5 ~ Cowok ini Siapa?
Pementasan drama dimulai. Penonton dari luar sekolah tampaknya sangat banyak, karena stand anak IPS1 terlihat banyak pembeli, juga dari tempat parkir motor hingga penuh sesak. Juga dari suara pembeli yang anak-anak IPS1 dengar, pertanyaan mereka tentang luasnya sekolah ini, bagusnya bangunan sekolah, juga pertunjukan seru yang membuat penonton sangat menikmati acaranya.
“Eh, itu Noval,’kan? Yang main gitar,” tanya salah satu pengunjung yang membeli di kedai IPS1. Hal itu membuat Ririn dan Hendra, yang menjaga stan itu menengok ke atas panggung.
“Iya. Dia Noval. Kakak bukan dari sekolah Cahaya Ilmu, ya?” tanya Ririn penasaran. Suaranya naik dua oktaf lantaran suara musik membuat mereka seperti berada di tempat disko.
“Bukan. Makasih, ya.” Anak dari sekolah lain itu pun melenggang ke depan panggung setelah menerima dimsum yang dibelinya.
“Hen, banyak bener, ya, anak dari sekolah lain. Tadi liat tempat parkir buat sekolah lain, nggak? Penuh banget sampe ke jalanan, gitu,” terang Ririn yang memperhatikan suasana sekolah hari ini.
Acara pementasan drama dan juga pertunjukan musik dan yang lainnya adalah guna menjalin hubungan dengan murid sekolah lain yang berkunjung ke sekolahnya. Juga, hubungan antar murid agar saling mengenal dengan satu sama lain, makanya diadakannya kedai penjualan yang hasilnya akan disumbangkan pada yayasan panti asuhan. Sungguh mulia sekali tujuan sekolah ini mengadakan acara.
Pementasan drama dimulai. Lampu dibuat meredup. Sandrina masuk ke dalam panggung, disusul Arel yang membawa sepucuk surat di tangannya. Indri sudah berada di pojok bersama Rendi.
Suasana dibuat seperti di sebuah tempat, yang anak muda sering ke sini. Tempat nongkrong ala anak muda jaman sekarang. Kafe Cahaya, dengan tatanan meja bar di tengah panggung. Indri dan Rendi duduk di kursi ujung, menikmati kopinya.
Sandrina memainkan perannya dengan Arel sebagai sepasang kekasih yang tidak direstui oleh orang tua Arel. Konflik terjadi saat Arel membawa Sandrina pulang ke rumahnya, yang memerankan orang tua Arel adalah Andi dan Sila.
Setelah terlihat konfliknya, Arel mengajak bertemu dengan Sandrina. Di sini Sandrina menekankan jika orang tua Arel tidak menyukai dirinya.
“Apa yang bakal kamu lakuin kalo orang tua kamu aja nggak ngrestuin hubungan kita, Mas?”
“Kita akan kawin lari. Mas udah beli sepatu ri biar kita menang dari orang tuaku.”
Suara Arel membuat penonton menyoraki dirinya lantaran skrip yang ia suarakan membuat penonton tertawa garing.
Sandrina terlihat mengibaskan tangannya seperti kipas, tepat saat pentas drama selesai. Pertunjukan yang digadang-gadang akan sesuai dengan ekspektasi Bu Hani, nyatanya sukses sesuai harapan. Bu Hani bertepuk tangan setelah para pemain turun dari panggung.
“Kalian bagus banget, Ibu suka sama pementasan kalian. Empat jempol buat kalian.” Bu Hani mengacungkan kedua jempolnya. “Besok masuk seperti biasa, ya! Akan ada evaluasi, juga pemilihan peran untuk drama ulang tahun sekolah kita.”
“Siap, Bu.” Para pemain menganggukkan kepala.
“Oke. Kalian bisa istirahat sambil nikmatin lagu yang dibawa Noval dan kawan-kawannya itu. Saya pamit dulu,” ucap Bu Hani undur diri.
“Hati-hati, Bu.” Bu Hani mengangguk, lalu meninggalkan ruangan kelas yang digunakan untuk para pemain drama.
Sandrina menghapus riasan yang memenuhi wajahnya, Arel berada di sebelahnya ingin membantu, tapi Deandra lebih dulu datang menemui Arel.
“Ayang embebh,” panggilnya dengan manja, menggelayut di lengan Arel. Yang melihatnya pun ada yang tertawa.
Merasa ada yang tertawa, Deandra melihat sekitar, Rina dan Bela menertawai dirinya sambil memegang ponsel di tangannya. “Kalian ngetawain gue, ya?”
Yang diajak bicara menoleh pada Deandra dengan muka terkejut, “Hah? Gue?” tunjuk Rani pada diri sendiri.
“Iya lah, siapa lagi? Yang ketawa di sini, ‘kan, kalian berdua doang. Kalo sirik itu bilang, jangan cuma bisa ngetawain doang. Ayang Arel emang ganteng, sih, makanya jadi buat rebutan.” Deandra mengucap tanpa melihat orang sekitar. Arel pun hanya diam, terlihat tidak suka dengan ucapan Deandra dari caranya melirik matanya.
Arel berdiri, setelah melepaskan lengan Deandra. Ia akan beranjak, tapi dihalang oleh cewek yang duduk di sebelahnya. “Gue mau keluar dulu bentar, tiba-tiba gerah di sini.”
Sandrina hanya melirik dari kaca besar yang ada di depannya. Rina dan Bela kembali tertawa lagi membuat Deandra ingin menghajarnya, tapi ditahan. Jika saja ini bukan di sekolah, sudah habis mereka di tangan Deandra. Deandra masih ingat jika dirinya kini berada di tempat di mana tidak ada pendukungnya.
Deandra menyusul Arel ke luar ruangan. Arel terlihat menyulut sebatang rokok bersama dengan teman-temannya, yang langsung diambil paksa oleh Deandra.
“Ini di lingkungan sekolah, tuh, liat! Di larang merokok,” tunjuk Deandra pada tembok di sebelah Arel.
“Gue pusing denger suara lo yang bawel.” Arel tampak cuek mengucap kata sensitif yang akan menyinggung Deandra di depan teman-temannya.
“Yaelah, Rel. Cewek perhatian begitu juga dibilang bawel,” sahut Riko, teman sekelas Arel.
Namun, Deandra tetaplah Deandra. Tidak ada kata sensitif atau kata yang akan menyinggung dirinya jika yang mengucap adalah Arel. Ia bagaikan tersihir cinta yang membuat orang lain geleng-geleng kepala jika melihat Deandra terlalu bucin alias budak cinta pada Arel.
Benar.... Deandra benar-benar dimabuk asmara pada ketampanan Arel. Bagi Deandra, prinsipnya hanya dua, ganteng dan tajir. Arel mempunyai keduanya yang membuat Deandra klepek-klepek dibuatnya.
“Nggak masalah kalo mau marah, yang penting jangan ngerokok!” larangnya setelah membuang puntung rokok ke tong sampah di depannya.
“Lo nggak ngantuk? Nggak ada niatan mau pulang?” tanya Arel penasaran.
Deandra adalah tipe orang yang gampang mengantuk. Seperti saat di rumah Sandrina, dirinya rewel minta pulang, saat diajak main ke rumah Noval juga minta pulang dengan alasan sudah mengantuk padahal baru jam sembilan.
Ngomong-ngomong soal Sandrina, cewek yang memakai celana panjang dipadukan dengan blouse putih dengan sweeter senada dengan warna celananya, berlenggang ke luar ruangan yang membuat Arel berniat untuk menyusulnya.
“Bentar, tunggu di sini,” ucap Arel, lalu melenggang menyusul Sandrina.
“San,” panggilnya sedikit berteriak. Yang dipanggil tidak berhenti, Arel semakin lari untuk mengejar Sandrina. “San, tunggu bentar!” Tangannya ditarik, hingga Sandrina terkejut dan memukul Arel mengenai pundaknya. “Awww....” Arel mengelus pundaknya.
“Kenapa? Kebiasaan banget kalo manggil langsung narik tangan,” keluhnya. Pasalnya, selama ini, Arel selalu menarik tangan Sandrina saat memanggil, bukannya menyebut nama.
“Lo dipanggil kenapa selalu nggak denger? Yaudah, gue tarik aja tangan lo. Lumayan, pegang tangan gratis,” cengirnya sambil mencium tangannya sendiri setelah memegang tangan Sandrina.
“Ada apaan?”
“Nih, buat lo. Lo pulang sama siapa? Nitip Deandra, dong! Gue males nganter dia.” Arel memberikan camilan untuk mengganjal perut Sandrina.
Wisnu melihat Sandrina sudah di luar ruangan, dan sedang mengobrol dengan Arel pun menghampiri. Kaki jenjang, dengan badan atletis menyusuri lorong remang-remang yang diberi lampu temaram di setiap dua meter. Rambut cepaknya membuat Wisnu tampak lebih maskulin. Tersenyum ramah pada cewek yang melihatnya, membuat Wisnu semakin banyak penggemar di sekolah Sandrina.
“Udah selesai, Na?” tanya Wisnu setelah sampai di depan Sandrina.
Sandrina menoleh, melihat Wisnu sudah berada di depannya. Ia pun mengucap, “Udah. Tunggu bentar, ya!” Wisnu mengangguk, melihat mereka berdua.
Arel tampak melihat Wisnu dengan tangan di dagunya, dari ujung rambut hingga ujung sepatunya. Rambut cepak, badan atletis, pundak lebar, tingginya melebihi tinggi Arel. Soal ketampanan? Jangan ditanyakan lagi, jelas tampan Wisnu.
Arel berdeham menunggu jawaban Sandrina. “Bukan sopir lo yang ngejemput? Terus tadi pertanyaan gue gimana?”
“Boleh, gue tunggu di depan! Bilang sama Deandra jangan lama-lama.” Sandrina berbalik, meninggalkan Arel dan mengajak Wisnu berjalan.
“Duluan, Bro.” Wisnu tersenyum, yang diangguki oleh Arel.
Tidak lama menunggu Deandra, ia sudah sampai depan dan Sandrina membuka kaca mobilnya untuk memanggil cewek bergigi gingsul itu. Ia tampak cemberut dan tidak senang pulang bersama Sandrina.
“Kenapa?” tanya Sandrina sekadar basa-basi. Ia sudah tahu jika alasan dibalik muka cemberutnya adalah Arel.
Belum lama mendudukkan pantat di mobil, Deandra menggerutu sendiri yang masih bisa didengar oleh Sandrina. “Lo bayangin aja, gue rela dateng ke acara ini buat siapa? Gue rela nahan kantuk gue demi bisa liat dia perform. Tapi apa balasan dia? Nganterin gue pulang enggak, ngajak gue ngomong juga enggak, kan, ngeselin. Lo kalo punya cowok jangan yang kayak dia, gue peringatin.”
Sandrina menyetel lagu, Life Goes On, BTS, yang sedang merajai aplikasi pemutar lagu saat ini. Ia sesekali mengikuti liriknya sambil menggelengkan kepala.
“Lo dengerin gue nggak, sih, San? Ngomong sampe berbusa juga nggak didengerin.”
“Eh, denger, kok. Gue lagi menikmati musiknya aja, makanya belum nanggepin elo.” Sandrina membenarkan duduknya, lalu berkata, “Terus mau lo gimana? Pulang sama Arel? Kenapa nggak bilang? Lo ceweknya, lo berhak dianter pulang sama dia.”
“Iya lah, tapi gue nggak berani bilang. Tau sendiri Arel moody kalo sama gue.” Deandra baru sadar jika ternyata di sebelah Sandrina ada cowok cakep jadi sopir. Ia pun merapatkan badannya ke depan, lalu berbisik, “Eh, tapi, cowok di sebelah lo siapa? Diem-diem lo, ya.” Ia mencolek pipi Sandrina, gemas.
Maaf, ya, lama banget baru update lagi
Biasa, emak-emak berdaster emang begini
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro