Extra Part --- Daffa 2 (re-post)
Aku menatap ponsel dengan lelah, panggilan dari Edo, Staff ITku sukses membuat semua rencana berantakan. Edo mengatakan kalau masalah jaringan di kantor kembali bermasalah. Aku sangat tahu bagaimana fatalnya jika server sampai down meskipun hanya satu hari dan saat ini sudah dua hari. Itu berarti sudah dalam taraf darurat.
Aku menatap Bila yang tengah bercermin menyisir rambut, mau tidak mau aku harus berbicara dengannya.
...
"Kak Daffa gila! Kita baru nikah beberapa jam yang lalu dan besok pagi harus berangkat ke Bandung? Jangan gila! Aturan di mana-mana habis nikah pergi liburan, ke Bali kek, Lombok, atau Raja Ampat gitu dan ini aku cuma minta ke puncak menikmati pemandangan, tetapi harus dibatalkan. Pokoknya nggak mau tahu, Kak Daffa sana yang bilang sama semuanya kalau mau pulang ke Bandung dan nggak ada acara menginap di puncak."
Aku sudah menduga sebelumnya kalau Bila pasti akan protes atas keputusanku untuk pulang ke Bandung dan membatalkan rencana yang sudah kami susun, yaitu ke puncak.
"Aku sudah bicara tadi kepada mereka dan mereka tidak masalah," ujarku mencoba memberikan pengertian kepada Bila.
"Itu karena bukan mereka yang menjalani. Ayolah, Kak! Bukannya kemarin udah dapat cuti satu minggu? Kakak sendiri kan yang bilang, terus juga Kakak udah setuju buat ke sana? Sekarang seenaknya aja batalin."
"Ini masalah tanggung jawab, Bila! Aku janji setelah masalah selesai kita ke puncak."
"Basi!"
"Lalu, maumu bagaimana?" tanyaku frustrasi. Aku beranjak untuk duduk di kursi kosong yang ada di sebelahnya. Saat ini aku hanya bisa berharap semoga saja Bila mau mengerti sedikit saja.
"Nggak usah pulang ke Bandung!" Bila menjawab sinis.
"Kalau sampai dipecat nanti kita makan apa?" tanyaku tidak mau kalah.
"Justru itu bagus. Kalau dipecat Kak Daffa bisa cari kerja di Jogja jadi kita nggak perlu melanjutkan perdebatan antara hidup di Bandung atau di Jogja. Kalau perlu nanti aku bilang sama Ayah buat masukin Kakak ke kantor."
Anak manja!
"Jangan konyol, aku tidak mau memanfaatkan garis keluarga. Lalu, urusan hidup di mana bukankah sudah sepakat kemarin sementara kita berhubungan jarak jauh sambil menunggu kamu resign."
Aku melihat Bila yang terdiam, seperti memikirkan kata-kata yang baru saja aku ucapkan. Semoga Tuhan, semoga dia mau mengerti dan mengalah untuk kali ini.
"Tapi, nanti aku mau tetap kerja, nggak mau duduk doang di rumah," ujar Bila terlihat pasrah, tetapi tetap menawar.
Aku menghela napas panjang, minimal saat ini aku harus menuruti keinginan Bila agar dia tidak berulah. "Iya."
"Terus selama kita tinggal jarak jauh, Kak Daffa harus pulang tiap minggu biar para orangtua tidak protes."
"Iya."
"Jangan lupa Kakak yang mau bilang pada mereka untuk masalah ini. Aku nggak mau tahu pokoknya."
"Iya."
"Jadi, deal, kan? Besok kita jalan ke Bandung?" tanyaku memotong permintaan konyol dari Bila. Dia tidak henti-hentinya melakukan penawaran atas dasar ganti rugi acara ke Puncak yang gagal.
"Terpaksa."
Bila akhirnya menyerah dan langsung bangkit berdiri menuju ranjang sementara aku mengikutinya dan mengambil posisi tidur di sampingnya. Aku melirik Bila yang sudah menarik selimut sampai dada dan kemudian tidur memunggungiku. Anak ini, bisa-bisanya dia tidur membelakangi suaminya. Walaupun kami menikah karena terpaksa, tetapi tidak seharusnya dia berkelakuan seperti sekarang.
"Bil," panggilku mencoba menarik perhatiannya, berharap dia mau menoleh ke arahku.
"Hemn," jawabnya tanpa mau repot menolehkan kepalanya.
"Aku ingin buat bayi."
Aku berucap asal demi mendapatkan perhatian Bila, minimal dia tidak tidur memunggungiku. Aku pernah mendengar kalau hal ini tidak diperbolehkan.
"KAK DAFFA GILA! SESUAI KESEPAKATAN NGGAK ADA BUAT BAYI SEBELUM SALING MENCINTAI!"
Gotcha! Aku berteriak senang dalam hati, rencanaku untuk menarik perhatiannya sukses. Saat ini Bila sudah memutar badannya sehingga kami tidur berhadapan. Dia memandangku dengan wajah yang terlihat horror.
"Tapi aku ingin bayi," ujarku lagi. Entah mengapa membuat wanita yang ada di hadapanku ini kesal rasanya menyenangkan. Jadi, tidak ada salahnya aku melanjutkan permintaan konyol yang tadi sudah kusebutkan.
"Beli aja di warung sana."
"Warungnya sudah ada di sini. Dan aku tadi sudah membelinya dengan mahar."
"Memangnya aku dagangan. Sekali lagi Kak Daffa sebut bayi tidur aja di lantai sana," ucap Bila yang kini terlihat menahan emosinya.
Lain halnya dengan Bila, kini aku justru tersenyum karena untuk pertama kalinya mendapatkan teman berdebat yang seimbang. Aku merasa menemukan seorang partner untuk berbicara panjang setelah sekian lama hidup sendiri. Senyum di wajahku perlahan menghilang saat Bila akhirnya kembali memutar badan untuk membelakangiku. Aku sengaja memeluk Bila dari belakang untuk memberinya peringatan, peringatan kalau aku tidak akan kalah jika hanya berdebat dengan dia.
"Tidak boleh tidur memunggungi suami," bisikku saat Bila hanya diam saja ketika aku memeluk pinggangnya.
Suasana hening menyelimuti kami berdua, awalnya aku berpikir Bila sudah terlelap sebelum kemudian dia menjauhkan tanganku dari pinggangnya.
"Ehm, Bila mau ke kamar mandi!"
Selanjutnya, aku melihat Bila yang melangkah cepat menuju ke kamar mandi, bersamaan dengan itu rasa kantuk mulai menghampiri.
**
Aku memandang ke arah Bila yang kini hanya berbalut handuk. Dia ada di sana, di depan kamar mandi dengan handuknya yang berwarna biru laut. Sejak tadi malam, dia berubah menjadi pendiam, termasuk saat kami shalat jamaah tadi pagi. Begitu pula saat ini, Bila memandangku dalam diam sementara aku sibuk menenangkan pikiran liarku. Aku baru tahu kalau selama ini punya sisi liar yang tertimbun di bagian paling dalam otakku, sayangnya sisi liar itu kini muncul saat melihat Bila, istriku, wanita yang sudah halal bagiku dan ada di depan mata dengan pakaian yang errrrrrrrrr.
Aku menggelengkan kepala dengan cepat demi membunuh pikiran-pikiran yang mulai tidak sopan masuk ke otak. Demi keamanan aku terpaksa memilih keluar yang tanpa sengaja tanganku sudah membanting pintu. Aku terlalu kesal kepada diriku sendiri yang tidak bisa menahan diri.
"Kak Daffa, udah ditunggu Ayah sama yang lain di bawah."
Aku menatap Rangga yang ada dibawah tangga sambil mengacungkan kedua jempol. Urusan Bila bisa di-pending, saat ini yang terpenting adalah bagaimana caranya menyampaikan berita kepada semuanya kalau tujuan ke Puncak kami harus dibatalkan. Tadi malam aku memang sengaja berkata sudah mengatakan kepada para orangtua padahal faktanya adalah belum berbicara sama sekali.
"Yah, Daffa sama Bila batal ke Bogor, soalnya ada urusan di kantor. Jadi, untuk sementara di-pending dulu ke sananya."
Bila sudah muncul saat aku baru mengatakan berita agung ini. Ternyata dia bukan tipe wanita yang suka berlama-lama di cermin.
"Memangya tidak bisa baliknya ditunda dulu?" tanya Ayah kemudian.
Aku melihat Bila yang ada di sampingku bungkam dan membiarkan aku berpikir sendiri untuk menjawab pertanyaan Ayah.
"Padahal kan enak di puncak, Bil! Dingin!" cibir Ave , si pengantin senior.
Kemudian suasana meja makan menjadi ramai karena perdebatan antara siapa lagi kalau bukan Bila, Ave dan juga Didi. Mereka sudah seperti kucing dan anjing jika disatukan. Tidak lama kemudian Bila sudah berpamitan untuk pergi ke kamar, meninggalkanku untuk mendapatkan ceramah dari semuanya.
"Jadi? Kalian benar-benar tidak ingin pergi ke suatu tempat terlebih dahulu?" tanya Om Alvin kemudian.
"Sejauh ini belum, Om. Saya tidak bisa melepaskan tanggung jawab kepada kantor."
Om Alvin tersenyum menyeringai, " Siap-siap saja itu bocah satu pasti ngamuk!"
"Itu karena Kak Alvin terlalu manjain Bila dari dulu, makanya dikit-dikit ngamuk," protes Bunda Alya sambil menatap Om Alvin galak.
Merasa ditatap galak tidak membuat Om Alvin mengubah ekspresinya, Beliau tetap tersenyum. "Enak saja, Bapaknya tuh si Reffi yang manjain Bila. Lihat saja didikanku si Ken sama Caca mandiri?"
"Ave?" semua tergelak ketika Ave menatap Papanya dengan ekrpesi tidak percaya dengan tangan menunjuk hidungnya.
"Kamu kan anak Mama!"
Lalu, suasana menjadi riuh karena kalimat Om Alvin. Aku tersenyum melihat keakraban ini, ternyata keluarga besar memang menyenangkan. Bodohnya aku yang selama ini lebih memilih kantor dibandingkan berkumpul dengan keluarga.
"Om, Om, Om!" Aku melihat Caca yang sudah beralih dari kursi dan kini berdiri di sampingku dengan tangan menggoyangkan lengan.
"Kak Daffa, Dek!" tegur Tante Karen mengingatkan Caca. Percuma, karena waktu sebelumya aku bertemu dengan Caca, bocah ini terus keras kepala memanggilku Om meskipun aku mengajarinya untuk menyebut Kakak.
"Om Daffa, Ma."
"Dek Caca?" tegur Om Alvin kemudian.
"Om Daffa, Papa! Mama!"
"Sudahlah, Om, Tante. Biarkan saja, memang Daffa sudah cocok jadi Om mungkin?" ujarku melerai ketiganya. "Kenapa, Sayang?" tanyaku beralih kepada Caca. Ah, sudah sejak lama aku menginginkan untuk memanggil sayang untuk adikku sendiri.
Aku menatap Caca dengan dahi berkerut saat dia tidak menjawab pertanyaanku dengan cepat dan justru menarik bajuku sehingga dengan terpaksa aku harus menunduk. Akhirnya setelah tinggi kepala kami sejajar, Caca mengatakan ide konyol yang membuatku tersenyum geli. Caca memintaku untuk menggedongnya ke kebun belakang agar dia bisa mencapai mangga yang masih menempel pada dahan. Kebetulan pohon mangga itu tidak terlalu tinggi sehingga bisa memetiknya secara langsung. Ada-ada saja.
Tanpa menunggu lama, aku berdiri dan berjongkok untuk mengangkat Caca ke dalam gendongan dan membawanya pergi.
"Kami pergi dulu," ujarku yang diikuti tatapan heran dari semua orang yang ada di meja makan.
Aku tersenyum melihat Caca yang meloncat kegirangan. Kedua tangannya masing-masing memegang satu buah manga. Dia sekarang mulai menari-nari mengelilingi pohon manga. Ya Tuhan, ada-ada saja tingkah bocah ini.
"Dek, kita ke tempat Kak Bila, yuk?" tanyaku yang langsung dibalas dengan anggukan.
Aku kembali mengangkat Caca setelah sebelumnya mengambil mangga dari tangannya dan menaruhnya di teras. Aku mengenyit heran menatap Mama yang kini berada di kamar Bila.
"Mama ngapain?" tanyaku menatap Mama curiga.
"Kak Bila, Dek Caca abis main sama Om Daffa!" Caca berujar sambil memamerkan deretan giginya, melihatnya membuatku ikut tersenyum.
"Ya udah, Bil. Mama tinggal dulu, ya, kalian kan harus siap-siap. Caca, ikut Tante yuk ke depan?"
Mama mengambil kesempatan untuk melarikan diri, tanpa memberiku kesempatan bertanya apa yang sudah Beliau bicarakan dengan Bila. Aku menatap kesal kepadanya sementara Mama dengan senyum di bibir mengambil alih Caca dari gendonganku.
"Caca lucu," Aku bergumam setelah duduk di tepi ranjang, menatap pintu tempat menghilangnya Mama dan Caca. Seandainya saja aku punya adik, seandanya saja Diffa masih ada di dunia. Erhh.
"Iya!" Aku melirik Bila yang dalam diamnya masih menanggapi gumamanku, kemudian dia sibuk dengan tas koper yang ada di depannya.
**
Di antara banyaknya pasangan baru, kurasa akulah satu-satunya pengantin pria yang harus bekerja pada hari kedua setelah pernikahan. Tepat setelah akad, staff IT-ku mengabarkan kalau masalah di jaringan yang terjadi kemarin belum beres sampai-sampai semua email tidak bisa diakses. Aku mengeram kesal, karena hal ini terpaksa harus berdebat dengan Bila agar dia mau ikut ke Bandung dan membatalkan acara ke Puncak.
Setelah perdebatan kecil, mulai dari dia yang memilih kereta daripada pesawat akhirnya kami tiba di Bandung pada sore hari. Aku mengantarkan Bila ke rumah dan langsung pergi ke kantor. Naasnya pekerjaan yang awalnya kupikir akan cepat selesai baru bisa selesai setelah waktu hampir tengah malam karena masalah pada provider. Lebih naasnya lagi adalah aku lupa kalau Bila di rumah sendiri dan dia tidak memegang alat komunikasi, sementara aku yakin kalau dia buta jalan karena di tempat baru. Beruntung menjelang Isya aku sempat memesankan dia makanan cepat saji, semoga saja sekarang dia terlelap dan tidak akan terbawa emosi seperti tempo hari. Bila benar-benar labil jika sudah marah, tangannya bisa dengan ringan membanting ponsel yang dimilikinya. Seperti kemarin setelah akad.
Aku mengembuskan napas pelan. Setelah menyerah belum menemukan masalah dengan jaringan di kantor. akhirnya aku pulang dan sampai di rumah tepat tengah malam.
Aku mengetuk pintu pelan, berharap Bila tidak tertidur pulas dan mendengar ketukanku. Benar saja, Bila muncul dengan rambut yang terlihat kusut dan wajah tidak layak lihat.
"Belum tidur?" tanyaku basa-basi.
"Kalau tidak ada suara ketukan pintu pasti aku masih bermimpi saat ini."
Aku hanya ber-oh ria dan memilih meninggalkan Bila karena tuntutan ke toilet. Namun, langkahku terhenti ketika Bila kembali bersuara.
"Kak Daffa ini bisa nggak sih sedikit aja peduli sama aku? Pergi dari sore hari dan baru pulang jam segini. Nggak ada pesan sama sekali, bisa kan pulang sebentar untuk sekedar memberi kabar kalau akan pulang malam? Aku bosan nungguin Kakak tanpa kegiatan sedikit pun, mau pergi nggak tahu jalan, mau browsing ponsel mati. Pokoknya nggak mau tahu, besok nggak ada yang namanya masuk kerja. Besok cariin aku ponsel baru biar nggak seperti jaman purba. Terus abis itu aku mau ke kawah putih sebagai ganti rugi gagal ke Gunung Gede. Po__"
Oh, Tuhan, tidak bisakah dia berdebat setelah aku ke kamar mandi sebentar?
"Kamu bsia diam sebentar tidak, sih? Atau perlu dicium biar diam?" kataku pada akhirnya sebelum pergi ke kamar. Aku tidak butuh jawaban dari Bila karena yang kubutuhkan adalah pergi ke kamar mandi dengan tenang.
**
Aku menemukan Bila yang masih menatap langit-langit kamar. Awalnya, kupikir saat aku sudah masuk ke kamar mandi dia akan kembali terlelap.
"Kenapa belum tidur?"
"Tidak bisa tidur, tadi sudah terlalu lama tidur karena bosan."
Aku merasa sedikit terusik dengan kalimat Bila, benar saja, dia pasti bosan menungguku pulang dari tempat kerja. Aku segera mengganti piyama dan mengambil posisi duduk di sampingnya.
"Jangan melihatku seperti itu. Seperti Singa lapar saja," ujarku kepada Bila yang matanya terus mengikuti kakiku beranjak.
Bila terlihat membulatkan matanya sebelum kemudian tidur miring dan membelakangiku. Aku pikir dia sudah tertidur, tetapi nyatanya dia masih terjaga. Bila mengubah posisinya menjadi terlentang sebelum akhirnya tidur menghadapku, kemudian berbalik lagi membelakangiku dan menutup mata. Lama kelamaan aku mulai terusik dengan sikapnya.
"Kamu kenapa?" tanyaku ketika Bila sudah tidur menghadapku lagi.
"Masih tidak bisa tidur? Dari tadi bergerak terus." Aku kembali bertanya saat Bila masih diam meskipun sudah membuka mata.
"Maaf," ucap Bila sambil menunduk.
Aku berpikir sebentar, dulu aku akan sulit untuk tidur di tempat yang baru sampai akhirnya Mama selalu menemani dan memelukku hingga aku bisa tidur. Mungkin saja Bila juga merasakan hal yang sama, tidak nyaman dengan suasana tempat baru. Aku menarik Bila ke dalam dekapan dan memeluknya, melakukan apa yang dulu biasa Mama lakukan saat aku masih kecil. Benar saja, tidak lama kemudian Bila sudah terlelap.
**
Keesokan harinya, kami sepakat untuk pergi ke kawah putih sebagai ganti hari kemarin, minimal urusan kantor sudah bisa di-handle sementara oleh Edo karena tadi malam urusan email beres dan hanya menyisakan masalah kecil. Pagi hari aku sudah menjadi seperti chef handal yang memantau kegiatan memasak Bila. Bayangkan saja jika memberi air untuk menanak nasi saja dia tidak tahu. Kesabaranku mulai diuji setelah menunggu lama dan ternyata Bila hanya menghasilkan dua telur mata sapi tanpa teman, menyedihkan. Akhirnya, tidak ingin berdebat lebih lanjut dengannya, aku memilih untuk mengambil alih memasak dan sebagai gantinya Bila yang harus membereskan meja makan.
Selesai mandi, aku memilih menunggu Bila sambil membuka email dari ponsel. Tidak lama kemudian, Bila sudah muncul di depanku dengan baju berwarna biru laut dan tas serempang berwarna senada. Wait, mataku menatap ulang Bila dari atas dan aku menemukan ada yang berbeda darinya. Dia menutup auratnya.
"Kenapa lagi? Ada yang salah sama pakaianku?"
"Cantik, kenapa tidak begini saja setiap hari?" kataku masih dengan wajah mengamati.
"Di mana-mana yang namanya cewek cantik." Ah, aku lupa kalau istriku ini memang pandai berbicara atau sebut saja bawel.
"Tetapi, sekali kamu memutuskan untuk menutup aurat, selanjutnya jangan dibuka."
"Aku masih belajar," ujarnya mengelak.
"Asal kamu yakin dalam hati, tidak perlu belajar untuk melakukannya. Menutup aurat itu sudah kewajiban, jadi jangan berkata belum siap. Kamu belum siap karena kamu sendiri yang membuatnya tidak siap." Aku berusaha menasihati Bila, minimal jika saat ini dia sudah mau menutup aurat maka tidak akan sulit untuk mengubah gaya berpakaian sebelumnya.
"Tapi, bukankah itu seharusnya diimbangi dengan sikap dan perbuatan yang manis. Dan aku nggak yakin bisa seperti itu."
"Orang yang menutup aurat itu bukan berarti tingkah lakunya sudah sempurna, justru dengan kamu menutupnya akan lebih menjaga sikap karena malu dengan penampilan. Itu kata rekan kerjaku dulu saat dia memutuskan berhijab. Jadi, ya, kuharap kamu bisa begini seterusnya."
"Insya Allah."
Aku menghela napas lega saat akhirnya Bila mengalah dan memilih untuk mengikuti apa yang aku katakan. Faktanya, sekarang dia adalah tanggungjawabku dan aku bertanggug jawab penuh atas apa yang dia lakukan.
"Baiklah, kita berangkat sekarang." Aku langsung menarik tangan Bila untuk mengajak Bila berangkat karena waktu sudah semakin terik. Namun, pada saat yang sama baru satu langkah kami berjalan dia sudah menghentikan langkah.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Menghadap sini deh, Kak!"
Keningku berkerut tidak tahu maksud dari Bila. Tiba-tiba saja dia melepaskan tanganku yang menggenggamnya dan kemudian menggulung kemeja yang kupakai sampai siku. Setelahnya, dia diam sebentar mengamati sebelum melakukan tindakan yang membuatku menahan napas. Tangan kecil Bila berada di depan dadaku dan berusaha membuka kancing kemeja paling atas. Tidak tahukah dia bahwa bagaimanapun juga aku adalah lelaki dewasa?
"Kamu tidak berencana menggagalkan acara hari ini, kan?" tanyaku menyelidik melihat tingkah absurd Bila.
"Maksudnya? Aku kan cuma mau buka kancing kemeja ini," ucap Bila dengan tangan masih berusaha membuka kancing yang sepertinya sedikit sulit.
"Ah, sudahlah, aku bisa membukanya sendiri."
Aku menepis tangan Bila dengan cepat dan segera melarikan diri menuju mobil. Aku mengambil napas panjang dan mengembuskan perlahan. Ini tidak benar, jantungku berdebar kencang hanya karena sentuhan dari Bila. Ini Gila!
**
Aku tertawa geli melihat Bila yang saat ini sedang dibantu berdiri oleh seorang ibu muda. Dia terlalu bersemangat datang ke tempat ini dan berlari kecil karena tidak sabar sampai ke bawah. Dia bahkan mengabaikan peringatanku untuk berhati -hati. Akibat dari kecerobohannya, dia baru saja jatuh terjerembab.
"Kualat!" kataku sambil berjalan melewatinya. Saat ini bukan dia yang memimpin, tetapi aku. Setelah melangkah cukup jauh, aku berhenti sebentar karena Bila yang tidak kunjung menyusul. Saat aku menoleh, terlihat Bila yang beranjak belum jauh dari tempat dia terjatuh. Dari kejauhan aku melihat dia berusaha berjalan dengan tertatih. Mau tidak mau kalau sudah begini aku harus berjalan pelan, menyejajarkan badan dan bahkan menopangnya agar dia tidak kesakitan saat berjalan. Kami mengelilingi tempat ini sampai akhirnya Bila berkata bosan dan kami pun segera menuju resto terdekat untuk mengisi perut.
"Ini kuncinya, aku mau pergi sebentar!" ujarku kepada Bila saat kami sudah sampai halaman rumah.
"Mau ke mana?" tanyanya kemudian.
"Jangan bawel!" kataku kesal sambil menggerakkan tangan untuk mengusirnya. Aku harus pergi dan tidak memungkinkan membawa Bila karena dia sudah terlihat lelah, ditambah dengan jalannya yang saat ini seperti siput.
Meskipun dengan bibir mengerucut, Bila akhirnya mengambil kunci dari tanganku dan bergegas ke luar. Setelah memastikan dia masuk ke dalam rumah, aku segera mengarahkan mobil ke toko ponsel terdekat. Tadi saat di jalan dan melihat pamflet iklan ponsel, aku baru sadar kalau saat ini kami membutuhkannya untuk komunikasi, terlebih jika situasinya seperti kemarin malam. Aku membelikan Bila ponsel, ponsel yang sama dengan milkiknya yang sudah tidak menyala.
Komunikasi itu penting dan tidak mungkin dihilangkan.
Aku menatap kesal pada layar ponsel yang ada di tangan. Aku sudah menelepon ke ponselku yang saat ini sedang di bawa oleh Bila. Naasnya Bila tidak menjawab dan pintu saat ini sudah dikunci.
Ayo angkat Bila!Tidak tahukah kamu aku sudah sangat lelah hari ini dan ingin tidur? Ck.
Aku menatap layar yang berubah menjadi detik berjalan, akhirnya! "Buka pintunya, Bila!"
Tidak ada jawaban dan pintu tidak juga terbuka.
"Bila, ini aku Daffa, sekarang tolong bukain pintu."
Aku mengernyit heran saat Bila masih saja mendiamkanku, tetapi tidak lama kemudian pintu di hadapanku sudah terbuka lebar.
"Lama!" protesku kepada dia yang terlihat enggan membuka pintu.
"Makanya besok diduplikat kuncinya. Lagian salah sendiri pakai telepon bukan sms aja jadi nggak bikin penasaran!"
"Aku capek, Bila! Ini buat kamu, aku mau mandi. Kalau kamu ngantuk langsung tidur aja. Besok pagi-pagi aku ke kantor lagi."
Aku segera menyodorkan paperbag kepada Bila sebelum dia kembali berbicara panjang dan membuatku harus menunda lebih lama untuk bergelung di kasur. Aku segera ke kemar mandi untuk membersihkan diri. Saat keluar, Bila belum menampakkan diri, mungkin masih sibuk dengan ponsel barunya. Akhirnya aku memilih tidur terlebih dahulu, toh nanti juga pasti Bila akan menyusul tidur.
**
Aku menggeleng tidak percaya melihat Bila sudah terlelap saat aku baru keluar dari kamar mandi. Bisa-bisanya dia tidur di saat aku sedang bersiap bekerja. Aku memilih mengabaikannya, mungkin saja dia terlalu lelah setelah perjalanan kemarin di tambah dengan cidera kecil yang dia terima. Aku mengambil tas kerja untuk memasukkan laptop dan saat aku melihat sebuah buku, barulah teringat kalau kemarin hadiah buku dari seorang sahabat di kantor. Buku sederhana, tetapi penuh makna, fiqih nikah. Aku membukanya secara acak untuk melihat isinya sebelum meletakkan buku tersebut di nakas karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku harus bergegas ke kantor kalau tidak ingin terlambat.
"Pagi, Do! Gimana masalah jaringan? Sudah beres, kan?"
"Pagi, Pak! Iya sudah beres. Oh, ya, Pak, kemarin Bu Rani menitipkan ini untuk bapak, katanya Beliau ingin format laporan sistem di Purchasing diubah menjadi yang kayak di gambar. Terus ada pesan juga dari Bu Lina, kata Beliau kalau Bapak hari ini sudah masuk diminta ikut sosialisasi sitem baru di PT.XXX kalau bapak tidak sibuk. Bagaimana, Pak?"
Aku menghela napas pasrah, tahu akan begini lebih baik tidak perlu masuk mengingat masa cutiku yang seharusnya masih berlaku dalam minggu ini. Tahu begini tadi aku cuckup menelpon Edo, untuk meng-update masalah jaringan. Arghhhhhh.
"Ah, ya Pak, Kata Bu Rani laporannya mau dipakai buat meeting besok sama Budir. Kemarin saya nggak berani otak-atik takut eror," tambah Edo lagi yang sukses membuatku gemas. Nasib jadi pegawai.
"Ya sudah, nanti biar saya kerjakan. Saya coba hubungi ke Bu Lina dulu buat ke customer."
"Oke, Pak! Kalau begitu saya backup data ya karena sudah awal bulan."
Edo berlalu meninggalkanku yang kini menatap layar laptop dengan lesu sebelum memutuskan untuk menghubungi Ibu Lina. Sosialisasi sistem, biasanya berhubungan dengan sistem online dari customer dan memakan waktu yang cukup lama.
Benar saja, seperti dugaanku sebelumnya, aku baru bisa kembali ke kantor setelah Asar sementara tugas masih menanti. Oke, semangat Daffa! Urusan Bila, aku akan menjelaskan kepadanyaa nanti. Sekarang yang penting aku harus menyelesaikan pekerjaan ini agar bisa memanfaatkan sisa cuti dengan bersantai di rumah.
Tidak terhitung sudah berapa kali aku menguap dan membuat kopi, rasa kantuk sudah sukses membuat mataku memejam. Melihat waktu yang sudah hampir subuh, aku memilih memejamkan mata dan baru akan pulang esok hari.
**
Aku menemukan Bila yang menatapku dengan wajah kusut saat menyambutku. Akhirnya aku benar-benar pulang setelah subuh.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Bila yang kemudian langsung berbalik dan bergelung di sofa ruang tamu.
"Maaf, tadi malam aku menginap di kantor. Aku tidak bisa menghubungi kamu, aku baru sadar kalau tidak ada pulsa," teriakku sedikit keras agar Bila mampu mendengarnya.
Aku mengernyit heran saat melihat Bila masih tetap bergelung di sofa dan tidak menjawab kalimatku. Parahnya lagi, dia justru memutar tubuhnya menghadap ke sandaran kursi saat aku mencoba mendekat. Dia pasti sangat marah karena kejadian hari kemarin dan aku memang bersalah dalam hal ini.
Setelah memanggil namanya dan Bila masih enggan menjawab, akhirnya aku memutuskan masuk ke kamar untuk mandi karena badan yang mulai terasa lengket. Langkahku terhenti tepat di depan pintu saat menemukan kamar yang tampak berbeda. Aku menemukan ranjang yang sebelumnya aku ingat dipasang sprei berwarna biru donker kini berganti dengan sprei berwarna putih. Saat mendekat, mataku sukses membelalak menemukan kelopak mawar berbentuk hati yang sudah mulai layu ada di atas sprei.
Aku mengurungkan niat untuk mandi dan berjalan menuju dapur, ada perasaan yang mengatakan ada sesuatu di sana. Benar saja, aku bisa melihat berbagai menu makanan di atas meja dan tunggu, ada bekas lilin yang sudah habis. Aku mengacak rambut dengan frustrasi, jadi tadi malam Bila sudah menyiapkan semua ini sementara aku justru sibuk bekerja. Aku merasa sangat berdosa, sungguh. Aku memutuskan untuk memakan apa yang sudah dimasak oleh Bila, lumayan masih enak dimakan.
Selesai menghabiskan makanan yang ada, aku memutuskan membuat sarapan untuk Bila. Dia pasti belum makan sejak kemarin malam melihat makanan yang masih utuh.
Setelah selesai membereskan meja dan membuat nasi goreng, aku duduk bersimpuh di hadapan Bila bergelung. Ya Tuhan, pasti aku sudah menyakitinya. Daffa bodoh!
"Bila!" panggilku dengan mengusap lengan kanannya.
"Bila, makan dulu."
"Nggak laper!" Bila menjawab dengan wajah masih tetap bersembunyi.
"Kamu belum makan dari tadi malam, kan?"
"Aku sekarat sekalipun juga Kakak nggak akan peduli, kan? Aku baru tahu pernikahan dengan simbiosis mutualisme itu nggak akan pernah sejalan, yang ada hanya saling menyakiti. Kupikir mengingat Kakak yang masih saudara akan memudahkan segala urusan, tapi nyatanya aku salah," Bila berucap masih dengan posisi membelakangiku.
"Kalau kamu keras kepala seperti sekarang masalah tidak akan selesai, Bila! Sekarang kamu bangun, kita makan dan setelahnya baru bicara baik-baik." Aku berkata selembut mungkin, berusaha membuat Bila tidak semakin naik darah.
Bila tidak menjawab perkataanku lagi, tetapi kini dia sudah bangkit dari posisi meringkuknya yang seperti bayi dan duduk. Dia membulatkan mata melihatku duduk bersimpuh di hadapannya. Aku mengangkat badanku agar bisa sejajar dengan wajahnya. Dari sini aku menemukan wajah Bila yang kusut dengan kantong mata terlihat seperti panda.
"Lihatlah, mukamu kusut!" ujarku mencoba mencairkan suasana.
"Ini semua karena Om Om tak tahu diri yang membiarkanku menunggu berjam-jam."
Aku menatap Bila yang berjalan menuju dapur, kini dia sudah duduk di salah satu kursi yang ada. Aku mengikuti langkah Bila dan duduk di hadapannya.
"Makan!" ujarku kemudian.
Aku menangkap dengan jelas setiap gerakan yang dilakukan Bila, dia menarik piring berisi nasi goreng, tetapi tidak menyentuhnya sedikit pun. Dia hanya menatap kosong pada makanan yang ada.
"Aku nggak nafsu makan," ujarnya kemudian dengan tangan menjauhkan piring dari hadapannya.
Aku menatapnya tajam, sejak dulu aku tidak suka melihat orang yang menyia-nyiakan makanan dengan alasan apa pun. Mereka sama sekali tidak bersyukur mengingat banyak orang yang bahkan harus berjuang keras demi sesuap nasi.
"Kamu kenapa, sih?" tanyaku kesal. Kalau marah tinggal bilang saja, bukan? Kenapa harus mengabaikan makanan yang ada?
Bila hanya diam dan menatapku datar.
"Jadi, tadi malam kamu habis ritual apa? Kenapa banyak lilin dan juga bunga mawar, hem?" tanyaku lagi mencoba mencairkan suasana.
Wajahku fokus menatap Bila, dia menatapku kesal sebelum menenggelamkan wajahnya di atas telapak tangan yang ada di meja. Hah, oke, aku kembali merasa benar-benar bodoh dan berdosa sekarang. Bagaimana aku memarahinya hanya karena masalah makanan, sementara aku sama halnya dengan dia, menyia-nyiakan makanan yang telah dia buat. Aku bangkit berdiri dan mengambil posisi duduk di sampingnya.
Tanganku terulur mengusap kepalanya, "Aku minta maaf karena kejadian tadi malam. Aku tidak tahu kalau kamu menyiapkan makan malam, tadinya kupikir kamu akan beli makanan di luar."
Kepala Bila yang kini terangkat menatap wajahku tanpa ekspresi.
"Aku juga tidak tahu kalau kamu iseng menyambutku dengan ratusan kelopak mawar. Ehmm, sejujurnya aku suka. Ya, walaupun akhirnya aku kesulitan membersihkannya."
"Jadi, intinya apa?"
Aku tersenyum lega saat mulutnya kembali terbuka, meskipun masih mengucapkan kalimat sinis.
"Tadi malam aku sengaja membereskan semua masalah yang ada. Mau pulang sudah larut malam, jadi sekali lagi aku minta maaf."
"Hem." Bila menjawab pertanyaanku hanya dengan sebuah gumaman.
Tiba-tiba saja sebuah ide cemerlang muncul di otak. Puncak! Aku tersenyum puas karena menemukan ide di saat yang sangat tepat. Aku masih ingat dengan jelas kalau sebelumnya Bila merajuk agar membawanya ke puncak sebagai ganti acara bulan madu. Baiklah, kurasa saatnya memanfaatkan tempat ini sebagai tanda permintaan maaf.
"Jadi, sehubungan tadi malam semua urusan selesai, tiga hari ke depan aku bisa cuti. Kita bisa ke puncak seperti keinginanmu."
"Puncak? Aku nggak salah denger, Kak? Jadi, tadi malam Kak Daffa nyelesain kerjaan biar kita bisa ke puncak?" tanyanya girang.
Aku tersenyum puas saat melihat mata Bila yang berbinar dan senyum terukir di wajahnya. Dia terlalu senang hanya karena puncak sampai melupakan kemarahannya. Termasuk saat aku menyuruhnya sarapan, dia tidak menolak seperti sebelumnya. Aku memutuskan untuk meninggalkan Bila makan dan menyalakan televisi, tetapi ternyata tidak lama kemudian mataku sudah sulit terbuka.
Bersambung ke Daffa 3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro