Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 Kg : Seruni Bakery

Seharusnya aku sudah kembali normal setelah menyantap dua cup Popmie, segelas besar teh manis hangat, seporsi dimsum, dan mengemil keripik singkong ukuran jumbo. Namun, hanya keroncongan di perutku saja yang menghilang. Sementara getar-getar ganjil di dada masih bertahan. Bahkan setelah bus yang tadi kami naiki bertolak kembali ke sekolah dan motor yang dipakai Bunda untuk menjemputku sudah terparkir manis di garasi. Otakku masih belum bisa terlepas dari jidat mengilap cowok yang menolongku tadi sewaktu di kolam renang.

Aku merebahkan diri di atas tempat tidur usai mandi dan berganti kaos serta celana pendek yang nyaman. Tiap pulang dari berenang, badanku selalu terasa remuk-redam seperti baru digilas truk tronton. Apa lagi ditambah dengan insiden nyaris tenggelam tadi, rasanya seperti ada kombinasi duet super bersama truk molen untuk menghancurkan sendi dan tulangku.

Aku menekuk siku dan meletakkannya di atas mata yang terpejam. Layar hitam tak berujung seketika memenuhi penglihatan. Aku berniat untuk tidur sejenak sembari menunggu waktu magrib datang. Sayangnya, otakku dengan tidak sopannya justru memutar kembali kejadian di kolam renang tadi.

Tangannya yang hangat menggenggam jemariku. Erat, tetapi di waktu bersamaan terasa lembut. Ekspresi wajahnya yang sedang serius dengan ujung alis sedikit menukik ke hidung dan iris cokelat gelapnya yang tak sedikit pun goyah. Bibir dan rahangnya mengatup rapat, semakin menambah kesan misterius dan cool dari cowok yang belum kuketahui namanya tersebut.

Aku menarik lengan dengan cepat. Mataku terbuka lebar menatap langit-langit di atas kepala. Di detik berikutnya, kudorong tubuh agar duduk kembali.

Gila! Kamu sudah gila, Uni! Ngapain juga merhatiin bibir dan alis cowok?! Suara di kepalaku menjerit histeris.

Buru-buru kugelengkan kepala, merontokkan sisa-sisa flashback yang masih tersangkut di sana. Kayaknya arus otakku benar-benar mengalami gangguan gara-gara terkontaminasi larutan kaporit!

Dengan badan masih letih dan mata panas, aku memaksa diri untuk bangkit. Daripada mengambil risiko memikirkan hal yang enggak-enggak akibat sendirian di kamar, lebih baik aku mencari kesibukan. Kututup kembali pintu di balik punggung sebelum berjalan melintasi ruang tengah yang sepi. Telingaku baru menangkap suara-suara aktivitas manusia dengan latar deru kendaraan bermotor yang berlalu-lalang ketika sampai di ruang tamu. Pintu depannya yang terbuka lebar menampakkan punggung Bunda yang sibuk wara-wiri melayani pembeli.

Rumahku berada di pinggir jalan raya. Bagian teras sampingnya langsung menjadi satu dengan toko roti yang dibuka Bunda dua tahun lalu. "Seruni Bakery" namanya. Memang diambil dari namaku karena Bunda sayang sekali padaku, begitu katanya. Maklum, namanya juga anak satu-satunya. The one and only, karena Bunda tidak bisa punya anak setelah rahimnya diangkat akibat perdarahan hebat saat keguguran. Jauh sebelum menikah dengan Ayah.

Bunda adalah ibu sambungku. Sedangkan Mama yang melahirkanku sudah meninggal saat aku masih kelas 1 SD. Sakit paru-paru, katanya. Setelah itu Ayah yang menjelma menjadi orang tua tunggal pun berusaha untuk memenuhi segala kebutuhanku dan menjamin anaknya ini bahagia. Tentu tidak semudah memasak mi instan, karena sebagai laki-laki Ayah tidak terbiasa mengurus anak dan rumah sendiri. Ditambah lagi pekerjaannya sebagai guru SMA sehingga Ayah tidak punya banyak waktu untukku.

Demi menghiburku yang saat itu sangat sedih akibat kepergian Mama, Ayah tak segan mengeluarkan banyak uang untuk membelikanku makanan yang enak-enak. Aku memang sempat tidak mau makan akibat terus menangis. Namun saat Ayah membawaku ke sebuah restoran makanan cepat saji yang terkenal, tentu aku tak bisa menolak godaan roti dengan pinggiran yang renyah dan sosis di dalamnya, topping irisan kecil daging, jamur, dan aneka sayur, serta aroma keju panggang bertabur daun peterseli di atasnya. Hmm ... sedaap! Mengingatnya saja bikin liurku mau menetes!

Maka hampir setiap hari selama satu bulan pertama, Ayah mengajakku menjelajahi menu-menu berbeda di restoran fast food yang ada di kota. Kemudian lambat laun intensitasnya makin berkurang hingga tiap akhir pekan. Ayah memang tidak bisa masak. Sehari-harinya kami menggantungkan hidup dengan membeli makanan jadi di warung Yu Narti dekat pertigaan.

Sebelum tabungan Ayah benar-benar habis dan rumah kami disita bank karena terlilit hutang, takdir mempertemukannya dengan Bunda. Meski kehidupanku bersama Ayah selama tiga tahun itu 'porak-poranda', tetapi selayaknya anak kecil kebanyakan yang terpengaruh dongeng Cinderella dan sinetron televisi, aku sempat menolak memiliki ibu tiri. Namun, Bunda berhasil memenangkan hatiku dengan keahliannya memasak. Selain itu, saat mendengar kekhawatiranku yang takut terabaikan saat punya adik nanti, Ayah menjelaskan secara jujur tentang kondisi Bunda.

"Bun," panggilku seraya masuk lewat pintu belakang toko. Pandangan Bunda langsung teralih dari pembeli di depannya.

"Uni!" Ada rona kelegaan berlebih yang terpancar di wajahnya. Entah kenapa firasatku nggak enak.

Bunda cepat-cepat menyelesaikan transaksinya dengan satu pembeli itu, lalu berputar mendekatiku. "Uni Sayang, bisa tolong Bunda antarkan pesanan kue nggak?"

Aku memeriksa sudut toko lewat samping tubuh Bunda. Tidak tampak ada pegawai lain di sana. Padahal pembeli yang berderet di luar etalase cukup banyak. "Mbak Ana mana, Bun?"

"Izin pulang cepet habis Bunda jemput kamu sekolah tadi. Soalnya badannya greges. Makanya kamu tolong Bunda, ya?"

Sebenarnya aku capek. Niatku ke mari kan, pengen lihat-lihat apa ada roti yang menggoda buat dimakan. Tapi ...

"Bunda kasih dua puluh ribu buat jajan, deh," bujuk Bunda lagi. Asyik!

"Emang diantar ke mana sih, Bun?" tanyaku sambil menerima tas kertas berisi kotak roti di dalamnya. Ada tulisan "Seruni Bakery" dengan hiasan ilustrasi gambar roti dan bunga seruni kecil-kecil di bagian depannya.

"Ke Bu Wahyu situ, kok," jawab Bunda enteng.

Aku terdiam. Bu Wahyu adalah salah satu pelanggan tetap toko kue Bunda. Tentu saja aku tahu rumahnya. Di sebelah barat pertigaan, tiga rumah dari warung Yu Narti. Aku sudah sering ke daerah situ sejak kecil. Mbak Ana, Bunda, dan Ayah pun beberapa kali mengajakku mengantar pesanan ke tempat Bu Wahyu.

Tapi dengan motor. Sedangkan aku belum bisa naik kendaraan roda dua itu sendiri.

"Jauh ah, Bun. Nggak jadi, deh!" tolakku sambil menyodorkan kembali pesanan yang sudah di tangan. Padahal Bunda juga sudah berbalik memunggungiku.

"Lho, kok gitu, sih?" tanya Bunda tanpa menoleh. Tangannya sibuk mengambilkan roti-roti dari etalase yang dipilih pembeli di depannya. "Kan cuma di belokan habis pertigaan depan itu aja."

Tubuh Bunda berputar cepat mengambil kotak kardus di dekat tempatku berdiri. Sedetik berikutnya, tangan beliau menarik satu kantong kertas dari tumpukan di atas meja sudut. Kemudian kembali menghadap etalase depan dan dengan tangkas menata roti-roti itu dalam kotak sebelum mengemasnya rapi.

Bunda memang rajin dan cekatan. Mungkin karena itulah tubuh Bunda tetap ideal meski punya hobi memasak dan icip-icip makanan. Tidak hanya itu, Bunda juga cantik dan pengertian. Rasanya sungguh jackpot mendapat ibu sambung seperti beliau. Patutnya aku dan Ayah berterima kasih pada suami pertama Bunda yang telah menceraikannya hanya karena masalah keturunan.

"Tolong, ya, Sayang, anakku?! Please ..." Bunda tiba-tiba sudah menyejajarkan pandangan denganku. Tatapannya yang intens dengan raut memelas sungguh membuatku tak tega. Ah, kalau begini caranya mana mungkin aku menang?!

"Iya, deh, iyaa ... Uni kalah!" ucapku dengan muka cemberut. Kutarik kembali tangan yang masih terulur ke sisi tubuh, lengkap dengan tas berisi pesanan milik Bu Wahyu.

Wajah Bunda seketika cerah. Beliau menegakkan kembali punggungnya sambil tersenyum lebar. "Gitu dong, baru anak Bunda yang salihah!" pujinya sambil menepuk-nepuk kepalaku.

Dengan bibir masih manyun, aku berbalik menuju pintu samping, hendak kembali ke rumah. Namun, sebelum melewati ambang pintu, Bunda kembali berkata dengan sedikit menolehkan kepalanya dari pembeli. "Bawa sepeda aja, Ni, biar cepet. Mumpung kuenya masih anget. Takut keburu mau dimakan juga sama Bu Wahyu!"

Bibirku semakin maju. Duh, Bunda! Kalau segitu khawatir kuenya nggak dimakan waktu hangat, gimana kalau Uni bantu Bu Wahyu ngehabisin aja sekarang? ()

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro