11 ~ Terungkap
"Oke, udah bagus, ya, pertahankan! Tinggal menghitung hari menuju hari besar kita. Kalau begitu, latihannya sampai di sini dulu. Kalian bisa istirahat sekarang." Bu Hani segera keluar dari ruang latihan.
Sandrina dan yang lain segera keluar dari ruang latihan karena mereka harus mendekor ruang kelasnya agar bisa menarik perhatian kepala sekolah dan menjadi ruang kelas panutan yang bisa ditampilkan dalam Book of Year tahun ini.
Sebuah gagasan muncul dalam benaknya tatkala sedang berlatih peran tadi. Sandrina mengatakan pada teman-teman teaternya dan mereka setuju.
Istirahat kedua telah tiba, dan para murid sedang mendekor kelas dengan apik.
"San, ada lakban nggak? Atau nggak selotip, deh." Rendi memasang balon kecilnya di atas, tempat lampu.
"Bentar." Sandrina langsung mencari dan tidak menemukannya di kantong plastik. "Nggak ada, Ren," Jawabnya setelah mengubek-ubek Tidak cukup hanya sampai di sini.
Rendi langsung menatap Andi yang berdiri di bawahnya. "Ndi, bisa minta tolong pergi ke kantin minta lakban atau selotip ke mang Jafar, nggak?"
Mang Jafar adalah salah satu pedagang kantin yang akrab dengan Rendi atau Andi. Tanpa menunggu lama, Andi langsung menjawabnya, "Berangkaaatt...." Andi menatap Sandrina. "San, pegangin sini bentar!" pinta Andi untuk memegang tangga besi lipatnya.
"Gue aja, Ndi, yang ke kantin minta lakban." Sandrina langsung menatap Rendi. "Satu, kan, Ren?"
"Ya kali minta dua, San. Buat apaan coba banyak-banyak?"
"Gue ikut, San." Indri langsung memeluk lengan Sandrina dan melangkah meninggalkan kelas.
Mungkin terlalu lama di kelas atau bagaimana, bisik-bisik tentang video tempo hari yang dikirim di grup sekolah itu masih didengarnya. Ada salah satu murid kelas sebelah bertanya pada Sandrina, "Sandrina yang di video itu, ya? Cantik, sih, tapi, kok, pengganggu hubungan orang?"
"Tutup, ya, mulutnya! Jangan nyinyir, deh, kalo nggak tau yang sebenarnya." Indri terlihat emosi menanggapi nyinyiran teman sekolahnya.
"Udah biarin aja, Ndri! Nggak usah ditanggepin." Sandrina menarik lengan Indri yang sudah melangkah di depan murid yang bernama Tere itu.
"Bilang aja emang iya, makanya nggak mau mengkonfirmasi atau ngasih tanggapan omongan kita-kita."
Masih saja mengajak ribut dengan Sandrina, cewek itu semakin menyulut emosinya. Sandrina ingin diam saja, tidak penting menanggapi rumor yang tidak penting untuknya. Tapi, semakin didiamkan semakin penikmat gosip itu meminta perhatiannya.
Anggap saja seperti itu. Sandrina menjadi artis dadakan yang namanya semakin melambung berkat Arel yang mengungkapkan isi hatinya dulu.
Tepat di hadapan Tere, Sandrina memengang dagu cewek itu sambil mengucap lima kata yang membuat Tere terdiam. "Mulutnya tolong disekolahin lagi, Say!"
Selepas mengucapkan lima kata itu, Sandrina langsung menggandeng tangan Indri yang masih menertawai Tere. "Ahahaha ... makanya, dipikir dulu kalo mau ngomong, Say." Indri langsung menghadap Sandrina dan melanjutkan ucapannya, "ton."
Tere terlihat kesal dan marah atas perbuatan Sandrina. Ia tidak menyangka akan mendapat balasan yang membuatnya terdiam. Biasanya, Sandrina tidak akan menanggapi apa pun gosip beredar atau penggosip yang meminta perhatiannya.
Kali ini berbeda, ini masalah harga diri Sandrina. Yang semakin didiamkan, dirinya akan semakin diinjak dan menjadi sasaran empuk para penggila Arel dan pendukung hubungan Arel Deandra. Ia tidak akan diam saja.
"Mang, punya lakban, nggak?" Sandrina berdiri di depan warung mang Jafra dan Indri di sebelahnya melihat sekeliling.
"Lakban? Punya kayaknya, bentar saya cari dulu." Mang Jafra mencarinya ke dalam.
"Duh, Deandra. Nasib lo malang bener, sih. Punya cowok aja digebet sama sepupu lo. Sabar, ya!" Adis menepuk pelan bahu Deandra, sesekali melihat ke arah Sandrina berdiri.
"Lo denger, 'kan, San? Deandra dan sekutunya mulai cari masalah." Indri berbisik ke telinga Sandrina agar tidak terdengar yang lain.
"Biarin, aja! Kalo kelewat batas baru gue bales."
"Ini, Neng, lakbannya." Mang Jafra menyerahkan lakban berwarna putih sambil tersenyum.
"Oh, makasih, Mang. Nanti pulang sekolah baru dibalikin."
"Iya, nggak apa-apa, pake aja! Nggak jajan dulu?"
"Enggak, Mang, keburu ditunggu Rendi di kelas." Indri langsung menarik Sandrina agar segera meninggalkan kantin yang sesak dengan sekutu Deandra.
Cuaca panas, ditambah ucapan Adis yang membuat Sandrina emosi. Istirahat kedua memang tidak sepenuh saat istirahat pertama, tapi tidak sedikit juga yang nongkrong di sana. Banyak pasang mata yang menatap iba sekaligus remeh pada Sandrina.
"Tunggu!" Nindi menghalangi jalan mereka dengan tangan direntangkan, lalu berdiri.
"Apa?" Indri menatap nyalang pada Nindi, dengan tangan bersedekap di dada.
"Gue nggak ada urusan sama lo." Tangan Nindi menunjuk kepala Indri hingga terhuyung ke belakang, lalu beralih ke Sandrina. "Gimana perebut cowok orang? Masih santai aja jalan ke sana-sini, nggak malu?"
Kalau tidak ingat ini di sekolah, sudah dipastikan mulut Nindi akan Sandrina tutup dengan cilok mang Jafra. Ia tidak ingin membuat masalah di sekolahnya, karena tujuannya sekolah adalah mencari ilmu bukan musuh.
Sandrina juga enggan untuk menanggapi ucapan konyol seperti yang Nindi ucapkan. Ia yakin jika Nindi hanya termakan gosip sahabatnya, yang tidak rela jika cowoknya berteman dengannya atau orang lain.
"Minggir!" Sandrina menyingkirkan tangan Nindi yang menghalangi jalannya.
"Weits ... berani juga. Lo nggak malu ngerebut cowok orang?" Nindi melihat sekeliling, dan mengucap lagi, "gue denger-denger, bokap lo utang Bank buat nutup kerugian, ya? Mau bangkrut kali perusahaan bokap lo."
Tidak masalah jika semua orang mencaci Sandrina, tapi jika menyangkut keluarga, terlebih kedua orang tuanya, Sandrina tidak akan diam. Itu sudah melebihi batas kewajaran.
Dengan mata memerah, emosi sudah berada di ubun-ubun saat mendengar kata 'bokap' yang diucapkan Nindi tadi membuat cewek berambut sebahu itu mendekat satu langkah di depannya.
Arel melihat kejadian ini di pojok kantin, ketika Sandrina mendekat ke Nindi, tanpa sadar juga ikut mendekat ke arah Nindi yang langsung ditahan oleh Deandra. "Rel, biarin aja mereka berantem!"
"Lepasin, atau kita putus?" ancamnya. Deandra terlihat kebingungan mendengar ucapan Arel. Cewek itu tidak ingin kehilangan Arel. Deandra langsung melepaskan tangannya dan mengikuti Arel di belakangnya.
"Lo boleh ngatain gue, lo boleh ngehina gue, tapi nggak dengan orang tua gue! Tau apa lo tentang mereka?"
Suara keributan di sekitar kantin yang melihat Sandrina dan Nindi beradu mulut membuat kerumunan dalam satu menit pun terjadi. Banyak pasang mata sudah menyaksikan mereka untuk berkelahi. Bahkan, ada yang menyoraki mereka untuk jambak-jambakan.
Banyak yang membela Nindi, tidak sedikit juga yang membela Sandrina. Bahkan, ada beberapa murid yang berada di tim Sandrina melarang untuk meladeni ucapan Nindi.
"Gue? Tau banyak tentang orang tua lo. Orang tua yang ngebiarin anaknya jadi pecokor, perebut cowok orang, juga suka utang ke mana-mana buat memenuhi gaya hidupnya biar dipandang sama orang lain. Eh, bokap lo, 'kan, pemilik serta CEO di perusahaannya, 'kan? Kok, bisa begitu, ya? Gimana masa depan anaknya?" Matanya menatap tajam ke Sandrina.
Tim Nindi semakin panas dan semangat saat mendengar ucapan yang dikatakan Nindi baru saja. Banyak yang memandang remeh ke Sandrina, juga hilang respek padanya. Label cuek dan baik hati dalam diri Sandrina hilang seketika.
Satu tamparan melayang di pipi Nindi. "Kalo ngomong dijaga, ya, mulutnya!" Sandrina berlalu begitu saja, tapi tangannya ditarik oleh Nindi hingga Sandrina berbalik.
"Berani nampar gue sama dengan lo berurusan sama gue!" Nindi menampar balik Sandrina dan menjambaknya. "Begini baru impas."
Tidak terima ditampar balik dan dijambak, Sandrina juga menjambak Nindi. Terjadilah saling jambak-jambakan. Indri membela Sandrina, lalu Deandra dan Adis serta Sila yang berdiri di belakang Arel langsung berlari membantu Nindi untuk menjambak Sandrina dan Indri.
"Stop!" bentak Arel hingga keributan berhenti sebelum guru datang. Ia sudah berdiri di antara Sandrina dan Nindi. Dan mereka menghentikan jambakannya.
Nindi tampak membenarkan rambutnya dan dibantu Deandra, Sila juga Adis. Begitu juga Rambut Sandrina yang terlihat seperti cewek baru bangun tidur. Pipi Sandrina dan Nindi terlihat memerah dan terlukis indah bekas lima jemari yang menempel.
"Kalian mau ada guru dateng dan nyeret kalian ke ruang BK? Huh? Mikir, dong!" Arel menatap Nindi, dan membelakangi Sandrina. Ia sengaja menutupi Sandrina agar tidak diserang lagi oleh Nindi. "Lo jadi kakak kelas bukannya nyontohin yang baik buat adik kelas tapi malah bikin ribut."
"Rel," protes Deandra pelan.
"Biarin aja, Rel, mereka ribut. Jadi tontonan gratis di siang hari."
"Iya, Rel, biarin aja."
"Bawa ke BK, Rel, biar didamaikan guru BK."
"Nindi duluan yang mulai, tuh."
Dan masih banyak celotehan para murid yang ada di kantin. Sebagian membiarkan mereka adu ribut hingga jambak-jambakan, ada pula yang menyuruhnya membawa ke ruang BK.
"Lo ngapain ikut campur? Bukan urusan lo, minggir!" Nindi menarik Arel agar menyingkir, tapi yang ditariknya tidak berpindah tempat juga, hingga Nindi menatapnya.
"Kenapa? Gue nggak akan ngebiarin lo nyakitin Sandrina lagi." Arel menegaskan jika di sini, tanpa perlu dijelaskan lagi ia membela Sandrina, bukan Nindi atau Deandra.
"Udah, Rel, gue bisa sendiri." Sandrina masih terlihat enggan menerima bantuan dari Arel. Dan, tak lupa Sandrina tanpa sengaja memegang lengan Arel untuk menghentikannya membela dirinya.
"Diem dulu, San!" Arel menoleh ke belakang sebentar, lalu menatap nyalang ke Sila. "Gue tau siapa yang nyebarin video gue sama Sandrina di taman belakang? Itu adalah suruhan lo, 'kan? Lo nyuruh Sila buat ngevideo gue sama Sandrina di taman belakang. Jangan heran kenapa gue bisa tau semua kebusukan lo." Tatapannya pada Deandra.
"Nggak usah ngelak! Gue nggak mau kalian semakin menjadi-jadi buat nyakitin Sandrina. Ternyata selama ini percuma gue baik ke elo karena Sandrina, nyatanya? Lo jauh lebih buruk dari saudara tiri." Tatapan emosi dengan muka memerah tertuju pada Deandra.
Deandra terlihat seperti orang yang sedang maling tertangkap oleh penghuninya.
Sedangkan Nindi sengaja menulikan pendengarannya pada ucapan Arel tentang Deandra. Ia ingin menumpahkan segala emosinya pada Sandrina. "Lo liat sendiri, 'kan, cewek yang lo bela nggak mau." Nindi menatap Sandrina penuh kebencian dan permusuhan. "Di depan gue, lo sok nggak perlu dapat pembelaan. Nyatanya di belakang, lo nusuk sepupu lo sendiri. Kayak gitu yang namanya sepupu? Huh? Dasar cewek obralan."
Mendengar ucapan Nindi membuat telinga Sandrina memerah, dada sudah naik turun menahan emosi juga tangis. Tidak mungkin akan menangis di sekolah, apalagi pribadinya yang selalu cuek dan jutek pada setiap cowok. Ia juga tidak ingin menumpahkan segala emosinya, ini bukan tempat yang tepat.
Namun, siapa sangka jika Sandrina melangkah mendekat dan melayangkan tangannya ke pipi Nindi lagi dengan lebih kencang hingga menambah merah pipinya seperti di blush on. Arel yang berada didekatnya terkejut, juga orang yang menontonnya. Banyak pasang mata semakin riuh menyuruh Sandrina untuk membalas perbuatan Nindi.
"Udah cukup, ya, lo bilang gue cewek perebut cowok orang, atau cewek murahan." Sandrina menyingkap rambut Nindi ke belakang telinga dan berbisik, "kalo lo bilang begitu, akan gue lakuin. Biar tuduhan lo nggak cuma-cuma."
Tepat saat Sandrina selesai berbisik, Arel menarik tangannya agar menjauh dari kantin, tepatnya dari Nindi dan kawan-kawannya.
"Arel," teriak Deandra hingga membuat seisi kantin kaget. Arel berjalan, tanpa menengok ataupun berhenti.
"See? Siapa yang bakal dibela Arel kalo kejadian udah begini? Kalo mau ngelakuin sesuatu itu dipikir dulu, Mbak!" Indri langsung bergegas ke kelas sambil membawa lakban yang diminta Rendi.
Setelah pergi dari kantin, bulir bening yang sedari tadi Sandrina tahan keluar begitu saja. Seperti anak sungai yang mengalir hingga ke laut. Ia ambruk begitu tiba di taman belakang, tangannya menutup wajah untuk menutupi tangisnya. Tanpa suara, hanya isakan yang didengar Arel.
Bohong jika Sandrina tidak sakit hati. Ia rela dibilang cewek perebut cowok orang atau sejenisnya, tapi jangan orang tuanya. Sandrina tidak akan terima jika orang tuanya diucap macam-macam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro