6 ~ Jangan Ditahan
Setelah pementasan drama semalam, Sandrina merasa lega. Ia merasa bebannya berkurang sedikit karena drama yang ia lakoni tidak sesuai dengan karakter dirinya yang masih berusia belasan.
Melakoni drama wanita dewasa memang sebuah tantangan bagi Sandrina. Ia dituntut menjadi dewasa seperti wanita dewasa pada umumnya. Bersyukurlah ia karena memiliki sepupu yang bisa dimintai pendapat bagaimana menjadi wanita dewasa. Bagaimana mengekspresikan muka serius saat mendapat masalah, atau muka ketawa saat mendapat guyonan.
Libur seperti ini sudah menjadi kebiasaan Sandrina bermalas-malasan dari pagi hingga siang. Sudah pukul sebelas, ia masih rebahan di kasur ditemani naskah yang ia bawa dari Bu Hani semalam.
Mengingat ucapan Bu Hani semalam, perannya yang bagus saat memerankan tokoh dewasa membuat guru kesenian itu memuji Sandrina sekaligus menjadikannya tokoh utama dalam drama Cinderella yang akan dipentaskan saat ulang tahun sekolah nanti. Sedikit demi sedikit Sandrina menghafalkan skripnya, karena ulang tahun sekolah tinggal tiga bulan lagi.
"Na, dicari temen kamu." Shita berdiri di depan pintu sambil memegang gagang pintu.
"Siapa?" Sandrina menutup skripnya, lalu beranjak dari kasur mengikuti sang Mama turun ke bawah.
Ditengoknya dari lantai atas, tapi tidak terlihat karena sofa berada jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Ia mempercepat jalannya dengan berlari kecil, menyamai langkah Shita yang turun dengan anggun. Sandrina memeluk lengan mamanya dengan manja.
Siapa sangka yang bertamu ke rumahnya adalah Indri, Bela, Sila, Rendi, dan juga sosok Arel ikut bersama mereka.
"Udah lama? Tumben rame-rame?" Sandrina duduk di sebelah Indri, menutupi pahanya dengan bantal kecil.
"Enggak, baru aja duduk. Kita ke sini mau latian bareng-bareng rencananya. ulang tahun sekolah sebentar lagi, nggak bakal cukup waktu kalo latiannya cuma di sekolah aja." Mendengar penjelasan Indri, yang lainnya manggut-manggut menyetujui.
"Bener, apalagi kita ada dua drama. Yang dapet bagian Rakyat Jelata juga pada latian kelompok di rumah." Bela menambahkan.
"Berarti kita latian di taman belakang kalo gitu. di sana, ada bangku, ayunan, juga adem tempatnya. kalo di depan, 'kan, panas. Kita ke belakang sekarang aja!" ajak Sandrina. Ia berdiri, merangkul Indri mengajaknya ke taman belakang rumah.
"Diem aja, Rel? Lagi puasa ngomong?" Rendi mencoba mencairkan suasana agar tidak canggung seperti sat ini.
“Enggak. Siapa bilang gue puasa? Tadi abis minum, nggak liat? Sekarang juga lagi ngomong.” Mereka mengikuti Sandrina di belakang.
“Eh, lo udah jadian sama Deandra, ‘kan? Kita panggil Deandra aja, gimana?” Tiba-tiba Sandrina menengok ke belakang untuk menatap Rendi dengan menaikkan kedua alisnya, lalu menatap Arel. “Gimana, San, menurut lo?”
Sandrina menghadap depan lagi, melanjutkan jalannya, lalu duduk di ayunan sama Indri. “Dia tinggal WA ceweknya kalo lagi di sini, ntar juga nyamper.” Bela dan Sila ikut duduk di ayunan. “Gue ambil minum sama camilan dulu, ya!” Sandrina beranjak dari tempat duduknya, sambil menepuk paha Indri, pelan.
“Gimana, Pangeran?” Rendi menyebut peran Arel dalam obrolannya. Mereka duduk di kursi sebelah ayunan.
“Kita di sini mau latian bareng, bukan pacaran, Ren! Gue nggak mau ke ganggu sama yang lain, nanti nggak fokus,” alibinya. Sebenarnya Arel tidak ingin jika hubungannya diliput publik, ia bukan artis, bukan juga pesohor.
“Keganggu sama yang lain apa nggak enak sama Sandrina, Rel?” celetuk Sila.
Arel berdeham, lalu menjawab ucapan Sila dengan tegas. “Yang jelas, gue nggak mau hubungan gue buat publik.”
“Oh, kirain.” Sila menatap Arel. Yang ditatap pun balas menatap tajam padanya.
Tatapan mereka seperti pedang yang menghunus jantung. Membuat keduanya seperti dilanda rasa benci yang berlebih, juga rasa dendam. Di saat mereka saling bertatap muka, Sandrina datang membawa minum dan juga camilan sesuai ucapannya bersama asisten rumah tangganya yang masih muda.
“Taruh di meja aja, Mbak!” perintah Sandrina meletakkan camilan di meja, samping pintu masuk. Minuman dingin dibawa Mbaknya. “Makasih, ya, Mbak.”
“Iya, Non.” Pamitnya asisten rumah tangga, berbarengan dengan Arel yang berjalan menuju meja untuk mengambil minumnya.
“Gue boleh minum, ‘kan? Panas banget hari ini, jadi haus.” Arel langsung mengambil minumnya sebelum Sandrina memperbolehkan. Satu gelas yang langsung ditenggak habis, tak tersisa.
“Ya ampun, Rel. Nggak kembung, tuh, perut?” Rendi geleng-geleng kepala melihat temannya meminum es teh satu gelas penuh. “Tuh, masih ada satu teko,” lanjutnya.
Sandrina berjalan ke ayunan dan membawa skripnya yang dia ambil di kamar tadi. “Latian sekarang, yuk!” ajaknya. Mereka mengangguk, dan beranjak dari tempat mereka duduk.
“Pembukaan ini ibu tiri sama saudara tirinya, ‘kan? Sila sebagai ibu tiri, Tremaine. Aku sama Bela jadi Anastasia sama Drizella,” terang Indri. Ia memperhatikan skrip dengan seksama.
“Andi, Riska sama Rina belum dateng. Ntar nyusul tadi bilangnya di WA.” Rendi memberitahu.
Tepat saat Rendi berucap, Mbak datang memanggil Sandrina karena ada tamu, teman sekolahnya. Sandrina menyuruh Mbaknya untuk membawa teman-temannya ke taman belakang, tempatnya latihan drama.
“Weiisss ... Whats up, Bro.” Seperti biasa, gaya Andi memang seperti anak Hip Hop yang terkenal dengan gaya Borjuis. Lihat saja cara berpakaiannya, semua dari merek terkenal. Andi ber-high five dengan Arel dan juga Rendi.
“Gaya lo, Ndi. Udah kayak mau nongkrong aja. Mau jadi pesuruh aja, pake baju bermerek begini,” ejek Rendi.
“Nggak apa-apa jadi pesuruh, yang penting bisa main sama kalian,” kagumnya sambil merentangkan kedua tangannya pada Arel.
“Dih, najis. Gue masih normal kalo lo lupa,” sahut Arel tiba-tiba.
Mereka tertawa bersama, dan latihan drama pun dimulai. Rina dan Riska sebagai sahabat Sandrina, yang memerankan tikus yang membantu Cinderella menjahit gaunnya. Rendi sebagai Raja, Pangeran diperankan oleh Arel. Seperti yang tadi dibilang Rendi, Andi sebagai pesuruh yang mengantarkan undangan ke setiap rumah rakyatnya.
Memang sedikit perannya, tapi Andi lebih memilih berperan sedikit dibanding harus berperan banyak tapi di drama Rakyat Jelata, harus berpisah dengan teman-temannya yang selama ini sudah latihan bareng.
“Mulai, yuk!” ajak Sandrina yang sudah berdiri membawa beberapa pakaian yang ia ambil di kamarnya sebagai bahan peraga.
Sila sudah berdiri di depan Sandrina, berlagak memerintah dengan bentakannya. Seperti yang terjadi pada cerita Cinderella, ibu tiri yang menyiksa anak tirinya. Bela dan Indri tertawa melihat peristiwa ini.
Mereka memerankan perannya masing-masing seperti yang ada di naskah. Drama yang ditutup dengan Pangeran menikahi Cinderella, membuat Sandrina gemetar saat Arel memegang tangannya untuk mengajaknya berdansa.
Sandrina benar-benar gerogi. Ia berkeringat saat tangan mereka saling menggenggam. Saat Arel maju, berayun ke samping dengan langkah ringan. Kaki Sandrina bertumpu pada kaki Arel. Semua berjalan seperti pada cerita dongeng, yang membuat beda adalah perasaan Sandrina dengan jantung berirama membuatnya tidak fokus.
“Fokus, San. Ini cuma drama, bukan kenyataan. Kenyataannya kalo Arel pacarnya Deandra, bukan elo!” kritik Sila, tajam. Ucapannya seperti pisau yang menyayat tangan.
“Kalem, Sil. Sandrina juga tau kalo ini cuma akting. Tenang, aja! Nggak bakal Sandrina ngerebut cowok orang,” timpal Indri.
Selesainya mereka berakting, Arel menjawab ucapan Sila. “Kalo pun gue ada main sama Sandrina, nggak bakal gue pacarin sepupu dia!”
“Tuh, denger, ‘kan? Nggak bakal mereka ada main.” Indri masih menyuarakan pendapatnya. Ia tidak rela jika temannya dianggap sebagai perusak hubungan orang.
“Gue nggak mau bahas apa yang bukan jadi prioritas gue, gosip itu juga akan berlalu seiring angin berembus.” Sandrina menghentikan obrolan mereka. Ia berjalan ke arah meja, dan mengatakan, “nih, makan dulu camilannya!” Sandrina meminum airnya, lalu masuk ke dalam rumah untuk mengambil kipas, lalu dinyalakan menghadap teman-temannya.
“Denger, kan, lo pada? Nih, makan dulu biar keisi tenaganya, karena menghadapi kenyataan juga butuh energi,” tulus Indri, sambil tersenyum pada si pemilik rumah. Sandrina pun ikut tersenyum.
“Udah, nggak usah dibahas. Penjelasan apapun yang gue ucap kayaknya juga percuma.” Arel berjalan ke meja makan dan mengambil stoples kacang goreng, lalu dibagikan ke Rendi juga Andi.
“Ini udah, kan, ya, latiannya? Gue ada janji soalnya nanti jam tiga.” Bela melihat jam di tangan kirinya, sudah pukul setengah dua siang. Mereka duduk di kursi, samping pintu.
“Emang mau ke mana?” tanya Rina.
“Mau nemenin adek gue beli buku.” Bela berkemas, bersiap untuk pamit pada Sandrina. “Gue pulang dulu, ya, San,” pamitnya. Mereka bercipika-cipiki, begitu juga dengan teman cewek yang lain. Rendi bersiap untuk bercipika-cipiki, tapi malah mendapat tamparan pelan dari Bela.
“Emang enak. Itu rasanya kalo ngerebut jatah temennya,” cetus Andi. Rendi hanya mencebikkan bibirnya seperti cewek sedang dapat jatah bulanan.
“Udah nggak usah ribut! Ayo, pada mau pulang nggak?”
Setelah kepergian Bela, yang lain juga ikut menyusul. Rina berpamitan pada Sandrina, disusul Sila juga yang lainnya. Arel masih diam saja duduk di kursinya.
“Nggak pulang, Rel?” tanya Indri yang terakhir berpamitan pada Sandrina.
“Pulang lah. Gue mau ngapel ke rumah cewek gue dulu.” Menekankan kata cewek pada kalimat yang diucapkan Arel, ia hanya berkata ‘bye’ pada Sandrina sambil melambaikan tangannya.
Indri melihat itu hanya meliriknya sambil mencebikkan bibir. Mengatakan jika Arel tidak waras. Sandrina mengantar Indri sampai depan rumah.
“Ati-ati di jalan, Ndri. Jangan nyangkut ke cogan lewat,” peringatnya.
“Tenang, udah ada alat pengaman sekarang.” Mereka pun tertawa bersama. “Gue pulang dulu, ya!” pamitnya lagi saat jemputan sudah tiba. Sandrina melambaikan tangannya setelah mobil Indri melaju.
Ponselnya bergetar, diambilnya dari saku celana. Pesan dari Arel.
From: Arel
Kalo suka jangan ditahan
Apa maksudnya dia berkata demikian? Sandrina pun mengernyit bingung, tidak tahu maksud yang diucapkan Arel. Tanpa membalasnya, ia memasukkan lagi ponselnya ke dalam saku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro