa'alaikumussalam! Ava ka-"
"Apa? Mau konfirmasi ulang untuk nemenin ke Nikahan? Jawabannya ogah!"
Aku hanya bisa melongo saat Ave memotong ucapanku yang belum selesai begitu saja dan langsung menolak permintaanku mentah-mentah!
"VE!" teriakku geram.
"Kak Ave, Dek Bilaaaa! Panggil aku Kakak seperti yang Ayah sama Bunda bilang? Oke?"
Ah, sial! Jiwa sok tua Ave kembali muncul ke permukaan. Dia selalu saja memintaku untuk memanggilnya Kakak mengingat menurut silsilah keluarga seharusnya seperti itu. Tetapi hei, tetap saja Ave itu hanya bocah yang lima bahkan enam tahun lebih muda dariku. Enak saja! Sialnya lagi Ayah sama Bunda selalu menceramahiku setiap kali aku memanggil Ave tanpa embel-embel "Kakak" padahal selama ini Papa dan Mama tidak keberatan. Gezzz.
Kurasa mengalah demi partner ke pernikahan Fa tidak ada salahnya.
"Oke Kak Ave, adikmu yang manis ini minta tolong dong, gak perlu diterangkan pasti Papa sudah menjelaskannya kan?"
"Nah gitu dong Adik manis!" ucap Ave ringan. Bocah sableng!
"Tapi maaf ya, lagi gak bisa bantu!" lanjutnya lagi.
"Apa? Gak bisa bantu? Tapi kata Papa kan ka-"
"Kata Papa aku mau? Hahahahaha, kalau gak bilang gitu pasti Papa bakalan ceramah! Makanya aku bilang iya."
Aishhh, nasib-nasib! Punya saudara menyebalkan semua.
"Veeee," rengekku lagi. Ave adalah kandidat kedua sekaligus terakhir kalau dia masih menolak bisa jadi aku berakhir datang seorang diri. Dan demi apapun aku tidak siap.
"Gak bisa, Bila! Besok aku ada acara di kampus."
"Ya elah bisa kali bolos sekali-kali!"
"Gak bisa ya gak bisa!" ujarnya tetap keras kepala. Arghhhhh menyebalkan.
"Ya udah aku gak mau bantuin kamu buat PDKT ke Nada lagi pokoknya. Masa bodo besok bakal ngerengek juga gak peduli!" ancamku mencoba merubah keputusan Ave.
Naas, hasilnya nihil. Dengan tanpa dosa bukan Ave merubah pikiran tetapi dia justru mentertawakanku dan berkata tidak perlu jasa makcomblangku lagi. Dia dengan bangga juga mengatakan kalau sudah mendapatkan hati Nada walaupun aku sendiri tidak yakin akan kebenarannya.
"Bil! Bila!" suara Ave di ujung telpon membuyarkan lamunanku yang sedang memikirkan betapa malangnya kalau sampai benar gadis semanis Nada menerima Ave.
"Apa manggil-manggil? Dasar gak tahu terima kasih!" omelku.
Kalau tahu pada akhirnya dia mendapatkan Nada dan kemudian enggan membantuku itu namanya kacang lupa kulit. Aku menyesal jadi makcomblang untuknya.
"Aku beneran ada acara, Bila!" terang Ave terdengar sedikit frustasi.
Aku mendesah pelan, mungkin dia benar-benar sedang ada acara yang cukup penting.
"Terus mesti gimana dong, Ve? Masa iya aku dateng sendiri?" gumamku pelan.
"Ehmmm, gimana kalau sama Kak Daffa aja?"
Kak Daffa? Apa aku tidak salah dengar akan ide jenius Ave? Dia menawarkan Kak Daffa yang sudah layak di panggil Om sebagai partner? Ada-ada saja.
"Ya kali aku dikira dateng sama Om-Om, Ve!" tolakku.
"Ya elah. Siapa bilang Kak Daffa itu Om-Om? Dia cuma beda sembilan tahun sama kamu. Yeahh sebut saja dia mas-mas berumur yang tak kunjung menikah!"
"Sama saja Ave! Mas-mas berumur 35 tahun belum nikah itu bernama Om!" ucapku kesal.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau aku pergi dengan Kak Daffa. Lelaki berumur dengan kacamatanya yang membuat dia semakin terlihat lebih tua, belum lagi ditambah sikap kalemnya yang luar biasa atau sebut saja pendiam. Hah kurasa aku bisa mati gaya.
"Lagian sekarang juga jaman dapet Om Om kali, Bil! Mau gak sama Kak Daffa? Daripada kamu dateng sendiri kan? Selagi orangnya lagi ada di Jogja!"
Sial! Ave paling bisa menggoyahkan keputusanku, daripada datang sendiri. Ck!
"Kak Daffa ada di Jogja?" tanyaku heran. Sejauh ini Kak Daffa adalah termasuk kerabat yang sangat jarang datang ke Jogja. Dia berdomisili di Bandung bersama orangtuanya yang adalah Kakak dari Bunda.
"Iya, aku sendiri tadi yang jemput dan sekarang dia ada di rumah Eyang."
"Hah rumah Eyang? Maksudnya jadi sekarang dia ikutan nginep tempat Eyang?" tanyaku memastikan. Kurasa Eyang memang punya hobi menampung orang, bahkan Ave sendiri sudah hampir tiga tahun tinggal di sana selama kuliah di Jogja.
Sepertinya memang tidak ada pilihan lain selain Kak Daffa.
"Gimana, Bil?"
"Ya udah lah, Ve! Mau gimana lagi? Terpaksa nanti aku modif tuh, Kak Daffa!" ujarku pasrah dan menyerah.
"Dikata motor kali modif. Ya udah deh ya kalau gitu. Dah Dek Bila! Wassalamu'alaikum!"
"Dek Dek Dek! Gak sopan! Wa'alaikumussalam."
Ave terkekeh pelan mendengar gerutuanku karena dia memanggil Adik sebelum aku memutus panggilan.Setelahnya terpaksa aku harus mengajak Kak Daffa sebagai opsi terakhir.
"Gak mau turun?" tanya Kak Daffa kembali. Pertanyaan yang sukses menarikku dari lamunan kejadian kemarin.
Aku mengangguk pelan sebagai jawaban dan kemudian aku hanya bisa melongo saat Kak Daffa menyodorkan sapu tangannya sebelum keluar dari mobil.
"Gak mau turun?" tanyanya kembali. Kini sosoknya sudah ada di depan pintu sebelah kiri. Kakakku yang satu ini mungkin tidak punya kata lain, dalam waktu kurang dari satu jam aku mendengar dia mengucapkan kalimat yang sama sampai tiga kali.
Begitu aku mengangguk dan turun dari mobil Kak Daffa berjalan meninggalkanku. Dia sama sekali tidak mau repot-repot menunggu atau menggandeng tanganku. Kalau saja aku bersama Fadli pasti dia akan menggenggam tanganku sampai tujuan. Mataku menangkap Kak Daffa yang sudah duduk manis di salah satu warung lesehan sambil melihat menu. Menyebalkan, bahkan dia sibuk dengan pelayan dan mengabaikanku.
Bukit Bintang, di sinilah kami sekarang. Aku tidak tahu alasan Kak Daffa mengajakku ke tempat ini, entah apapun niatnya justru tempat ini kembali membuka luka itu. Aku selalu singgah di tempat ini setiap pulang dari Pantai daerah Gunung Kidul, bersama Fadli tentunya. Entah mengapa setelah acara tadi semua kejadian yang kulalui selalu mengingatkan kepada Fadli.
"Gak mau makan?"
"Hemn?"
"Kamu gak mau makan?" ulang Kak Daffa lagi.
Kuhembuskan nafas pelan, mencoba mencari ketenangan dengan melihat lampu kerlap-kerlip di bawah sana. Nafsu makanku sudah lenyap sejak kalimat sakral itu diucapkan.
"Males!" tolakku.
Hening, tidak ada yang membuka mulut di antara kami hingga akhirnya seorang pelayan menginterupsi kesibukan diam diantara kami berdua. Aku mengernyit heran saat ada dua menu makanan dan juga minuman di atas meja.
"Bila males makan, Kak!" tegurku sedikit kesal. Tidak bisakah dia sedikit mengerti?
"Kita gak akan pulang sebelum kamu makan!" balasnya dengan pandangan tidak terbaca.
"Ya udah, Kak Daffa aja yang abisin!" ucapku masa bodoh.
Mataku kembali teralih pada pemandangan di bawah sana. Kubiarkan Kak Daffa meghabiskan makanannya tanpa aku menyentuh bagianku.
"Kamu tahu apa yang terjadi kalau salah satu lampu di bawah mati, Bil?" tanya Kak Daffa tiba-tiba.
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Kamu lihat di sana, kalau hanya satu lampu yang mati, itu tidak akan berpengaruh. Keindahannya tidak berkurang dan masih banyak lampu lain yang menyala, memberi pencahayaan. Itu berarti kalau kamu kehilangan Fadli masih banyak orang yang menyayangimu. Tidak perlu kamu terpuruk seperti sekarang. Buat apa kamu di sini menangisinya, sementara dia di sana sedang berbahagia dengan orang lain."
Aku menatap Kak Daffa penasaran, sejak kapan dia bisa berbicara panjang lebar seperti sekarang? Sejak kapan dia bisa mengucapkan kalimat panjang seperti orang tua seperti itu? Oh ralat dia memang setengah tua.
"Coba ulangi lagi, Kak!" pintaku antusias.
"Apanya?"
"Kata-kata tadi."
"Memangnya mp3 yang bisa di reply. Gak ada pengulangan."
Aku tersenyum kecil mendengarnya, ternyata laki-laki ini bisa berbicara melebihi biasanya. Heh, setidaknya menghadapi kekakuannya sedikit mengalihkan perhatianku dari Fadli.
**
"Turun, Bila!" perintah Kak Daffa untuk kesekian kalinya.
Aku menggeleng pelan, rumah ini hanya akan mengingatkanku kembali pada sosok itu.
"Bila," tegurnya kembali, kali ini suaranya sedikit lebih lembut.
Mataku menatap kosong pada halaman rumah. Di teras itu biasanya kami akan menghabiskan waktu sarapan bersama. Aku akan membuatkan teh sementara dia akan mencari bubur di seberang jalan. Kemudian kami akan berangkat bekerja bersama, dia selalu melarangku membawa kendaraan sendiri selama dia ada dalam jangkauangku.
Sepi dan hampa! Itulah yang kini terjadi pada rumah itu. Aku tidak yakin akan sanggup berada di dalamnya tanpa menangis. Setengah hatiku dibawa pergi olehnya, setengah jiwaku diambil paksa oehnya. Kini yang tersisa hanyalah sisa-sisa kepingan yang tinggal setengah. Perih!
"Kalau gitu kita pulang ke rumah Ayahmu, oke?"
Aku menggeleng lagi. Pulang ke rumah dengan penampilan seperti sekarang hanya akan membuat Ayah dan Bunda khawatir. Aku tidak siap.
"Ya Tuhan!" Kak Daffa berteriak frustasi. Aku yakin bahkan meskipun aku tidak melihatnya Kak Daffa pasti sedang geram kepadaku dan aku tidak peduli itu.
"Ya udah, kita pulang ke rumah Eyang. Di sana ada Ave, mungkin itu lebih baik!" tambahnya. Huh Ave, sepupuku itu justru akan mentertawakan kebodohanku saat ini.
Aku menggeleng lagi.
Beberapa saat kemudian keheningan kembali menyelimuti. Tidak ada di antara kami yang membuka suara. Bahkan mungkin Kak Daffa sudah bosan dan frustasi menghadapi orang sepertiku. Sama seperti Fadli yang bosan dan memilih meninggalkanku.
"Cariin Bila hotel, Kak!" pintaku dengan berpaling memandang Kak Daffa. Yeah, kurasa melarikan diri adalah keputusan yang tepat saat ini.
Tanpa memberikan tanggapan mobil yang kami tumpangi kembali melaju dan berhenti di salah satu hotel.
"Kak Daffa gak usah turun!" tegurku sebelum kakinya menginjak lantai.
Dia sama sekali tidak mendengarkanku dan justru membuka pintu yang ada di sampingku. Dia menarikku lebih tepatnya sedikit menyeretku menuju meja receptionist hingga akhirnya membawaku ke sebuah kamar.
"Kamu yakin mau menginap di sini?"
Aku mengangguk. Entahlah, namun kurasa sepi adalah yang terbaik saat ini.
"Kamu yakin?" tanyanya lagi masih dengan kata yang sama.
Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Ayolah Bila! Jawab dengan kata-kata, aku bukan orang yang bisa membaca mimik wajah. Apa kamu yakin tinggal di sini? Kamu baik baik saja kan?"
Aku hancur!
"Aku Baik!"
"Yakin mau bermalam di sini?"
Aku tidak yakin tinggal di sini bisa menyembuhkan lukaku.
"Aku yakin!"
"Ya udah kalau gitu aku pulang! Besok pagi aku jemput buat ke kantor!"
Kak Daffa keluar kamar tanpa menunggu jawabanku. Dia bahkan tidak sudi menunggu kalimatku yang akan mengatakan kalau aku masih butuh dia. Hari ini, semua orang benar-benar mengabaikanku.
**
Mataku menatap nanar pada penampakan monster hidup yang ada di cermin. Yeah, aku seperti monster dengan rambut acak-acakan dan mata sembab. Mengerikan!
Setelah puas mengasihani diriku sendiri aku kembali menghempaskan badan ke kasur. Tadi malam aku sudah mengirimkan pesan kepada Pak Albert, atasanku untuk mengambil cuti dadakan. Meskipun awalnya Beliau sempat protes tetapi akhirnya maklum dan memberi ijin. Well sepertinya bergelung kembali ke dalam selimut akan membuat waktu lebih cepat berlalu atau setidaknya aku bisa melupakan fakta menyedihkan yang terjadi kemarin. Smartphone yang sudah tidak bernyawa kubiarkan tergeletak begitu saja di nakas. Aku butuh waktu sendiri.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro