Extra Part --- Daffa 1 (re-post)
Assalamu'alaikum..
Akhirnya, karena permintaan beberapa teman, untuk Part Daffa saya re-post semua, ya!
Selamat membaca ulang buat yang kangen mereka. ^^
#Wassalamu'alaikum...
****
"Kak Masha, kita bobok sekarang, ya?" tanya Bila kepada Masha yang masih sibuk mencoret buku gambarnya. Masha, tidak terasa dia sudah berusia tiga tahun dan dia sangat senang jika diberi kertas juga pensil. Walaupun tidak perlu ditanyakan seperti apa mahakaryanya karena sungguh luar biasa sampai-sampai tidak bisa diterima oleh otakku.
Aku tersenyum melihat kedekatan mereka, setiap malam Bila harus membujuk Masha untuk beranjak ke kasur dan seperti biasa pula Masha akan menggeleng. Kak, ini adalah hari kedua Bila mulai membiasakan diri untuk memanggil Masha dengan panggilan 'kakak' atas permintaanku. Alasannya sederhana, supaya Masha akan terbiasa dengan panggilan itu ketika nanti dia mempunyai Adik.
"Kak," tegur Bila sambil menutup buku gambar milik Masha.
Masha mengerucutkan bibir kesal karena kegiatannya sudah diganggu, "Nanti, Memei! Maca balu gambal. Ni lihat, Mei! Maca gambal Ayah, Memei, sama Maca."
Bila menyingkirkan kedua tangannya dan menatap hasil gambar dari Masha. "Ah iya, gambarnya bagus, ya. Ehmm.......Kak, besok Ayah libur lho, kita mau jalan-jalan. Kak Masha mau ikut nggak?"
"Ikut!" Masha menatap ibunya dengan mata berbinar.
"Benel, Yah besok mau jalan-jalan?" tanya Masha kemudian sambil menengok ke arahku.
Aku terdiam sejenak memikirkan rencana esok hari. Sejujurnya besok memang benar hari libur, tetapi kami sama sekali belum membicarakan masalah liburan ini. Aku melihat Bila yang mengedipkan mata sebagai tanda aku harus mengiyakan pertanyakan Masha. Kalau istriku sudah memutuskan lantas aku bisa apa.
"Iya, Sayang."
"Asikkkk.. Nanti Masha bisa lihat beluang gede!" Masha langsung bertepuk tangan kegirangan.
"Ya udah, sekarang tempatnya diberesin terus kita tidur. Besok bangun pagi, kita jalan-jalan sama Ayah? Oke?" Bila menginterupsi Masha yang sedang merayakan kebahagiannya.
Bila mengangkat tangan untuk bertemu dengan tangan kecil Masha. Selanjutnya, mereka berdua sibuk membereskan peralatan yang berserakan di lantai sementara aku hanya duduk di sofa memerhatikan interaksi keduanya. Setelah tempat bermainnya rapi, Masha langsung berjalan ke arahku dan merangkak naik ke sofa yang sama. Dia langsung menempelkan kepalanya ke bahuku dengan tangan melingkar di leher.
"Maca ngantuk, Yah."
"Kak Masha udah ngantuk?"
"Iya. Ayah sama Memei temenin Maca tidur, ya?"
"Iya!" jawabku sambil berdiri membawa Masha ke dalam kamarnya.
Aku berjalan dengan Bila mengekor di belakang. Dia terlihat memanyunkan bibirnya, sementara aku hanya mampu menghela napas. Hidup bersama Bila selama hampir empat tahun membuatku mengenal bagaimana sifatnya. Dia selalu saja kesal saat Masha menolak tidur dan baru mau beranjak ketika aku turun tangan atau minimal dia harus menjual namaku seperti apa yang baru saja dia lakukan. Dia tidak suka Masha manja kepadaku, padahal dia sendiri tidak kalah manjanya dengan Masha. Ada-ada saja.
"Yah, berapa kali sih Bila mesti bilang, Masha jangan terlalu dimanjakan. Nanti kalau udah dewasa dia nggak bisa mandiri dan selalu merengek ke ayah!" ujar Bila saat Masha sudah terlelap dan kami berada di kamar yang berbeda.
"Manja seperti Memeinya, ya?"
"Yahhhh," rengeknya sambil memukul lenganku, tidak terlalu keras, tetapi aku sengaja mengaduh agar dia berhenti dan berganti untuk mengusapnya walaupun dengan bibir mengerucut.
"Tuh, kan. Kamu itu sebelas duabelas sama Masha, sama-sama manja."
"Makanya Bila minta ayah jangan manjain dia."
"Bilang aja kamu cemburu sama Masha. Pengen dimanjain juga, hem?"
Aku tersenyum lebar melihat Bila semakin mengerucutkan bibir, membuatku ingin melenyapkannya dengan segera. Sejak menikah, aku memang mempunyai hobi baru, yaitu membuat istri manjaku ini kesal dan kemudian dia akan berbicara panjang lebar, lalu setelahnya aku akan membuatnya diam.
"Yah. Bila serius lho. Kalau ayah terus memanjakan Masha mau jadi apa saat dia dewasa kelak? Aku, walaupun ayah bilang manja begini, tetapi mandiri, nyatanya sejak bekerja sudah tinggal sendiri jauh dari ayah sama bunda. Nah, Masha? Ayah tinggal satu hari ke Bandung saja dia sudah rewel minta ampun."
Nah, kan!
"Namanya juga anak kecil, Mei."
"Justru dia mesti diajari sejak kecil."
"Ayah ada ide bagus Mei buat bikin Masha tidak manja lagi."
Bila yang sudah mulai membaca buku mengenai perkembangan anak langsung mendongak menatapku. "Apa?"
"Adik baru buat Masha."
"Mesum!"
"Itu ide cemerlang loh, Mei. Ayah yakin 99% Masha tidak akan manja lagi."
Aku mengacak rambut Bila dengan gemas saat dia hanya memutar bola mata mendengar ide cemerlang dariku. Mungkin orang lain yang melihat hubungan kami saat ini akan beranggapan kami adalah contoh keluarga bahagia. Kami memang keluarga bahagia sekarang, tetapi tentunya ini semua dapat dicapai setelah melalui jalan yang panjang dan penuh liku. Ingatanku memutar kembali awal hubungan ini dimulai
FLASHBACK.
"Daffa, Mama sama Papa sudah tua loh. Lihat nih, udah ada keriput," Mama berujar sambil memegang tanganku dan mengarahkan ke wajah beliau.
Aku memutar bola mata dengan kesal. Ini bukanlah pertama kalinya Mama melakukan hal yang sama, melainkan Beliau selalu melakukannya setiap aku pulang ke rumah ini. Rumah tempat aku tumbuh dewasa dan menghabiskan waktu selama tiga puluh tahun. Lima tahun yang lalu aku baru pindah ke rumah hasil keringatku sendiri.
Harus kuakui diusiaku yang mulai menapak tiga puluh lima tahun sudah pantas untuk menikah. Namun, masalahnya tidak sesederhana itu, melainkan siapa wanita yang akan kunikahi. Siapa wanita yang akan bersedia menghabiskan waktu untuk hidup dan menua bersamaku. Terkadang aku menyesal karena terlalu fokus mengejar karir sampai lupa waktu untuk mencari pasangan. Ya, aku berhasil menduduki salah satu kursi manajer di perusahan setelah merintis karir mulai dari staff biasa. Kesibukkan itu membuatku lupa satu hal, pasangan hidup.
Kebiasaan dari kecil hidup sendiri tanpa saudara membuatku sedikit mengabaikan keadaan sekitar. Beberapa kali aku mencoba berhubungan dengan wanita, tetapi hasilnya sama, aku merasa tidak nyaman dengan keberadaan mereka. Aku menyerah dengan usahaku sendiri dan sudah pasrah dengan keputusan yang akan diberikan Mama maupun Papa tentang calon pendamping hidupku.
"Mama sudah ada calon buat Daffa belum? Kalau sudah, ayo kita lamar sekarang."
Mama menjitak kepalaku pelan. "Dikata cari menantu itu gampang!"
"Itu Mama tahu. Jadi, berhenti meminta Daffa buat menikah selama belum ada calon. Kalau pun nanti Daffa sudah ada calon yang tepat, pasti langsung bawa ke Mama."
Aku bisa bernapas lega karena sejak kejadian itu untuk beberapa bulan lamanya Mama berhenti menerorku dengan masalah pernikahan. Naasnya topik ini kembali diangkat saat kami baru saja pulang menghadiri pernikahan kerabat di Surabaya. Ave, saudara sepupuku yang baru berumur 20 tahun sudah mengakhiri masa lajangnya. Jauh di lubuk hati sejujurnya egoku sedikit terluka akan kenyataan ini, aku yang 15 tahun lebih tua darinya masih melajang sampai sekarang. Hal yang sama juga dialami oleh Mama, walaupun tidak mengatakan apapun, tetapi aku tahu wajahnya terlihat sendu saat menatapku. Tanpa perlu bicara, aku tahu Mama juga menyimpan rasa iri kepada Ave.
"Fa, bisa Papa bicara sebentar?"
Aku mengangguk dan lansung mengambil posisi di samping Papa. Saat ini kami baru saja menginjakkan kaki di Bandung.
"Kamu lihat mamamu, dia pasti sedih karena Ave menikah."
"Daffa tahu."
"Papa tidak bisa melihat Mamamu terus seperti ini, apa kamu sama sekali belum ada rencana buat menikah?"
Aku mengembuskan napas pelan dengan tangan mengusap wajah. "Kalau saja ada calonnya, Pa, pasti Daffa sudah menikah. Apa Papa ada calon sekarang?"
Selama hidupku, aku tahu Papa adalah orang yang tidak suka memaksakan kehendak. Ini adalah pertama kalinya Beliau membahas masalah pernikahan denganku, berbeda dengan Mama yang selalu mengangkat topik ini. Kesimpulannya adalah Papa sudah dalam tahap menyerah melihat Mama murung setiap kali ada undangan pernikahan datang. Puncaknya adalah pernikahan Ave kemarin, walaupun di luar Mama tertawa bahagia, tetapi matanya tidak bisa berbohong. Aku bisa melihat Mama menyimpan kesedihannya, bahkan sejak kami tiba di Bandung Beliau langsung masuk ke kamar.
"Tadi Papa sempat berbicara dengan Om Reffi, kebetulan Om Reffi juga sedang mencari calon untuk Bila. Gimana kalau kamu yang maju, Fa?"
"Daffa?" ujarku sambil menunjuk wajah dengan jari telunjuk.
Bila. Dia adalah sauara sepupuku dari Mama, tepatnya anak dari Adik Mama, Tante Alya. Mendengar namanya saja langsung membuat otakku secara lancang mengulang dua kejadian yang sudah berlalu. Setelah lama kami tidak berjumpa karena kesibukanku sehingga absen pada acara trah keluarga, akhirnya beberapa bulan yang lalu aku terjebak oleh waktu bersamanya. Tepatnya aku terjebak untuk menemani dia menghadiri pesta pernikahan sebagai partner saat ada seminar di Jogja. Kalau saja Ave tidak merengek saat meneleponku agar menemani Bila, pasti aku tidak akan sudi, dari awal aku memang tidak begitu suka keramaian.
Aku mencibir pelan mengingat kejadian yang menurutku biasa, tetapi menjadi luar biasa bagi Bila. Aku tidak tahu harus menaruh wajahku di mana saat partner ke undangan menangis tersedu di acara pernikahan orang. Dia tidak lain adalah Bila, sepupuku itu terisak ketika pernikahan temannya. Setelah aku berhasil membawanya pergi, dia yang awalnya cerewet langsung berubah 180 derajat menjadi pendiam, bahkan nyaris bungkam. Konyolnya lagi saat dia menolak pulang dan memintaku untuk di antar ke hotel. Seumur hidupku waktu itu adalah pertama kalinya aku melihat orang bodoh karena cinta. Tanpa Bila mengatakannya pun, aku tahu kalau dia belum ikhlas melepaskan temannya untuk menikah. Wanita memang benar-benar bodoh, bukankah masih banyak pria yang menganggur seperti aku contohnya? Lalu, untuk apa mereka harus menangisi lelaki lain yang sudah beristri. Konyol!
Kejadian kedua adalah kemarin lusa, saat aku terpaksa membujuk Bila datang ke pernikahan Ave. Demi Tuhan, kalau saja Om Alvin tidak meminta tolong agar aku membawa Bila ke Surabaya untuk acara Ave, aku tidak akan repot-repot pergi ke Jogja dan membujuk Bila. Lebih naas lagi adalah saat dia menolak ajakanku begitu saja tanpa memikirkan aku yang sudah repot-repot mampir ke Jogja, sementara di sisi lain Ave mengancam tidak akan melanjutkan acara pernikahan tanpa kehadiran Bila. Dua anak labil yang memusingkan.
Tetapi jangan panggil aku Daffa jika tidak bisa mengintimidasi orang lain, terlebih anak labil seperti Bila. Pada akhirnya, dia mau berangkat ke pernikahan Ave walaupun tetap saja ada masalah yang dibuat olehnya. Dia kabur setelah bertemu dengan sahabatnya, dan bahkan aku masih ingat dengan jelas saat dia menuduhku sengaja mempertemukan dia dengan sahabatnya. Orang patah hati memang sulit untuk dimengerti.
"Fa, gimana?"
Aku mengerjap pelan dan kembali beralih ke Papa saat beliau menepuk bahuku ketika aku sibuk melamun.
"Bila itu labil, Pa! Manjanya minta ampun."
"Justru itu tantangan buat kamu, buat dia menjadi mandiri dan tidak manja lagi. Sekarang kamu memilih menerima Bila atau kamu lebih tega melihat mamamu seperti sekarang? Semua keputusan ada di tanganmu, Papa tidak memaksa."
Aku menyandarkan badan ke sofa. Papa tidak memaksa, tetapi meminta. Lalu, sanggupkah aku menolak permintaan orangtua yang selama ini berperan dalam hidupku? Mereka yang sudah banyak berkorban hingga aku masih bisa menghirup udara sampai saat ini. Aku tentu saja tidak bisa menolaknya.
"Insya Allah Daffa setuju, Pa. Apa pun asal Mama bisa tersenyum lagi."
"Kamu memang anak Papa." Papa berujar sambil menepuk bahuku pelan, senyum bahagia terpancar di wajahnya.
Tidak ada yang lebih membahagiakan dari melihat keluarga tersenyum bahagia karenamu.
**
Aku berusaha meyakinkan hati untuk tetap melanjutkan perjalanan menuju rumah Om Reffi. Papa sudah mengurus semua bersama Om Reffi, membahas masalah ini. Mama terlihat pasrah atas kabar yang akan kuberikan. Hari ini adalah hari penentuan, Om Reffi memintaku langsung bicara kepada Bila mengenai masalah pernikahan. Hah, semoga Tuhan memberiku kesabaran ekstra untuk menghadapinya.
"Jadi, kenapa Kak Daffa bisa ada di sini?" tanya Bila sambil menatapku tajam. Om Reffi dan Tante Alya baru saja meninggalkan kami berdua untuk berbicara.
"Seharusnya Om Reffi sudah menjelaskannya, kan?" tanyaku balik. Kalau saja boleh memilih, aku lebih senang berbicara dengan Om Reffi daripada anaknya.
"Tetapi tidak cukup jelas untuk kumengerti kenapa bisa Kakak yang dipilih Ayah. Jangan lupa kita ini masih saudara sepupu. Lalu, kenapa Kakak harus menyetujui ide gila dari Ayah? Atau mungkin justru Kak Daffa yang meminta kepada Ayah agar bisa menikah denganku mengingat akhir-akhir ini Kakak selalu muncul di sekitarku?"
Aku diam, menunggu Bila untuk melanjutkan kalimatnya supaya puas mengatakan isi hati tanpa tertinggal sedikit pun.
"Kenapa hanya diam?" cecarnya lagi.
"Ada lagi yang mau kamu sampaikan?"
Bila membuang mukanya ke samping, terlihat enggan melihatku. "Nggak!"
Kurasa umurku bisa berkurang cepat jika harus menghadapi Bila dalam waktu yang lama. Selanjutnya, aku harus menjelaskan secara rinci alasan di balik semua rencana ini. Alasan yang tidak lain adalah untuk membahagiakan orangtua, alasan sederhana yang membuat semua terasa begitu rumit. Simbiosis mutualisme, begitulah aku menyebutnya. Faktanya, kami memang sama-sama diuntungkan, aku bisa melepaskan status lajang dan membuat Mama tersenyum sementara Bila juga demikian. Adil, bukan?
"Aku tidak bisa menolak permintaan Ayah, baiklah aku setuju."
Aku bersorak dalam hati mendengar nada pasrah dari Bila. Akhirnya aku akan melihat Mama tersenyum kembali. Setelah berdiskusi singkat dengan Om Reffi, aku pamit undur diri kembali ke Bandung. Baru saja aku mengetuk pintu, Mama langsung menyambutku dengan senyum lebarnya. Senyum yang sudah aku rindukan beberapa waktu terakhir. Papa pun juga melakukan hal yang sama. Bismillah, semoga keputusanku tidak pernah salah.
**
"Aku mau nanti dekorasinya pakai warna ungu," celoteh Bila dari layar skype.
Aku menatapnya tanpa tahu harus berekspresi seperti apa. Ungu? Bukankah itu adalah warna janda.
"Tetapi aku mau warna krem. Ungu itu warna janda, memangnya kita mau pisah, kenapa harus warna ungu?"
"Warna ungu itu bagus, Kak. Bukan hanya janda yang memakai warna ungu, lagi pula apa itu warna krem? Seperti jaman dulu saja."
"Aku mau krem. Titik." Hei, bagaimana bisa dia mengatakan warna krem adalah selera orang jaman dahulu? Setahuku warna krem itu justru terlihat elegan.
"Aku mau ungu. Titik."
"Bila!" panggilku tegas mencoba mengintimidasi Bila.
Sama sekali tidak terpengaruh, justru kini Bila merapatkan kedua tangannya di depan dada. "Kak Daffa, please!"
"Terserah kamu."
Aku mengalah ketika kurasa melanjutkan debat dengan Bila tidak akan menemukan titik temu. Dia terlalu manja kepada ayahnya sehingga terbiasa apa pun yang menjadi keinginannya harus terpenuhi. Semoga anak kami kelak tidak seperti dia. Aamiin.
"Oke, masalah dekorasi deal warna ungu. Selanjutnya baju, aku mau warna putih, ungu, merah maroon, biru dan hijau. Putihnya nanti buat acara Ijab, sisanya buar resepsi."
Aku menatap Bila dengan syok, dia pikir kami mau menjual baju sampai-sampai untuk acara satu hari harus mempersiapkan lima baju ganti. Ini namanya pemborosan yang sia-sia.
"Jangan berlebihan. Tiga baju saja sudah cukup."
"Empat deh empat, ya?" tanyanya sambil mengedipkan mata seperti anak kecil. Fix, aku akan menikah dengan seorang bocah.
"Terserah."
"Oke, warna biru tidak masalah dihapus. Ah ya, untuk undangan Ave yang akan urus, dia mau cetakin."
"Terserah," jawabku pasrah. Dia tidak sedang meminta pendapatku, bukan? Toh, setiap kali aku menentang keputusannya dia akan kekeh dengan pendapatnya.
"Ya udah, cukup sih. Nanti aku tinggal bilang sama Bunda masalah ini. Kalau Kakak perlu ke Jogja nanti aku kabari lagi."
"Ya."
Aku masih diam ketika melihat Bila seperti berpikir untuk mengatakan sesuatu, tetapi tampak ragu. Dia masih diam dan juga belum memutuskan panggilan. Aku hendak bertanya ada apa, tetapi mengingat mood-nya yang terkadang labil akhirnya memilih diam dan menunggu dia kembali berbicara.
"Kak," ujarnya setelah beberapa saat.
"Ya?"
"Kakak yakin semuanya akan berjalan lancar? Tidak akan ada masalah ke depannya? Aku kok ragu, ya? Gimana kalau nanti kita gagal?"
Sejujurnya aku sendiri masih ragu untuk menghadapi semua ini, tetapi melihat sorot putus asa dari Bila sukses membuatku frustrasi. Kenapa dia harus ragu di saat keputusan sudah diambil? Kenapa dia berbicara seakan-akan rencana ini harus dihentikan? Tidak, aku tidak mungkin membiarkan hal ini terjadi. Aku tidak ingin wajah Mama kembali menjadi muram seperti sebelumnya.
"Jangan kekanakan! Kita sudah ambil keputusan dan tidak bisa mundur lagi. Sekarang kita jalani saja, ke depannya kita lihat nanti dan jangan pernah kamu berpikir untuk menghentikan semua ini," ujarku sedikit emosi.
"Sudah malam. Wassalamu'alaikum."
Aku memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan dengan Bila sebelum emosiku benar-benar meluap. Aku menimbang kembali akan keputusan ini. Belum jadi menikah saja selalu berdebat, apa lagi kalau nanti kami benar-benar menikah, mungkin akan terjadi perang dunia ketiga.
Pada akhirnya kita tidak boleh menoleh ke belakang, apa yang sudah kita putuskan itulah yang harus dihadapi.
Besok adalah hari pernikahan kami sementara saat ini aku masih di rumah Eyang berhubungan dengan staff IT di Bandung. Ada masalah yang menyebabkan semua komputer tidak bisa mengakses email dan tidak bisa masuk ke sistem. Arghhhh, kenapa harus ada masalah di saat seharusnya aku istirahat dan berlatih menghafalkan nama Bila. Sial! Sial!
Aku makin mengumpat kesal saat Bila menghubungi di saat yang tidak tepat. Tidak tahukah dia kalau aku masih punya tugas untuk menghafalkan nama panjangnya? Tidak bisakah dia sebentar saja mengunci mulut dan tidak menghubungiku sekarang?
"Assalaamu'alaikum. Begitu tidak sabar menunggu besok pagi sampai tengah malam begini menelepon?" sindirku, menyisihkan rasa kesal karenanya.
"Wa'alaikumussalaam, baju hijaunya ada di mana? Kenapa tidak ada?"
Aku memijit pelipisku pelan mendengar jawaban dari Bila. Jadi, dia menghubungiku saat ini hanya untuk menanyakan baju hijaunya. Aku mengeram kesal, pasalnya aku memang meminta bantuan Mama untuk mengurangi pakaian ganti kami karena empat baju itu terlalu banyak.
"Dibuang!"
"APA?" teriakan di ujung telepon membuatku menjauhkan ponsel dari telinga.
"Tidak dengar atau pura-pura tidak dengar?"
"Tapi kenapa? Tidak ada yang salah dengan baju itu dan kemarin juga kamu tidak memprotesnya kan?"
Ya ampun, Bila, begitu pentingnya sebuah baju sampai harus heboh seperti sekarang?
"Setelah dipikir baju itu terlalu mencolok, sudahlah, lagi pula berganti pakaian itu akan memakan waktu yang lama. Setidaknya tiga masih lebih banyak daripada dua."
"Nggak ada yang meragukan tiga lebih banyak dari dua!"
"Ada lagi yang mau disampaikan? Kalau tidak aku tutup panggilannya. Aku masih harus menghafalkan namamu dan Om Reffi," jawabku ketus. Demi Tuhan, aku butuh konsentrasi untuk mengucapkan kalimat maut untuk esok hari.
"Jadi, sampai sekarang belum hafal namaku sama nama Ayah? Awas saja kalau sampai besok acara gagal karenanya."
"Makanya tutup teleponnya dan biarkan aku menghafal dengan tenang. Urusan baju kalau mau besok aku ganti, kalau perlu seratus biji."
"Sok kaya," cibir Bila.
Aku mendengus mendengar kalimatnya sebelum mengucapkan salam untuk mengakhiri panggilan. Baiklah, urusan Bila sudah beres dan sekarang adalah saatnya aku untuk belajar menghafal dengan tenang.
**
Saat badan terasa lelah, semua terasa serba salah.
Akhirnya setelah rasa berdebar yang tidak karuan seluruh ritual ijab selesai. Saat ini aku sedang mengistirahatkan badan dengan duduk di sofa, di sampingku ada Didi yang dari tadi sibuk mengoceh, sementara di hadapanku ada Bila yang sedang membenahi make up dan si cerewet Najwa sibuk dengan kaca di tangan dengan mulut tetap berbicara.
Aku hanya bisa tersenyum masam saat Didi tidak henti-hentinya membuka mulut dan terus mnggoda Bila. Aku benar-benar lelah untuk menanggapi mereka, sehingga saat Didi, Najwa, dan Mbak penata rias sibuk berbicara aku memilih memejamkan mata.
"Kak Daffa!"
Aku mendengar samar suara Bila memanggilku, tetapi lebih memilih mengabaikannya. Aku heran, tidak cukupkah dia menggangguku tadi malam?
"Kak," rengeknya kembali.
Aku masih tetap diam.
"Dasar orang tua. Om-Om! Baru jam sepuluh pagi aja udah tertidur, apa kabar kalau malam. Pasti jam delapan malam udah tidur. Orangtua itu kan cepat lelah seperti bayi!" Bila kembali berujar dengan kalimat panjangnya.
"Aku semalaman tidak tidur hanya karena menghafal kalimat ajaib untuk hari ini. Jadi, berhenti berisik dan biarkan aku terpejam sebentar saja," ujarku kesal.
"AAAAAAAAAAA PONSELKU!"
"Ya Tuhan!"
Aku mengerang frustrasi dan mengusap wajah dengan kasar. Aku hanya ingin tidur sebentar dan Bila justru mengoceh, sangat menyebalkan bukan? Itu belum seberapa karena teriakan setelahnya sukses membuatku makin kesal.
"Kak Daffa itu nggak usah ngagetin bisa nggak, sih? Jadi, dari tadi mendengar panggilanku dan berpura-pura tidur? Kenapa tidak tidur sekalian jadi ponselku tidak perlu hancur seperti ini. Ponsel ini kan cukup bersejarah, harganya juga tidak murah. Dua bulan bekerja baru aku mendapatkannya dan sekarang harus melihatnya seperti ini!"
"Besok kita beli. Sekarang lebih baik kamu diam!" jawabku datar padahal aku tahu kalau ponselnya tidaklah murah. Tetapi membuat Bila diam adalah yang terpenting saat ini.
"Sejarah tidak bisa dibeli! Lagi pula dari kemarin bilang beli ini, beli itu, memangnya aku seperti cewek matre apa?"
"BILA DIAM!"
Ya Tuhan, istighfar Daffa. Dia itu istrimu sekarang. Aku merutuk kepada diri sendiri yang tidak bisa mengendalikan diri karena sikap kekanakan Bila. Lihat, sepertinya aku bisa tua lebih cepat jika terus menghadapi dia yang seperti sekarang.
Pranggg
Suara bantingan ponsel Bila mengalihkan perhatian. Ponsel yang tadi telah dia ambil dari lantai kini sempurna dia lempar sampai casingnya terbuka. Aku memandangnya prihatin, mungkin kata-kataku memang terdengar seperti membentak, tetapi sungguh aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya ingin Bila diam sejenak dan membiarkanku memejamkan mata walaupun hanya lima menit.
"Maaf," kataku menunduk, menatap Bila yang kini sudah duduk di lantai tanpa memperdulikan pakaian yang menempel di badannya.
Dia hanya diam.
"Bila, aku minta maaf!" kataku lagi.
"Kalau Kak Daffa nggak suka aku ngomong bilang, jadi aku bakalan diem sampai Kak Daffa minta buat ngomong." Bila berujar tanpa mengalihkan pandangan dari lantai.
Aku menatap Bila frustrasi. Lihatlah Daffa, bahkan kalian baru beberapa jam menikah dan sudah bertengkar seperti sekarang. Arghhh!
"Bukan begitu, Bila. Aku kan sudah minta maaf."
"Maaf? Enak banget bilang maaf."
Bila tetap keras kepala dan justru mencibir permintaan maaf yang terpaksa aku ucapkan. Sekarang adalah saatnya menyingkirkan ego dan membuat Bila diam agar aku bisa memejamkan mata untuk beristirahat. Aku mengangkat Bila agar duduk di tepi ranjang, selanjutnya aku membuatnya agar kami duduk berhadapan.
"Oke, dengarkan aku. Aku minta maaf karena tadi sudah membentakmu. Tetapi kumohon, kamu diam saja sebentar. Dari kemarin sore ada masalah jaringan di kantor dan aku harus memberikan instruksi kepada Staff di Bandung. Semuanya baru beres tadi setelah subuh, aku mengantuk sekarang."
Bila mengangguk seakan paham atas penjelasanku dan tanpa membuang waktu aku megusap kepalanya dan langsung tidur berbaring. Badan, sekarang saatnya kamu istirahat.
**
Aku tersenyum melihat Om Reffi, maksudku Ayah masuk ke dalam kamar saat aku sedang bercermin merapikan rambut.
"Sudah bangun, Fa?" tanya Beliau dari ujung pintu.
"Iya.... Ehm kita mau jalan sekarang... Yah?" tanyaku sungkan.
"Yup. Semua sudah menunggu di depan."
Aku mengikuti langkah ayah menuju ruangan depan, di sana hanya tinggal Bunda dan Bila. Kurasa semua orang sudah berangkat ke tempat resepsi. Meskipun canggung mengingat pertengkaran yang baru saja terjadi, akhirnya aku dan Bila mampu berperan dengan baik sebagai ratu satu hari. Semua berjalan lancar sampai akhirnya aku melihat teman Bila yang beberapa waktu lalu menikah datang mendekat, pada saat yang sama Bila mengamit lenganku dengan erat, sangat erat.
"Kamu tidak usah berlebihan seperti ini, Bila!"
Aku menghela napas saat Bila langsung menyentakkan tanganku yang baru saja mengusap tangannya. Dia memang labil, saat aku berusaha menenangkan justru kini dia menghentakkan tanganku seakan-akan aku sudah kurang ajar.
"Kalau tidak siap kenapa harus mengundangnya?" tanyaku setengah kesal. Bukankah tadi Bila memegang tanganku erat karena butuh penopang saat melihat temannya? Aneh.
"Peluk Bila, Kak!" Bila berucap lirih dan sukses membuatku mengerutkan dahi karena permintaan anehnya.
"Jangan cengeng, ingat ini acara kita dan semua orang memperhatikan kita," tegurku.
Aku hampir saja mengerang frustrasi melihat Bila yang kini justru menunduk dan menyembunyikan wajah di balik telapak tangan, dia terlihat sangat menyedihkan. Akhirnya karena tidak tega melihat Bila dan tidak ingin menjadi perhatian, aku merengkuh Bila dan menyembunyikan wajahnya dalam pelukan. Semoga saja dia tidak lagi menampakkan wajah yang menyedihkan setelah ini.
"Jangan bertindak bodoh, itu Fadli sedang jalan ke sini. Angkat kepalamu dan tersenyum," bisikku kepada Bila saat melihat Fadli dan istrinya sudah berjalan ke arah kami. Sangat tidak lucu jika kami menerima tamu dengan keadaaan seperti sekarang.
"Bila, selamat, ya. Ternyata jodohmu itu dekat dan tidak jauh!" ucap Fadli saat dia sudah ada di hadapan kami, beruntung Bila sudah menjauhkan diri dan mengusap wajahnya sehingga tidak terlalu menyedihkan.
"Selamat ya, Bil!" istri Fadli ikut berkata.
Aku menatap Bila yang masih diam seribu bahasa dan tidak mau membuka mulut. Begitu berartikah Fadli sampai-sampai Bila kembali galau seperti sekarang?
"Kalau jodoh tidak akan ke mana, walaupun kalian selama ini dekat tetapi ternyata akulah jodohnya," ujarku berusaha mengusir kecanggungan.
"Iya, kenyataannya begitu. Takdir kami hanya sabatas teman," Fadli menimpali sambil tersenyum tipis.
"Jodoh itu seperti kunci dan gemboknya, tidak bisa ditukar," jawabku garing.
"Dan ketika aku menemukan kunci itu, maka tidak akan pernah melepaskannya."
"Jadi, sampai kapan kalian sok puitis? Dasar lelaki gombal dan kurang kerjaan!"
Aku mengembuskan napas lega saat Bila sudah kembali membuka mulut. Akhirnya dia tidak lagi menjadi manusia tanpa suara.
""Hehehe, sorry, Bil! Ternyata kita cocok," jawab Fadli tertawa.
Aku mengangguk setuju sebagai tanda sepakat. Setelah itu, Fadli dan istrinya berpamitan. Alhamdulillah, akhirnya satu masalah terlewati. Aku melihat jam yang ada di dinding, tiga puluh menit lagi acara akan selesai dan itu berarti aku akan bisa istirahat dengan tenang.
Bersambung ke Daffa 2
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro